"Mas, beras kita abis," kata Nita sambil menutup ember berwarna hitam tempat biasa dia menaruh beras.Dia menghampiri Heru yang berdiri menyandar di sisi pintu. Heru hanya melirik sedikit ke arah istrinya yang menatapnya sambil mengelus perutnya yang buncit. Buncit karena usia kandungannya memang sudah berusia delapan bulanan.Heru menghela nafas resah. Mengusap wajah dengan satu telapak tangannya.Lalu tanpa berkata sepatah katapun dia keluar dan mengengkol motor RX king jadul miliknya yang ada di halaman kontrakan mereka, kemudian menghilang dari pandangan Nita.Nita hanya diam. Dia mengerti, suaminya juga sedang pusing.Beberapa bulan yang lalu, pabrik tempatnya bekerja di tutup pemerintah karena ternyata sebuah pabrik Ilegal. Padahal itu adalah pabrik tempat Heru menghasilkan rejeki selama bertahun-tahun lamanya.Heru tidak lagi punya pekerjaan, hanya mengandalkan buruh harian yang tidak mesti ada setiap hari. Kadang hanya ada satu dua hari saja dalam seminggu. Dan uang hasil upah
"Mas, tadi dapat beras dari mana? Apa tadi Mas Heru dapat kerjaan ya?" Nita bertanya sambil mengunyah makanan dalam mulutnya.Heru hanya mengangguk saja, kemudian menyendok nasi dan menambahkan ke piring Nita."Makan yang banyak, kamu pasti lapar."Nita mendongak melihat suaminya yang hanya minum kopi pahit tanpa gula. "Kok kamu nggak ikut makan, Mas? Memang nggak lapar?"Heru tersenyum. "Nanti saja, aku masih kenyang. Tadi makan di tempat kerjaan, dibawain bekal dari orangnya.""Oh," Nita hanya mendengus. Nita tidak heran. Disini rata-rata memang begitu. Kerja harian ada juga yang diberi makan dan minum."Cicip sayurnya sama tempe gorengnya saja nih, enak lho." Nita menyodorkan mangkok sayur dan tempe goreng ke hadapan suaminya."Ayuk Suni itu ternyata baik ya? Dia suka kasih aku sayuran. Kata orang-orang dia itu pelit dan galak. Nyatanya enggak kok." Nita kembali menceritakan tentang Ayuk penjual sayuran itu.Hati Heru tersayat mendengar cerita istrinya. Bukannya senang, tapi dia ma
"Ya Allah. Nita!" Heru segera turun dari motor dan menghampiri istrinya yang masih berdiri di ambang pintu sambil meringis memegangi perutnya."Jangan-jangan istrimu mau melahirkan, Her!" Temannya juga berseru demikian."Sepertinya iya, aduh bagaimana ini?" Heru panik setengah mati."Jangan panik. Kita bawa ke puskes."Pada akhirnya, bukan mereka berangkat bekerja, malah berangkat ke puskesmas. Dan siang ini, Nita melahirkan seorang bayi laki-laki dengan keadaan sehat lancar tanpa halangan suatu apapun dan hanya didampingi Heru serta bidan desa saja.Heru terlihat sangat bahagia meskipun tidak ada sanak saudara mereka yang datang menjenguk.Tapi dia murung saat memikirkan biaya persalinan istrinya. Hanya ada selembar uang lima puluh ribuan saja yang dia punya di dompet."Mas, biayanya bagaimana? Aku telpon ibu ya? Minta tanda tolong sama ibu?" Nita berkata penuh hati-hati."Nggak usah. Aku akan usaha ya?" Jawab Heru, kemudian dia keluar. Dia luar temannya Adi masih menunggu."Adi. Ban
Setelah mereka pulang, malam menjadi sepi. Nita melihat tumpukan makanan mentah, dan sabun cuci. Di tangannya ada beberapa amplop yang berisi uang.Itu sudah menjadi tradisi orang-orang sini. Kalau ada yang lahiran, Mereka akan menjenguknya, membawa apa yang bisa mereka bawa atau amplop berisi uang seikhlas Mereka. Begitulah orang-orang kampung. Kekompakan mereka sudah terjalin sejak jaman nenek moyang.Nita merasa bersyukur tinggal di kalangan para tetangga yang baik. Tidak seperti di tempat tinggal mertuanya, yang para tetangganya malah pada julid dan judes.Seminggu setelah lahiran, mau tidak mau Heru harus mulai bekerja. Dia berat meninggalkan istrinya. Untung Nita istri yang pengertian."Aku sudah sehat Mas, sudah bisa ditinggal sendirian."Heru hanya mengangguk, melihat wajah Istrinya dengan keraguan. Tapi dia memang harus kerja. Dia sudah mengambil uang pada bos tempat dia bekerja nanti.Suatu siang, pemilik rumah yang mereka tempati datang."Mbak Nita. Mohon maaf ya, rumah ini
Laura, dia anak konglomerat dari kota. Dia datang ke desa ini bersama ibunya untuk mengunjungi sang bibi."Laura mau jalan-jalan ya, Ma?" Suatu sore, Laura meminta izin pada sang ibu untuk sekedar melihat-lihat desa ini bersama Santi sepupunya."Kalian mau naik apa? Jalan kaki?" Tanya Ibunya."Jalan kaki malas ah. Pinjem mobil Paman sebentar ya?" Rengek Laura."Nggak usah Laura. Jalanan disini berbeda dengan di tempat tinggal kita." Cegah sang Mama.Tapi Laura bersikeras, meyakinkan kalau dia akan baik-baik saja saat mengendarai mobil nanti.Ibunya hanya mendengus, begitu juga dengan sang Bibi.Laura pergi dengan Santi mengendarai mobil pribadi milik orang tua Santi.Laura begitu kagum dengan pemandangan di sepanjang desa ini. Meskipun jika menurut orang-orang ini adalah pemandangan sampah, tapi bagi Laura ini adalah pemandangan yang indah dan belum pernah dia lihat di tempat rekreasi manapun dikota.Ada dua danau biru yang terletak di kanan dan kiri jalan yang mereka lewati. Kedua da
"Sudah Nak, doakan anak ibu tidak apa-apa. Ibu tidak menyalahkan kamu. Ini kecelakaan. Tidak ada yang meminta. Ibu hanya takut dan khawatir."Laura kembali meminta maaf berkali-kali. Ibu Laura juga mendekat, memperkenalkan diri dan meminta maaf atas kesalahan putrinya.Bu Marni adalah seorang yang bijak, dia memaafkan dan tidak menuntut apapun kecuali hanya meminta bantuan doa.Setelah sekian lama, pintu ruang UGD tempat Rehan ditangani terbuka. Dokter terlihat keluar.Bu Marni dan Laura langsung berlari menyerbu pertanyaan."Anak saya bagaimana, Dok?""Dokter, bagaimana keadaannya?" Laura juga langsung bertanya.Dokter mengulas senyum tipis, membuat Mereka sedikit lega."Luka pasien tidak terlalu parah. Karena kepalanya yang terluka jadi mengeluarkan banyak darah. Tidak terlalu mengkhawatirkan. Hanya kaki kanannya yang terkilir dan luka-luka ringan saja. Jangan khawatir. Akan segera membaik.""Alhamdulillah ya Allah." Bu Marni menarik nafas lega.Laura juga langsung lega, rasanya sep
Rehan minta duduk di kursi sofa yang khusus Mereka taruh di ruangan dapur.Dapur ini memang sudah besar dan terkesan mewah. Sudah di rombak sedemikian rupa sejak zaman Nita masih gadis dulu, bahkan sejak Fiah di kota belum menikah.Meski menurut Rehan dapur mereka sudah sangat besar dan mewah, lagi lagi bagi Laura ya tetap sederhana. Karena dapur milik keluarganya mungkin tiga kali lipat luasnya dari dapur ini.Tapi Laura adalah gadis yang sopan dan tidak membedakan kasta. Meskipun biasa hidup glamor, tapi dia memang pintar membawa diri pada setiap keadaan.Laura membuat dua cangkir kopi. Untung saja kopi sachet jadi dia tidak perlu khawatir kebingungan."Ah, jadi juga." Dia tersenyum, menatap dua cangkir kopi di tangannya. Meskipun hanya menyeduh kopi, tapi bagi Laura, ini adalah pertama kali kopi bulatannya."Ini kopinya. Diminum." Dia menyuguhkan kopi ke depan Rehan."Iya, terima kasih." Rehan mengangguk, mengambil cangkir kopi dan menyeruput sedikit.Laura melakukan hal yang sama.
Heru kembali terdiam. Disini tanah pekarangan memang masih murah. Tapi untuk bikin rumah, kapan bisa kalau hanya mengandalkan kerja buruh harian?Tapi melihat istrinya yang sangat bersemangat, Heru tidak tega. Dia hanya mengangguk saja. Kemudian pasrah.Heru bukan tidak mendengar, banyak tetangga yang sudah menghina istrinya karena pekerjaannya yang tidak tetap. Belum lagi bapaknya sendiri, yang terus menghinanya.Heru menarik tubuh Nita, memeluknya dengan begitu erat."Maafkan aku Nita. Kamu menderita karena aku. Coba kalau kamu dulu nurutin kata mas Rehan, nggak jadi seperti ini. Tapi kamu lebih memilih ikut aku."Nita mengangguk pelan. "Kamu kan suamiku, Mas. Ya kupilih lah. Aneh kamu ini. Yakin saja, Mas. Tidak mungkin kita akan selamanya ada di bawah seperti ini."Nita mendongak, mengusap air mata Heru yang menetes."Cowok kok nangis. Cengeng ah,"Heru mengetuk kening Nita. Merasa sangat malu. "Aku sedih. Sedih banget melihat kamu. Kucel, kumel. Mana bau apek. Berbeda saat belum
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany