Share

Berita Mengejutkan

"Brengsek!" umpat Kak Ganendra seketika.

Bugh!

Dengan penuh amarah, kakakku itu menghadiahkan bogem mentah tepat di wajah tampan Bagas, hingga pria itu tersungkur.

Di sisi lain, aku hanya menatap kosong ke arah dua orang yang sedang berkelahi itu.

Entah terbang ke mana perginya rasa belas kasihku melihat Bagas dipukuli?

Suara teriakan dan jeritan di sekitarku pun tak membuatku berempati.

Berbeda denganku, wanita yang mengaku istrinya Bagas itu terlihat begitu khawatir bahkan sampai menangis melihat keadaan suaminya yang babak belur.

Sambil marah-marah, wanita itu membantu Bagas berdiri meski pria itu berulang kali menepis tangannya kasar.

"Lepas!" sentak Bagas kembali menepis tangan istri yang dinikahinya empat bulan lalu tanpa sepengetahuanku itu.

Aku menoleh saat sebuah tangan merangkulku dari samping.

Sandra menatapku sedih. "Sabar," ucapnya.

Sabar?

Bisakah aku sabar? Kecewa, marah, bercampur malu. Itu yang saat ini berjejalan di otakku.

"Pernikahan kamu dan Tari dibatalkan, aku tidak sudi punya menantu sepertimu," bentak Papa menunjuk Bagas.

"Tidak, Om! Tolong jangan batalkan! Saya akan menceraikannya setelah anak itu lahir. Jadi, tolong jangan batalkan pernikahanku dan Tari," mohon Bagas merengek seperti anak kecil.

"Apa kamu sudah gila?" sentak Kak Ganendra, "kamu pikir adik saya apaan, sampai menikahi pria beristri?"

"Tapi, aku akan segera menceraikannya."

"Kak Bagas kenapa ngomong gitu? Sampai mati pun, aku nggak mau bercerai." Wanita itu tampak tak terima, lalu beralih menatapku sengit. "Tari, kamu jangan egois. Aku lebih berhak bersama Kak Bagas daripada kamu. Kamu tidak lihat saya sedang mengandung calon bayinya?"

Aku tak menyahut. Kubiarkan saja wanita itu mengoceh sesukanya.

Batal nikah, aku memang malu. Tapi merebut suami orang? Aku lebih tidak mau!

"Aku lebih baik mati daripada diceraikan," ujar wanita itu tiba-tiba, lalu mengambil sesuatu dari tasnya.

Pisau lipat?

Jantungku berdegup kencang. Untuk apa dia membawa pisau lipat?

Kak Ganendra spontan merentangkan tangannya ke depanku.

Srett!

Tak terduga, ia malah melukai pergelangan tangannya sendiri.

Sontak cairan merah merembes keluar dari luka menganga di kulitnya yang putih.

Mengalir deras sampai berceceran di atas lantai teras membuat semua orang panik, termasuk Bagas yang segera memegangi wanita itu.

"Apa yang kamu lakukan?" teriaknya sembari merebut pisau dari tangan sang wanita

Kepalaku berdenyut nyeri. Pusing sekali.

Nafasku bahkan tersendat-sendat. Bersamaan dengan itu pandanganku menggelap dan kesadaranku pun lenyap.

Entah berapa lama aku pingsan, aku tak tahu. Yang jelas, saat aku membuka mata, nampak wajah khawatir Sandra terpampang di depan mataku.

"Syukurlah, akhirnya kamu sadar juga," gumamnya sembari menatapku sendu.

"Bagaimana Mama?" Tiba-tiba pikiran buruk menghinggapi otakku.

Seingatku, sebelum pingsan sempat kulihat Mama memegangi dadanya sambil meringis kesakitan.

"Tante gak apa, jantungnya baik-baik saja. Tadi, sempat pingsan waktu lihat kamu pingsan. Tapi, sekarang sudah sadar. Tante lagi istirahat di kamarnya."

Syukurlah….

Kuhela nafas lega.

Mama memiliki penyakit jantung karena itu kami sekeluarga selalu menjaganya agar tidak stress.

Tapi, masalah ini pasti akan menjadi beban pikiran Mama.

"Phobia-mu makin lama makin parah. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja lihat orang kecelakaan? Bisa-bisa kamu pingsan di jalan. Ck.... keluarga kalian itu drama. Satu phobia darah. Yang satu sakit jantung, dikit-dikit pingsan," lanjut Sandra tanpa rasa bersalah.

Sepupuku itu memang tipe orang yang ceplas-ceplos. Jika tidak mengenalnya dengan baik, pasti akan merasa tersinggung dengan mulut lemesnya itu.

Ctas!

Sebuah jitakan mampir di keningnya.

"Aduh.... sakit...." Sandra mengaduh.

Sang pelaku berdiri menjulang membuat aku dan Sandra kompak mendongak.

"Dijaga omongannya!" tegur Kak Ganendra, "Orang lagi kena musibah malah dibilang drama."

"Iya, maaf. Gak maksud buat becandain kok, kak," ucapnya menyesal. Pelan, gadis itu berdiri lalu berjalan keluar.

"Kalau sudah kuat, ikut aku ketemu Mama sama Papa,"

"Ada apa?" Mendadak hatiku merasa tak enak. Mungkinkah.....?

"Mama baik-baik saja. Tapi.... akan jadi tak baik jika kamu benar-benar batal menikah."

"Maksudnya?"

"Kamu harus tetap menikah, Tari."

Sontak aku membulatkan mataku, serasa tak percaya dengan apa yang kudengar.

"Kak Ganendra gak sedang bercanda, kan? Atau pendengaranku yang bermasalah?"

Ya, mungkin saja, pendengaranku sedikit bermasalah setelah tadi aku jatuh pingsan.

Bisa saja karena terbentur lantai atau mungkin karena terlalu kaget menerima kabar perselingkuhan calon suamiku sehingga gendang telingaku rusak, kan?

"Aku serius dan kamu juga tidak salah dengar. Kamu harus tetap menikah demi menjaga nama baik keluarga kita."

"Gak bisa!" tolakku tegas.

Ini tidak benar!

Kulihat Kak Ganendra menghela nafas dalam. “Coba pikirkan, jika kamu batal menikah Papa dan Mama pasti akan sangat malu, terlebih karena calon pengantin prianya ternyata suami orang."

Mendengar itu, aku menutup wajahku dengan kedua tangan.

Ya Allah … kenapa semua jadi seperti ini? Harusnya, aku tidak pernah menerima lamaran Bagas.

Jika hanya aku yang malu, tak apa. Tapi, ini menyangkut nama baik keluarga.

"Kak, apa tidak ada cara lain? Misalnya Kakak saja yang menikah," usulku mencoba mencari solusi.

"Semua orang tahunya kamu yang akan menikah. Lagi pula, aku tidak memiliki calon pengantin perempuan." Pria berwajah mirip denganku itu membuang muka.

Merasa frustasi aku pun menggelengkan kepalaku. "Tapi, aku gak mau menikahi suami orang. Apa nanti kata orang?"

"Memangnya siapa yang memintamu menikahi Bagas?" Kak Ganendra mendelik. "Aku lebih baik masuk penjara karena menghajar Bagas dari pada melihatmu menikahinya."

"Kalau bukan Bagas, aku nikah sama siapa?" Lagi-lagi aku dibuat bingung.

"Kamu akan menikah dengan Satya!"

Deg!

"Apa?" kagetku tak percaya. "Kak Satya? Abisatya? Bagaimana bisa?"

Mana mungkin Kak Abisatya bersedia menikahiku?

Kakak sepupu dari keluarga Mama itu, sangat tidak menyukaiku!

"Iya, Abisatya. Sepupu kita." Aku masih bengong membuat Kak Ganendra tersenyum tipis.

"Tante Aisyah dan Om Farhan sudah setuju. Malam ini juga, Satya akan kembali dari Bandung untuk menikah denganmu besok pagi."

Rasanya itu sangat mustahil.

Seminggu yang lalu saat aku datang mengantarkan undangan dia bahkan menolak hadir tanpa bertanya kapan tanggal pernikahanku.

"Aku tidak akan datang. Ada pekerjaan penting," ucapnya waktu itu tanpa menerima undangan yang kuberikan.

Sedingin itu Kak Abisatya padaku.

Lalu bagaimana bisa, tiba-tiba pria es itu bersedia menikah denganku?

Meski dulu kami sempat akrab, tapi sejak kejadian lima tahun lalu itu dia jadi dingin dan menjaga jarak denganku.

Jangankan berbicara, bertemu di kampus saja pura-pura tidak kenal!

"Kenapa, kami masih sulit percaya? Jangan berprasangka buruk pada Satya. Dia hanya irit bicara bukan orang jahat."

"Aku tahu. Tapi...."

"Sudah jangan banyak berpikir. Kakak akan mengurus semuanya." Kak Ganendra mengelus puncak kepalaku lembut.

Aku tahu dia sangat menyayangiku. Apapun pasti akan dia lakukan untukku. Tapi, untuk yang satu ini aku sedikit takut.

"Boleh aku meminta satu hal, Kak?"

"Katakan!"

"Tolong jangan memaksa Kak Satya. Jika memang ia menolak, tolong batalkan saja pernikahannya,"

Ya, biarlah aku menanggung malu karena batal nikah daripada membuat orang lain terjebak hidup dalam rumah tangga yang tidak diinginkannya.

Tak lama, kakak laki-lakiku itu mengangguk. "Aku janji. Pernikahannya hanya akan terjadi jika Satya setuju."

Dan itulah yang terjadi….

Aku tak menyangka seorang Abisatya Putra Aditama benar-benar melafalkan akad nikah atas diriku keesokan harinya.

Dia mengambil alih tanggung jawab atas jiwa dan ragaku.

Kak Abisatya telah mengikrarkan janji suci untuk setia hidup bersama denganku dengan disaksikan oleh Allah dan malaikat-malaikat-Nya, juga semua keluarga besar kami ikut menyaksikan acara sakral itu.

Detik aku resmi menjadi istri dari pria yang sangat aku kagumi sejak kecil, aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengabdikan seluruh jiwa dan ragaku untuknya dan keluarga kecil kami.

Aku sampai berencana untuk berhenti kuliah jika kami dianugerahi momongan dalam pernikahan kami.

Sebahagia itu aku karena telah menjadi istri dari seorang Abisatya Putra Aditama yang seorang dokter bedah sekaligus dosen di sebuah universitas negeri.

Dan juga ... cinta pertamaku yang bertepuk sebelah tangan.

Takdir memang tak ada yang tahu. Aku kehilangan calon suami dan kini mendapat cinta pertamaku kembali.

Namun, kebahagiaan itu hanya anganku saja. Semua tak seindah yang kubayangkan.

Di malam pertama kami, pria yang sangat kukagumi itu melemparkan aku ke jurang terdalam.

"Jangan berharap lebih! Aku menikahimu hanya karena kasihan dengan orang tuamu. Aku tidak akan menyentuh bekas orang."

Ucapannya malam itu bak pedang yang menghujam jantungku.

Bukan meneguk cawan madu surga, tapi minuman beracun yang pria itu berikan di malam pertama.

"Entah dosa apa mereka, sampai memiliki anak sepertimu. Bikin malu keluarga," makinya, lagi.

"Apa maksud Mas Satya?" Kuberanikan diri menatap pria yang saat itu juga sedang menatapku dengan pandangan jijik.

"Masih bisa bertanya? Kamu memang tidak tahu malu!" Pria yang masih mengenakan jas hitam itu menggelengkan kepalanya. "Hanya wanita murahan yang tak sadar kalau dirinya nyaris menikahi suami orang, sampai aku harus berkorban."

Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status