'Ini? Tuan Azam berpura pura tapi seperti sungguhan sih? Menyebalkan!'Arumi hendak berontak, tapi Azam cepat berbisik padanya. "Bantu aku, atau kamu akan aku pecat!"Arumi merinding dengan bisikkan Azam. "Eh, i,iya." berbisik juga.Kemudian menatap Levia."He, kamu! Aku ini sebenarnya memang bukan pacarnya Azam. Tapi, tapi.. Ya.. Begitulah. Aku calon istrinya. Dia sudah terlanjur melamarku. Langsung di depan orang tuaku!""Kamu pasti bohong! Kamu baru saja mengatakan kalau kamu tidak mau dengan Azam kan?!" teriak Levia ,tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Arumi."Ya mau bagaimana lagi. Ayahku sudah menerimanya. Masa iya aku tolak. Aku tidak mau jadi anak durhaka."'Hiya,. Maafkan aku Ayah! Aku harus berbohong!!' pekik hati Arumi."Azam! Kamu hanya ingin mempermainkanku? Kamu mengatakan jika tidak bisa mencintai siapapun wanita!" Levia masih saja ingin bertahan."Itu benar, aku memang tidak pernah mencintai wanita manapun kecuali dia ini." Bicara begitu, Azam sambil menciumi p
Azam menarik lembut tangan Arumi agar duduk."Kamu harus tau alasannya kenapa aku jadi seorang playboy.""Memang seorang playboy punya alasan juga?" Arumi masih sadis."Tentu saja. Bukankah kamu juga pernah mengatakan jika setiap orang punya masalahnya masing masing?"Arumi menoleh, kali ini dengan tatapan serius. "Lalu apa alasan anda, masalah anda, sampai anda tega menyakiti banyak wanita??""Arumi, sudah kubilang jika aku tidak pernah menyakiti siapapun. Aku akan bercerita, dan ini hanya padamu karena kamu sekarang adalah Asistenku. Kamu perlu tau untuk kelanjutan kerjasama kita ke depannya.""Alah, pasti mengarang lagi." celoteh Arumi."Sumpah Arumi, ini bukan karangan. Jadi begini."Azam menarik nafas dahulu sebelum melanjutkan ucapannya.Dulu dia memiliki sikap yang lembut dan penyabar. Saking lembut dan sabarnya dia, dia sering ditindas oleh teman-temannya. Dia tidak pernah melawan. Azura sang adik sering kesal. Memarahinya dan memintanya siang malam agar menjadi pria yang tega
(Di kampung sebagian ada seperti ini. Jika malam Jum'at para laki-laki yang mengadakan Yasinan bergilir, dan para wanita di hari Rabu siang sekitar jam satu. Ini akan diadakan secara bergilir rutin di setiap rumah warga yang ikut persatuan atau Grup. Sesekali ada yang menolak saat giliran dirinya yang harus menarik Yasinan. Biasanya karena dia belum sanggup menarik, belum punya persiapan biaya. Kan memang harus punya persiapan untuk membeli makanan dan minuman untuk para undangan yang akan datang membaca Surah Yasin nanti.)Sayangnya kegiatan baik ini malah justru disalahgunakan oleh sebagian dari mereka. Digunakan sebagai ajang pamer juga bergosip ria. Seperti saat ini contohnya."Itu, Nita. Istrinya Heru. Orang kaya baru di kampung kita ini. Tau kan?" Timpal Bu Ida. Tidak lagi berbisik seperti tadi."Oh, iya iya. Tau. Yang rumahnya depannya Rani kan?""Betul.""Kenapa dia?""Itu, suaminya dijadiin keset, mentang-mentang dia bisa cari duit. Ya nyuci, ya masak. Belanja tiap hari ke pa
Sore-sore.Rani ingin ke rumah Nita untuk mengembalikan uang yang ia pinjam kemarin pada Nita.Sementara Nita dan Heru saat ini sedang berada di ruangan tengah. Heru baru kembali dari link BRI. Mengambil uang untuk rencana besok. Mereka duduk di lantai di atas karpet.Nita menghitung uang itu, Heru membantu sambil memangku Gemilang. Mereka berunding, membahas apa apa yang perlu di beli untuk membuat bangunan kecil yang akan mereka jadikan toko mereka.Terdengar salam dari luar, dan tiba-tiba sosok Rani sudah muncul di hadapan mereka.Heru memang lupa, saat masuk tadi pintu depan lupa tidak di tutup kembali. Mungkin Karena beberapa kali Rani mengucap salam dan memanggil, Heru dan Nita yang sedang serius tidak mendengar. Jadi Rani masuk begitu saja. Rani memang sedikit kurang sopan menurut mereka."Waalaikumsalam." Nita menjawab, sedikit terkejut saat melihat Rani sudah berdiri disana menatap mereka. Rani sendiri melotot dengan sempurna. Terpaku di kedua kakinya. Jantungnya sangat berde
Sampai di rumahnya Rani jadi uring-uringan tidak jelas. Menendang baskom dan membanting mangkok atom. Dia sangat kesal. Begitu kesal. Ingat tumpukan uang milik Nita tadi."Kapan aku punya uang segitu?"Saat suaminya pulang dari kerja, langsung di dampratnya."Coba cari kerja lainnya Mas! Merantau kek! Liat tuh Nita sama Heru, sudah membuat rumah bagus! Kebeli ini itu! Kita kapan?"Pada akhirnya, siapa yang punya urusan, siapa yang ribut dan panas dingin.****Kembali ke rumah idaman Nita.Malam hari ketika Heru dan Nita sedang bersantai di ruangan tengah. Terdengar suara motor berhenti di depan rumah mereka.Nita menoleh. "Siapa, Mas?" Tanya Nita."Palingan Adi. Tadi aku nyuruh dia kemari memang." Jawab Heru.Nita menggeleng, "Bukan ah. Kayaknya suara motor bapak." Nita memang bisa hafal suara motor satu-satunya orang terdekat mereka.Saat Nita berdiri, terdengar suara salam. Dan benar saja, ibu dan bapak yang datang bertandang. Sudah lumayan lama memang bapak dan ibu tidak datang kem
Azam melajukan mobilnya setelah Arumi duduk manis di sampingnya. Dia mengarahkan mobil ke kost milik Arumi, setelah sempat mengajak gadis itu mampir ke restoran untuk membungkus beberapa makanan untuk makan malamnya.."Besok kamu berangkat lagi ke kantor." ucap Azam yang hanya dibalas anggukan kecil oleh Arumi. Wajahnya masam, sedikit sedikit dia melirik jam di pergelangan tangan Azam. Azam sempat merasa aneh saat memergoki aksinya.Mobil itu berhenti sedikit jauh dari tempat kost milik Arumi."Turun lah." Azam menoleh pada Arumi."Terima kasih ya, Tuan Azam!" Arumi membuka pintu."Beristirahatlah dan jangan keluar lagi agar kamu segar. Besok kita akan sedikit lebih sibuk dari pada hari ini!""Iya tuan." Arumi pun melangkah keluar mobil dan berjalan ke arah kost nya.Azam hanya tersenyum memandangi langkah kecil Gadis itu hingga benar benar menghilang dari matanya.Agak lama Azam terdiam disitu, rupanya dia sedang memikirkan kejadian di kantor tadi, ketika dia mendekap dan menciumi P
"Tidak! Jawab dulu pertanyaan ku. Tidak mungkin jika tidak ada sebab kamu bisa banyak hutang seperti itu! Itu hutang untuk apa?""Itu hutang Ayahku. Puas!""Ayahmu?" Azam tercengang."Iya. Hutang ayahku, dan ayahku sudah meninggal, jadi aku yang harus membayarnya. Jika tidak, Ayahku tidak akan tenang disana. Cepat lepaskan aku!""Tidak Arumi. Kamu tidak boleh memulung lagi. Ayo masuk. Ayo masuk!"Azam menarik paksa Arumi untuk kembali ke tempat kostnya."Mana kamarmu. Yang mana kamarmu?""Tuan! Kamu ini kenapa sih?""Kembali ke kamarmu Arumi. Kamu ini anak gadis. Mana bisa malam malam keluyuran di jalanan untuk mencari barang bekas?" Azam terus menggelandang tubuh Arumi."Tuan. Aku sudah biasa melakukannya?"Azam berhenti, menoleh pada Arumi."Mulai sekarang, jangan biasakan lagi. Aku tidak mau kamu jadi pemulung!""Tapi,""Aku akan membayar semua Hutangmu. Katakan saja. Pada siapa saja dan berapa saja. Kamu dengar aku kan Arumi? Aku akan membayarnya! Tanpa memotong gajimu. Kamu tidak
"Dulu, setiap hari aku menangis karena takut ibu mati. Ayah bilang, ibu tidak akan mati. Dia akan menemaniku sampai tua. Tapi harapan itu sia-sia. Mereka pergi meninggalkan aku secara bergantian." Arumi menangis sesenggukan, ketika menceritakan kenangan pahit yang dialaminya saat harus kehilangan kedua orang tuanya.Hati Azam pilu mendengar cerita gadis itu."Eh, eh. Tidak usah menangis. Kamu kan sudah bekerja. Kehidupanmu akan jauh lebih baik. Aku akan membantumu membuat ayahmu segera tenang disana." Azam kembali mengusap air mata Arumi dengan ujung bajunya."Kenapa memakai itu, Tuan? Bajumu jadi basah, kan? Kalau rusak bagaimana? Ini pasti mahal harganya.""'Astoge.., ni anak!'Azam jadi ingin tertawa. 'Benar benar ya? Masih melow begini, sempat-sempatnya memikirkan bajuku?'"Baiklah. Mulai besok, bekerjalah dengan baik. Bantu aku mengurus perusahaan ayahku. Kamu paham?"Arumi mengangguk."Jangan lagi memulung!""Iya, Tuan. Tidak lagi.""Em, kalau begitu aku pulang."Arumi mendonga