"Berhenti bersikap seolah kamu istri yang baik di depan keluargaku, Tari."
Ucapan Kak Abisatya membuatku yang tengah menunduk hendak melepas sepatu high heels, terkesiap. Aku sudah sangat lelah setelah makan malam di keluarga mertuaku. Perlukah kami bertengkar lagi malam ini? "Kamu dengar, tidak? Jawab!!" sentaknya dengan suara keras yang hampir membuat jantungku copot dari tempatnya. Pelan, aku mengelus dadaku karena kaget. "Maaf." Hanya kata itu yang kurasa aman untuk kuucapkan. Aku sadar membela diri akan semakin membuatnya marah. Namun, mengapa Kak Abisatya malah menatapku tajam? Sepertinya aku memilih kata yang salah. "Maaf? Tidak perlu minta maaf jika kamu terus mengulangi kesalahan yang sama," ucapnya, "Ingat baik-baik, Tari. Pernikahan kita hanya di atas kertas. Jika bukan karena Ganendra yang memintaku, aku tidak sudi menikahimu. Jangan pernah lupa, aku menikahimu hanya—" "—untuk membantu menutupi aib keluargaku akibat kesalahanku memilih calon suami," potongku, hapal ucapannya. Jika bisanya, aku hanya diam kali ini aku sudah sangat lelah dengan sikap kasar dan hinaannya. Sudah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali Kak Abisatya mengucapkan kalimat itu sampai membuatku hafal di luar kepala. Bayangkan, enam bulan dari pernikahan kami hampir setiap hari aku mendengar kalimat itu! Tiba-tiba saja, Kak Abisatya menatapku nyalang. "Bagus, mulai berani sekarang kamu ya? Pria itu melangkah maju, sontak aku pun melangkah mundur. Aku sudah sedikit hapal dengan sikapnya. Kak Abisatya sangat pemarah, sangat berbeda dengan sosoknya yang kukenal dulu. Dia juga tidak suka dibantah jika sedang bicara. Tapi, dia juga kesal jika aku hanya diam saja. Entah mengapa, serba salah sekali hidup bersamanya. Ini di luar ekspektasiku! "Jangan melewati batasanmu, Ayu Bestari!!" geramnya dengan mata melotot dan wajah memerah. "Tapi, aku hanya mengikuti permintaan Mama Aisyah," ucapku membela diri. "Jangan jadikan Mama sebagai alasan. Aku tahu kamu sengaja ingin menyakiti hati Danisa. Apa belum puas kamu membuat hidup kami berantakan?" Kembali, Kak Abisatya berteriak. Lagi, aku menutup satu sisi hatiku yang ingin melawan. Di sini aku memang yang salah. Aku membuat Kak Abisatya tak bisa bersatu dengan orang yang dicintainya. Tapi, untuk malam ini aku hanya menuruti permintaan mama mertua untuk menyuapi Kak Abisatya. Haruskah aku menanggung kemarahannya. Hari ini, mama mertua mengundang kami makan malam. Aku pikir itu hanya makan malam keluarga biasa. Namun ternyata, aku salah. Di sana hadir keluarga dari Danisa, kekasih sekaligus sepupu Kak Abisatya dari ayahnya. "Tari, suapi suami kamu, dong. Satya itu paling malas makan ikan karena durinya," perintah mama mertua saat kami baru memulai makan malam. "Jodoh itu memang saling melengkapi, makanya Satya menikah dengan Tari. Soalnya, Tari itu telate, dan pintar ngilangin durinya ikan." Ucapan Mama mertuanya yang sedikit lebai itu seketika membuat wajah Danisa dan mamanya berubah sinis. Dan … jangan ditanya ekspresi Kak Abisatya! Bibirnya memang tersenyum tapi matanya melotot dengan kilatan amarah yang membuatku urung mengangkat tangan untuk menyuapinya. "Tari.... Satya sudah nunggu itu, loh. Masa dilihatin, gak ngerti?" perintah Mama mertua, hingga akhirnya aku pun menuruti perintahnya. "Kamu itu memang munafik!" bentak Kak Abisatya. Aku tersentak, teringat kejadian satu jam yang lalu membuatku tak sadar pria itu sudah berada tepat di hadapanku. Reflek aku segera mundur. "Apa yang kamu dapatkan dengan menyakiti Danisa? Bangga, merasa sudah bisa mengalahkan Danisa? Jujur saja, kamu itu tidak pantas bersaing dengannya." Bersaing? Untuk apa aku bersaing dengan Danisa? Jarak umur kami saja 7 tahun. Pergaulan dan lingkungan kami berbeda. Tidak ada alasan untukku bersaing dengannya. Satu-satunya hal yang menjadi alasan untuk aku bersaing adalah cinta Kak Abisatya. Tapi, itu pun dulu. Dan sejak lima tahun lalu, aku sudah mengubur dalam-dalam perasaanku untuknya dan membuka lembar baru. Sayangnya, takdir membawa kami ke posisi seperti ini. "Terserah Kak Satya mau mikir apa! Aku lelah. Bisakah Kakak keluar?" ucapku pada akhirnya, ingin perdebatan ini segera berakhir. Tak peduli dengan kesopanan, aku memintanya keluar. Aku sudah lelah mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tajam, bak panah beracun yang menusuk hatiku. Sakit sekali. Namun tanpa kuduga, tangan kirinya mencengkeram lengan erat. “Akhh!” Aku tersentak sekaligus kesakitan. Cengkeramannya sangat kuat. "Jangan berani membantah apalagi memerintahku! Ingat ini rumahku dan kamu di sini hanya numpang," ucap Kak Abisatya, membuat dadaku bergemuruh. Entah dapat dari mana, keberanian dalam diriku bahkan muncul. "Cukup!!!" teriakku sambil menghempaskan tangannya kasar. "Apa yang sebenarnya Kak Satya inginkan? Mau cerai? Ya sudah ceraikan aku! Aku sudah muak dengan semua ini. Dari awal, aku sudah meminta Kak Satya untuk menolak, kan? Tapi, Kak Satya yang kekeh merima menjadi pengganti.” “Lantas, kenapa sekarang menyiksaku?" Kesabaranku habis sudah! Aku juga korban sama sepertinya. Kenapa terus menganggapku pelaku? Dengan langkah cepat, aku berbalik menuju meja rias. Brak! Kuambil satu botol body lotion lalu melemparkannya ke lantai tepat di depannya. "Keluar!!!" bentakku dengan air mata bercucuran. Tampak keterkejutan di wajah pria berhidung mancung itu. Mungkin tak menyangka aku akan seberani ini. Aku merutuki diriku. Bodoh ... kenapa harus menangis di depannya? Aku malah memperlihatkan ketidakberdayaanku di depan pria yang tak punya hati itu. Satu yang kusyukuri. Tak lama, pria itu pun keluar. Tubuhku langsung luruh ke lantai. Tangisku pun pecah meratapi Kak Abisatya yang begitu membenciku meski aku sudah menuruti semua keinginannya. Bahkan sejak malam pertama kami, bukan rayuan atau ajakan memadu kasih yang dilontarkannya, Kak Abisatya justru menunjukkan penolakannya atas hubungan kami! Jika demikian, kenapa dia harus menerima permintaan kakakku untuk menjadi mempelai pengganti? Harusnya, dia menolak. Biarkan aku menanggung malu sendirian daripada terjebak dalam pernikahan yang tak ubahnya sebuah neraka untuk kami berdua…. “Ya Tuhan. Apa yang harus kulakukan?” lirihku, pedih. Dalam hati, aku berharap dapat memutar waktu jika diizinkan. Sebab, sekuat tenaga aku akan menolak pernikahan ini.Enam bulan sebelumnya, keluarga besarku tengah menyiapkan acara pernikahan. Rumah sudah bising dengan suara orang beraktivitas. Saudara dari Mama dan Papaku sudah berkumpul semua untuk akad esok hari. Aku begitu khawatir mengingat akan melepas status gadis yang selama 20 tahun ini aku sandang. Bukannya tak senang, hanya saja aku merasa masih belum benar-benar siap untuk memasuki tahap berumah tangga. Kuliahku saja masih semester 4. Jadi, aku tidak yakin jika aku bisa menjalankan peran seorang istri dengan baik. Jika bukan karena kesungguhan Bagas, kekasihku, dalam membujuk orang tuaku, sekarang aku pasti masih sedang menghabiskan waktu di mall bersama teman dan sepupuku. Ya, dialah tersangka utamanya! Pria itu sudah tidak sabar mempersunting diriku. Katanya, takut kehilangan aku. Alasan yang terlalu mengada-ngada. Aku bahkan merasa jengah mendengar gombalan dan ungkapan Bagas yang kurasa sangat berlebihan. Tapi, entahlah … aku dan keluargaku merasa Bagas adalah
"Brengsek!" umpat Kak Ganendra seketika. Bugh! Dengan penuh amarah, kakakku itu menghadiahkan bogem mentah tepat di wajah tampan Bagas, hingga pria itu tersungkur. Di sisi lain, aku hanya menatap kosong ke arah dua orang yang sedang berkelahi itu. Entah terbang ke mana perginya rasa belas kasihku melihat Bagas dipukuli? Suara teriakan dan jeritan di sekitarku pun tak membuatku berempati. Berbeda denganku, wanita yang mengaku istrinya Bagas itu terlihat begitu khawatir bahkan sampai menangis melihat keadaan suaminya yang babak belur. Sambil marah-marah, wanita itu membantu Bagas berdiri meski pria itu berulang kali menepis tangannya kasar. "Lepas!" sentak Bagas kembali menepis tangan istri yang dinikahinya empat bulan lalu tanpa sepengetahuanku itu. Aku menoleh saat sebuah tangan merangkulku dari samping. Sandra menatapku sedih. "Sabar," ucapnya. Sabar? Bisakah aku sabar? Kecewa, marah, bercampur malu. Itu yang saat ini berjejalan di otakku. "Pernikahan kamu
"Maaf. Tapi, tolong dengarkan penjelasanku. Aku sama sekali tidak–" "Aku tidak butuh penjelasanmu!" potong Kak Abisatya dengan tatapan tajamnya, hingga bibirku langsung terkatup rapat. "Dengar dan ingat baik-baik ucapanku ini, Tari. Jangan pernah menyentuh barang-barangku, jangan memasak atau mencuci pakaianku. Jangan melakukan pekerjaan rumah meski itu hanya menyapu lantai kamarku,” tambahnya, “Dan yang paling penting, berpura-puralah tidak saling mengenal jika kita bertemu di luar rumah." Tubuhku seketika kaku. Dan air mata luruh begitu saja. Jika waktu bisa diputar…. "Mbak Tari!" panggil Bik Sumi. Asisten rumah tangga mama mertuaku itu menepuk pundakku pelan. Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku. "Dari tadi dipanggil, tapi Mbak Tari nggak denger." "Maaf Bik," ucapku mengedipkan kedua mata yang terasa panas, lalu menarik kedua sudut bibirku paksa, "Ada apa ya Bik?" "Kalau sudah mau magrib, masuk rumah. Jangan malah melamun di luar, ndak baik." Bibik mengikutiku du
Seharusnya, aku tidak lari! Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri. "Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku. "Iya Bik," jawab Kak Satya singkat. "Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya." Aduh! Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya? Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan. Masa harus nunggu Kak Satya berangkat? Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi! Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua. Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini. Tentu tanpa ca
Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih...... Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu. Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini? "Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram. Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta. "Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami. "Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa. Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melo
Dari kafe, kami memutuskan mampir ke taman kota. Sekadar cari angin sambil cari jajanan yang biasanya mangkal di pinggir jalan. Beberapa makanan yang memiliki rasa pedas menjadi pilihan. Suasana hatiku yang sedang kacau terasa lebih lega. Rasa pedas membuat otakku kosong, semua beban pikiran terusir dengan rasa pedas yang rasa membakar lidah dan tenggorokanku."Bakso bakarnya pedas banget," keluh Jihan sambil sambil memegangi telinganya, "Ya Allah!" "Jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit." Sandra mengambil sisa bakso bakar dari tanganku lalu menghabiskannya. Padahal wajahnya sudah memerah. Tak hanya bakso bakar, sosis bakar dan tahu mercon juga Sandra habiskan. Sengaja dia lakukan agar aku tidak memakannya lagi. "Pedes tapi enak," kataku lalu menyesap es teh punyaku sampai tandas. "Hahhh..... lega....." Kulempar cup plasti bekas es teh ke dalam tong sampah. Diikuti Jihan dan Sandra. Setelahnya, kami pun memutuskan untuk pulang Awalnya, aku berniat pulang naik taksi o
"Ada apa ini?" Suara bariton menginstruksi kami menoleh kearah suara. "Kak Satya," panggil Anindia saat kakaknya itu berjalan mendekat. "Lihat, Tari bersikap kasar padaku dan Mbak Danisa." Seperti biasanya gadis yang terpaut satu tahun di atasku itu mengadu pada kakaknya. "Mas, dia menamparku. Sakit sekali pipiku." Tak. ketinggalan Danisa ikut merengek sambil menunjukkan pipinya yang memerah habis aku tampar. Entah kenapa mendengar wanita itu memanggil Kak Satya dengan panggilan 'Mas' membuatku kesal. Dari semua sepupu Kak Satya hanya Danisa yang diizinkan memanggilnya 'Mas'. Istimewa sekali, Gadis yang tadi sempat beradu mulut denganku itu berlagak lemah. Mimik wajahnya berubah kalem dan memelas. "Dia juga menghinaku dengan kata-kata kasar." Adunya lagi dengan berderai air mata. Kak Satya menunduk, menyamakan tinggi tubuhnya dengan wajah Danisa. Terlihat, sedang memeriksa pipi kekasihnya itu. "Ahk.... sakit," rengek Danisa, wanita itu saat ujung jari tangan Kak Satya men
"Selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali." Suara Kak Satya lantang. Aku menghentikan langkahku, menarik nafas panjang lalu menoleh pada sang pria. Sebuah senyum sinis muncul di bibirnya. "Aku tidak akan kembali. Terima kasih untuk semuanya. Hutangku sudah kubayar lunas hari ini. Selamat tinggal." Senyum sini itu langsung lenyap. Mimik wajah Kak Satya langsung berubah garang. Tapi aku tak peduli. Gegas aku berbalik. Dengan penuh keyakinan aku berjalan keluar dari rumah yang selama enam bulan ini menjadi tempat tinggalku. Tempat singgah sementara yang hanya dipenuhi dengan pertengkaran. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak luruh namun begitu mobil berjalan keluar melewati pagar rumah cairan bening itu meluruh tanpa bisa dicegah. Tak bisa bohong, hatiku sakit. Rasa kecewa itu begitu besar. Aku tak menyangka Kak Satya tega menamparku demi membela kekasihnya. Bagaimanapun aku adalah istrinya meski hanya diatas kertas. Tapi, dia sudah melafalk