"Arumi, kamu akan cantik jika bersamaku. Kamu akan kaya jika menikah denganku. Jadi apa masalahnya? Kamu tidak punya orang tua. Orang tuaku akan senang hati menganggapmu sebagai anaknya.""Tapi, aku belum siap. Aku belum mau punya pacar. Apalagi menikah.""Kalau kamu masih menolakku, aku akan mengurungmu disini. Hayo , pilih mana. Menjadi kekasihku secara baik baik atau menjadi simpanan ku di Villa ini?""Kamu Gila ya?" Arumi menghentakkan tangannya.Azam tertawa. "Aku tidak peduli. Aku mencintaimu!""Tapi aku tidak!""Terserah kamu saja. Aku tidak perlu kamu mencintaiku atau tidak!"Plup!Azam malah mencium bibir Arumi untuk beberapa saat lamanya. Gadis itu tak bisa berkutik kecuali hanya menghentakkan kakinya saja. Sampai Azam berhenti sendiri dan menempelkan kedua kening mereka, dengan kedua tangan memegang pipi Arumi. Cukup lama dengan posisi itu.Azam menarik wajahnya. Untuk menatap Arumi yang menyeka bibirnya yang basah.Wajah itu sangat tertekuk dengan bibir yang manyun. Namun
"Masalahnya teman Azam ini seorang gadis. Dan sepertinya Azam menyukai gadis itu, Mas.""Oh, aku pikir ada masalah apa. Tapi, siapa anak gadis itu? Anak mana dan anak siapa?" Tanya Mia.Rendi tidak ingin menyembunyikan sesuatu, dia menceritakan semuanya tentang Arumi dan pertemuan Azam dengan Arumi.Gara dan Mia saling menatap. "Mas, putramu." Mia menatap cemas."Tidak mengapa. Kita akan mencari tahu siapa gadis itu. Lagian anak kita memang sudah dewasa. Sewajarnya jika mulai menemukan gadis yang disukainya. Asal jangan salah memilih saja."****Sementara di Villa.Arumi terlihat menggeliat membuka mata perlahan dan berkali kali mengusap wajahnya.Dia tidak lagi melihat Azam di kamar ini. Padahal semalam Azam juga ikut tidur di kamar ini dengan dalih ingin menjaganya.Kemudian melirik kamar mandi. Seperti tidak ada orang. "Azam kemana?" Dia menjejakkan kakinya ke lantai."Apa dia sudah pergi kantor ya?" melirik jam. Memang ini sudah siang. Rupanya dia memang sangat lelap tertidur.Bar
"Kamu mau aku yang melepasnya? Baiklah." Azam segera meraih pinggang Arum"Eeh,!" Arumi menahan tangan Azam."Makanya lepas!" ucap Azam, beranjak ke arah lemari. Mengambil sebuah handuk."Pakai ini." Mengulurkan pada Arumi.Dengan ragu, gadis itu menerimanya."Cepat! Keburu dingin airnya." ucap Azam lagi.Arumi masih diam, ragu untuk membuka bajunya.Gadis itu bangun dari duduknya."Aku akan melepasnya di kamar mandi.""Ck, kamu ini, lelet." Azam kembali mendekat."Biar kubantu.""Ih, jangan!""Diamlah, jelek." Azam tak sabar akhirnya turun tangan.Dia memutar tubuh Arumi. Kemudian tanpa ragu atau sedikit pun malu, Azam mulai membuka baju Arumi dari belakang.Menyisakan Bra milik Arumi. Kemudian melilit tubuh itu dengan Handuk."Yang bawah?" tanyanya."Apa mau sekalian aku bukain?""Eh, tidak mau!" Arumi langsung mencegah."Bagian ini biar aku sendiri." jawab Arumi cepat melepas celananya."Duduklah!" perintah Azam setelah Arumi sudah selesai dan hanya berbalut handuk saja.Arumi menu
"Kamu tidak mau membantuku? Bukankah aku sudah menjadi pacarmu? Atau ucapanmu itu hanya bercanda ya?"'Astaga..! Apa yang harus kuperbuat?' Azam menelan ludah, dia bingung sendiri."Eh, i,iya." Dengan sangat ragu dia meraih kedua tangan Arumi dan kemudian terpaksa menggenggamnya dengan erat.Arumi tersenyum senang, dan itu membuat Azam hampir pingsan saja. Apalagi ketika Arumi justru malah menggeser duduknya untuk lebih mendekat lagi."Ba-bagaimana? Apa ini terasa hangat?" Tanya Azam gugup."Ya. Sedikit." jawab Arumi"Kurang hangat ya?"Arumi mengangguk. "Boleh lebih?""Hah. Maksudnya?""Begini saja." Arumi melepaskan tangannya, mengangkat satu kaki Azam dan melonjorkannya di sofa, kemudian dia memutar tubuhnya dan duduk merapat tepat di depan dada Azam."Pinjam sebentar tubuhnya." Dia meraih kedua tangan Azam dan melingkarkan ada pinggangnya."Eh, kok begini? Kamu mau apa?" seketika Azam menahan tangannya."Mau dipeluk. Kata orang pelukan bisa mengurangi dingin."'Astaga!' Tubuh Azam
Hari ini di rumah Rani terlihat ramai orang. Ada kedua orang tua Andi dan juga beberapa pria serta tetangga kanan kiri. Diantaranya ada Nita dan juga Heru di sana.Tiga buah mobil travel juga terparkir di pinggir jalan di depan rumah Rani.Rupanya hari ini Andi akan pergi merantau ke Kalimantan, setelah hampir satu bulan menunggu panggilan keberangkatan.Senyum kebanggaan berkembang di bibir Rani, sementara raut sedih ada pada wajah Andi. Tentu saja dia sedih karena harus pergi meninggalkan istri dan anaknya. Jauh dan selama dua tahunan masa kontrakannya disana. Dia Pasti akan rindu dengan suasana kampung halaman ini."Heru nggak ikut juga, biar tambah sukses?" Bu Fat bertanya pada Heru."Nggak lah Bu, lain kali saja." Jawab Heru."Halah. Kesempatan itu nggak datang dua kali, Her. Mumpung ada lowongan. Tahun besok udah gak Nerima lagi lho!" Sahut Bu Fat."Kasihan sama Nita Aku Bu. Dia kan bukan asli warga sini. Nggak ada saudara disini. Kalau aku tinggal ya dia sendirian." Heru kembal
"Ayat Seribu Dinar. Baca tiga kali tiap-tiap selesai sholat wajib. Allah akan mendatangkan rezeki dari jalan yang tidak akan kita sangka sangka. Tapi ya jangan cuma berdoa dan baca ayat Seribu Dinar saja, selingi usaha juga ketulusan dan keikhlasan. Allah Maha Tahu kok."Adi tersipu. Selama ini dia sibuk kerja dan kerja saja. Mengejar duit agar istri dan anak-anaknya tidak kekurangan. Dia lupa berdoa. Dia lupa meminta pada yang seharusnya dia Mintain. Bersama Heru, Adi merasa nyaman. Heru selalu mau mengingatkan dia tentang kebaikan."Sama kalau dapat rezeki jangan lupa sedekah. Sedekah itu bagus. Di samping sedekah itu bisa melanggengkan rezeki kita, juga sedekah itu bisa untuk tolak bala.""Ho, contohnya?" Adi penasaran dengan ceramah Heru sore ini. Dia terus bertanya apa yang dia belum paham. Maklumlah, Adi ini minim pendidikan agama. Tahunya dari kecil hanya dituntut untuk kerja dan kerja sampai lupa belajar, Ngaji maupun sekolah. Apalagi belajar agama!"Jadi rezeki itu gak harus
"Azam kan belum tahu kalau kita pulang hari ini. Dia tahunya masih besok. Begini saja, kalau besok pagi dia belum pulang, kita akan mencarinya. Kamu jangan terlalu cemas, Azam tidak akan melampaui batasan. Dia putra kita. Kita paham bagaimana dia, kan?"Mia hanya bisa mengangguk. Sebenarnya dia bukan khawatir pada Azam, tapi lebih khawatir pada anak gadis orang. Namanya zaman sekarang, zaman anak-anak mudanya berbeda dengan zaman anak muda dahulu. Tidak menepisnya kemungkinan jika putranya juga bisa tergoda. Kalau dia melakukan sesuatu pada anak gadis orang di luar batas bagaimana?Tentu saja sebagai seorang ibu, Mia tetap khawatir.***Sementara itu di Villa,Ini tengah malam.Azam terbangun dari atas sofa yang direbahinya. Semalam, dia sengaja tidur di situ karena tidak mungkin dia ikut tidur di atas ranjang. Sudah pasti Arumi bakal mencak mencak. Untuk mencari aman Azam memang memutuskan untuk tidur di sofa saja.Pria itu terlihat mengucek matanya, kemudian bangun dan melangkah ke
"Aku, aku. Tadi aku dari kamar mandi. Aku tidak sengaja melihat kancing bajumu terlepas. Niatku hanya ingin membetulkannya saja." ucap Azam, sembari bangun memegangi pinggangnya yang cukup ngilu karena benturan lantai."Maafkan aku, sungguh maafkan aku. Aku.. aku.." Azam sudah kalang kabut.Arumi tidak bersuara, dia cepat beranjak."Kamu mau kemana?" Azam segera mencegah."Kamar mandi. Aku kebelet pipis.""Jangan! Ah, maksudku.. Kamu akan dingin lagi. Sebaiknya , sebaiknya tidurlah kembali." cegah Azam, cukup gugup."Aneh. Aku kan kebelet. Kok tidak boleh? Kalau ngompol nanti bagaimana?" Arumi tidak peduli, cepat melangkah ke kamar mandi.'Arg... Hancur sudah aku kali ini. Bodoh, Bodoh! Kenapa aku bisa murahan seperti ini sih?' Azam sungguh gelisah. Berjalan mondar mandir di depan pintu kamar mandi."Apa aku kabur saja ya? Ah, pengecut sekali aku. Atau aku pura pura pingsan saja?""ASTAGA! Seumur hidup baru kali ini aku ketakutan!!" Azam sungguh risau, dan penuh penyesalan.Sementara