"Berhenti bersikap seolah kamu istri yang baik di depan keluargaku, Tari."
Ucapan Kak Abisatya membuatku yang tengah menunduk hendak melepas sepatu high heels, terkesiap. Aku sudah sangat lelah setelah makan malam di keluarga mertuaku. Perlukah kami bertengkar lagi malam ini? "Kamu dengar, tidak? Jawab!!" sentaknya dengan suara keras yang hampir membuat jantungku copot dari tempatnya. Pelan, aku mengelus dadaku karena kaget. "Maaf." Hanya kata itu yang kurasa aman untuk kuucapkan. Aku sadar membela diri akan semakin membuatnya marah. Namun, mengapa Kak Abisatya malah menatapku tajam? Sepertinya aku memilih kata yang salah. "Maaf? Tidak perlu minta maaf jika kamu terus mengulangi kesalahan yang sama," ucapnya, "Ingat baik-baik, Tari. Pernikahan kita hanya di atas kertas. Jika bukan karena Ganendra yang memintaku, aku tidak sudi menikahimu. Jangan pernah lupa, aku menikahimu hanya—" "—untuk membantu menutupi aib keluargaku akibat kesalahanku memilih calon suami," potongku, hapal ucapannya. Jika bisanya, aku hanya diam kali ini aku sudah sangat lelah dengan sikap kasar dan hinaannya. Sudah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali Kak Abisatya mengucapkan kalimat itu sampai membuatku hafal di luar kepala. Bayangkan, enam bulan dari pernikahan kami hampir setiap hari aku mendengar kalimat itu! Tiba-tiba saja, Kak Abisatya menatapku nyalang. "Bagus, mulai berani sekarang kamu ya? Pria itu melangkah maju, sontak aku pun melangkah mundur. Aku sudah sedikit hapal dengan sikapnya. Kak Abisatya sangat pemarah, sangat berbeda dengan sosoknya yang kukenal dulu. Dia juga tidak suka dibantah jika sedang bicara. Tapi, dia juga kesal jika aku hanya diam saja. Entah mengapa, serba salah sekali hidup bersamanya. Ini di luar ekspektasiku! "Jangan melewati batasanmu, Ayu Bestari!!" geramnya dengan mata melotot dan wajah memerah. "Tapi, aku hanya mengikuti permintaan Mama Aisyah," ucapku membela diri. "Jangan jadikan Mama sebagai alasan. Aku tahu kamu sengaja ingin menyakiti hati Danisa. Apa belum puas kamu membuat hidup kami berantakan?" Kembali, Kak Abisatya berteriak. Lagi, aku menutup satu sisi hatiku yang ingin melawan. Di sini aku memang yang salah. Aku membuat Kak Abisatya tak bisa bersatu dengan orang yang dicintainya. Tapi, untuk malam ini aku hanya menuruti permintaan mama mertua untuk menyuapi Kak Abisatya. Haruskah aku menanggung kemarahannya. Hari ini, mama mertua mengundang kami makan malam. Aku pikir itu hanya makan malam keluarga biasa. Namun ternyata, aku salah. Di sana hadir keluarga dari Danisa, kekasih sekaligus sepupu Kak Abisatya dari ayahnya. "Tari, suapi suami kamu, dong. Satya itu paling malas makan ikan karena durinya," perintah mama mertua saat kami baru memulai makan malam. "Jodoh itu memang saling melengkapi, makanya Satya menikah dengan Tari. Soalnya, Tari itu telate, dan pintar ngilangin durinya ikan." Ucapan Mama mertuanya yang sedikit lebai itu seketika membuat wajah Danisa dan mamanya berubah sinis. Dan … jangan ditanya ekspresi Kak Abisatya! Bibirnya memang tersenyum tapi matanya melotot dengan kilatan amarah yang membuatku urung mengangkat tangan untuk menyuapinya. "Tari.... Satya sudah nunggu itu, loh. Masa dilihatin, gak ngerti?" perintah Mama mertua, hingga akhirnya aku pun menuruti perintahnya. "Kamu itu memang munafik!" bentak Kak Abisatya. Aku tersentak, teringat kejadian satu jam yang lalu membuatku tak sadar pria itu sudah berada tepat di hadapanku. Reflek aku segera mundur. "Apa yang kamu dapatkan dengan menyakiti Danisa? Bangga, merasa sudah bisa mengalahkan Danisa? Jujur saja, kamu itu tidak pantas bersaing dengannya." Bersaing? Untuk apa aku bersaing dengan Danisa? Jarak umur kami saja 7 tahun. Pergaulan dan lingkungan kami berbeda. Tidak ada alasan untukku bersaing dengannya. Satu-satunya hal yang menjadi alasan untuk aku bersaing adalah cinta Kak Abisatya. Tapi, itu pun dulu. Dan sejak lima tahun lalu, aku sudah mengubur dalam-dalam perasaanku untuknya dan membuka lembar baru. Sayangnya, takdir membawa kami ke posisi seperti ini. "Terserah Kak Satya mau mikir apa! Aku lelah. Bisakah Kakak keluar?" ucapku pada akhirnya, ingin perdebatan ini segera berakhir. Tak peduli dengan kesopanan, aku memintanya keluar. Aku sudah lelah mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tajam, bak panah beracun yang menusuk hatiku. Sakit sekali. Namun tanpa kuduga, tangan kirinya mencengkeram lengan erat. “Akhh!” Aku tersentak sekaligus kesakitan. Cengkeramannya sangat kuat. "Jangan berani membantah apalagi memerintahku! Ingat ini rumahku dan kamu di sini hanya numpang," ucap Kak Abisatya, membuat dadaku bergemuruh. Entah dapat dari mana, keberanian dalam diriku bahkan muncul. "Cukup!!!" teriakku sambil menghempaskan tangannya kasar. "Apa yang sebenarnya Kak Satya inginkan? Mau cerai? Ya sudah ceraikan aku! Aku sudah muak dengan semua ini. Dari awal, aku sudah meminta Kak Satya untuk menolak, kan? Tapi, Kak Satya yang kekeh merima menjadi pengganti.” “Lantas, kenapa sekarang menyiksaku?" Kesabaranku habis sudah! Aku juga korban sama sepertinya. Kenapa terus menganggapku pelaku? Dengan langkah cepat, aku berbalik menuju meja rias. Brak! Kuambil satu botol body lotion lalu melemparkannya ke lantai tepat di depannya. "Keluar!!!" bentakku dengan air mata bercucuran. Tampak keterkejutan di wajah pria berhidung mancung itu. Mungkin tak menyangka aku akan seberani ini. Aku merutuki diriku. Bodoh ... kenapa harus menangis di depannya? Aku malah memperlihatkan ketidakberdayaanku di depan pria yang tak punya hati itu. Satu yang kusyukuri. Tak lama, pria itu pun keluar. Tubuhku langsung luruh ke lantai. Tangisku pun pecah meratapi Kak Abisatya yang begitu membenciku meski aku sudah menuruti semua keinginannya. Bahkan sejak malam pertama kami, bukan rayuan atau ajakan memadu kasih yang dilontarkannya, Kak Abisatya justru menunjukkan penolakannya atas hubungan kami! Jika demikian, kenapa dia harus menerima permintaan kakakku untuk menjadi mempelai pengganti? Harusnya, dia menolak. Biarkan aku menanggung malu sendirian daripada terjebak dalam pernikahan yang tak ubahnya sebuah neraka untuk kami berdua…. “Ya Tuhan. Apa yang harus kulakukan?” lirihku, pedih. Dalam hati, aku berharap dapat memutar waktu jika diizinkan. Sebab, sekuat tenaga aku akan menolak pernikahan ini.Enam bulan sebelumnya, keluarga besarku tengah menyiapkan acara pernikahan. Rumah sudah bising dengan suara orang beraktivitas. Saudara dari Mama dan Papaku sudah berkumpul semua untuk akad esok hari. Aku begitu khawatir mengingat akan melepas status gadis yang selama 20 tahun ini aku sandang. Bukannya tak senang, hanya saja aku merasa masih belum benar-benar siap untuk memasuki tahap berumah tangga. Kuliahku saja masih semester 4. Jadi, aku tidak yakin jika aku bisa menjalankan peran seorang istri dengan baik. Jika bukan karena kesungguhan Bagas, kekasihku, dalam membujuk orang tuaku, sekarang aku pasti masih sedang menghabiskan waktu di mall bersama teman dan sepupuku. Ya, dialah tersangka utamanya! Pria itu sudah tidak sabar mempersunting diriku. Katanya, takut kehilangan aku. Alasan yang terlalu mengada-ngada. Aku bahkan merasa jengah mendengar gombalan dan ungkapan Bagas yang kurasa sangat berlebihan. Tapi, entahlah … aku dan keluargaku merasa Bagas adalah
"Brengsek!" umpat Kak Ganendra seketika. Bugh! Dengan penuh amarah, kakakku itu menghadiahkan bogem mentah tepat di wajah tampan Bagas, hingga pria itu tersungkur. Di sisi lain, aku hanya menatap kosong ke arah dua orang yang sedang berkelahi itu. Entah terbang ke mana perginya rasa belas kasihku melihat Bagas dipukuli? Suara teriakan dan jeritan di sekitarku pun tak membuatku berempati. Berbeda denganku, wanita yang mengaku istrinya Bagas itu terlihat begitu khawatir bahkan sampai menangis melihat keadaan suaminya yang babak belur. Sambil marah-marah, wanita itu membantu Bagas berdiri meski pria itu berulang kali menepis tangannya kasar. "Lepas!" sentak Bagas kembali menepis tangan istri yang dinikahinya empat bulan lalu tanpa sepengetahuanku itu. Aku menoleh saat sebuah tangan merangkulku dari samping. Sandra menatapku sedih. "Sabar," ucapnya. Sabar? Bisakah aku sabar? Kecewa, marah, bercampur malu. Itu yang saat ini berjejalan di otakku. "Pernikahan kamu
"Maaf. Tapi, tolong dengarkan penjelasanku. Aku sama sekali tidak–" "Aku tidak butuh penjelasanmu!" potong Kak Abisatya dengan tatapan tajamnya, hingga bibirku langsung terkatup rapat. "Dengar dan ingat baik-baik ucapanku ini, Tari. Jangan pernah menyentuh barang-barangku, jangan memasak atau mencuci pakaianku. Jangan melakukan pekerjaan rumah meski itu hanya menyapu lantai kamarku,” tambahnya, “Dan yang paling penting, berpura-puralah tidak saling mengenal jika kita bertemu di luar rumah." Tubuhku seketika kaku. Dan air mata luruh begitu saja. Jika waktu bisa diputar…. "Mbak Tari!" panggil Bik Sumi. Asisten rumah tangga mama mertuaku itu menepuk pundakku pelan. Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku. "Dari tadi dipanggil, tapi Mbak Tari nggak denger." "Maaf Bik," ucapku mengedipkan kedua mata yang terasa panas, lalu menarik kedua sudut bibirku paksa, "Ada apa ya Bik?" "Kalau sudah mau magrib, masuk rumah. Jangan malah melamun di luar, ndak baik." Bibik mengikutiku du
Seharusnya, aku tidak lari! Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri. "Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku. "Iya Bik," jawab Kak Satya singkat. "Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya." Aduh! Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya? Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan. Masa harus nunggu Kak Satya berangkat? Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi! Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua. Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini. Tentu tanpa ca
Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih...... Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu. Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini? "Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram. Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta. "Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami. "Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa. Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melo
Dari kafe, kami memutuskan mampir ke taman kota. Sekadar cari angin sambil cari jajanan yang biasanya mangkal di pinggir jalan. Beberapa makanan yang memiliki rasa pedas menjadi pilihan. Suasana hatiku yang sedang kacau terasa lebih lega. Rasa pedas membuat otakku kosong, semua beban pikiran terusir dengan rasa pedas yang rasa membakar lidah dan tenggorokanku."Bakso bakarnya pedas banget," keluh Jihan sambil sambil memegangi telinganya, "Ya Allah!" "Jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit." Sandra mengambil sisa bakso bakar dari tanganku lalu menghabiskannya. Padahal wajahnya sudah memerah. Tak hanya bakso bakar, sosis bakar dan tahu mercon juga Sandra habiskan. Sengaja dia lakukan agar aku tidak memakannya lagi. "Pedes tapi enak," kataku lalu menyesap es teh punyaku sampai tandas. "Hahhh..... lega....." Kulempar cup plasti bekas es teh ke dalam tong sampah. Diikuti Jihan dan Sandra. Setelahnya, kami pun memutuskan untuk pulang Awalnya, aku berniat pulang naik taksi o
"Ada apa ini?" Suara bariton menginstruksi kami menoleh kearah suara. "Kak Satya," panggil Anindia saat kakaknya itu berjalan mendekat. "Lihat, Tari bersikap kasar padaku dan Mbak Danisa." Seperti biasanya gadis yang terpaut satu tahun di atasku itu mengadu pada kakaknya. "Mas, dia menamparku. Sakit sekali pipiku." Tak. ketinggalan Danisa ikut merengek sambil menunjukkan pipinya yang memerah habis aku tampar. Entah kenapa mendengar wanita itu memanggil Kak Satya dengan panggilan 'Mas' membuatku kesal. Dari semua sepupu Kak Satya hanya Danisa yang diizinkan memanggilnya 'Mas'. Istimewa sekali, Gadis yang tadi sempat beradu mulut denganku itu berlagak lemah. Mimik wajahnya berubah kalem dan memelas. "Dia juga menghinaku dengan kata-kata kasar." Adunya lagi dengan berderai air mata. Kak Satya menunduk, menyamakan tinggi tubuhnya dengan wajah Danisa. Terlihat, sedang memeriksa pipi kekasihnya itu. "Ahk.... sakit," rengek Danisa, wanita itu saat ujung jari tangan Kak Satya men
"Selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali." Suara Kak Satya lantang. Aku menghentikan langkahku, menarik nafas panjang lalu menoleh pada sang pria. Sebuah senyum sinis muncul di bibirnya. "Aku tidak akan kembali. Terima kasih untuk semuanya. Hutangku sudah kubayar lunas hari ini. Selamat tinggal." Senyum sini itu langsung lenyap. Mimik wajah Kak Satya langsung berubah garang. Tapi aku tak peduli. Gegas aku berbalik. Dengan penuh keyakinan aku berjalan keluar dari rumah yang selama enam bulan ini menjadi tempat tinggalku. Tempat singgah sementara yang hanya dipenuhi dengan pertengkaran. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak luruh namun begitu mobil berjalan keluar melewati pagar rumah cairan bening itu meluruh tanpa bisa dicegah. Tak bisa bohong, hatiku sakit. Rasa kecewa itu begitu besar. Aku tak menyangka Kak Satya tega menamparku demi membela kekasihnya. Bagaimanapun aku adalah istrinya meski hanya diatas kertas. Tapi, dia sudah melafalk
Di ujung ranjang Anindya termenung. Masih dengan gaun yang dipakai untuk resepsi pernikahan sore tadi. Entah sudah berapa kali dia menghela nafas. Wanita berwajah manis itu masih terngiang dengan suara Gibran yang melafalkan namanya dengan menjabat tangan sang papa. Bahkan jantungnya masih berdebar-debar sampai sekarang. Bukan debaran karena cinta namun debar ya g ditimbulkan karena rasa takut yang sangat dalam. Helaan nafas berat kembali terdengar untuk yang ke sekian kalinya. ' Oh... Tuhan.... Kini aku telah menjadi seorang istri, bisakah aku bahagia dengannya?' batinnya terus saja mengeluh. Ada rasa tidak rela menyerahkan hidupmya untuk pria yang tidak dicintainya.Tak hanya keluhan, ada banyak pertanyaan mengusik hati dan pikirannya. Membuatnya semakin bimbang. Bisakah dia mengabdikan dirinya pada Gibran sebagai sekarang istri yang baik? Tak ada cinta diantar mereka, bagaiamana ruamh tangga mereka akan dijalani?Dan menjadi menantu..... Sebagai anak saja dia gagal membangga
Sampai di rumah perdebatan Ganendra dan Jihan berlanjut. Dimulai dengan gerutuan Ganendra ditambab kekesalan Jihan. Jadilah perdebatan kembali memanas. Ibra yang melihat putra dan menantunya berselisih faham memilih untuk membawa cucynya masuk ke dalam kamarnya. Untuk sementara waktu Ibra akan tinggal di kediaman Rahardian untuk menjaga cucu pertamanya sampai kedua orang tuanya kembali. "Bukannya senang Anindya menikah, malah ikut-ikutan Tari berencana membatalkan pernikahannya," gerutu Ganendra yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Jihan. "Apa ada yang salah? Benarkan yang aku katakan, harusnya kamu senang Anindya menikah, kamu tidak perlu cemburu lagi," sambungnya. "Cemburu?" Jihan menghadapkan tubuhnya pada Ganendra. "Lebih tepatnya, Marah. Dan itu karena ada pemicunya." Wanita bermata bulat itu mengireksi kamlimat suaminya. "Ck... sama aja. Marah juga karena cemburu." "Beda," tegas Jihan. "Ok marah bukan cemburu. Dan sekarang setelah Anindya sudah menikah
"Tunggu Ratih, aku bisa jelasin." Anindya berusaha melepas tangan Gibran dan berniat menyusul sahabatnya itu, namun genggaman di tangannya makin mengerat. "Hentikan drama kalian! Jangan buat keluarga kita bertambah malu," bisik Gibran. Anindya menatap Gibaran tajam, mulutnya sudah terbuka untuk membalas ucapan pria itu. Namun wajah sang papa yang menunjukkan kekhawatiran membuatnya menelan kembali kalimat yang sudah di ujung lidahnya. "Jangan membuat tamu kita menungu lebih lama lagi, cepat duduk di kursi kalian!" perintah Ibra tegas. Anindya menurut dia mengikuti Gibran yang kini menggenggam jemarinya, menuntun ke arah kursi yang sudah diasiapkan untuk akad nikah dengan Penghulu dan saksi yang sudah duduk di tempatnya. Sembari berjalan Anindya mencari keberadaan Tari. Kakak iparnya itu harus menolongnya untuk menjelaskan kesalahpahamannya dengan Ratih. Entah apa yang terjadi sebelumnya sampai Ratih ketahuan dan dipermalukan di depan semua tamu undangan. Sayangnya samp
'Oh... astaga... Bagaimana kalau dia mengenaliku?' batin Anindya panik lalu membenarkan masker yang dipakainya. Dia buru-buru keluar ketika sosok di depannya itu masih fokus denga ponselnya. "Khem..." Dehenam dari sosok itu membuat Anindya digempur perasaan panik dan tegang dalam waktu yang bersamaan. Sontak saja langkahnya langsung terhenti. Dia menelan ludah lalu dengan susah payah melangkah melewati pria itu. "Huh...." Akhirnya dia bisa bernafas lega. Pria itu tidak mengenalinya bahkan tak melihat kearahnya sekalipun. "Mau kemana kamu?" Kakinya seketika membeku di tempat saat gendang telinganya menangkap suara berat yang sudah dipastikan dari pria yang baru saja dilewatinya. "Mau bikin malu keluarga saya?" Suara itu terdengar penuh amarah meski tak bernada tinggi. Anindya mendesah berat, sadar jika pria itu mengenalinya. Wanita berwajah manis itu pun memutar tubuhnya. Degh.... Pria dengan setelan jas hitam itu menatapnya taja. Wajah Gibran sudah memerah
Di sebuah kamar hotel, tampak seorang gadis berbalut kebaya putih duduk di depan meja rias. Wajahnya yang manis sedang dipoles oleh MuA ternama di kotanya. Sesuai keinginan sang gadis, make up soft yang sedang digemari menjadi pilihannya dan gadis berlesung pipi itu terlihat sangat cantik anggun. Namun sayang wajah cantik bak artis korea itu nampak muram. Hatinya kalut dan dipenuhi rasa takut. Sejak dua jam yang lalu entah sudah berapa kali helaan nafas terdengar berat membuat sang MUA menjadi heran. "Kak, kepalanya bisa diangkat sedikit?" pinta sang MUA sedikit lelah dengan sikap calon penggantin yang lebih sering menundukkan kepalanya. Tidak seperti calon pengantin lain yang sangat antusias dan bersemangat. Kliennya hari ini terlihat bermuram durja. "Kak Anindya," panggilnya lagi karena wanita berwajah manis itu tak mereapon ucapannya. "Bisa diangkat sebenar wajahnya?" pintanya lagi. Gadis dengan kebaya putih itu adalah Anindya. Adik kandung Satya yang akan menikah den
"Apa itu benar?" tanya Tari. "Kamu sangat membenciku?" Anindya menggeleng. "Aku tidak membencimu, Mbak. Baik dulu atau pun sekarang. Aku hanya merasa iri karena kmau baik dan banyak orang yang mencintaimu tapi aku berani sumpah aku tidak pernah berniat melukaimu...." jawabnya sambil menangis. Tari mengangguk, entah kenapa tapi Tari yaki Anindya jujur. Meski semua orang tak percaya tapi suara hati Tari mengatakan, Anindya sudah berubah dan dia tidak sejahat Danisa. "Ya... kamu iri makanya kamu ingin merusak wajahnya, iya kan?" tuduh Satya geram. "Demi Tuhan.... bukan aku yang merencanakannya, Kak. Danisa dan teman-temannya sudah membawa air keras itu sebelum menjemputku. Aku sama sekali tidak ikut merencanakannya." "Jangan bawa-bawa Tuhan untuk dosamu!!! Kamu bilang tidak ikut merencanakan, apa kamu pikir aku akan percaya?" Satya sudah kehilangan kesabaran. "Kali ini kamu benar-benar sudah melewati batas," Ganendra berjalan cepat dan memegangi Satya tang sudaah seperti
Keesokan harinya Farhan dan Aisyah juga Anindya datang menjenguk Tari. Tak lupa Aisyah membawakan makanan yang dia masak sendiri untuk Tari dan Satya yang setiap hari menjaga Tarindi rumah sakit. Aisyah dan Farhan sangat bahagia dan besyukur akhirnya setelah ketegangan kini mereka bisa bernafas lega. Terlebih lagi Anindya, sepanjang jalan menuju rumah sakit gadis itu tak henti-hentinya mengucap syukur. Akhirnya, doanya terkabul Tari telah sadar dan keadaannya membaik. Dengan sadarnya Tari, setidaknya satu masalah selesai. Anindya tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi keluarga jika sampai terjadi sesuatu pada kakak iparnya itu. Kemungkinan besar dirinya akan diusir dari rumah. 'Ya Allah... terima kasih Engkau sudah memberi keselamatan untuk Mbak Tari,' ucap Anindya dalam hati. **** "Assalamu'alaikum," ucap Farhan dan Aisyah setelah membuka pintu kamar rawat inap Tari. "Wa'alaikum salam," jawab beberapa orang yang ada di dalam kamar. Tari tersenyum lebar melihat
Setelah pulang dari rumah sakit, Anindya tidak lagi di izinkan keluar rumah seorang diri. Ponselnya disiita dan semua kegiatannya dibatasi. Hanya untuk urusan kuliah gadis iti diizinkan pergi dan tentu saja dengan di kawal bodyguard yang sengaja disewa Farhan. Bukan tanpa alasan Farhan melakukan itu, pria paruh baya itu khawatir Anindya akan membuat masalah lagi dan mungkin saja kabur sebelum hari pernikahan. Sore itu Farhan dna Aisyah memanggil Anindya untuk bicara di ruang tengah, membahas tentang pernikahan dan masalah ynag telah diperbuat putri bungsunya. Namun dari mulai awal Anindya lebih banyak diam dan menurut saja. Tak sekalipun membantah. Meski begitu baik Farhan dan Aisyah tak berhenti mengungkit kesalahan Anindya dan membuat hati gadis itu terluka. "Kamu sendiri yang setuju untuk menikah tapi di belakang kami kamu meminta Tari membatalkan perjodohanmu dan Gibran," omel Farhan karena merasa Anindya tidak bisa konsisten dengan ucapannya. Anindya tak membantah se
"Kondisi pasien kritis karena kehilangan banyak darah." Degh.... Jantung Satya seakan beehenyi berdetak saking kagetnya. Akan langsung memucat. "Nggak... aku nggak bisa kehilangan dia," gumam Satya, tubuhnya meluruh terduduk di lantai. "Kak," pekik Anindya memegangi lengan Kakaknya. Air matanya terus mengalir menunjukkan penyesalannya yang tak bertepi. "Ya Allah... Papa." Jihan ikut memekik sambil memegangi tubuh Ibra yang tiba-tiba oleng. Dengan sigap Ganendra memegang lengan sang Papa agar tak sampai jatuh ke lantai. "Bantu Papa duduk," ucap Ganendra memberi arahan Jihan. "Aku nggak papa," kata Ibra sambil memegangi dadanya. "Tolong tenang, dokter akan menjelaskan keadaan pasien," ujar wanita berseragam perawat. Detik berikutnya seorang dokter keluar dari ruang operasi. "Begini, kondisi pasien saat ini sedang kritis dna membutuhkan transfusi darah dengan segera. Namun cadangan darah yang sesuai golongan darah pasien kosong. Jadi kami butuh bantuan keluarga untuk mend