Share

Mempelai yang Tak Diharapkan
Mempelai yang Tak Diharapkan
Penulis: iva dinata

Pertengkaran

"Berhenti bersikap seolah kamu istri yang baik di depan keluargaku, Tari."

Ucapan Kak Abisatya membuatku yang tengah menunduk hendak melepas sepatu high heels, terkesiap.

Aku sudah sangat lelah setelah makan malam di keluarga mertuaku. Perlukah kami bertengkar lagi malam ini?

"Kamu dengar, tidak? Jawab!!" sentaknya dengan suara keras yang hampir membuat jantungku copot dari tempatnya.

Pelan, aku mengelus dadaku karena kaget.

"Maaf."

Hanya kata itu yang kurasa aman untuk kuucapkan. Aku sadar membela diri akan semakin membuatnya marah. Namun, mengapa Kak Abisatya malah menatapku tajam? Sepertinya aku memilih kata yang salah.

"Maaf? Tidak perlu minta maaf jika kamu terus mengulangi kesalahan yang sama," ucapnya, "Ingat baik-baik, Tari. Pernikahan kita hanya di atas kertas. Jika bukan karena Ganendra yang memintaku, aku tidak sudi menikahimu. Jangan pernah lupa, aku menikahimu hanya—"

"—untuk membantu menutupi aib keluargaku akibat kesalahanku memilih calon suami," potongku, hapal ucapannya.

Jika bisanya, aku hanya diam kali ini aku sudah sangat lelah dengan sikap kasar dan hinaannya.

Sudah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali Kak Abisatya mengucapkan kalimat itu sampai membuatku hafal di luar kepala.

Bayangkan, enam bulan dari pernikahan kami hampir setiap hari aku mendengar kalimat itu!

Tiba-tiba saja, Kak Abisatya menatapku nyalang. "Bagus, mulai berani sekarang kamu ya?

Pria itu melangkah maju, sontak aku pun melangkah mundur.

Aku sudah sedikit hapal dengan sikapnya. Kak Abisatya sangat pemarah, sangat berbeda dengan sosoknya yang kukenal dulu.

Dia juga tidak suka dibantah jika sedang bicara. Tapi, dia juga kesal jika aku hanya diam saja.

Entah mengapa, serba salah sekali hidup bersamanya. Ini di luar ekspektasiku!

"Jangan melewati batasanmu, Ayu Bestari!!" geramnya dengan mata melotot dan wajah memerah.

"Tapi, aku hanya mengikuti permintaan Mama Aisyah," ucapku membela diri.

"Jangan jadikan Mama sebagai alasan. Aku tahu kamu sengaja ingin menyakiti hati Danisa. Apa belum puas kamu membuat hidup kami berantakan?" Kembali, Kak Abisatya berteriak.

Lagi, aku menutup satu sisi hatiku yang ingin melawan. Di sini aku memang yang salah. Aku membuat Kak Abisatya tak bisa bersatu dengan orang yang dicintainya.

Tapi, untuk malam ini aku hanya menuruti permintaan mama mertua untuk menyuapi Kak Abisatya. Haruskah aku menanggung kemarahannya.

Hari ini, mama mertua mengundang kami makan malam. Aku pikir itu hanya makan malam keluarga biasa. Namun ternyata, aku salah.

Di sana hadir keluarga dari Danisa, kekasih sekaligus sepupu Kak Abisatya dari ayahnya.

"Tari, suapi suami kamu, dong. Satya itu paling malas makan ikan karena durinya," perintah mama mertua saat kami baru memulai makan malam. "Jodoh itu memang saling melengkapi, makanya Satya menikah dengan Tari. Soalnya, Tari itu telate, dan pintar ngilangin durinya ikan."

Ucapan Mama mertuanya yang sedikit lebai itu seketika membuat wajah Danisa dan mamanya berubah sinis.

Dan … jangan ditanya ekspresi Kak Abisatya!

Bibirnya memang tersenyum tapi matanya melotot dengan kilatan amarah yang membuatku urung mengangkat tangan untuk menyuapinya.

"Tari.... Satya sudah nunggu itu, loh. Masa dilihatin, gak ngerti?" perintah Mama mertua, hingga akhirnya aku pun menuruti perintahnya.

"Kamu itu memang munafik!" bentak Kak Abisatya.

Aku tersentak, teringat kejadian satu jam yang lalu membuatku tak sadar pria itu sudah berada tepat di hadapanku. Reflek aku segera mundur.

"Apa yang kamu dapatkan dengan menyakiti Danisa? Bangga, merasa sudah bisa mengalahkan Danisa? Jujur saja, kamu itu tidak pantas bersaing dengannya."

Bersaing?

Untuk apa aku bersaing dengan Danisa?

Jarak umur kami saja 7 tahun. Pergaulan dan lingkungan kami berbeda. Tidak ada alasan untukku bersaing dengannya.

Satu-satunya hal yang menjadi alasan untuk aku bersaing adalah cinta Kak Abisatya. Tapi, itu pun dulu.

Dan sejak lima tahun lalu, aku sudah mengubur dalam-dalam perasaanku untuknya dan membuka lembar baru. Sayangnya, takdir membawa kami ke posisi seperti ini.

"Terserah Kak Satya mau mikir apa! Aku lelah. Bisakah Kakak keluar?" ucapku pada akhirnya, ingin perdebatan ini segera berakhir.

Tak peduli dengan kesopanan, aku memintanya keluar. Aku sudah lelah mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tajam, bak panah beracun yang menusuk hatiku.

Sakit sekali.

Namun tanpa kuduga, tangan kirinya mencengkeram lengan erat.

“Akhh!” Aku tersentak sekaligus kesakitan. Cengkeramannya sangat kuat.

"Jangan berani membantah apalagi memerintahku! Ingat ini rumahku dan kamu di sini hanya numpang," ucap Kak Abisatya, membuat dadaku bergemuruh.

Entah dapat dari mana, keberanian dalam diriku bahkan muncul.

"Cukup!!!" teriakku sambil menghempaskan tangannya kasar.

"Apa yang sebenarnya Kak Satya inginkan? Mau cerai? Ya sudah ceraikan aku! Aku sudah muak dengan semua ini. Dari awal, aku sudah meminta Kak Satya untuk menolak, kan? Tapi, Kak Satya yang kekeh merima menjadi pengganti.”

“Lantas, kenapa sekarang menyiksaku?"

Kesabaranku habis sudah!

Aku juga korban sama sepertinya. Kenapa terus menganggapku pelaku?

Dengan langkah cepat, aku berbalik menuju meja rias.

Brak!

Kuambil satu botol body lotion lalu melemparkannya ke lantai tepat di depannya.

"Keluar!!!" bentakku dengan air mata bercucuran.

Tampak keterkejutan di wajah pria berhidung mancung itu. Mungkin tak menyangka aku akan seberani ini.

Aku merutuki diriku. Bodoh ... kenapa harus menangis di depannya? Aku malah memperlihatkan ketidakberdayaanku di depan pria yang tak punya hati itu.

Satu yang kusyukuri. Tak lama, pria itu pun keluar.

Tubuhku langsung luruh ke lantai.

Tangisku pun pecah meratapi Kak Abisatya yang begitu membenciku meski aku sudah menuruti semua keinginannya.

Bahkan sejak malam pertama kami, bukan rayuan atau ajakan memadu kasih yang dilontarkannya, Kak Abisatya justru menunjukkan penolakannya atas hubungan kami!

Jika demikian, kenapa dia harus menerima permintaan kakakku untuk menjadi mempelai pengganti?

Harusnya, dia menolak.

Biarkan aku menanggung malu sendirian daripada terjebak dalam pernikahan yang tak ubahnya sebuah neraka untuk kami berdua….

“Ya Tuhan. Apa yang harus kulakukan?” lirihku, pedih.

Dalam hati, aku berharap dapat memutar waktu jika diizinkan. Sebab, sekuat tenaga aku akan menolak pernikahan ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status