"Itu Tuan, Arumi, tadi pagi saat saya samperin ke Kostnya, dia masih tidur Tuan. Saya sudah membangunkannya. Tapi dia tidak mau bangun." jawab Siska masih menunduk."Dasar pemalas!" umpat Azam, sembari pergi begitu saja.Entah kenapa Azam sangat kesal saat tau jika si kribo itu masih tidur di kostnya.Pikirannya cuma satu, melabraknya untuk memarahinya habis habisan.Azam cepat ke mobilnya dan segera melaju."Kenapa dia jadi pemalas ya? Padahal biasanya dia itu sangat aktif. " Azam berbicara sendiri lagi."Harusnya dia itu bersyukur diberi pekerjaan enak seperti saat ini. Eh, malah seenak jidatnya saja. Awas saja ya, aku akan menyentilmu.""Apanya yang enak disentil kira kira ya? Haha.. Aku akan menyentil bibirnya saja. Itu pasti menyenangkan." Azam terkekeh, menertawakan kegenitannya sendiri."Kenapa bibirmu jadi membuatku kangen sih, Jelek?"Tak perlu waktu lama, azam sudah berhenti saja di depan kost milik Arumi. Cepat turun dan berjalan ke arah kamar Arumi.Dia mengetuk pintu, beb
Azam sesering mungkin menoleh pada gadis itu karena terus mendengar rintihan dari Arumi. Dia meringkuk di jok dengan melilit selimut di tubuhnya."Selain dingin, apa lagi yang dirasa?" Azam bertanya."Kepalaku rasanya mau pecah. Seluruh tulangku rasanya mau copot." Jawab Arumi, dia tidak menoleh sama sekali."Apa kamu sering sakit seperti ini?" Azam kembali bertanya.Arumi hanya mengangguk saja. Tidak lagi menjawab. Mungkin kali ini dia benar-benar sedang menahan sakit.Tidak perlu waktu yang lama, mereka tiba di rumah sakit. Sebelum turun Azam meraih Jaketnya yang ada di jok belakang.Dia memakaikan jaket itu pada Arumi sebelum mengajaknya keluar dan masuk.Arumi tidak membantah, kali ini rupanya dia tahu diri. Tidak mungkin kan harus masuk dengan membawa selimut lusuhnya?***Azam cukup terkejut saat Dokter yang menangani Arumi memberi penjelasan terkait penyakit Arumi setelah selesai memeriksanya."Mbaknya ini, terkena penyakit tipes. Penyebabnya bisa jadi pola hidup yang tidak seh
Sesaat Arumi hanya mengangguk saja. Melihat Arumi mengangguk, Azam langsung memutar haluan mobilnya untuk menuju tempat yang ia sebut milik pribadinya tadi.Lumayan lama di perjalanan, mobil Azam sampai juga di tempat tujuannya. Sebuah villa kecil namun mewah dan terlihat sejuk serta asri. Terletak di pinggiran sebuah danau yang indahDia menoleh, melihat Arumi yang terlelap. Mungkin ini juga pengaruh suntikan obat dari dokter.Azam turun tanpa membangunkan Arumi. Dia membopong tubuh kecil Arumi.Dalam hati dia berkata sambil melangkah.'Kurus sekali dia ini. Seperti menggendong anak-anak saja.'Tapi baru saja langkah kaki Azam mendekati pintu, Arumi membuka matanya. Dia terkejut saat menyadari sudah ada di gendongan Azam. Dia langsung berontak dan turun dari gendongan Azam."Kenapa tidak membangunkan aku saja?""Kamu tadi tidurnya sangat terlelap. Aku jadi tidak tega.""Memang sudah sampai ya?" Mata Arumi memindai sekeliling. Meskipun kepalanya masih sangat pusing dan berat, tapi dia
"Ck, kamu ini. Memandangnya pakai perasaan dong. Pasti buburnya jadi enak.""Coba sekali lagi." Azam kembali menyuap."Masih pait Tuan., tidak manis, tidak enak ah.."Azam mendengus. "Telan telan saja lah kalau begitu. Tak perlu dikunyah. Ayo!" kembali menyuap.Akhirnya Arumi menelan beberapa bubur itu. Kemudian meminum obat."Istirahatlah, agar demammu cepat turun." Azam menarik selimut.Arumi kini tersenyum hangat, sebersit rasa syukur di hatinya, sudah ditemukan pria sebaik Azam.Kemudian Azam menyisih untuk menghubungi Rendi.Saat panggilan terangkat, Azam menceritakan apa yang terjadi kepada Rendi. Dia memang hanya berani bercerita kepada Rendi saja. Tentu saja Rendi bisa mengerti."Baiklah Azam. Paham hanya ingin memberimu pesan. Hati-hati. Anak gadis orang. Kamu Harus menjaganya. Jangan sampai membuat orang tuamu malu ya?""Siap, Paman. Azam tidak akan seperti itu."Azam menghela nafas ketika Rendi sudah mengakhiri panggilannya. Malam ini dan besok, dia tidak mungkin meninggal
"Arumi, kamu akan cantik jika bersamaku. Kamu akan kaya jika menikah denganku. Jadi apa masalahnya? Kamu tidak punya orang tua. Orang tuaku akan senang hati menganggapmu sebagai anaknya.""Tapi, aku belum siap. Aku belum mau punya pacar. Apalagi menikah.""Kalau kamu masih menolakku, aku akan mengurungmu disini. Hayo , pilih mana. Menjadi kekasihku secara baik baik atau menjadi simpanan ku di Villa ini?""Kamu Gila ya?" Arumi menghentakkan tangannya.Azam tertawa. "Aku tidak peduli. Aku mencintaimu!""Tapi aku tidak!""Terserah kamu saja. Aku tidak perlu kamu mencintaiku atau tidak!"Plup!Azam malah mencium bibir Arumi untuk beberapa saat lamanya. Gadis itu tak bisa berkutik kecuali hanya menghentakkan kakinya saja. Sampai Azam berhenti sendiri dan menempelkan kedua kening mereka, dengan kedua tangan memegang pipi Arumi. Cukup lama dengan posisi itu.Azam menarik wajahnya. Untuk menatap Arumi yang menyeka bibirnya yang basah.Wajah itu sangat tertekuk dengan bibir yang manyun. Namun
"Masalahnya teman Azam ini seorang gadis. Dan sepertinya Azam menyukai gadis itu, Mas.""Oh, aku pikir ada masalah apa. Tapi, siapa anak gadis itu? Anak mana dan anak siapa?" Tanya Mia.Rendi tidak ingin menyembunyikan sesuatu, dia menceritakan semuanya tentang Arumi dan pertemuan Azam dengan Arumi.Gara dan Mia saling menatap. "Mas, putramu." Mia menatap cemas."Tidak mengapa. Kita akan mencari tahu siapa gadis itu. Lagian anak kita memang sudah dewasa. Sewajarnya jika mulai menemukan gadis yang disukainya. Asal jangan salah memilih saja."****Sementara di Villa.Arumi terlihat menggeliat membuka mata perlahan dan berkali kali mengusap wajahnya.Dia tidak lagi melihat Azam di kamar ini. Padahal semalam Azam juga ikut tidur di kamar ini dengan dalih ingin menjaganya.Kemudian melirik kamar mandi. Seperti tidak ada orang. "Azam kemana?" Dia menjejakkan kakinya ke lantai."Apa dia sudah pergi kantor ya?" melirik jam. Memang ini sudah siang. Rupanya dia memang sangat lelap tertidur.Bar
"Kamu mau aku yang melepasnya? Baiklah." Azam segera meraih pinggang Arum"Eeh,!" Arumi menahan tangan Azam."Makanya lepas!" ucap Azam, beranjak ke arah lemari. Mengambil sebuah handuk."Pakai ini." Mengulurkan pada Arumi.Dengan ragu, gadis itu menerimanya."Cepat! Keburu dingin airnya." ucap Azam lagi.Arumi masih diam, ragu untuk membuka bajunya.Gadis itu bangun dari duduknya."Aku akan melepasnya di kamar mandi.""Ck, kamu ini, lelet." Azam kembali mendekat."Biar kubantu.""Ih, jangan!""Diamlah, jelek." Azam tak sabar akhirnya turun tangan.Dia memutar tubuh Arumi. Kemudian tanpa ragu atau sedikit pun malu, Azam mulai membuka baju Arumi dari belakang.Menyisakan Bra milik Arumi. Kemudian melilit tubuh itu dengan Handuk."Yang bawah?" tanyanya."Apa mau sekalian aku bukain?""Eh, tidak mau!" Arumi langsung mencegah."Bagian ini biar aku sendiri." jawab Arumi cepat melepas celananya."Duduklah!" perintah Azam setelah Arumi sudah selesai dan hanya berbalut handuk saja.Arumi menu
"Kamu tidak mau membantuku? Bukankah aku sudah menjadi pacarmu? Atau ucapanmu itu hanya bercanda ya?"'Astaga..! Apa yang harus kuperbuat?' Azam menelan ludah, dia bingung sendiri."Eh, i,iya." Dengan sangat ragu dia meraih kedua tangan Arumi dan kemudian terpaksa menggenggamnya dengan erat.Arumi tersenyum senang, dan itu membuat Azam hampir pingsan saja. Apalagi ketika Arumi justru malah menggeser duduknya untuk lebih mendekat lagi."Ba-bagaimana? Apa ini terasa hangat?" Tanya Azam gugup."Ya. Sedikit." jawab Arumi"Kurang hangat ya?"Arumi mengangguk. "Boleh lebih?""Hah. Maksudnya?""Begini saja." Arumi melepaskan tangannya, mengangkat satu kaki Azam dan melonjorkannya di sofa, kemudian dia memutar tubuhnya dan duduk merapat tepat di depan dada Azam."Pinjam sebentar tubuhnya." Dia meraih kedua tangan Azam dan melingkarkan ada pinggangnya."Eh, kok begini? Kamu mau apa?" seketika Azam menahan tangannya."Mau dipeluk. Kata orang pelukan bisa mengurangi dingin."'Astaga!' Tubuh Azam