"Brengsek!" umpat Kak Ganendra seketika.
Bugh! Dengan penuh amarah, kakakku itu menghadiahkan bogem mentah tepat di wajah tampan Bagas, hingga pria itu tersungkur. Di sisi lain, aku hanya menatap kosong ke arah dua orang yang sedang berkelahi itu. Entah terbang ke mana perginya rasa belas kasihku melihat Bagas dipukuli? Suara teriakan dan jeritan di sekitarku pun tak membuatku berempati. Berbeda denganku, wanita yang mengaku istrinya Bagas itu terlihat begitu khawatir bahkan sampai menangis melihat keadaan suaminya yang babak belur. Sambil marah-marah, wanita itu membantu Bagas berdiri meski pria itu berulang kali menepis tangannya kasar. "Lepas!" sentak Bagas kembali menepis tangan istri yang dinikahinya empat bulan lalu tanpa sepengetahuanku itu. Aku menoleh saat sebuah tangan merangkulku dari samping. Sandra menatapku sedih. "Sabar," ucapnya. Sabar? Bisakah aku sabar? Kecewa, marah, bercampur malu. Itu yang saat ini berjejalan di otakku. "Pernikahan kamu dan Tari dibatalkan, aku tidak sudi punya menantu sepertimu," bentak Papa menunjuk Bagas. "Tidak, Om! Tolong jangan batalkan! Saya akan menceraikannya setelah anak itu lahir. Jadi, tolong jangan batalkan pernikahanku dan Tari," mohon Bagas merengek seperti anak kecil. "Apa kamu sudah gila?" sentak Kak Ganendra, "kamu pikir adik saya apaan, sampai menikahi pria beristri?" "Tapi, aku akan segera menceraikannya." "Kak Bagas kenapa ngomong gitu? Sampai mati pun, aku nggak mau bercerai." Wanita itu tampak tak terima, lalu beralih menatapku sengit. "Tari, kamu jangan egois. Aku lebih berhak bersama Kak Bagas daripada kamu. Kamu tidak lihat saya sedang mengandung calon bayinya?" Aku tak menyahut. Kubiarkan saja wanita itu mengoceh sesukanya. Batal nikah, aku memang malu. Tapi merebut suami orang? Aku lebih tidak mau! "Aku lebih baik mati daripada diceraikan," ujar wanita itu tiba-tiba, lalu mengambil sesuatu dari tasnya. Pisau lipat? Jantungku berdegup kencang. Untuk apa dia membawa pisau lipat? Kak Ganendra spontan merentangkan tangannya ke depanku. Srett! Tak terduga, ia malah melukai pergelangan tangannya sendiri. Sontak cairan merah merembes keluar dari luka menganga di kulitnya yang putih. Mengalir deras sampai berceceran di atas lantai teras membuat semua orang panik, termasuk Bagas yang segera memegangi wanita itu. "Apa yang kamu lakukan?" teriaknya sembari merebut pisau dari tangan sang wanita Kepalaku berdenyut nyeri. Pusing sekali. Nafasku bahkan tersendat-sendat. Bersamaan dengan itu pandanganku menggelap dan kesadaranku pun lenyap. Entah berapa lama aku pingsan, aku tak tahu. Yang jelas, saat aku membuka mata, nampak wajah khawatir Sandra terpampang di depan mataku. "Syukurlah, akhirnya kamu sadar juga," gumamnya sembari menatapku sendu. "Bagaimana Mama?" Tiba-tiba pikiran buruk menghinggapi otakku. Seingatku, sebelum pingsan sempat kulihat Mama memegangi dadanya sambil meringis kesakitan. "Tante gak apa, jantungnya baik-baik saja. Tadi, sempat pingsan waktu lihat kamu pingsan. Tapi, sekarang sudah sadar. Tante lagi istirahat di kamarnya." Syukurlah…. Kuhela nafas lega. Mama memiliki penyakit jantung karena itu kami sekeluarga selalu menjaganya agar tidak stress. Tapi, masalah ini pasti akan menjadi beban pikiran Mama. "Phobia-mu makin lama makin parah. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja lihat orang kecelakaan? Bisa-bisa kamu pingsan di jalan. Ck.... keluarga kalian itu drama. Satu phobia darah. Yang satu sakit jantung, dikit-dikit pingsan," lanjut Sandra tanpa rasa bersalah. Sepupuku itu memang tipe orang yang ceplas-ceplos. Jika tidak mengenalnya dengan baik, pasti akan merasa tersinggung dengan mulut lemesnya itu. Ctas! Sebuah jitakan mampir di keningnya. "Aduh.... sakit...." Sandra mengaduh. Sang pelaku berdiri menjulang membuat aku dan Sandra kompak mendongak. "Dijaga omongannya!" tegur Kak Ganendra, "Orang lagi kena musibah malah dibilang drama." "Iya, maaf. Gak maksud buat becandain kok, kak," ucapnya menyesal. Pelan, gadis itu berdiri lalu berjalan keluar. "Kalau sudah kuat, ikut aku ketemu Mama sama Papa," "Ada apa?" Mendadak hatiku merasa tak enak. Mungkinkah.....? "Mama baik-baik saja. Tapi.... akan jadi tak baik jika kamu benar-benar batal menikah." "Maksudnya?" "Kamu harus tetap menikah, Tari." Sontak aku membulatkan mataku, serasa tak percaya dengan apa yang kudengar. "Kak Ganendra gak sedang bercanda, kan? Atau pendengaranku yang bermasalah?" Ya, mungkin saja, pendengaranku sedikit bermasalah setelah tadi aku jatuh pingsan. Bisa saja karena terbentur lantai atau mungkin karena terlalu kaget menerima kabar perselingkuhan calon suamiku sehingga gendang telingaku rusak, kan? "Aku serius dan kamu juga tidak salah dengar. Kamu harus tetap menikah demi menjaga nama baik keluarga kita." "Gak bisa!" tolakku tegas. Ini tidak benar! Kulihat Kak Ganendra menghela nafas dalam. “Coba pikirkan, jika kamu batal menikah Papa dan Mama pasti akan sangat malu, terlebih karena calon pengantin prianya ternyata suami orang." Mendengar itu, aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Ya Allah … kenapa semua jadi seperti ini? Harusnya, aku tidak pernah menerima lamaran Bagas. Jika hanya aku yang malu, tak apa. Tapi, ini menyangkut nama baik keluarga. "Kak, apa tidak ada cara lain? Misalnya Kakak saja yang menikah," usulku mencoba mencari solusi. "Semua orang tahunya kamu yang akan menikah. Lagi pula, aku tidak memiliki calon pengantin perempuan." Pria berwajah mirip denganku itu membuang muka. Merasa frustasi aku pun menggelengkan kepalaku. "Tapi, aku gak mau menikahi suami orang. Apa nanti kata orang?" "Memangnya siapa yang memintamu menikahi Bagas?" Kak Ganendra mendelik. "Aku lebih baik masuk penjara karena menghajar Bagas dari pada melihatmu menikahinya." "Kalau bukan Bagas, aku nikah sama siapa?" Lagi-lagi aku dibuat bingung. "Kamu akan menikah dengan Satya!" Deg! "Apa?" kagetku tak percaya. "Kak Satya? Abisatya? Bagaimana bisa?" Mana mungkin Kak Abisatya bersedia menikahiku? Kakak sepupu dari keluarga Mama itu, sangat tidak menyukaiku! "Iya, Abisatya. Sepupu kita." Aku masih bengong membuat Kak Ganendra tersenyum tipis. "Tante Aisyah dan Om Farhan sudah setuju. Malam ini juga, Satya akan kembali dari Bandung untuk menikah denganmu besok pagi." Rasanya itu sangat mustahil. Seminggu yang lalu saat aku datang mengantarkan undangan dia bahkan menolak hadir tanpa bertanya kapan tanggal pernikahanku. "Aku tidak akan datang. Ada pekerjaan penting," ucapnya waktu itu tanpa menerima undangan yang kuberikan. Sedingin itu Kak Abisatya padaku. Lalu bagaimana bisa, tiba-tiba pria es itu bersedia menikah denganku? Meski dulu kami sempat akrab, tapi sejak kejadian lima tahun lalu itu dia jadi dingin dan menjaga jarak denganku. Jangankan berbicara, bertemu di kampus saja pura-pura tidak kenal! "Kenapa, kami masih sulit percaya? Jangan berprasangka buruk pada Satya. Dia hanya irit bicara bukan orang jahat." "Aku tahu. Tapi...." "Sudah jangan banyak berpikir. Kakak akan mengurus semuanya." Kak Ganendra mengelus puncak kepalaku lembut. Aku tahu dia sangat menyayangiku. Apapun pasti akan dia lakukan untukku. Tapi, untuk yang satu ini aku sedikit takut. "Boleh aku meminta satu hal, Kak?" "Katakan!" "Tolong jangan memaksa Kak Satya. Jika memang ia menolak, tolong batalkan saja pernikahannya," Ya, biarlah aku menanggung malu karena batal nikah daripada membuat orang lain terjebak hidup dalam rumah tangga yang tidak diinginkannya. Tak lama, kakak laki-lakiku itu mengangguk. "Aku janji. Pernikahannya hanya akan terjadi jika Satya setuju." Dan itulah yang terjadi…. Aku tak menyangka seorang Abisatya Putra Aditama benar-benar melafalkan akad nikah atas diriku keesokan harinya. Dia mengambil alih tanggung jawab atas jiwa dan ragaku. Kak Abisatya telah mengikrarkan janji suci untuk setia hidup bersama denganku dengan disaksikan oleh Allah dan malaikat-malaikat-Nya, juga semua keluarga besar kami ikut menyaksikan acara sakral itu. Detik aku resmi menjadi istri dari pria yang sangat aku kagumi sejak kecil, aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengabdikan seluruh jiwa dan ragaku untuknya dan keluarga kecil kami. Aku sampai berencana untuk berhenti kuliah jika kami dianugerahi momongan dalam pernikahan kami. Sebahagia itu aku karena telah menjadi istri dari seorang Abisatya Putra Aditama yang seorang dokter bedah sekaligus dosen di sebuah universitas negeri. Dan juga ... cinta pertamaku yang bertepuk sebelah tangan. Takdir memang tak ada yang tahu. Aku kehilangan calon suami dan kini mendapat cinta pertamaku kembali. Namun, kebahagiaan itu hanya anganku saja. Semua tak seindah yang kubayangkan. Di malam pertama kami, pria yang sangat kukagumi itu melemparkan aku ke jurang terdalam. "Jangan berharap lebih! Aku menikahimu hanya karena kasihan dengan orang tuamu. Aku tidak akan menyentuh bekas orang." Ucapannya malam itu bak pedang yang menghujam jantungku. Bukan meneguk cawan madu surga, tapi minuman beracun yang pria itu berikan di malam pertama. "Entah dosa apa mereka, sampai memiliki anak sepertimu. Bikin malu keluarga," makinya, lagi. "Apa maksud Mas Satya?" Kuberanikan diri menatap pria yang saat itu juga sedang menatapku dengan pandangan jijik. "Masih bisa bertanya? Kamu memang tidak tahu malu!" Pria yang masih mengenakan jas hitam itu menggelengkan kepalanya. "Hanya wanita murahan yang tak sadar kalau dirinya nyaris menikahi suami orang, sampai aku harus berkorban." Deg!"Maaf. Tapi, tolong dengarkan penjelasanku. Aku sama sekali tidak–" "Aku tidak butuh penjelasanmu!" potong Kak Abisatya dengan tatapan tajamnya, hingga bibirku langsung terkatup rapat. "Dengar dan ingat baik-baik ucapanku ini, Tari. Jangan pernah menyentuh barang-barangku, jangan memasak atau mencuci pakaianku. Jangan melakukan pekerjaan rumah meski itu hanya menyapu lantai kamarku,” tambahnya, “Dan yang paling penting, berpura-puralah tidak saling mengenal jika kita bertemu di luar rumah." Tubuhku seketika kaku. Dan air mata luruh begitu saja. Jika waktu bisa diputar…. "Mbak Tari!" panggil Bik Sumi. Asisten rumah tangga mama mertuaku itu menepuk pundakku pelan. Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku. "Dari tadi dipanggil, tapi Mbak Tari nggak denger." "Maaf Bik," ucapku mengedipkan kedua mata yang terasa panas, lalu menarik kedua sudut bibirku paksa, "Ada apa ya Bik?" "Kalau sudah mau magrib, masuk rumah. Jangan malah melamun di luar, ndak baik." Bibik mengikutiku du
Seharusnya, aku tidak lari! Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri. "Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku. "Iya Bik," jawab Kak Satya singkat. "Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya." Aduh! Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya? Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan. Masa harus nunggu Kak Satya berangkat? Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi! Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua. Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini. Tentu tanpa ca
Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih...... Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu. Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini? "Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram. Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta. "Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami. "Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa. Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melo
Dari kafe, kami memutuskan mampir ke taman kota. Sekadar cari angin sambil cari jajanan yang biasanya mangkal di pinggir jalan. Beberapa makanan yang memiliki rasa pedas menjadi pilihan. Suasana hatiku yang sedang kacau terasa lebih lega. Rasa pedas membuat otakku kosong, semua beban pikiran terusir dengan rasa pedas yang rasa membakar lidah dan tenggorokanku."Bakso bakarnya pedas banget," keluh Jihan sambil sambil memegangi telinganya, "Ya Allah!" "Jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit." Sandra mengambil sisa bakso bakar dari tanganku lalu menghabiskannya. Padahal wajahnya sudah memerah. Tak hanya bakso bakar, sosis bakar dan tahu mercon juga Sandra habiskan. Sengaja dia lakukan agar aku tidak memakannya lagi. "Pedes tapi enak," kataku lalu menyesap es teh punyaku sampai tandas. "Hahhh..... lega....." Kulempar cup plasti bekas es teh ke dalam tong sampah. Diikuti Jihan dan Sandra. Setelahnya, kami pun memutuskan untuk pulang Awalnya, aku berniat pulang naik taksi o
"Ada apa ini?" Suara bariton menginstruksi kami menoleh kearah suara. "Kak Satya," panggil Anindia saat kakaknya itu berjalan mendekat. "Lihat, Tari bersikap kasar padaku dan Mbak Danisa." Seperti biasanya gadis yang terpaut satu tahun di atasku itu mengadu pada kakaknya. "Mas, dia menamparku. Sakit sekali pipiku." Tak. ketinggalan Danisa ikut merengek sambil menunjukkan pipinya yang memerah habis aku tampar. Entah kenapa mendengar wanita itu memanggil Kak Satya dengan panggilan 'Mas' membuatku kesal. Dari semua sepupu Kak Satya hanya Danisa yang diizinkan memanggilnya 'Mas'. Istimewa sekali, Gadis yang tadi sempat beradu mulut denganku itu berlagak lemah. Mimik wajahnya berubah kalem dan memelas. "Dia juga menghinaku dengan kata-kata kasar." Adunya lagi dengan berderai air mata. Kak Satya menunduk, menyamakan tinggi tubuhnya dengan wajah Danisa. Terlihat, sedang memeriksa pipi kekasihnya itu. "Ahk.... sakit," rengek Danisa, wanita itu saat ujung jari tangan Kak Satya men
"Selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali." Suara Kak Satya lantang. Aku menghentikan langkahku, menarik nafas panjang lalu menoleh pada sang pria. Sebuah senyum sinis muncul di bibirnya. "Aku tidak akan kembali. Terima kasih untuk semuanya. Hutangku sudah kubayar lunas hari ini. Selamat tinggal." Senyum sini itu langsung lenyap. Mimik wajah Kak Satya langsung berubah garang. Tapi aku tak peduli. Gegas aku berbalik. Dengan penuh keyakinan aku berjalan keluar dari rumah yang selama enam bulan ini menjadi tempat tinggalku. Tempat singgah sementara yang hanya dipenuhi dengan pertengkaran. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak luruh namun begitu mobil berjalan keluar melewati pagar rumah cairan bening itu meluruh tanpa bisa dicegah. Tak bisa bohong, hatiku sakit. Rasa kecewa itu begitu besar. Aku tak menyangka Kak Satya tega menamparku demi membela kekasihnya. Bagaimanapun aku adalah istrinya meski hanya diatas kertas. Tapi, dia sudah melafalk
Pov Author. Pagi ini Ganendra mendapat pesan dari Jihan, teman dekat sang adik. Memintanya untuk bertemu di depan kampusnya. Sempat merasa bingung namun rasa penasaran membuat pria berwajah tampan itu menyisihkan waktunya untuk menemui teman adiknya itu. Dan feeling-nya benar. Gadis itu tak mungkin iseng ingin bertemu dengannya. Pasti ada sesuatu yang penting sampai gadis yang ia tahu pendiam dan pemalu itu berani mengirim pesan padanya. Tepat pukul 10 pagi Ganendra menghentikan mobilnya beberapa meter dari gerbang kampus dimana Jihan sudah menunggunya. Lima menit sudah mereka berbicara di dalam mobil dan ekspresi Ganendra yang tadinya santai berubah penuh amarah. Ganendra mencengkeram kuat stir mobil. Darahnya serasa mendidih mendengar cerita yang mengalir lancar dari bibir Jihan. Sahabat Bestari itu menceritakan kebenaran tentang rumah tangga adiknya yang selama ini ternyata penuh dengan kebohongan. Abisatya Putra Aditama yang dia kira ikhlas menerima perjodohan ternya
"Apa kamu sudah kehilangan otakmu karena cinta? Sampai rela dipukul dan dihina?" Ganendra menatap tajam adiknya itu. Tahu salah, Bestari pun menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu menyembunyikannya?" tanya Ganendra geram. Tak tega, pria itu mengalihkan pandangannya ke arah jalanan di depannya. Sedang Bestari tetap menunduk dengan mulut tertutup rapat. "Sampai kapan? Sampai kamu kehilangan nyawamu? Barulah kami tahu?" Sontak Bestari menatap sang kakak. Tak menyangka sebesar itu prasangka buruknya pada Satya. "Kak Satya tidak sejahat itu," bantahnya. Ganendra terkekeh, "Ternyata cinta sudah benar-benar mengosongkan isi otakmu," Ganendra menata adiknya miris. "Lihat dirimu sekarang!!" sentaknya dan langsung membuat Bestari berjingkat kaget. Seumur hidupnya sekalipun Ganendra tidak pernah memarahinya, ada apalagi membentak. Dan ini kali pertama Bestari dibentak kakak kandungnya itu. Tak urung membuat gadis itu meneteskan air matanya. Tak berhenti, Ganendra terus member
[Halo, Assalamu'alaikum...] Terdengar suara Anindya dari spiker ponsel Tari yang tergeletak diatas meja samping ranjang. "Wa'alaikum salam, iya, ada apa, Anin?" tanya Tari sambil mentapukan bedak ke wajah dan leher Sabia. Dua baru selesai memandika putrinya saat ponselnya itu berdering. "Mbak," panggil Anindya dengan nada suara sedih. Ya, sejak menyadari kesalahannya, Anindya sudah membiasakan untuk memanggil Tari dengan panggilan Mbak. Sebagai bentuk rasa hormat dan juga kasih sayangnya sebagai seorang adik kepada kakak iparnya. "Ada apa? Kok nangis, kamu gak papa kan?" Tari memberondong adik iparnya itu dengan banyak pertanyaan karena merasa khawatir mendengar suara Anindya yang tiba-tiba diingi isak tangis. "Mama Mbak, dia berubah lagi," adunya sambil menahan tangis. "Berubah gimana maksudnya?" "Kemarin setelah ketemu Mbak Tari, mama meminta Papa untuk membatalkan perjodohan. Tapi pagi inu tiba-tiba saja Mama bilang akad nikahnya akan dimajukan besok pagi," "
Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha
Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu
Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a
Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan
"Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin
"Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn
Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas
Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s