"Brengsek!" umpat Kak Ganendra seketika.
Bugh! Dengan penuh amarah, kakakku itu menghadiahkan bogem mentah tepat di wajah tampan Bagas, hingga pria itu tersungkur. Di sisi lain, aku hanya menatap kosong ke arah dua orang yang sedang berkelahi itu. Entah terbang ke mana perginya rasa belas kasihku melihat Bagas dipukuli? Suara teriakan dan jeritan di sekitarku pun tak membuatku berempati. Berbeda denganku, wanita yang mengaku istrinya Bagas itu terlihat begitu khawatir bahkan sampai menangis melihat keadaan suaminya yang babak belur. Sambil marah-marah, wanita itu membantu Bagas berdiri meski pria itu berulang kali menepis tangannya kasar. "Lepas!" sentak Bagas kembali menepis tangan istri yang dinikahinya empat bulan lalu tanpa sepengetahuanku itu. Aku menoleh saat sebuah tangan merangkulku dari samping. Sandra menatapku sedih. "Sabar," ucapnya. Sabar? Bisakah aku sabar? Kecewa, marah, bercampur malu. Itu yang saat ini berjejalan di otakku. "Pernikahan kamu dan Tari dibatalkan, aku tidak sudi punya menantu sepertimu," bentak Papa menunjuk Bagas. "Tidak, Om! Tolong jangan batalkan! Saya akan menceraikannya setelah anak itu lahir. Jadi, tolong jangan batalkan pernikahanku dan Tari," mohon Bagas merengek seperti anak kecil. "Apa kamu sudah gila?" sentak Kak Ganendra, "kamu pikir adik saya apaan, sampai menikahi pria beristri?" "Tapi, aku akan segera menceraikannya." "Kak Bagas kenapa ngomong gitu? Sampai mati pun, aku nggak mau bercerai." Wanita itu tampak tak terima, lalu beralih menatapku sengit. "Tari, kamu jangan egois. Aku lebih berhak bersama Kak Bagas daripada kamu. Kamu tidak lihat saya sedang mengandung calon bayinya?" Aku tak menyahut. Kubiarkan saja wanita itu mengoceh sesukanya. Batal nikah, aku memang malu. Tapi merebut suami orang? Aku lebih tidak mau! "Aku lebih baik mati daripada diceraikan," ujar wanita itu tiba-tiba, lalu mengambil sesuatu dari tasnya. Pisau lipat? Jantungku berdegup kencang. Untuk apa dia membawa pisau lipat? Kak Ganendra spontan merentangkan tangannya ke depanku. Srett! Tak terduga, ia malah melukai pergelangan tangannya sendiri. Sontak cairan merah merembes keluar dari luka menganga di kulitnya yang putih. Mengalir deras sampai berceceran di atas lantai teras membuat semua orang panik, termasuk Bagas yang segera memegangi wanita itu. "Apa yang kamu lakukan?" teriaknya sembari merebut pisau dari tangan sang wanita Kepalaku berdenyut nyeri. Pusing sekali. Nafasku bahkan tersendat-sendat. Bersamaan dengan itu pandanganku menggelap dan kesadaranku pun lenyap. Entah berapa lama aku pingsan, aku tak tahu. Yang jelas, saat aku membuka mata, nampak wajah khawatir Sandra terpampang di depan mataku. "Syukurlah, akhirnya kamu sadar juga," gumamnya sembari menatapku sendu. "Bagaimana Mama?" Tiba-tiba pikiran buruk menghinggapi otakku. Seingatku, sebelum pingsan sempat kulihat Mama memegangi dadanya sambil meringis kesakitan. "Tante gak apa, jantungnya baik-baik saja. Tadi, sempat pingsan waktu lihat kamu pingsan. Tapi, sekarang sudah sadar. Tante lagi istirahat di kamarnya." Syukurlah…. Kuhela nafas lega. Mama memiliki penyakit jantung karena itu kami sekeluarga selalu menjaganya agar tidak stress. Tapi, masalah ini pasti akan menjadi beban pikiran Mama. "Phobia-mu makin lama makin parah. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja lihat orang kecelakaan? Bisa-bisa kamu pingsan di jalan. Ck.... keluarga kalian itu drama. Satu phobia darah. Yang satu sakit jantung, dikit-dikit pingsan," lanjut Sandra tanpa rasa bersalah. Sepupuku itu memang tipe orang yang ceplas-ceplos. Jika tidak mengenalnya dengan baik, pasti akan merasa tersinggung dengan mulut lemesnya itu. Ctas! Sebuah jitakan mampir di keningnya. "Aduh.... sakit...." Sandra mengaduh. Sang pelaku berdiri menjulang membuat aku dan Sandra kompak mendongak. "Dijaga omongannya!" tegur Kak Ganendra, "Orang lagi kena musibah malah dibilang drama." "Iya, maaf. Gak maksud buat becandain kok, kak," ucapnya menyesal. Pelan, gadis itu berdiri lalu berjalan keluar. "Kalau sudah kuat, ikut aku ketemu Mama sama Papa," "Ada apa?" Mendadak hatiku merasa tak enak. Mungkinkah.....? "Mama baik-baik saja. Tapi.... akan jadi tak baik jika kamu benar-benar batal menikah." "Maksudnya?" "Kamu harus tetap menikah, Tari." Sontak aku membulatkan mataku, serasa tak percaya dengan apa yang kudengar. "Kak Ganendra gak sedang bercanda, kan? Atau pendengaranku yang bermasalah?" Ya, mungkin saja, pendengaranku sedikit bermasalah setelah tadi aku jatuh pingsan. Bisa saja karena terbentur lantai atau mungkin karena terlalu kaget menerima kabar perselingkuhan calon suamiku sehingga gendang telingaku rusak, kan? "Aku serius dan kamu juga tidak salah dengar. Kamu harus tetap menikah demi menjaga nama baik keluarga kita." "Gak bisa!" tolakku tegas. Ini tidak benar! Kulihat Kak Ganendra menghela nafas dalam. “Coba pikirkan, jika kamu batal menikah Papa dan Mama pasti akan sangat malu, terlebih karena calon pengantin prianya ternyata suami orang." Mendengar itu, aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Ya Allah … kenapa semua jadi seperti ini? Harusnya, aku tidak pernah menerima lamaran Bagas. Jika hanya aku yang malu, tak apa. Tapi, ini menyangkut nama baik keluarga. "Kak, apa tidak ada cara lain? Misalnya Kakak saja yang menikah," usulku mencoba mencari solusi. "Semua orang tahunya kamu yang akan menikah. Lagi pula, aku tidak memiliki calon pengantin perempuan." Pria berwajah mirip denganku itu membuang muka. Merasa frustasi aku pun menggelengkan kepalaku. "Tapi, aku gak mau menikahi suami orang. Apa nanti kata orang?" "Memangnya siapa yang memintamu menikahi Bagas?" Kak Ganendra mendelik. "Aku lebih baik masuk penjara karena menghajar Bagas dari pada melihatmu menikahinya." "Kalau bukan Bagas, aku nikah sama siapa?" Lagi-lagi aku dibuat bingung. "Kamu akan menikah dengan Satya!" Deg! "Apa?" kagetku tak percaya. "Kak Satya? Abisatya? Bagaimana bisa?" Mana mungkin Kak Abisatya bersedia menikahiku? Kakak sepupu dari keluarga Mama itu, sangat tidak menyukaiku! "Iya, Abisatya. Sepupu kita." Aku masih bengong membuat Kak Ganendra tersenyum tipis. "Tante Aisyah dan Om Farhan sudah setuju. Malam ini juga, Satya akan kembali dari Bandung untuk menikah denganmu besok pagi." Rasanya itu sangat mustahil. Seminggu yang lalu saat aku datang mengantarkan undangan dia bahkan menolak hadir tanpa bertanya kapan tanggal pernikahanku. "Aku tidak akan datang. Ada pekerjaan penting," ucapnya waktu itu tanpa menerima undangan yang kuberikan. Sedingin itu Kak Abisatya padaku. Lalu bagaimana bisa, tiba-tiba pria es itu bersedia menikah denganku? Meski dulu kami sempat akrab, tapi sejak kejadian lima tahun lalu itu dia jadi dingin dan menjaga jarak denganku. Jangankan berbicara, bertemu di kampus saja pura-pura tidak kenal! "Kenapa, kami masih sulit percaya? Jangan berprasangka buruk pada Satya. Dia hanya irit bicara bukan orang jahat." "Aku tahu. Tapi...." "Sudah jangan banyak berpikir. Kakak akan mengurus semuanya." Kak Ganendra mengelus puncak kepalaku lembut. Aku tahu dia sangat menyayangiku. Apapun pasti akan dia lakukan untukku. Tapi, untuk yang satu ini aku sedikit takut. "Boleh aku meminta satu hal, Kak?" "Katakan!" "Tolong jangan memaksa Kak Satya. Jika memang ia menolak, tolong batalkan saja pernikahannya," Ya, biarlah aku menanggung malu karena batal nikah daripada membuat orang lain terjebak hidup dalam rumah tangga yang tidak diinginkannya. Tak lama, kakak laki-lakiku itu mengangguk. "Aku janji. Pernikahannya hanya akan terjadi jika Satya setuju." Dan itulah yang terjadi…. Aku tak menyangka seorang Abisatya Putra Aditama benar-benar melafalkan akad nikah atas diriku keesokan harinya. Dia mengambil alih tanggung jawab atas jiwa dan ragaku. Kak Abisatya telah mengikrarkan janji suci untuk setia hidup bersama denganku dengan disaksikan oleh Allah dan malaikat-malaikat-Nya, juga semua keluarga besar kami ikut menyaksikan acara sakral itu. Detik aku resmi menjadi istri dari pria yang sangat aku kagumi sejak kecil, aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengabdikan seluruh jiwa dan ragaku untuknya dan keluarga kecil kami. Aku sampai berencana untuk berhenti kuliah jika kami dianugerahi momongan dalam pernikahan kami. Sebahagia itu aku karena telah menjadi istri dari seorang Abisatya Putra Aditama yang seorang dokter bedah sekaligus dosen di sebuah universitas negeri. Dan juga ... cinta pertamaku yang bertepuk sebelah tangan. Takdir memang tak ada yang tahu. Aku kehilangan calon suami dan kini mendapat cinta pertamaku kembali. Namun, kebahagiaan itu hanya anganku saja. Semua tak seindah yang kubayangkan. Di malam pertama kami, pria yang sangat kukagumi itu melemparkan aku ke jurang terdalam. "Jangan berharap lebih! Aku menikahimu hanya karena kasihan dengan orang tuamu. Aku tidak akan menyentuh bekas orang." Ucapannya malam itu bak pedang yang menghujam jantungku. Bukan meneguk cawan madu surga, tapi minuman beracun yang pria itu berikan di malam pertama. "Entah dosa apa mereka, sampai memiliki anak sepertimu. Bikin malu keluarga," makinya, lagi. "Apa maksud Mas Satya?" Kuberanikan diri menatap pria yang saat itu juga sedang menatapku dengan pandangan jijik. "Masih bisa bertanya? Kamu memang tidak tahu malu!" Pria yang masih mengenakan jas hitam itu menggelengkan kepalanya. "Hanya wanita murahan yang tak sadar kalau dirinya nyaris menikahi suami orang, sampai aku harus berkorban." Deg!"Maaf. Tapi, tolong dengarkan penjelasanku. Aku sama sekali tidak–" "Aku tidak butuh penjelasanmu!" potong Kak Abisatya dengan tatapan tajamnya, hingga bibirku langsung terkatup rapat. "Dengar dan ingat baik-baik ucapanku ini, Tari. Jangan pernah menyentuh barang-barangku, jangan memasak atau mencuci pakaianku. Jangan melakukan pekerjaan rumah meski itu hanya menyapu lantai kamarku,” tambahnya, “Dan yang paling penting, berpura-puralah tidak saling mengenal jika kita bertemu di luar rumah." Tubuhku seketika kaku. Dan air mata luruh begitu saja. Jika waktu bisa diputar…. "Mbak Tari!" panggil Bik Sumi. Asisten rumah tangga mama mertuaku itu menepuk pundakku pelan. Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku. "Dari tadi dipanggil, tapi Mbak Tari nggak denger." "Maaf Bik," ucapku mengedipkan kedua mata yang terasa panas, lalu menarik kedua sudut bibirku paksa, "Ada apa ya Bik?" "Kalau sudah mau magrib, masuk rumah. Jangan malah melamun di luar, ndak baik." Bibik mengikutiku du
Seharusnya, aku tidak lari! Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri. "Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku. "Iya Bik," jawab Kak Satya singkat. "Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya." Aduh! Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya? Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan. Masa harus nunggu Kak Satya berangkat? Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi! Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua. Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini. Tentu tanpa ca
Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih...... Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu. Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini? "Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram. Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta. "Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami. "Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa. Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melo
Dari kafe, kami memutuskan mampir ke taman kota. Sekadar cari angin sambil cari jajanan yang biasanya mangkal di pinggir jalan. Beberapa makanan yang memiliki rasa pedas menjadi pilihan. Suasana hatiku yang sedang kacau terasa lebih lega. Rasa pedas membuat otakku kosong, semua beban pikiran terusir dengan rasa pedas yang rasa membakar lidah dan tenggorokanku."Bakso bakarnya pedas banget," keluh Jihan sambil sambil memegangi telinganya, "Ya Allah!" "Jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit." Sandra mengambil sisa bakso bakar dari tanganku lalu menghabiskannya. Padahal wajahnya sudah memerah. Tak hanya bakso bakar, sosis bakar dan tahu mercon juga Sandra habiskan. Sengaja dia lakukan agar aku tidak memakannya lagi. "Pedes tapi enak," kataku lalu menyesap es teh punyaku sampai tandas. "Hahhh..... lega....." Kulempar cup plasti bekas es teh ke dalam tong sampah. Diikuti Jihan dan Sandra. Setelahnya, kami pun memutuskan untuk pulang Awalnya, aku berniat pulang naik taksi o
"Ada apa ini?" Suara bariton menginstruksi kami menoleh kearah suara. "Kak Satya," panggil Anindia saat kakaknya itu berjalan mendekat. "Lihat, Tari bersikap kasar padaku dan Mbak Danisa." Seperti biasanya gadis yang terpaut satu tahun di atasku itu mengadu pada kakaknya. "Mas, dia menamparku. Sakit sekali pipiku." Tak. ketinggalan Danisa ikut merengek sambil menunjukkan pipinya yang memerah habis aku tampar. Entah kenapa mendengar wanita itu memanggil Kak Satya dengan panggilan 'Mas' membuatku kesal. Dari semua sepupu Kak Satya hanya Danisa yang diizinkan memanggilnya 'Mas'. Istimewa sekali, Gadis yang tadi sempat beradu mulut denganku itu berlagak lemah. Mimik wajahnya berubah kalem dan memelas. "Dia juga menghinaku dengan kata-kata kasar." Adunya lagi dengan berderai air mata. Kak Satya menunduk, menyamakan tinggi tubuhnya dengan wajah Danisa. Terlihat, sedang memeriksa pipi kekasihnya itu. "Ahk.... sakit," rengek Danisa, wanita itu saat ujung jari tangan Kak Satya men
"Selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali." Suara Kak Satya lantang. Aku menghentikan langkahku, menarik nafas panjang lalu menoleh pada sang pria. Sebuah senyum sinis muncul di bibirnya. "Aku tidak akan kembali. Terima kasih untuk semuanya. Hutangku sudah kubayar lunas hari ini. Selamat tinggal." Senyum sini itu langsung lenyap. Mimik wajah Kak Satya langsung berubah garang. Tapi aku tak peduli. Gegas aku berbalik. Dengan penuh keyakinan aku berjalan keluar dari rumah yang selama enam bulan ini menjadi tempat tinggalku. Tempat singgah sementara yang hanya dipenuhi dengan pertengkaran. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak luruh namun begitu mobil berjalan keluar melewati pagar rumah cairan bening itu meluruh tanpa bisa dicegah. Tak bisa bohong, hatiku sakit. Rasa kecewa itu begitu besar. Aku tak menyangka Kak Satya tega menamparku demi membela kekasihnya. Bagaimanapun aku adalah istrinya meski hanya diatas kertas. Tapi, dia sudah melafalk
Pov Author. Pagi ini Ganendra mendapat pesan dari Jihan, teman dekat sang adik. Memintanya untuk bertemu di depan kampusnya. Sempat merasa bingung namun rasa penasaran membuat pria berwajah tampan itu menyisihkan waktunya untuk menemui teman adiknya itu. Dan feeling-nya benar. Gadis itu tak mungkin iseng ingin bertemu dengannya. Pasti ada sesuatu yang penting sampai gadis yang ia tahu pendiam dan pemalu itu berani mengirim pesan padanya. Tepat pukul 10 pagi Ganendra menghentikan mobilnya beberapa meter dari gerbang kampus dimana Jihan sudah menunggunya. Lima menit sudah mereka berbicara di dalam mobil dan ekspresi Ganendra yang tadinya santai berubah penuh amarah. Ganendra mencengkeram kuat stir mobil. Darahnya serasa mendidih mendengar cerita yang mengalir lancar dari bibir Jihan. Sahabat Bestari itu menceritakan kebenaran tentang rumah tangga adiknya yang selama ini ternyata penuh dengan kebohongan. Abisatya Putra Aditama yang dia kira ikhlas menerima perjodohan ternya
"Apa kamu sudah kehilangan otakmu karena cinta? Sampai rela dipukul dan dihina?" Ganendra menatap tajam adiknya itu. Tahu salah, Bestari pun menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu menyembunyikannya?" tanya Ganendra geram. Tak tega, pria itu mengalihkan pandangannya ke arah jalanan di depannya. Sedang Bestari tetap menunduk dengan mulut tertutup rapat. "Sampai kapan? Sampai kamu kehilangan nyawamu? Barulah kami tahu?" Sontak Bestari menatap sang kakak. Tak menyangka sebesar itu prasangka buruknya pada Satya. "Kak Satya tidak sejahat itu," bantahnya. Ganendra terkekeh, "Ternyata cinta sudah benar-benar mengosongkan isi otakmu," Ganendra menata adiknya miris. "Lihat dirimu sekarang!!" sentaknya dan langsung membuat Bestari berjingkat kaget. Seumur hidupnya sekalipun Ganendra tidak pernah memarahinya, ada apalagi membentak. Dan ini kali pertama Bestari dibentak kakak kandungnya itu. Tak urung membuat gadis itu meneteskan air matanya. Tak berhenti, Ganendra terus member
"Sah?" ucap penghulu setelah selesai0 Guntur mengucapkan janji suci atas nama Anindya dengan menjabat tangan Farhan, ayah kandung dari wanita yang saat ini sedang menunggu di ruang tunggu pengantin dengan jantung berdegup kencang. Hanya dengan satu tarikan nafas, lafadz itu berhasil Guntur ucapkan tanpa kesalahan, meski disertai rasa gugup dan detak jantung yang tak beraturan. Ac ruangan seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya entah kenapa mengeluarkan keringan sebesar biji jagung dari kedua pelipisnya. "Sah," seru Ibra dan seorang pria dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Guntur memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang. "Alhamdulillah....." ucapnya yang entah kenapa berbarengan dengan Anindya yang ada di ruang tunggu. Gadis itu menakupkan kedua telapak tangannya saat lantunan do'a terdengar. Tak hanya kedua mempelai yang merasa terharu hampir semua yang hadir di ruangan private wedding itu
"Banyak hal dalam hidup Guntur yang sudah kau ambil. Apa otak cerdasmu itu tidak mampu menghitungnya?" "Memangnya apa yang sudah aku ambil, Pa? Tolong jelaskan aku benar-benar tidak faham," tanya Gibran berusaha sopan meski ada rasa tidak terima bergemuruh di dalam dadanya. Selama hidupnya, Gibran tidak pernah mengusik Guntur. Apapun yang dilakukan kakaknya itu Gibran tak pernah sekalipun ikut campur. Jangankan melarang, memprotes saja tidak. Sebaliknya, Guntur yang selalu ikut campur urusan Gibran. "Kenapa Papa diam? Ayo jelaskan," pinta Gibran tak sabar. Ario, mendesah berat. Ada rasa enggan untuk membahas apa yang sudah berlalu. Ibarat membuka luka lama. Namun, putra keduanya itu harus tahu sebesar apa pengorbanan Guntur untuk dirinya. Ario menghela nafas panjang sebelum bicara. "Apakah hatimu sedingin itu sampai tak bisa melihat betapa besar pengorbanan kakakmu itu?" "Maksudnya apa? Tolong bicara yang jelas," ujar Gibran tak sabar. Ario pun tak lagi segan. "Hal
"Kudengar kamu menemui wanita itu?" tanya Ario pada Gibran saat makan malam. Hari ini Gibran pulang lebih awal dari biasanya. Tentu karena permintaan sang papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Meski enggan Gibran menuruti permintaan papanya itu. Gibran mengangkat wajahnya memandang Ario sedang menatapnya sembari mengunyah makanan di mulutnya. "Hemm," jawab Gibran singkat, lalu kembali menunduk fokus dengan makanannya. "Untuk apa wanita itu menemuimu?" tanya Ario lagi. Gibran mendesah berat, mereka sedang makan malam bersama setelah beberapa waktu tidak ada waktu untuk berkumpul seperti ini. Diliriknya Gia yang terlihat menghentikan gerak tangannya. Gadis itu juga nampak menahan tak senang. Dalam hati Gibran merutuki sikap papanya yang tidak tahu tempat. Tidak pernah bisa mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang tentu saja sangat sensitif untuk dibahas di rumah mereka. Saat ini mereka sedang makan malam bersama, meski masalah itu penting setidakny
"Coba tebak kenapa aku tidak menolak?" tanya balik Atika. Sebuah ekspresi yang sulit Gibran baca. Satu alis Gibran terangkat. Matanya berusaha membaca ekspresi wajah Atika. Dari sorot mata wanita itu tersirat luka dan kekecewaan yang mendalam. Tatapan itu juga menyimpan dendam yang amat sangat. Entah itu pada keluarga Gibran atau malah pada Gibran sendiri. "Coba tebak," ujar Atika mengangkat dagunya. Gibran mendesah berat. "Sayangnya saya tidak suka main tebak-tebakan," katanya enggan. Pria itu tidak mau menunjukkan rasa penasarannya. Tidak ingin memberi kesempatan untuk Atika kembali mempermainkan rasa ibanya. Kalaupun Atika tidak mau bercerita, Gibran masih punya banyak sumber informasi lain yang bisa dia tanyai. Sadar umpannya tak mengenai sasaran, Atika menghela nafas panjang. Meski begitu wanita itu tak putus asa. Jika kali ini tidak berhasil dia akan mencari cara lain. Gibran adalah putra yang dibesarkannya dari bayi sampai dewasa, tentu saja dirinya tahu aoay ya
Pagi ini Gibran kembali menerima pesan dari Atika. Mantan ibu tirinya itu memberi kabar, jika dirinya sudah sampai di Indonesia sejak kemarin malam. Dan siang ini wanita itu meminta waktu untuk bertemu. Meski enggan tapi pria itu tak sampai hati menolak permintaan wanita yang dulu pernah amat sangat disayanginya. Di sela-sela kesibukannya, putra kedua keluarga Wiratama itu menyempatkan datang ke sebuah resto di pusat kota, tempat yang dipilih Atika untuk menunggu pria itu. Pukul satu lebih Gibran baru sampai di resto bergaya Italia itu. Satu jam lebih lambat dari permintaan Atika. Sebuah meeting dadakan yang cukup penting tidak mungkin diakhirinya demi menemui wanita yang sudah menipunya puluhan tahun. Gibran melangkah masuk dengan diikuti Andi, asisten setianya. Dia sudah tidak berharap Atika masih menunggu, kalaupun wanita itu sudah pergi tapi setidaknya dirinya dan sang asisten harus makan siang. Tapi ternyata Gibran salah, wanita berwajah kalem itu masih duduk tenan
"Dua tahun aku mengalah. Menahan diri untuk memperjuangkan rasaku padanya demi untuk memberimu kesempatan untuk memperjuangkan cintamu. Tapi apa, kamu hanya diam di tempat. Kamu membiarkan di sana dia sendiri bersama lukanya. Apakah itu yang kamu sebut cinta?" "Aku menunggunya untuk..... untuk...." Mendadak otak Gibran kosong. Tak ada kata yang tepat untuk membenarkan sikapnya yang hanya diam saja selama dua tahun ini. Guntur mendesah berat, ada rasa iba melihat adiknya kembali kehilangan orang yang dicintainya, namun dirinya juga tidak ingin melepaskan cinta yang sudah diperjuangkannya dengan mempertaruhkan harga dirinya juga kedudukan sebagai CEO pun dilepasnya demi Anindya. "Dia tidak terluka karena kamu. Harusnya kamu masih bisa mendekatinya sebagai teman. Menemaninya mengobati luka hatinya," kata Guntur lagi. "Aku pikir dengan memberinya waktu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah waktu adalah obat terbaik?" Gibran menatap lekat Guntur. "Salah, wa
Gibran sampai rumah pukul delapan pagi setelah menggunakan penerbangan pertama dini hari dari bandara Juanda Surabaya. Semalaman Gibran ditemani Andi menjelajahi kota yang terkenal dengan kota pahlawan itu. Untuk mengalahkan rasa sakit hatinya pria dingin itu menyewa tour guide lewat onlin untuk mengantarkan mereka mencari tempat makan unik dan kuliner khas kota itu di malam hari. Dari Bandara mobil yang di kendarai oleh Andi berhenti di halaman rumah mewah keluarga Wiratama. "Kamu bawa saja mobilnya. Pagi ini kamu tidak perlu ke kantor. Suruh Cika menghandle semuanya," ucap Gibran begitu mobil berhenti. "Baik Pak," "Jangan lupa siang nanti kita ada meeting, kamu jemput saya." Tambahnya sebelum turun. Dengan langkah lebar Gibran memasuki rumah yang sudah dua tahun ini terasa sangat sepi. Apalagi saat pagi. Ario, sang papa pasti sibuk di kantor dan Anggia, adik bungsunya sepengetahuannya masih menghabiskan waktu libur kuliahnya di Surabaya.Atika sang Mama, yang dulu
Sudah satu jam Gibran duduk termenung di salah satu kursi tunggu di bandara Juanda Surabaya. kepalanya menunduk menatap ujung sepatunya dengan tangan saling bertautan kuat. Berusaha menahan rasa pilu dari luka yang kini menganga di hatinya. Suara lembut Anindya beberapa jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di otaknya. "Iya, aku menerimanya. Dua minggu lagi kami akan menikah." Seperti di gempur tsunami dari samudera, ucapan Anindya seketika memporak-porandakan hatinya sampai hancur berkeping-keping. Bagaimana hatinya tidak terluka, wanita yabg dia cintai akan menikahi kakak kandungnya. Dirinya saja bekum bisa merelakan perpisahan mereka dan hanya kurang dari empat belas hari cintanya itu akan jadi kakak iparnya. Tidak adakah pria lain yang bida dicintai Anindya selain Guntur? Tidak bisakah gadis itu memikirkan perasaannya? Entah sudah berapa kali desahan berat keluar dari bibir tipisnya. Sesak itu benar-benar terasa menyesakkan dadanya hingga membuat pria yang
Anindya jadi kesal sendiri jika teringat kejadian lamaran kemarin. Ternyata semua sudah direncanakan oleh Guntur. Natalie dan semua keluarga mereka sengaja diminta pria itu untuk mengikuti skenario yang dibuat olehnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Guntur sampai bisa meluluhkan hati Farhan dan Satya sampai-sampai dua pria keras kepala itu setuju membantu Guntur untuk mendapatkan Anindya meski dengan jalan menipu gadis itu. Satu bulan sebelum hari H berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh kedua belah keluarga. K3dua mempelai hanya bisa pasrah karena kesibukan pekerjaan dan kuliah. Jadilah seluruh persiapan diambil alih oleh pihak keluarga. Dari keluarga Anindya tentu saja Aisyah dan Tari yang pegang kendali. Mertua dan menantu itu sangat bersemangat dalam mengurus segala keperluan untuk pernikahan Anindya dan Guntur. Saking sibuknya sampai membuat Satya sempat marah karena takut membahayakan kondisi Tari yang sedang hamil anak kedua mereka. "Serahkan pada EO aja.