"Azam kan belum tahu kalau kita pulang hari ini. Dia tahunya masih besok. Begini saja, kalau besok pagi dia belum pulang, kita akan mencarinya. Kamu jangan terlalu cemas, Azam tidak akan melampaui batasan. Dia putra kita. Kita paham bagaimana dia, kan?"Mia hanya bisa mengangguk. Sebenarnya dia bukan khawatir pada Azam, tapi lebih khawatir pada anak gadis orang. Namanya zaman sekarang, zaman anak-anak mudanya berbeda dengan zaman anak muda dahulu. Tidak menepisnya kemungkinan jika putranya juga bisa tergoda. Kalau dia melakukan sesuatu pada anak gadis orang di luar batas bagaimana?Tentu saja sebagai seorang ibu, Mia tetap khawatir.***Sementara itu di Villa,Ini tengah malam.Azam terbangun dari atas sofa yang direbahinya. Semalam, dia sengaja tidur di situ karena tidak mungkin dia ikut tidur di atas ranjang. Sudah pasti Arumi bakal mencak mencak. Untuk mencari aman Azam memang memutuskan untuk tidur di sofa saja.Pria itu terlihat mengucek matanya, kemudian bangun dan melangkah ke
"Aku, aku. Tadi aku dari kamar mandi. Aku tidak sengaja melihat kancing bajumu terlepas. Niatku hanya ingin membetulkannya saja." ucap Azam, sembari bangun memegangi pinggangnya yang cukup ngilu karena benturan lantai."Maafkan aku, sungguh maafkan aku. Aku.. aku.." Azam sudah kalang kabut.Arumi tidak bersuara, dia cepat beranjak."Kamu mau kemana?" Azam segera mencegah."Kamar mandi. Aku kebelet pipis.""Jangan! Ah, maksudku.. Kamu akan dingin lagi. Sebaiknya , sebaiknya tidurlah kembali." cegah Azam, cukup gugup."Aneh. Aku kan kebelet. Kok tidak boleh? Kalau ngompol nanti bagaimana?" Arumi tidak peduli, cepat melangkah ke kamar mandi.'Arg... Hancur sudah aku kali ini. Bodoh, Bodoh! Kenapa aku bisa murahan seperti ini sih?' Azam sungguh gelisah. Berjalan mondar mandir di depan pintu kamar mandi."Apa aku kabur saja ya? Ah, pengecut sekali aku. Atau aku pura pura pingsan saja?""ASTAGA! Seumur hidup baru kali ini aku ketakutan!!" Azam sungguh risau, dan penuh penyesalan.Sementara
"Itu tidak mungkin, Tuan Muda Azam yang terhormat! Kamu sudah menganggapku seperti gadis murahan! Aku kecewa!" Arumi memutar tubuhnya."Arumi, aku mohon. Aku salah. Tolong maafkan aku!" Kini Azam berlutut, memegang kedua kaki Arumi."Ku mohon jangan begini. Maafkan aku. Aku tidak akan mengulangi sampai kita menikah. Kamu harus memaafkan aku." Azam kini terisak.Seumur hidupnya, dia belum pernah mengeluarkan air mata selain ini. Dan detik ini dia sungguh membanting harga dirinya serendah rendahnya di kaki Arumi hanya untuk mengharap maaf dari gadis itu.Arumi hanya melirik sedikit. Kemudian menghempaskan tubuh Azam begitu saja dan melangkah."Arumi! Kamu tidak boleh pergi!" Azam kini beringsut di lantai."Kamu yang memaksaku untuk pergi!" Arumi berbalik dan sudah menarik gagang pintu."Arumi!!" Azam berteriak kencang."Sekali saja kamu melangkah keluar! Lihat saja!" Azam menyambar kursi ukiran yang terbuat dari kayu yang ada di depan meja Rias.Itu membuat Arumi terkejut sekali."Apa ya
"Hah!" Dia terperangah, sekaligus merasa malu."Dasar tidak tahu diri! Aku sudah khawatir, rupanya dia ngorok disini!" Arumi sangat kesal, melihat Azam terlentang di atas Sofa di ruangan depan.Dia mengepalkan tangannya, namun cepat memutar langkahnya untuk kembali ke Kamar dan duduk membanting pantatnya di kasur."Aku tidak boleh terlalu peduli padanya. Aku kan masih marah! Kalau dia tau aku khawatir seperti tadi, bisa bisa dia besar kepala." gumam gadis itu."Azam itu tidak beradab. Aku membencinya!" umpatnya. Lama dia termangu memikirkan Azam.Memang tampan dan tajir sih? Tapi kan kelakuannya kurang ajar. Bagaimana bisa dia punya calon suami seperti itu?Kemudian dia memutuskan untuk ke kamar mandi.Dan pagi ini Arumi mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin. Melepaskan segala penatnya semalam dan membersihkan diri sebersih mungkin karena memang sudah beberapa hari ini tidak bisa mandi.Sesekali dia masih melirik jejak Azam yang menempel di dadanya."Pria laknat. Jika bukan kar
"Sudah pulang sejak kemarin. Kamu saja yang tidak bisa dihubungi." Mia sedikit ketus pada putranya. Tapi dia segera menoleh pada gadis yang menunduk di hadapannya itu."Oh, rupanya gadis ini yang membuatmu tidak pulang semalam?" Mia bertanya demikian, membuat Arumi semakin berdebar saja."Ma, dia..""Ajak dia masuk!" Mia semakin ketus pada Azam.Tapi dia menatap hangat pada Arumi dan tersenyum lembut. Dia tahu jika gadis ini sepertinya sangat sungkan dan tidak bersedia untuk diajak masuk oleh Azam."Nak, masuklah. Ayo." Mia yang mengajak Arumi dengan ramah."Tapi Tante, aku," Arumi ragu-ragu untuk menjawab, dia kembali menunduk."Tidak apa-apa. Ayolah masuk. Kita bisa berkenalan dan bicara di dalam. Papanya Azam tidak ada. Hanya ada tante. Ayo."Pada akhirnya, mau tidak mau Arumi mengikuti langkah Mia, dia sempat melirik Azam yang masih diam berdiri di tempat."Hus, hus.. Sana, sana!" Azam malah menggoyangkan tangannya mirip seperti orang yang sedang mengusir ayam."Azam! Apa-apaan si
Arumi cepat menggeleng. "Tante, sungguh aku tidak pantas mendapat penghormatan ini. Azam tidak akan cocok bila beristri aku. Aku ini bukan hanya gadis miskin', tapi aku tidak punya orang tua. Aku hanya akan membuat malu kalian. Sungguh Tante, tidak mengapa. Aku sudah memaafkan Azam. Tidak Tante, Azam juga belum berbuat lebih.""Tidak bisa seperti itu! Namanya sudah menyentuh anak gadis orang, ya tetap harus bertanggung jawab. Jadi kamu tidak bisa menolak.”'Ya Tuhan! Kenapa sama aja! Ibu dan anak sama sama suka memaksa!""Hem.. baiklah. Tante akan memanggil Azam dulu. Juga akan menyuruh pelayan menyiapkan kamar untukmu. Hari ini , istirahatlah dulu disini. Nanti Sore, Azam akan mengantarmu pulang. Tante juga perlu bicara pada papanya Azam dulu."Tubuh Arumi seketika melemas. Tanpa menunggu persetujuan dari gadis itu, Mia sudah pergi saja.Tidak lama dari itu, Azam muncul. Rupanya dia sudah selesai mandi dan berganti.Arumi memasang wajah cemberut. Azam tidak peduli, tidak merasa bersa
Heru tersenyum ramah pada para ibu ibu. Dengan sangat kaku karena belum terbiasa, dia melayani para pembeli yang juga mulai ada yang datang lagi."Rokok Surya, mas Heru. Ada?" Pinta seorang pria."Ada.""Berapa?""32 ribu deh kayaknya.""Oke. Satu sama korek ya?" Pria itu mengulurkan uang 100 ribu.Heru agak kebingungan untuk memberi kembalian. Untung Nita segera datang. Heru mengambil alih Gemilang, membiarkan Nita yang melayani mereka.Tapi dia tidak pergi. Melihat dengan teliti cara istrinya melayani pembeli."Udah mas? Terimakasih ya? Besok mampir lagi ya? Bensin, pulsa juga ada." Ucap Nita dengan ramah dan senyuman hangat."Token listrik juga ada ya Mbak Nita?" Ibu ibu tadi yang belum selesai belanja."Ada. Voucher juga ada. Galon isi ulang sama sayuran yang belum ada, Bu Ibu. Besok baru mas Heru urus itu. Biar ada semua kebutuhan kita.""Wah.. keren deh mbak Nita. Tokonya langsung lengkap.""Iya Bu. Insyaallah. Ini apa lagi?""Ini, itu. Itu juga."Mereka menunjuk ini itu, ada be
"Hihi, ini kan rumahmu. Jadi terserah kamu saja. Asal jangan macam-macam, atau kulaporkan pada Mamamu!" Ancam Arumi lalu menutup pintu.Azam hanya terpaku menatap pintu itu."Sebenarnya, diizinkan menginap disini tidak sih?" Dia menggaruk kepala."Inikan rumahku juga. Benar kata si Jelek. Terserah aku!" Azam melangkah kembali. Bukan untuk pulang ke rumahnya, melainkan ke kamar lain.Dia merebahkan diri di sofa sambil kedua tangan bertumpu di bawah kepalanya."Kenapa gadis itu hatinya sangat keras ya?" rupanya Azam sedang memikirkan Arumi."Bagaimana caranya menaklukkan hati si Jelek sih? Masa iya aku harus memaksanya untuk menikah denganku. Kan gak asyik nantinya." terdengar dia membuang nafas dengan kasar, kemudian bangkit.Azam memasuki kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Sesekali pria itu menatap wajahnya sendiri di cermin."Sebenarnya aku tampan. Tapi kenapa Arumi terus menolakku?"Azam memutar tubuhnya untuk meneliti."Postur sudah lumayan." Dia bergumam."Apa kare