Hari ini di rumah Rani terlihat ramai orang. Ada kedua orang tua Andi dan juga beberapa pria serta tetangga kanan kiri. Diantaranya ada Nita dan juga Heru di sana.Tiga buah mobil travel juga terparkir di pinggir jalan di depan rumah Rani.Rupanya hari ini Andi akan pergi merantau ke Kalimantan, setelah hampir satu bulan menunggu panggilan keberangkatan.Senyum kebanggaan berkembang di bibir Rani, sementara raut sedih ada pada wajah Andi. Tentu saja dia sedih karena harus pergi meninggalkan istri dan anaknya. Jauh dan selama dua tahunan masa kontrakannya disana. Dia Pasti akan rindu dengan suasana kampung halaman ini."Heru nggak ikut juga, biar tambah sukses?" Bu Fat bertanya pada Heru."Nggak lah Bu, lain kali saja." Jawab Heru."Halah. Kesempatan itu nggak datang dua kali, Her. Mumpung ada lowongan. Tahun besok udah gak Nerima lagi lho!" Sahut Bu Fat."Kasihan sama Nita Aku Bu. Dia kan bukan asli warga sini. Nggak ada saudara disini. Kalau aku tinggal ya dia sendirian." Heru kembal
"Ayat Seribu Dinar. Baca tiga kali tiap-tiap selesai sholat wajib. Allah akan mendatangkan rezeki dari jalan yang tidak akan kita sangka sangka. Tapi ya jangan cuma berdoa dan baca ayat Seribu Dinar saja, selingi usaha juga ketulusan dan keikhlasan. Allah Maha Tahu kok."Adi tersipu. Selama ini dia sibuk kerja dan kerja saja. Mengejar duit agar istri dan anak-anaknya tidak kekurangan. Dia lupa berdoa. Dia lupa meminta pada yang seharusnya dia Mintain. Bersama Heru, Adi merasa nyaman. Heru selalu mau mengingatkan dia tentang kebaikan."Sama kalau dapat rezeki jangan lupa sedekah. Sedekah itu bagus. Di samping sedekah itu bisa melanggengkan rezeki kita, juga sedekah itu bisa untuk tolak bala.""Ho, contohnya?" Adi penasaran dengan ceramah Heru sore ini. Dia terus bertanya apa yang dia belum paham. Maklumlah, Adi ini minim pendidikan agama. Tahunya dari kecil hanya dituntut untuk kerja dan kerja sampai lupa belajar, Ngaji maupun sekolah. Apalagi belajar agama!"Jadi rezeki itu gak harus
"Azam kan belum tahu kalau kita pulang hari ini. Dia tahunya masih besok. Begini saja, kalau besok pagi dia belum pulang, kita akan mencarinya. Kamu jangan terlalu cemas, Azam tidak akan melampaui batasan. Dia putra kita. Kita paham bagaimana dia, kan?"Mia hanya bisa mengangguk. Sebenarnya dia bukan khawatir pada Azam, tapi lebih khawatir pada anak gadis orang. Namanya zaman sekarang, zaman anak-anak mudanya berbeda dengan zaman anak muda dahulu. Tidak menepisnya kemungkinan jika putranya juga bisa tergoda. Kalau dia melakukan sesuatu pada anak gadis orang di luar batas bagaimana?Tentu saja sebagai seorang ibu, Mia tetap khawatir.***Sementara itu di Villa,Ini tengah malam.Azam terbangun dari atas sofa yang direbahinya. Semalam, dia sengaja tidur di situ karena tidak mungkin dia ikut tidur di atas ranjang. Sudah pasti Arumi bakal mencak mencak. Untuk mencari aman Azam memang memutuskan untuk tidur di sofa saja.Pria itu terlihat mengucek matanya, kemudian bangun dan melangkah ke
"Aku, aku. Tadi aku dari kamar mandi. Aku tidak sengaja melihat kancing bajumu terlepas. Niatku hanya ingin membetulkannya saja." ucap Azam, sembari bangun memegangi pinggangnya yang cukup ngilu karena benturan lantai."Maafkan aku, sungguh maafkan aku. Aku.. aku.." Azam sudah kalang kabut.Arumi tidak bersuara, dia cepat beranjak."Kamu mau kemana?" Azam segera mencegah."Kamar mandi. Aku kebelet pipis.""Jangan! Ah, maksudku.. Kamu akan dingin lagi. Sebaiknya , sebaiknya tidurlah kembali." cegah Azam, cukup gugup."Aneh. Aku kan kebelet. Kok tidak boleh? Kalau ngompol nanti bagaimana?" Arumi tidak peduli, cepat melangkah ke kamar mandi.'Arg... Hancur sudah aku kali ini. Bodoh, Bodoh! Kenapa aku bisa murahan seperti ini sih?' Azam sungguh gelisah. Berjalan mondar mandir di depan pintu kamar mandi."Apa aku kabur saja ya? Ah, pengecut sekali aku. Atau aku pura pura pingsan saja?""ASTAGA! Seumur hidup baru kali ini aku ketakutan!!" Azam sungguh risau, dan penuh penyesalan.Sementara
"Itu tidak mungkin, Tuan Muda Azam yang terhormat! Kamu sudah menganggapku seperti gadis murahan! Aku kecewa!" Arumi memutar tubuhnya."Arumi, aku mohon. Aku salah. Tolong maafkan aku!" Kini Azam berlutut, memegang kedua kaki Arumi."Ku mohon jangan begini. Maafkan aku. Aku tidak akan mengulangi sampai kita menikah. Kamu harus memaafkan aku." Azam kini terisak.Seumur hidupnya, dia belum pernah mengeluarkan air mata selain ini. Dan detik ini dia sungguh membanting harga dirinya serendah rendahnya di kaki Arumi hanya untuk mengharap maaf dari gadis itu.Arumi hanya melirik sedikit. Kemudian menghempaskan tubuh Azam begitu saja dan melangkah."Arumi! Kamu tidak boleh pergi!" Azam kini beringsut di lantai."Kamu yang memaksaku untuk pergi!" Arumi berbalik dan sudah menarik gagang pintu."Arumi!!" Azam berteriak kencang."Sekali saja kamu melangkah keluar! Lihat saja!" Azam menyambar kursi ukiran yang terbuat dari kayu yang ada di depan meja Rias.Itu membuat Arumi terkejut sekali."Apa ya
"Hah!" Dia terperangah, sekaligus merasa malu."Dasar tidak tahu diri! Aku sudah khawatir, rupanya dia ngorok disini!" Arumi sangat kesal, melihat Azam terlentang di atas Sofa di ruangan depan.Dia mengepalkan tangannya, namun cepat memutar langkahnya untuk kembali ke Kamar dan duduk membanting pantatnya di kasur."Aku tidak boleh terlalu peduli padanya. Aku kan masih marah! Kalau dia tau aku khawatir seperti tadi, bisa bisa dia besar kepala." gumam gadis itu."Azam itu tidak beradab. Aku membencinya!" umpatnya. Lama dia termangu memikirkan Azam.Memang tampan dan tajir sih? Tapi kan kelakuannya kurang ajar. Bagaimana bisa dia punya calon suami seperti itu?Kemudian dia memutuskan untuk ke kamar mandi.Dan pagi ini Arumi mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin. Melepaskan segala penatnya semalam dan membersihkan diri sebersih mungkin karena memang sudah beberapa hari ini tidak bisa mandi.Sesekali dia masih melirik jejak Azam yang menempel di dadanya."Pria laknat. Jika bukan kar
"Sudah pulang sejak kemarin. Kamu saja yang tidak bisa dihubungi." Mia sedikit ketus pada putranya. Tapi dia segera menoleh pada gadis yang menunduk di hadapannya itu."Oh, rupanya gadis ini yang membuatmu tidak pulang semalam?" Mia bertanya demikian, membuat Arumi semakin berdebar saja."Ma, dia..""Ajak dia masuk!" Mia semakin ketus pada Azam.Tapi dia menatap hangat pada Arumi dan tersenyum lembut. Dia tahu jika gadis ini sepertinya sangat sungkan dan tidak bersedia untuk diajak masuk oleh Azam."Nak, masuklah. Ayo." Mia yang mengajak Arumi dengan ramah."Tapi Tante, aku," Arumi ragu-ragu untuk menjawab, dia kembali menunduk."Tidak apa-apa. Ayolah masuk. Kita bisa berkenalan dan bicara di dalam. Papanya Azam tidak ada. Hanya ada tante. Ayo."Pada akhirnya, mau tidak mau Arumi mengikuti langkah Mia, dia sempat melirik Azam yang masih diam berdiri di tempat."Hus, hus.. Sana, sana!" Azam malah menggoyangkan tangannya mirip seperti orang yang sedang mengusir ayam."Azam! Apa-apaan si
Arumi cepat menggeleng. "Tante, sungguh aku tidak pantas mendapat penghormatan ini. Azam tidak akan cocok bila beristri aku. Aku ini bukan hanya gadis miskin', tapi aku tidak punya orang tua. Aku hanya akan membuat malu kalian. Sungguh Tante, tidak mengapa. Aku sudah memaafkan Azam. Tidak Tante, Azam juga belum berbuat lebih.""Tidak bisa seperti itu! Namanya sudah menyentuh anak gadis orang, ya tetap harus bertanggung jawab. Jadi kamu tidak bisa menolak.”'Ya Tuhan! Kenapa sama aja! Ibu dan anak sama sama suka memaksa!""Hem.. baiklah. Tante akan memanggil Azam dulu. Juga akan menyuruh pelayan menyiapkan kamar untukmu. Hari ini , istirahatlah dulu disini. Nanti Sore, Azam akan mengantarmu pulang. Tante juga perlu bicara pada papanya Azam dulu."Tubuh Arumi seketika melemas. Tanpa menunggu persetujuan dari gadis itu, Mia sudah pergi saja.Tidak lama dari itu, Azam muncul. Rupanya dia sudah selesai mandi dan berganti.Arumi memasang wajah cemberut. Azam tidak peduli, tidak merasa bersa