"Ya sudah! Ini hanya saran, dipakai syukur, nggak ya nggak papa." Ucap Bapak. Mungkin dia kesal, tapi sedikit malu juga. Pada akhirnya berpamitan pulang. Ibu sampai tidak sempat makan, padahal tadi ingin makan. Akhirnya daging sapi dibungkus oleh Nita untuk dibawakan pulang saja.Sepanjang perjalanan bapak mengomel."Lagian Bapak ini aneh! Anak sudah hidup lumayan kok di suruh kerja jauh! Nggak usah nyamain anak kita sama anak orang lah. Bener kata Heru, orang itu punya prinsip masing-masing. Mereka juga sudah dewasa, gak usah nemen-nemen ikut campur urusan Anak! Nggak bagus juga!" Ibu menyahut Omelan bapak. Selama ini padahal ibu tidak pernah menyahut omongan bapak. Mungkin karena dia sangat kesal.Nita hanya bisa mengusap dada mengatakan kata "yang sabar" untuk suaminya.Heru hanya mengangguk, kemudian keduanya tersenyum dan melangkah ke kamar setelah mengunci semua jendela dan pintu.Mereka telah berjanji akan bersama-sama dalam segala keadaan. Tidak ada kata berpisah atau berjauha
"Itu Tuan, Arumi, tadi pagi saat saya samperin ke Kostnya, dia masih tidur Tuan. Saya sudah membangunkannya. Tapi dia tidak mau bangun." jawab Siska masih menunduk."Dasar pemalas!" umpat Azam, sembari pergi begitu saja.Entah kenapa Azam sangat kesal saat tau jika si kribo itu masih tidur di kostnya.Pikirannya cuma satu, melabraknya untuk memarahinya habis habisan.Azam cepat ke mobilnya dan segera melaju."Kenapa dia jadi pemalas ya? Padahal biasanya dia itu sangat aktif. " Azam berbicara sendiri lagi."Harusnya dia itu bersyukur diberi pekerjaan enak seperti saat ini. Eh, malah seenak jidatnya saja. Awas saja ya, aku akan menyentilmu.""Apanya yang enak disentil kira kira ya? Haha.. Aku akan menyentil bibirnya saja. Itu pasti menyenangkan." Azam terkekeh, menertawakan kegenitannya sendiri."Kenapa bibirmu jadi membuatku kangen sih, Jelek?"Tak perlu waktu lama, azam sudah berhenti saja di depan kost milik Arumi. Cepat turun dan berjalan ke arah kamar Arumi.Dia mengetuk pintu, beb
Azam sesering mungkin menoleh pada gadis itu karena terus mendengar rintihan dari Arumi. Dia meringkuk di jok dengan melilit selimut di tubuhnya."Selain dingin, apa lagi yang dirasa?" Azam bertanya."Kepalaku rasanya mau pecah. Seluruh tulangku rasanya mau copot." Jawab Arumi, dia tidak menoleh sama sekali."Apa kamu sering sakit seperti ini?" Azam kembali bertanya.Arumi hanya mengangguk saja. Tidak lagi menjawab. Mungkin kali ini dia benar-benar sedang menahan sakit.Tidak perlu waktu yang lama, mereka tiba di rumah sakit. Sebelum turun Azam meraih Jaketnya yang ada di jok belakang.Dia memakaikan jaket itu pada Arumi sebelum mengajaknya keluar dan masuk.Arumi tidak membantah, kali ini rupanya dia tahu diri. Tidak mungkin kan harus masuk dengan membawa selimut lusuhnya?***Azam cukup terkejut saat Dokter yang menangani Arumi memberi penjelasan terkait penyakit Arumi setelah selesai memeriksanya."Mbaknya ini, terkena penyakit tipes. Penyebabnya bisa jadi pola hidup yang tidak seh
Sesaat Arumi hanya mengangguk saja. Melihat Arumi mengangguk, Azam langsung memutar haluan mobilnya untuk menuju tempat yang ia sebut milik pribadinya tadi.Lumayan lama di perjalanan, mobil Azam sampai juga di tempat tujuannya. Sebuah villa kecil namun mewah dan terlihat sejuk serta asri. Terletak di pinggiran sebuah danau yang indahDia menoleh, melihat Arumi yang terlelap. Mungkin ini juga pengaruh suntikan obat dari dokter.Azam turun tanpa membangunkan Arumi. Dia membopong tubuh kecil Arumi.Dalam hati dia berkata sambil melangkah.'Kurus sekali dia ini. Seperti menggendong anak-anak saja.'Tapi baru saja langkah kaki Azam mendekati pintu, Arumi membuka matanya. Dia terkejut saat menyadari sudah ada di gendongan Azam. Dia langsung berontak dan turun dari gendongan Azam."Kenapa tidak membangunkan aku saja?""Kamu tadi tidurnya sangat terlelap. Aku jadi tidak tega.""Memang sudah sampai ya?" Mata Arumi memindai sekeliling. Meskipun kepalanya masih sangat pusing dan berat, tapi dia
"Ck, kamu ini. Memandangnya pakai perasaan dong. Pasti buburnya jadi enak.""Coba sekali lagi." Azam kembali menyuap."Masih pait Tuan., tidak manis, tidak enak ah.."Azam mendengus. "Telan telan saja lah kalau begitu. Tak perlu dikunyah. Ayo!" kembali menyuap.Akhirnya Arumi menelan beberapa bubur itu. Kemudian meminum obat."Istirahatlah, agar demammu cepat turun." Azam menarik selimut.Arumi kini tersenyum hangat, sebersit rasa syukur di hatinya, sudah ditemukan pria sebaik Azam.Kemudian Azam menyisih untuk menghubungi Rendi.Saat panggilan terangkat, Azam menceritakan apa yang terjadi kepada Rendi. Dia memang hanya berani bercerita kepada Rendi saja. Tentu saja Rendi bisa mengerti."Baiklah Azam. Paham hanya ingin memberimu pesan. Hati-hati. Anak gadis orang. Kamu Harus menjaganya. Jangan sampai membuat orang tuamu malu ya?""Siap, Paman. Azam tidak akan seperti itu."Azam menghela nafas ketika Rendi sudah mengakhiri panggilannya. Malam ini dan besok, dia tidak mungkin meninggal
"Arumi, kamu akan cantik jika bersamaku. Kamu akan kaya jika menikah denganku. Jadi apa masalahnya? Kamu tidak punya orang tua. Orang tuaku akan senang hati menganggapmu sebagai anaknya.""Tapi, aku belum siap. Aku belum mau punya pacar. Apalagi menikah.""Kalau kamu masih menolakku, aku akan mengurungmu disini. Hayo , pilih mana. Menjadi kekasihku secara baik baik atau menjadi simpanan ku di Villa ini?""Kamu Gila ya?" Arumi menghentakkan tangannya.Azam tertawa. "Aku tidak peduli. Aku mencintaimu!""Tapi aku tidak!""Terserah kamu saja. Aku tidak perlu kamu mencintaiku atau tidak!"Plup!Azam malah mencium bibir Arumi untuk beberapa saat lamanya. Gadis itu tak bisa berkutik kecuali hanya menghentakkan kakinya saja. Sampai Azam berhenti sendiri dan menempelkan kedua kening mereka, dengan kedua tangan memegang pipi Arumi. Cukup lama dengan posisi itu.Azam menarik wajahnya. Untuk menatap Arumi yang menyeka bibirnya yang basah.Wajah itu sangat tertekuk dengan bibir yang manyun. Namun
"Masalahnya teman Azam ini seorang gadis. Dan sepertinya Azam menyukai gadis itu, Mas.""Oh, aku pikir ada masalah apa. Tapi, siapa anak gadis itu? Anak mana dan anak siapa?" Tanya Mia.Rendi tidak ingin menyembunyikan sesuatu, dia menceritakan semuanya tentang Arumi dan pertemuan Azam dengan Arumi.Gara dan Mia saling menatap. "Mas, putramu." Mia menatap cemas."Tidak mengapa. Kita akan mencari tahu siapa gadis itu. Lagian anak kita memang sudah dewasa. Sewajarnya jika mulai menemukan gadis yang disukainya. Asal jangan salah memilih saja."****Sementara di Villa.Arumi terlihat menggeliat membuka mata perlahan dan berkali kali mengusap wajahnya.Dia tidak lagi melihat Azam di kamar ini. Padahal semalam Azam juga ikut tidur di kamar ini dengan dalih ingin menjaganya.Kemudian melirik kamar mandi. Seperti tidak ada orang. "Azam kemana?" Dia menjejakkan kakinya ke lantai."Apa dia sudah pergi kantor ya?" melirik jam. Memang ini sudah siang. Rupanya dia memang sangat lelap tertidur.Bar
"Kamu mau aku yang melepasnya? Baiklah." Azam segera meraih pinggang Arum"Eeh,!" Arumi menahan tangan Azam."Makanya lepas!" ucap Azam, beranjak ke arah lemari. Mengambil sebuah handuk."Pakai ini." Mengulurkan pada Arumi.Dengan ragu, gadis itu menerimanya."Cepat! Keburu dingin airnya." ucap Azam lagi.Arumi masih diam, ragu untuk membuka bajunya.Gadis itu bangun dari duduknya."Aku akan melepasnya di kamar mandi.""Ck, kamu ini, lelet." Azam kembali mendekat."Biar kubantu.""Ih, jangan!""Diamlah, jelek." Azam tak sabar akhirnya turun tangan.Dia memutar tubuh Arumi. Kemudian tanpa ragu atau sedikit pun malu, Azam mulai membuka baju Arumi dari belakang.Menyisakan Bra milik Arumi. Kemudian melilit tubuh itu dengan Handuk."Yang bawah?" tanyanya."Apa mau sekalian aku bukain?""Eh, tidak mau!" Arumi langsung mencegah."Bagian ini biar aku sendiri." jawab Arumi cepat melepas celananya."Duduklah!" perintah Azam setelah Arumi sudah selesai dan hanya berbalut handuk saja.Arumi menu
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany