"Hah!" Dia terperangah, sekaligus merasa malu."Dasar tidak tahu diri! Aku sudah khawatir, rupanya dia ngorok disini!" Arumi sangat kesal, melihat Azam terlentang di atas Sofa di ruangan depan.Dia mengepalkan tangannya, namun cepat memutar langkahnya untuk kembali ke Kamar dan duduk membanting pantatnya di kasur."Aku tidak boleh terlalu peduli padanya. Aku kan masih marah! Kalau dia tau aku khawatir seperti tadi, bisa bisa dia besar kepala." gumam gadis itu."Azam itu tidak beradab. Aku membencinya!" umpatnya. Lama dia termangu memikirkan Azam.Memang tampan dan tajir sih? Tapi kan kelakuannya kurang ajar. Bagaimana bisa dia punya calon suami seperti itu?Kemudian dia memutuskan untuk ke kamar mandi.Dan pagi ini Arumi mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin. Melepaskan segala penatnya semalam dan membersihkan diri sebersih mungkin karena memang sudah beberapa hari ini tidak bisa mandi.Sesekali dia masih melirik jejak Azam yang menempel di dadanya."Pria laknat. Jika bukan kar
"Sudah pulang sejak kemarin. Kamu saja yang tidak bisa dihubungi." Mia sedikit ketus pada putranya. Tapi dia segera menoleh pada gadis yang menunduk di hadapannya itu."Oh, rupanya gadis ini yang membuatmu tidak pulang semalam?" Mia bertanya demikian, membuat Arumi semakin berdebar saja."Ma, dia..""Ajak dia masuk!" Mia semakin ketus pada Azam.Tapi dia menatap hangat pada Arumi dan tersenyum lembut. Dia tahu jika gadis ini sepertinya sangat sungkan dan tidak bersedia untuk diajak masuk oleh Azam."Nak, masuklah. Ayo." Mia yang mengajak Arumi dengan ramah."Tapi Tante, aku," Arumi ragu-ragu untuk menjawab, dia kembali menunduk."Tidak apa-apa. Ayolah masuk. Kita bisa berkenalan dan bicara di dalam. Papanya Azam tidak ada. Hanya ada tante. Ayo."Pada akhirnya, mau tidak mau Arumi mengikuti langkah Mia, dia sempat melirik Azam yang masih diam berdiri di tempat."Hus, hus.. Sana, sana!" Azam malah menggoyangkan tangannya mirip seperti orang yang sedang mengusir ayam."Azam! Apa-apaan si
Arumi cepat menggeleng. "Tante, sungguh aku tidak pantas mendapat penghormatan ini. Azam tidak akan cocok bila beristri aku. Aku ini bukan hanya gadis miskin', tapi aku tidak punya orang tua. Aku hanya akan membuat malu kalian. Sungguh Tante, tidak mengapa. Aku sudah memaafkan Azam. Tidak Tante, Azam juga belum berbuat lebih.""Tidak bisa seperti itu! Namanya sudah menyentuh anak gadis orang, ya tetap harus bertanggung jawab. Jadi kamu tidak bisa menolak.”'Ya Tuhan! Kenapa sama aja! Ibu dan anak sama sama suka memaksa!""Hem.. baiklah. Tante akan memanggil Azam dulu. Juga akan menyuruh pelayan menyiapkan kamar untukmu. Hari ini , istirahatlah dulu disini. Nanti Sore, Azam akan mengantarmu pulang. Tante juga perlu bicara pada papanya Azam dulu."Tubuh Arumi seketika melemas. Tanpa menunggu persetujuan dari gadis itu, Mia sudah pergi saja.Tidak lama dari itu, Azam muncul. Rupanya dia sudah selesai mandi dan berganti.Arumi memasang wajah cemberut. Azam tidak peduli, tidak merasa bersa
Heru tersenyum ramah pada para ibu ibu. Dengan sangat kaku karena belum terbiasa, dia melayani para pembeli yang juga mulai ada yang datang lagi."Rokok Surya, mas Heru. Ada?" Pinta seorang pria."Ada.""Berapa?""32 ribu deh kayaknya.""Oke. Satu sama korek ya?" Pria itu mengulurkan uang 100 ribu.Heru agak kebingungan untuk memberi kembalian. Untung Nita segera datang. Heru mengambil alih Gemilang, membiarkan Nita yang melayani mereka.Tapi dia tidak pergi. Melihat dengan teliti cara istrinya melayani pembeli."Udah mas? Terimakasih ya? Besok mampir lagi ya? Bensin, pulsa juga ada." Ucap Nita dengan ramah dan senyuman hangat."Token listrik juga ada ya Mbak Nita?" Ibu ibu tadi yang belum selesai belanja."Ada. Voucher juga ada. Galon isi ulang sama sayuran yang belum ada, Bu Ibu. Besok baru mas Heru urus itu. Biar ada semua kebutuhan kita.""Wah.. keren deh mbak Nita. Tokonya langsung lengkap.""Iya Bu. Insyaallah. Ini apa lagi?""Ini, itu. Itu juga."Mereka menunjuk ini itu, ada be
"Hihi, ini kan rumahmu. Jadi terserah kamu saja. Asal jangan macam-macam, atau kulaporkan pada Mamamu!" Ancam Arumi lalu menutup pintu.Azam hanya terpaku menatap pintu itu."Sebenarnya, diizinkan menginap disini tidak sih?" Dia menggaruk kepala."Inikan rumahku juga. Benar kata si Jelek. Terserah aku!" Azam melangkah kembali. Bukan untuk pulang ke rumahnya, melainkan ke kamar lain.Dia merebahkan diri di sofa sambil kedua tangan bertumpu di bawah kepalanya."Kenapa gadis itu hatinya sangat keras ya?" rupanya Azam sedang memikirkan Arumi."Bagaimana caranya menaklukkan hati si Jelek sih? Masa iya aku harus memaksanya untuk menikah denganku. Kan gak asyik nantinya." terdengar dia membuang nafas dengan kasar, kemudian bangkit.Azam memasuki kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Sesekali pria itu menatap wajahnya sendiri di cermin."Sebenarnya aku tampan. Tapi kenapa Arumi terus menolakku?"Azam memutar tubuhnya untuk meneliti."Postur sudah lumayan." Dia bergumam."Apa kare
"Tuan Al', selamat datang." Sapa Azam penuh hormat pada salah satu pengusaha muda dari keluarga Brahmana."Ah iya, Tuan muda Azam. Senang bisa bekerja sama dengan anda." Jawab Pengusaha muda yang bernama Al' itu, segera duduk saat Azam mempersilahkan."Selamat bekerja sama dengan perusahaan kami. Semoga anda bisa menjadi mitra kerja kami yang baik.""Aku akan berusaha sebaik mungkin Tuan. Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakan kalian.""Baiklah. Kalau begitu, selamat bergabung dan maaf, Papaku tidak bisa menemuimu." ucap Azam."Ah iya. Tidak apa-apa. Aku mengerti, anda adalah calon penerus Tuan Gara. Jadi tidak masalah. Diterima bekerja sama dengan kalian saja, aku sudah sangat bersyukur. Karena gosip yang ku dengar, perusahaan kalian ini paling memilih rekan bisnis." jawab Al'."Kamu benar. Ayahku memang tidak sembarang menerima orang. Sebelum anda kembali ke negeri ini, ayah dan paman Riko sudah banyak tahu tentang perusahaan anda. Ah, maksudnya dari paman angkat anda lebih tepa
Mata Azam seketika terbelalak, dia menoleh pada Al'.Pria itu pun mendekat, ikut mengintip dengan seksama."Adikku. Dia adikku!" jerit Al' histeris, ketika melihat tanda hitam yang sangat jelas di bahu Arumi. Dia langsung merengkuh tubuh Arumi.Namun Arumi mendorong Al'. " Eh, belum tentu ya, Tuan!""Sayang.. Kamu adikku. Kamu adik Bang Al'. Saudaraku satu-satunya." Ucap Al."Banyak yang punya tanda lahir seperti ini. Aku bukan adikmu." Arumi beringsut ke belakang tubuh Azam. Berlindung dari Pria yang terus ingin memeluknya itu."Arumi! Aku yakin kamu adikku. Kami sudah mencarimu sekian lama.""Tuan Al'. Mohon tenanglah. Kamu tidak bisa memaksanya. Bukan ataupun benar dia adikmu, dia tidak tahu apa yang terjadi." cegah Azam, membuat Al' berhenti. Menghela nafas berat. Kemudian mengangguk."Baiklah. Satu-satunya solusi yang tepat adalah Tes DNA. Kami harus melakukan tes DNA untuk memastikannya." ucap Al'."Aku tidak mau!" sahut Arumi."Eh, iya benar, Arumi. Benar kata Tuan Al' ini. Se
Di Kampung, Tetangga sebelah Nita.Rudi terlihat resah saat membuka tudung saji. Hari ini istrinya tidak dapat menyiapkan apa-apa untuk makan mereka. Dua anaknya tadi juga berangkat sekolah tanpa uang jajan dan tanpa sarapan.Bukan dia tidak berusaha. Tapi tahun ini di desa ini memang masih sulit. Kecuali orang-orang yang mempunyai kebun atau pekerjaan tetap di kebun orang lain.Mayoritas warga disini banyak yang mengandalkan bekerja di Pertambangan timah Ilegal. Timah merupakan bahan baku dari perunggu. Timah merupakan unsur yang relatif langka yang terkandung dalam kerak bumi, dengan kadar sekitar 2 ppm, jauh di bawah besi yang mencapai 50 ribu ppm.Ada yang khusus bekerja, ada juga yang hanya mengerimbang.(Ngerimbang timah, sebutan untuk mereka yang mencari timah yang terjatuh di bawah mesin para pekerja.)Karena kebanyakan ini adalah aktivitas ilegal, jadi rawan razia. Seperti saat ini contohnya, terjadi razia besar-besaran mengakibatkan banyak warga yang tertutup jalan mata penc
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany