Share

Berita Mengejutkan

Author: iva dinata
last update Last Updated: 2024-07-31 17:14:50

"Brengsek!" umpat Kak Ganendra seketika.

Bugh!

Dengan penuh amarah, kakakku itu menghadiahkan bogem mentah tepat di wajah tampan Bagas, hingga pria itu tersungkur.

Di sisi lain, aku hanya menatap kosong ke arah dua orang yang sedang berkelahi itu.

Entah terbang ke mana perginya rasa belas kasihku melihat Bagas dipukuli?

Suara teriakan dan jeritan di sekitarku pun tak membuatku berempati.

Berbeda denganku, wanita yang mengaku istrinya Bagas itu terlihat begitu khawatir bahkan sampai menangis melihat keadaan suaminya yang babak belur.

Sambil marah-marah, wanita itu membantu Bagas berdiri meski pria itu berulang kali menepis tangannya kasar.

"Lepas!" sentak Bagas kembali menepis tangan istri yang dinikahinya empat bulan lalu tanpa sepengetahuanku itu.

Aku menoleh saat sebuah tangan merangkulku dari samping.

Sandra menatapku sedih. "Sabar," ucapnya.

Sabar?

Bisakah aku sabar? Kecewa, marah, bercampur malu. Itu yang saat ini berjejalan di otakku.

"Pernikahan kamu dan Tari dibatalkan, aku tidak sudi punya menantu sepertimu," bentak Papa menunjuk Bagas.

"Tidak, Om! Tolong jangan batalkan! Saya akan menceraikannya setelah anak itu lahir. Jadi, tolong jangan batalkan pernikahanku dan Tari," mohon Bagas merengek seperti anak kecil.

"Apa kamu sudah gila?" sentak Kak Ganendra, "kamu pikir adik saya apaan, sampai menikahi pria beristri?"

"Tapi, aku akan segera menceraikannya."

"Kak Bagas kenapa ngomong gitu? Sampai mati pun, aku nggak mau bercerai." Wanita itu tampak tak terima, lalu beralih menatapku sengit. "Tari, kamu jangan egois. Aku lebih berhak bersama Kak Bagas daripada kamu. Kamu tidak lihat saya sedang mengandung calon bayinya?"

Aku tak menyahut. Kubiarkan saja wanita itu mengoceh sesukanya.

Batal nikah, aku memang malu. Tapi merebut suami orang? Aku lebih tidak mau!

"Aku lebih baik mati daripada diceraikan," ujar wanita itu tiba-tiba, lalu mengambil sesuatu dari tasnya.

Pisau lipat?

Jantungku berdegup kencang. Untuk apa dia membawa pisau lipat?

Kak Ganendra spontan merentangkan tangannya ke depanku.

Srett!

Tak terduga, ia malah melukai pergelangan tangannya sendiri.

Sontak cairan merah merembes keluar dari luka menganga di kulitnya yang putih.

Mengalir deras sampai berceceran di atas lantai teras membuat semua orang panik, termasuk Bagas yang segera memegangi wanita itu.

"Apa yang kamu lakukan?" teriaknya sembari merebut pisau dari tangan sang wanita

Kepalaku berdenyut nyeri. Pusing sekali.

Nafasku bahkan tersendat-sendat. Bersamaan dengan itu pandanganku menggelap dan kesadaranku pun lenyap.

Entah berapa lama aku pingsan, aku tak tahu. Yang jelas, saat aku membuka mata, nampak wajah khawatir Sandra terpampang di depan mataku.

"Syukurlah, akhirnya kamu sadar juga," gumamnya sembari menatapku sendu.

"Bagaimana Mama?" Tiba-tiba pikiran buruk menghinggapi otakku.

Seingatku, sebelum pingsan sempat kulihat Mama memegangi dadanya sambil meringis kesakitan.

"Tante gak apa, jantungnya baik-baik saja. Tadi, sempat pingsan waktu lihat kamu pingsan. Tapi, sekarang sudah sadar. Tante lagi istirahat di kamarnya."

Syukurlah….

Kuhela nafas lega.

Mama memiliki penyakit jantung karena itu kami sekeluarga selalu menjaganya agar tidak stress.

Tapi, masalah ini pasti akan menjadi beban pikiran Mama.

"Phobia-mu makin lama makin parah. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja lihat orang kecelakaan? Bisa-bisa kamu pingsan di jalan. Ck.... keluarga kalian itu drama. Satu phobia darah. Yang satu sakit jantung, dikit-dikit pingsan," lanjut Sandra tanpa rasa bersalah.

Sepupuku itu memang tipe orang yang ceplas-ceplos. Jika tidak mengenalnya dengan baik, pasti akan merasa tersinggung dengan mulut lemesnya itu.

Ctas!

Sebuah jitakan mampir di keningnya.

"Aduh.... sakit...." Sandra mengaduh.

Sang pelaku berdiri menjulang membuat aku dan Sandra kompak mendongak.

"Dijaga omongannya!" tegur Kak Ganendra, "Orang lagi kena musibah malah dibilang drama."

"Iya, maaf. Gak maksud buat becandain kok, kak," ucapnya menyesal. Pelan, gadis itu berdiri lalu berjalan keluar.

"Kalau sudah kuat, ikut aku ketemu Mama sama Papa,"

"Ada apa?" Mendadak hatiku merasa tak enak. Mungkinkah.....?

"Mama baik-baik saja. Tapi.... akan jadi tak baik jika kamu benar-benar batal menikah."

"Maksudnya?"

"Kamu harus tetap menikah, Tari."

Sontak aku membulatkan mataku, serasa tak percaya dengan apa yang kudengar.

"Kak Ganendra gak sedang bercanda, kan? Atau pendengaranku yang bermasalah?"

Ya, mungkin saja, pendengaranku sedikit bermasalah setelah tadi aku jatuh pingsan.

Bisa saja karena terbentur lantai atau mungkin karena terlalu kaget menerima kabar perselingkuhan calon suamiku sehingga gendang telingaku rusak, kan?

"Aku serius dan kamu juga tidak salah dengar. Kamu harus tetap menikah demi menjaga nama baik keluarga kita."

"Gak bisa!" tolakku tegas.

Ini tidak benar!

Kulihat Kak Ganendra menghela nafas dalam. “Coba pikirkan, jika kamu batal menikah Papa dan Mama pasti akan sangat malu, terlebih karena calon pengantin prianya ternyata suami orang."

Mendengar itu, aku menutup wajahku dengan kedua tangan.

Ya Allah … kenapa semua jadi seperti ini? Harusnya, aku tidak pernah menerima lamaran Bagas.

Jika hanya aku yang malu, tak apa. Tapi, ini menyangkut nama baik keluarga.

"Kak, apa tidak ada cara lain? Misalnya Kakak saja yang menikah," usulku mencoba mencari solusi.

"Semua orang tahunya kamu yang akan menikah. Lagi pula, aku tidak memiliki calon pengantin perempuan." Pria berwajah mirip denganku itu membuang muka.

Merasa frustasi aku pun menggelengkan kepalaku. "Tapi, aku gak mau menikahi suami orang. Apa nanti kata orang?"

"Memangnya siapa yang memintamu menikahi Bagas?" Kak Ganendra mendelik. "Aku lebih baik masuk penjara karena menghajar Bagas dari pada melihatmu menikahinya."

"Kalau bukan Bagas, aku nikah sama siapa?" Lagi-lagi aku dibuat bingung.

"Kamu akan menikah dengan Satya!"

Deg!

"Apa?" kagetku tak percaya. "Kak Satya? Abisatya? Bagaimana bisa?"

Mana mungkin Kak Abisatya bersedia menikahiku?

Kakak sepupu dari keluarga Mama itu, sangat tidak menyukaiku!

"Iya, Abisatya. Sepupu kita." Aku masih bengong membuat Kak Ganendra tersenyum tipis.

"Tante Aisyah dan Om Farhan sudah setuju. Malam ini juga, Satya akan kembali dari Bandung untuk menikah denganmu besok pagi."

Rasanya itu sangat mustahil.

Seminggu yang lalu saat aku datang mengantarkan undangan dia bahkan menolak hadir tanpa bertanya kapan tanggal pernikahanku.

"Aku tidak akan datang. Ada pekerjaan penting," ucapnya waktu itu tanpa menerima undangan yang kuberikan.

Sedingin itu Kak Abisatya padaku.

Lalu bagaimana bisa, tiba-tiba pria es itu bersedia menikah denganku?

Meski dulu kami sempat akrab, tapi sejak kejadian lima tahun lalu itu dia jadi dingin dan menjaga jarak denganku.

Jangankan berbicara, bertemu di kampus saja pura-pura tidak kenal!

"Kenapa, kami masih sulit percaya? Jangan berprasangka buruk pada Satya. Dia hanya irit bicara bukan orang jahat."

"Aku tahu. Tapi...."

"Sudah jangan banyak berpikir. Kakak akan mengurus semuanya." Kak Ganendra mengelus puncak kepalaku lembut.

Aku tahu dia sangat menyayangiku. Apapun pasti akan dia lakukan untukku. Tapi, untuk yang satu ini aku sedikit takut.

"Boleh aku meminta satu hal, Kak?"

"Katakan!"

"Tolong jangan memaksa Kak Satya. Jika memang ia menolak, tolong batalkan saja pernikahannya,"

Ya, biarlah aku menanggung malu karena batal nikah daripada membuat orang lain terjebak hidup dalam rumah tangga yang tidak diinginkannya.

Tak lama, kakak laki-lakiku itu mengangguk. "Aku janji. Pernikahannya hanya akan terjadi jika Satya setuju."

Dan itulah yang terjadi….

Aku tak menyangka seorang Abisatya Putra Aditama benar-benar melafalkan akad nikah atas diriku keesokan harinya.

Dia mengambil alih tanggung jawab atas jiwa dan ragaku.

Kak Abisatya telah mengikrarkan janji suci untuk setia hidup bersama denganku dengan disaksikan oleh Allah dan malaikat-malaikat-Nya, juga semua keluarga besar kami ikut menyaksikan acara sakral itu.

Detik aku resmi menjadi istri dari pria yang sangat aku kagumi sejak kecil, aku berjanji pada diriku sendiri untuk mengabdikan seluruh jiwa dan ragaku untuknya dan keluarga kecil kami.

Aku sampai berencana untuk berhenti kuliah jika kami dianugerahi momongan dalam pernikahan kami.

Sebahagia itu aku karena telah menjadi istri dari seorang Abisatya Putra Aditama yang seorang dokter bedah sekaligus dosen di sebuah universitas negeri.

Dan juga ... cinta pertamaku yang bertepuk sebelah tangan.

Takdir memang tak ada yang tahu. Aku kehilangan calon suami dan kini mendapat cinta pertamaku kembali.

Namun, kebahagiaan itu hanya anganku saja. Semua tak seindah yang kubayangkan.

Di malam pertama kami, pria yang sangat kukagumi itu melemparkan aku ke jurang terdalam.

"Jangan berharap lebih! Aku menikahimu hanya karena kasihan dengan orang tuamu. Aku tidak akan menyentuh bekas orang."

Ucapannya malam itu bak pedang yang menghujam jantungku.

Bukan meneguk cawan madu surga, tapi minuman beracun yang pria itu berikan di malam pertama.

"Entah dosa apa mereka, sampai memiliki anak sepertimu. Bikin malu keluarga," makinya, lagi.

"Apa maksud Mas Satya?" Kuberanikan diri menatap pria yang saat itu juga sedang menatapku dengan pandangan jijik.

"Masih bisa bertanya? Kamu memang tidak tahu malu!" Pria yang masih mengenakan jas hitam itu menggelengkan kepalanya. "Hanya wanita murahan yang tak sadar kalau dirinya nyaris menikahi suami orang, sampai aku harus berkorban."

Deg!

Comments (25)
goodnovel comment avatar
Yessy Susanti
jhatt bgt s Abi mlut ny
goodnovel comment avatar
Asmara Gama
nyesekk dikitt
goodnovel comment avatar
Titin Sulistiyanti
kereeeeen aku sukaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Jauh dari Kenyataan

    "Maaf. Tapi, tolong dengarkan penjelasanku. Aku sama sekali tidak–" "Aku tidak butuh penjelasanmu!" potong Kak Abisatya dengan tatapan tajamnya, hingga bibirku langsung terkatup rapat. "Dengar dan ingat baik-baik ucapanku ini, Tari. Jangan pernah menyentuh barang-barangku, jangan memasak atau mencuci pakaianku. Jangan melakukan pekerjaan rumah meski itu hanya menyapu lantai kamarku,” tambahnya, “Dan yang paling penting, berpura-puralah tidak saling mengenal jika kita bertemu di luar rumah." Tubuhku seketika kaku. Dan air mata luruh begitu saja. Jika waktu bisa diputar…. "Mbak Tari!" panggil Bik Sumi. Asisten rumah tangga mama mertuaku itu menepuk pundakku pelan. Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku. "Dari tadi dipanggil, tapi Mbak Tari nggak denger." "Maaf Bik," ucapku mengedipkan kedua mata yang terasa panas, lalu menarik kedua sudut bibirku paksa, "Ada apa ya Bik?" "Kalau sudah mau magrib, masuk rumah. Jangan malah melamun di luar, ndak baik." Bibik mengikutiku du

    Last Updated : 2024-07-31
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menghindar

    Seharusnya, aku tidak lari! Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri. "Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku. "Iya Bik," jawab Kak Satya singkat. "Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya." Aduh! Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya? Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan. Masa harus nunggu Kak Satya berangkat? Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi! Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua. Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini. Tentu tanpa ca

    Last Updated : 2024-07-31
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pedih

    Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih...... Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu. Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini? "Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram. Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta. "Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami. "Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa. Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melo

    Last Updated : 2024-08-13
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tamu

    Dari kafe, kami memutuskan mampir ke taman kota. Sekadar cari angin sambil cari jajanan yang biasanya mangkal di pinggir jalan. Beberapa makanan yang memiliki rasa pedas menjadi pilihan. Suasana hatiku yang sedang kacau terasa lebih lega. Rasa pedas membuat otakku kosong, semua beban pikiran terusir dengan rasa pedas yang rasa membakar lidah dan tenggorokanku."Bakso bakarnya pedas banget," keluh Jihan sambil sambil memegangi telinganya, "Ya Allah!" "Jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit." Sandra mengambil sisa bakso bakar dari tanganku lalu menghabiskannya. Padahal wajahnya sudah memerah. Tak hanya bakso bakar, sosis bakar dan tahu mercon juga Sandra habiskan. Sengaja dia lakukan agar aku tidak memakannya lagi. "Pedes tapi enak," kataku lalu menyesap es teh punyaku sampai tandas. "Hahhh..... lega....." Kulempar cup plasti bekas es teh ke dalam tong sampah. Diikuti Jihan dan Sandra. Setelahnya, kami pun memutuskan untuk pulang Awalnya, aku berniat pulang naik taksi o

    Last Updated : 2024-08-13
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tamparan.

    "Ada apa ini?" Suara bariton menginstruksi kami menoleh kearah suara. "Kak Satya," panggil Anindia saat kakaknya itu berjalan mendekat. "Lihat, Tari bersikap kasar padaku dan Mbak Danisa." Seperti biasanya gadis yang terpaut satu tahun di atasku itu mengadu pada kakaknya. "Mas, dia menamparku. Sakit sekali pipiku." Tak. ketinggalan Danisa ikut merengek sambil menunjukkan pipinya yang memerah habis aku tampar. Entah kenapa mendengar wanita itu memanggil Kak Satya dengan panggilan 'Mas' membuatku kesal. Dari semua sepupu Kak Satya hanya Danisa yang diizinkan memanggilnya 'Mas'. Istimewa sekali, Gadis yang tadi sempat beradu mulut denganku itu berlagak lemah. Mimik wajahnya berubah kalem dan memelas. "Dia juga menghinaku dengan kata-kata kasar." Adunya lagi dengan berderai air mata. Kak Satya menunduk, menyamakan tinggi tubuhnya dengan wajah Danisa. Terlihat, sedang memeriksa pipi kekasihnya itu. "Ahk.... sakit," rengek Danisa, wanita itu saat ujung jari tangan Kak Satya men

    Last Updated : 2024-08-13
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Keluar dari rumah.

    "Selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali." Suara Kak Satya lantang. Aku menghentikan langkahku, menarik nafas panjang lalu menoleh pada sang pria. Sebuah senyum sinis muncul di bibirnya. "Aku tidak akan kembali. Terima kasih untuk semuanya. Hutangku sudah kubayar lunas hari ini. Selamat tinggal." Senyum sini itu langsung lenyap. Mimik wajah Kak Satya langsung berubah garang. Tapi aku tak peduli. Gegas aku berbalik. Dengan penuh keyakinan aku berjalan keluar dari rumah yang selama enam bulan ini menjadi tempat tinggalku. Tempat singgah sementara yang hanya dipenuhi dengan pertengkaran. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak luruh namun begitu mobil berjalan keluar melewati pagar rumah cairan bening itu meluruh tanpa bisa dicegah. Tak bisa bohong, hatiku sakit. Rasa kecewa itu begitu besar. Aku tak menyangka Kak Satya tega menamparku demi membela kekasihnya. Bagaimanapun aku adalah istrinya meski hanya diatas kertas. Tapi, dia sudah melafalk

    Last Updated : 2024-08-14
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Ketahuan.

    Pov Author. Pagi ini Ganendra mendapat pesan dari Jihan, teman dekat sang adik. Memintanya untuk bertemu di depan kampusnya. Sempat merasa bingung namun rasa penasaran membuat pria berwajah tampan itu menyisihkan waktunya untuk menemui teman adiknya itu. Dan feeling-nya benar. Gadis itu tak mungkin iseng ingin bertemu dengannya. Pasti ada sesuatu yang penting sampai gadis yang ia tahu pendiam dan pemalu itu berani mengirim pesan padanya. Tepat pukul 10 pagi Ganendra menghentikan mobilnya beberapa meter dari gerbang kampus dimana Jihan sudah menunggunya. Lima menit sudah mereka berbicara di dalam mobil dan ekspresi Ganendra yang tadinya santai berubah penuh amarah. Ganendra mencengkeram kuat stir mobil. Darahnya serasa mendidih mendengar cerita yang mengalir lancar dari bibir Jihan. Sahabat Bestari itu menceritakan kebenaran tentang rumah tangga adiknya yang selama ini ternyata penuh dengan kebohongan. Abisatya Putra Aditama yang dia kira ikhlas menerima perjodohan ternya

    Last Updated : 2024-08-14
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Jujur.

    "Apa kamu sudah kehilangan otakmu karena cinta? Sampai rela dipukul dan dihina?" Ganendra menatap tajam adiknya itu. Tahu salah, Bestari pun menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu menyembunyikannya?" tanya Ganendra geram. Tak tega, pria itu mengalihkan pandangannya ke arah jalanan di depannya. Sedang Bestari tetap menunduk dengan mulut tertutup rapat. "Sampai kapan? Sampai kamu kehilangan nyawamu? Barulah kami tahu?" Sontak Bestari menatap sang kakak. Tak menyangka sebesar itu prasangka buruknya pada Satya. "Kak Satya tidak sejahat itu," bantahnya. Ganendra terkekeh, "Ternyata cinta sudah benar-benar mengosongkan isi otakmu," Ganendra menata adiknya miris. "Lihat dirimu sekarang!!" sentaknya dan langsung membuat Bestari berjingkat kaget. Seumur hidupnya sekalipun Ganendra tidak pernah memarahinya, ada apalagi membentak. Dan ini kali pertama Bestari dibentak kakak kandungnya itu. Tak urung membuat gadis itu meneteskan air matanya. Tak berhenti, Ganendra terus member

    Last Updated : 2024-08-17

Latest chapter

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    Andre menatap wanita yang duduk di hadapannya dengan tatapan kesal bercampur gemas. Matanya memicing sambil menggigit bibir bawahnya menahan diri agar tidak lepas kendali. "Apa?" kata Anindya melebarkan matanya. "Nggak papa," ketus Andre seperti abak kecil, ngambek. "Kalau kamu kayak gitu aku jadi pengen pulang," celetuk Anindya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Andre mendesah berat, ditatapnya wanita yang audah membuatnya jatuh hati sejak pertama kali bertemu itu sendu. "Kamu kok tega, ngancurin semua rencana dan harapan aku?" Anindya mengangkat pundaknya cuek. "Terserah ya, menurutmu apa? Tapi yang pasti aku sudah menepati janjiku untuk menerima ajakan makan malam darimu, jika job iklan pariwisata selesai sebelum akhir bulan," terangnya lalu mencomot kentang goreng pesanannya. "Ck.." Andre berdecak kesal. Bagaimana tidak kesal, makan malam romantis yang direncanakan jadi berantakan. Sudah dari jauh-jauh hari Andre sudah merencanakan dinner roman

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    "Loh... kamu mau kemana, Nin?" tanya Tari saat melihat Anin Anindya keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Tari yang sedang menata makanan diatas meja makan menghentikan kegiatannya. Dipandanginya adik iparnya itu dengan kening berkerut. Selama dua tahun tinggal bersama, Anindya jarang sekali keluar malam. Apalagi dengan pakaian rapi seperti saat ini. Dress selutut yang dilapisi dengan cardinal jeans tak ketinggalan sepatu kets putih senada dengan warna tas selempang yang dipakainya. Membuat wanita 24 tahun itu terlihat cantik dan modis. "Aku izin keluar sebentar ya Mbak, jam sembilan sudah sampai rumah kok." "Mau kemana? Sama siapa?" tanya Tari. Istri Satya itu sangat protective kepada adik iparnya itu. Tidak hanya mengenal teman-teman Anindya, dia bahkan tahu dan hafal dengan kegiatan Anindya di luar rumah. Anindya berjalan mendekat, "Mau makan malam sama Andre," jawabnya jujur. "Apa? Tunggu!-tunggu!!" Tari menarik salah satu kursi lalu mendudukkan dirinya. "D

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Anindya dan Guntur berjalan beriringan menuju tempat parkiran dimana mobilnya berada. Dua insan itu berbincang ringan. Saling bertanya kabar satu sama lain. "Kudengar kamu melanjutkan S2-mu di Surabaya," Guntur menoleh pada wanita cantik yang berjalan di sampingnya. "Iya," jawab Anindya, menoleh sambil tersenyum tipis. Wajah cantik itu terlihat lebih dewasa dan anggun. Apalagi sikapnya yang lebih kalem. Sangat berbeda dengan Anindya yang dikenal Guntur dua tahun lalu. Masih segar di ingatan Guntur saat pertama kali melihat mantan adik iparnya itu. Saat itu kepulangan pertamanya setelah hampir sepuluh tahun di luar negeri untuk menjaga Ayra. Anindya yang masih muda terlihat penuh semangat dan ambisi. Sedikit ceroboh dan ceria. Berbeda sekali dengan yang dilihatnya sekarang. Dewasa anggun dan lebih se*si. "Bagaimana kabar, Gia? Dia pasti sudah kuliah sekarang?" Anindya mulai mencari topik lain. Jujur bertemu dengan Guntur cukup membuatnya kaget dan bingung harus bersika

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tamat.

    "Aku ingin waduk dan jembatan gantungnya jadi background utamanya. Tetap fokus pada modelnya tapi perlihatkan keindahan waduk dan langitnya." Seorang wanita cantik sedang memberi arahan pada dua orang pria yang memegang kamera. "Ok," jawab sang fotografer mengacungkan jempolnya. Di sisi yang lain kameramen juga mengacungkan jempolnya. "Siap, Nin!" Wanita dengan kemeja putih dan celana jeans itu pun mengangguk lalu melangkah mundur, membiarkan rekan-rekannya mulai bekerja. Bola mata berwarna coklat itu mengamati setiap pergerakan orang-orang di depan sana. Sesekali matanya indah itu menyipit dengan bibir mengerucut, saat adegan didepannya menurutnya kurang pas. Wanita berambut panjang itu berulang kali menyelipkan anak rambutnya yang tertiup angin tanpa sedikitpun mengalihkan fokusnya mencatat dalam otaknya mana adegan dan eagle mana yang perlu diedit. Wanita itu mendesah lega saat terdengar suara salah satu rekan kerjanya. "Cut," ucap pria bernama Andre, sambil memba

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   "Hatiku masih sangat lemah Mbak

    "Wah..... bagus banget rumahnya," seru Anindya begitu keluar dari mobil. Matanya langsung disambut oleh pemandangan rumah dengan desain modern farmhouse American yang membuatnya tan henti-hentinya berdecak kagum. Ini kali pertama dirinya datang ke rumah kakak iparnya itu. "Semoga kamu betah di sini ya," ucap Tari sambil menggendong Sabia yang terlelap. Sementara Satya mengeluarkan koper dan tas mereka yang ada di dalam bagasi mobil. "Pasti, aku pasti akan betah." Anindya mengurai senyum lebar. "Ingat jangan kecewakan Tari," ujar Satya setelah meletakkan koper dan tas di di teras rumah yang langsung di ambil alih bibi dan pak sopir. "InsyaAllah, aku tidak akan mengecewakan semua orang lagi." Entah sudah ke berapa kalinya kalimat itu Anindya. Sejak kemarin kakak laki-lakinya juga kedua orang tuanya terus mengingatkannya sehingga membuatnya harus mengulangi janjinya. "Sudah gak usah di dengerin," bisik Tari menggamit lengannya. "Ayo masuk," ajaknya mengajak adik ipar

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Keputusan

    "Maaf saya tidak bisa melanjutkan pernikahan dengan Mas Gibran. Dari awal pernikahan, niat kami berbeda dan tidak mungkin akan bisa satu arah. Bertahan hanya akan membuat kami saling menyakiti," ucap Anindya di depan keluarganya dan keluarga Gibran. Gadis itu berbicara dengan tenang dan penuh percaya diri. Tak ada sedikit pun rasa gugup dan takut yang tampak di wajah ayunya meski semua orang menatap kearahnya dengan berbagai reaksi. Gibran terkesiap, wajah tampannya nampak kaget dan kecewa. Matanya menatap lekat wanita yang masih berstatus istrinya itu dengan bibir bergetar. "Tidak bisakah kamu pikirkan lagi? Pernikahan kita belum juga satu tahun, masih ada waktu untuk memperbaiki niat dan tujuan kita," kata Gibran dengan mimik memelas. Anindya bergeming. Hatinya sudah sangat yakin untuk mengakhiri pernikahannya dengan Gibran. Baginya bertahan dalam pernikahan tanpa cinta adalah hal paling bod*h. Karena pernikahan adalah sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan banyak beka

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pada akhirnya kamu akan mengikhlaskannya.

    "Astaga.. Anin.. Berapa kali lagi, Mbak harus jelaskan? Gak separah itu sayang," keluh Tari merasa frustasi. "Jangan bohong lagi, Mbak. Kemarin Mbak bilang semuanya baik-baik saja, semua gosip dan rumor itu sudah diseleaikan oleh Kak Ganendra. Tapi ternyata apa? Mbak bohong," bantah Anindya tak kalah frustasi. "Sekarang Mbak harus jujur apa saja dampak dari rumor itu? Aku yakin tidak sesederhana itu, Danisa pasti punya alasan besar kenapa memintaku menyebarkan rumor itu. " Belum puas dengan penjelasan Tari di kafe, sampai rumah Anindya langsung memberondong kakak iparnya itu dengan banyak Sekali pertanyaan. Tari menghela nafas panjang. "Anin, kami semua tahu itu bukan salahmu. Kamu dalam pengaruh dan ancaman Danisa. Tidak ada yang menyalahkan kamu, jadi berhenti merasa bersalah," Anindya terdiam ucapan Tari tak membuatnya tenang. Tiba dia teringat sesuatu. "Om Ibra pasti sangat marah kan Mbak, itu sebabnya Om Ibra dan Kak Ganendra juga Jihan tak pernah datang menjengukku?

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Bangkit.

    Pagi ini setelah sarapan pagi Tari akan menemani Anindya ke kampusnya. Setelah sebulan lebih menenangkan diri kini Anindya sudah bersiap untuk menata kembali hidupnya yang sempat kacau karena balas dendam Hal pertama yang Anindya sudah lakukan adalah mengikhlaskan segalanya dan memohon pengampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukannya. Selanjutnya gadis 20 tahuan itu akan kembali fokus pada tujuan dan cita-citanya. "Kalian mau Papa antar?" tanya Farhan setelah menyelesaikan sarapannya pagi ini. "Nggak usah Pa, kampus sama kantor kan berlawanan arah. Aku sama Mbak Tari diantar sopir," tolak Anindya tak ingin merepotkan papanya. "Jangan khawatir Pa, ada Pak Johan yang ikut dengan kita. Kalau gak salah Papa ada meeting penting kan pagi ini?" Tari ikut menimpali, teringat telpon dari Satya semalam untuk menyampaikan kepada Farhan tentang meeting penting pagi ini. "Iya, Papa ada meeting penting pagi ini dengan Ibra dan Ganendra dan perwakilan pemegang saham lainnya," jawab Fa

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   "Mulai sekarang jadilah Anindya yang baru."

    "Aku tahu, tidak seharusnya aku membawa orang lain dalam masalah kita. Tapi, kenyataan Tari sudah terseret dalam masalah kita. Dan jika kita bercerai sekarang, maka rumor itu akan muncul kembali. Tari akan jadi pihak bersalah yang akan terus dihujat. Jadi, kumohon pikirkanlah." Sejak semalam ucapan Gibran terus terngiang di telinga dan pikiran Anindya. Sama seperti pagi ini, kalimat itu membuat hatinya resah dan tak tenang. Rasa bersalah semakin menggunung dihatinya. Sholat dan dzikir sedikit memenangkan hatinya shubuh tadi. Namun pagi ini gelisah itu kembali merajai hatinya. Helaan nafas terdengar berat dari mulut gadis yang saat ini sedang melipat kedua kakinya diatas sofa kamar dengan tatapan keluar jendela. Bola mata berwarna kecoklatan itu menatap sendu langit pagi yang tertutup mendung seperti hatinya yang sedang gundah. Sejak semalam hujan mengguyur kota metropolitan itu dengan begitu derasnya. Dan pagi ini hawa dingin menyelimuti seluruh kota sampai terasa ke hatinya.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status