Sore-sore.Rani ingin ke rumah Nita untuk mengembalikan uang yang ia pinjam kemarin pada Nita.Sementara Nita dan Heru saat ini sedang berada di ruangan tengah. Heru baru kembali dari link BRI. Mengambil uang untuk rencana besok. Mereka duduk di lantai di atas karpet.Nita menghitung uang itu, Heru membantu sambil memangku Gemilang. Mereka berunding, membahas apa apa yang perlu di beli untuk membuat bangunan kecil yang akan mereka jadikan toko mereka.Terdengar salam dari luar, dan tiba-tiba sosok Rani sudah muncul di hadapan mereka.Heru memang lupa, saat masuk tadi pintu depan lupa tidak di tutup kembali. Mungkin Karena beberapa kali Rani mengucap salam dan memanggil, Heru dan Nita yang sedang serius tidak mendengar. Jadi Rani masuk begitu saja. Rani memang sedikit kurang sopan menurut mereka."Waalaikumsalam." Nita menjawab, sedikit terkejut saat melihat Rani sudah berdiri disana menatap mereka. Rani sendiri melotot dengan sempurna. Terpaku di kedua kakinya. Jantungnya sangat berde
Sampai di rumahnya Rani jadi uring-uringan tidak jelas. Menendang baskom dan membanting mangkok atom. Dia sangat kesal. Begitu kesal. Ingat tumpukan uang milik Nita tadi."Kapan aku punya uang segitu?"Saat suaminya pulang dari kerja, langsung di dampratnya."Coba cari kerja lainnya Mas! Merantau kek! Liat tuh Nita sama Heru, sudah membuat rumah bagus! Kebeli ini itu! Kita kapan?"Pada akhirnya, siapa yang punya urusan, siapa yang ribut dan panas dingin.****Kembali ke rumah idaman Nita.Malam hari ketika Heru dan Nita sedang bersantai di ruangan tengah. Terdengar suara motor berhenti di depan rumah mereka.Nita menoleh. "Siapa, Mas?" Tanya Nita."Palingan Adi. Tadi aku nyuruh dia kemari memang." Jawab Heru.Nita menggeleng, "Bukan ah. Kayaknya suara motor bapak." Nita memang bisa hafal suara motor satu-satunya orang terdekat mereka.Saat Nita berdiri, terdengar suara salam. Dan benar saja, ibu dan bapak yang datang bertandang. Sudah lumayan lama memang bapak dan ibu tidak datang kem
Azam melajukan mobilnya setelah Arumi duduk manis di sampingnya. Dia mengarahkan mobil ke kost milik Arumi, setelah sempat mengajak gadis itu mampir ke restoran untuk membungkus beberapa makanan untuk makan malamnya.."Besok kamu berangkat lagi ke kantor." ucap Azam yang hanya dibalas anggukan kecil oleh Arumi. Wajahnya masam, sedikit sedikit dia melirik jam di pergelangan tangan Azam. Azam sempat merasa aneh saat memergoki aksinya.Mobil itu berhenti sedikit jauh dari tempat kost milik Arumi."Turun lah." Azam menoleh pada Arumi."Terima kasih ya, Tuan Azam!" Arumi membuka pintu."Beristirahatlah dan jangan keluar lagi agar kamu segar. Besok kita akan sedikit lebih sibuk dari pada hari ini!""Iya tuan." Arumi pun melangkah keluar mobil dan berjalan ke arah kost nya.Azam hanya tersenyum memandangi langkah kecil Gadis itu hingga benar benar menghilang dari matanya.Agak lama Azam terdiam disitu, rupanya dia sedang memikirkan kejadian di kantor tadi, ketika dia mendekap dan menciumi P
"Tidak! Jawab dulu pertanyaan ku. Tidak mungkin jika tidak ada sebab kamu bisa banyak hutang seperti itu! Itu hutang untuk apa?""Itu hutang Ayahku. Puas!""Ayahmu?" Azam tercengang."Iya. Hutang ayahku, dan ayahku sudah meninggal, jadi aku yang harus membayarnya. Jika tidak, Ayahku tidak akan tenang disana. Cepat lepaskan aku!""Tidak Arumi. Kamu tidak boleh memulung lagi. Ayo masuk. Ayo masuk!"Azam menarik paksa Arumi untuk kembali ke tempat kostnya."Mana kamarmu. Yang mana kamarmu?""Tuan! Kamu ini kenapa sih?""Kembali ke kamarmu Arumi. Kamu ini anak gadis. Mana bisa malam malam keluyuran di jalanan untuk mencari barang bekas?" Azam terus menggelandang tubuh Arumi."Tuan. Aku sudah biasa melakukannya?"Azam berhenti, menoleh pada Arumi."Mulai sekarang, jangan biasakan lagi. Aku tidak mau kamu jadi pemulung!""Tapi,""Aku akan membayar semua Hutangmu. Katakan saja. Pada siapa saja dan berapa saja. Kamu dengar aku kan Arumi? Aku akan membayarnya! Tanpa memotong gajimu. Kamu tidak
"Dulu, setiap hari aku menangis karena takut ibu mati. Ayah bilang, ibu tidak akan mati. Dia akan menemaniku sampai tua. Tapi harapan itu sia-sia. Mereka pergi meninggalkan aku secara bergantian." Arumi menangis sesenggukan, ketika menceritakan kenangan pahit yang dialaminya saat harus kehilangan kedua orang tuanya.Hati Azam pilu mendengar cerita gadis itu."Eh, eh. Tidak usah menangis. Kamu kan sudah bekerja. Kehidupanmu akan jauh lebih baik. Aku akan membantumu membuat ayahmu segera tenang disana." Azam kembali mengusap air mata Arumi dengan ujung bajunya."Kenapa memakai itu, Tuan? Bajumu jadi basah, kan? Kalau rusak bagaimana? Ini pasti mahal harganya.""'Astoge.., ni anak!'Azam jadi ingin tertawa. 'Benar benar ya? Masih melow begini, sempat-sempatnya memikirkan bajuku?'"Baiklah. Mulai besok, bekerjalah dengan baik. Bantu aku mengurus perusahaan ayahku. Kamu paham?"Arumi mengangguk."Jangan lagi memulung!""Iya, Tuan. Tidak lagi.""Em, kalau begitu aku pulang."Arumi mendonga
"Gimana Pak, udah selesai panennya?" Heru berbasa basi pada bapak yang sudah duduk di kursi sofa. Dia duduk sambil menggoyang-goyangkan pantatnya mencoba sofa baru milik mereka. Sementara ibu langsung mengambil Gemilang dari tangan Nita. Ya meskipun Gemilang ini adalah cucu tiri Bu Nur, tapi dia sebenarnya sangat sayang. Dia belum punya cucu. Baru ini lah. Dua anaknya masih SD.Kadang dia kangen setengah mati, tapi ya begitulah. Bapak sering malas mengantar ibu ke rumah mereka."Ini sofanya baru ya?" Bapak belum menjawab pertanyaan Heru, malah bertanya. Soalnya waktu pindahan itu dia tidak melihat ada sofa. Kok sekarang sudah ada."Udah Minggu kemarin belinya, Pak. Ini yang murahan kok." Nita yang menjawab."Ya Allah.. Syukurlah, Nak. Kalian terus ada kemajuan." Sahut ibu sambil menimang Gemilang."Pak, udah panennya? Gimana hasilnya?" Heru kembali bertanya."Udah selesai. Hasil ya sebenernya lumayan. Tapi ya, namanya juga modal banyak yang utang, mana lahan juga numpang. Jadi ya, has
"Ya sudah! Ini hanya saran, dipakai syukur, nggak ya nggak papa." Ucap Bapak. Mungkin dia kesal, tapi sedikit malu juga. Pada akhirnya berpamitan pulang. Ibu sampai tidak sempat makan, padahal tadi ingin makan. Akhirnya daging sapi dibungkus oleh Nita untuk dibawakan pulang saja.Sepanjang perjalanan bapak mengomel."Lagian Bapak ini aneh! Anak sudah hidup lumayan kok di suruh kerja jauh! Nggak usah nyamain anak kita sama anak orang lah. Bener kata Heru, orang itu punya prinsip masing-masing. Mereka juga sudah dewasa, gak usah nemen-nemen ikut campur urusan Anak! Nggak bagus juga!" Ibu menyahut Omelan bapak. Selama ini padahal ibu tidak pernah menyahut omongan bapak. Mungkin karena dia sangat kesal.Nita hanya bisa mengusap dada mengatakan kata "yang sabar" untuk suaminya.Heru hanya mengangguk, kemudian keduanya tersenyum dan melangkah ke kamar setelah mengunci semua jendela dan pintu.Mereka telah berjanji akan bersama-sama dalam segala keadaan. Tidak ada kata berpisah atau berjauha
"Itu Tuan, Arumi, tadi pagi saat saya samperin ke Kostnya, dia masih tidur Tuan. Saya sudah membangunkannya. Tapi dia tidak mau bangun." jawab Siska masih menunduk."Dasar pemalas!" umpat Azam, sembari pergi begitu saja.Entah kenapa Azam sangat kesal saat tau jika si kribo itu masih tidur di kostnya.Pikirannya cuma satu, melabraknya untuk memarahinya habis habisan.Azam cepat ke mobilnya dan segera melaju."Kenapa dia jadi pemalas ya? Padahal biasanya dia itu sangat aktif. " Azam berbicara sendiri lagi."Harusnya dia itu bersyukur diberi pekerjaan enak seperti saat ini. Eh, malah seenak jidatnya saja. Awas saja ya, aku akan menyentilmu.""Apanya yang enak disentil kira kira ya? Haha.. Aku akan menyentil bibirnya saja. Itu pasti menyenangkan." Azam terkekeh, menertawakan kegenitannya sendiri."Kenapa bibirmu jadi membuatku kangen sih, Jelek?"Tak perlu waktu lama, azam sudah berhenti saja di depan kost milik Arumi. Cepat turun dan berjalan ke arah kamar Arumi.Dia mengetuk pintu, beb
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany