Share

Menghindar

Penulis: iva dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Seharusnya, aku tidak lari!

Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri.

"Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku.

"Iya Bik," jawab Kak Satya singkat.

"Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya."

Aduh!

Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya?

Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan.

Masa harus nunggu Kak Satya berangkat?

Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi!

Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua.

Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini.

Tentu tanpa campur tanganku. Seperti yang Kak Abisatya minta, aku tidak boleh memasak apalagi menyentuh pakaiannya juga barang-barangnya.

Jujur, aku kadang merasa tak enak karena tidak membantu bibi. Tapi, mau gimana lagi?

Jika sampai ketahuan, Kak Satya akan marah besar. Bahkan, ia pernah sampai membakar bajunya gara-gara aku membantu meletakkan baju yang sudah disetrika oleh Bibi ke dalam lemarinya.

Jangan tanya perasaanku!

Sakit? Tentu saja, sakit sekali.

Pelan aku menghela nafas. Mengingat kejadian itu seperti mengelupas luka yang belum sembuh benar.

Sepertinya, ini waktu yang tepat aku keluar. Kak Satya sibuk dengan sarapannya dan Bibi entah ke mana. Mungkin mengambil baju kotor di kamar Kak Satya?

Sambil berjinjit, aku pun berjalan keluar kamar. Tujuanku adalah teras samping yang pintu penghubungnya di sebelah dapur. Untungnya, aku berhasil.

Sesampainya di teras samping, aku berjalan cepat menuju halaman depan.

Ojek online yang kupesan juga sudah ada di depan rumah, sehingga aku bisa langsung pergi!

***

"Sarapan dulu," perintah sahabatku menyodorkan sepotong sandwich yang kuyakin buatannya sendiri, begitu tiba di kampus.

"Makasih."

"Cie..... calon ipar yang baik," celetuk Sandra yang langsung mendapat lirikan tajam dari Jihan.

"Pelan saja makannya masih ada lima belas menit lagi," ujar Jihan sambil menepuk pelan pundakku.

Aku mengangguk sebagai respon.

"Kenapa kemarin kamu gak dateng?" Sandra mulai mengungkit isi pesannya kemarin. "Harusnya kamu itu datang dan labrak itu pelakor!" ucapnya dengan wajah gemas, sedang Jihan hanya manggut-manggut saja.

"Kamu lupa? Di sini, bukan Danisa pelakornya, tapi aku," kataku setelah menelan makanan yang ada di mulutku.

"Kamu bukan pelakor, Tari." Jihan menimpali. "Kalian sudah menikah. Pak Abisatya harusnya sadar kalau dia harus menjaga perasaanmu."

"Gimana mau jaga perasaan dia aja gak punya perasaan?"

"Sandra," tegurku. Meski aku sakit hati, tapi aku tidak suka ada yang menghina Kak Satya.

Ya, sebodoh itulah aku.

"Eh... itu orangnya." Jihan tiba-tiba menunjuk ke arah halaman kampus.

Terlihat Kak Satya berjalan cepat menuju ....

Tunggu, apa aku tidak salah lihat? Bukankah dia harusnya ada jadwal operasi?

"Dia ke sini," bisik Sandra.

Tanpa pikir panjang, aku segera berlari. Lebih baik, menghindar dari pada sakit hati.

Sebab, dia tidak akan berbicara denganku jika bukan untuk melampiaskan amarahnya.

Dan aku berhasil!

Kucoba menenangkan diri.

Untungnya, sampai kuliah selesai, tak kutemukan tanda-tanda Kak Satya mencariku..

Kami pun memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke mall.

Sekadar refreshing….

"Baru dapat transferan dari Kak Alfa, mau beli baju sama sepatu." Sandra berjalan sambil mengibaskan kartu ATM-nya.

"Duh .... senengnya! Mau dong ditraktir," godaku berjalan dengan menggandeng tangan Jihan.

"Beres," ucapnya jumawa, "pilih satu baju, ya!"

Aku dan Jihan sontak bersorak.

Dengan riang, kami berjalan menuju sebuah toko yang cukup bermerk. Baju-baju bagus dan khusus anak muda.

Entah berapa lama. Yang jelas, setelah puas memilih, kami pun menuju kasir. Tiga paperback untuk Sandra, sedang aku dan Jihan hanya satu paperback untuk masing-masing.

"Cari makan yuk," ajak Sandra dan kami hanya mengekori saja.

"Eh.... itu kan...." Masih sambil berbincang aku menoleh ke arah jari telunjuk Jihan.

Di sana, Kak Satya dan Daniasa tampak sedang bersama.

Hatiku seketika berdenyut nyeri.

Ternyata .... melihat sendiri jauh lebih sakit dibanding di foto.

Haruskah aku bertahan?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Kasmin U Bobihu
seru bangat
goodnovel comment avatar
Sindy Fauziyyah
Bagus semangat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pedih

    Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih...... Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu. Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini? "Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram. Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta. "Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami. "Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa. Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melo

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tamu

    Dari kafe, kami memutuskan mampir ke taman kota. Sekadar cari angin sambil cari jajanan yang biasanya mangkal di pinggir jalan. Beberapa makanan yang memiliki rasa pedas menjadi pilihan. Suasana hatiku yang sedang kacau terasa lebih lega. Rasa pedas membuat otakku kosong, semua beban pikiran terusir dengan rasa pedas yang rasa membakar lidah dan tenggorokanku."Bakso bakarnya pedas banget," keluh Jihan sambil sambil memegangi telinganya, "Ya Allah!" "Jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit." Sandra mengambil sisa bakso bakar dari tanganku lalu menghabiskannya. Padahal wajahnya sudah memerah. Tak hanya bakso bakar, sosis bakar dan tahu mercon juga Sandra habiskan. Sengaja dia lakukan agar aku tidak memakannya lagi. "Pedes tapi enak," kataku lalu menyesap es teh punyaku sampai tandas. "Hahhh..... lega....." Kulempar cup plasti bekas es teh ke dalam tong sampah. Diikuti Jihan dan Sandra. Setelahnya, kami pun memutuskan untuk pulang Awalnya, aku berniat pulang naik taksi o

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tamparan.

    "Ada apa ini?" Suara bariton menginstruksi kami menoleh kearah suara. "Kak Satya," panggil Anindia saat kakaknya itu berjalan mendekat. "Lihat, Tari bersikap kasar padaku dan Mbak Danisa." Seperti biasanya gadis yang terpaut satu tahun di atasku itu mengadu pada kakaknya. "Mas, dia menamparku. Sakit sekali pipiku." Tak. ketinggalan Danisa ikut merengek sambil menunjukkan pipinya yang memerah habis aku tampar. Entah kenapa mendengar wanita itu memanggil Kak Satya dengan panggilan 'Mas' membuatku kesal. Dari semua sepupu Kak Satya hanya Danisa yang diizinkan memanggilnya 'Mas'. Istimewa sekali, Gadis yang tadi sempat beradu mulut denganku itu berlagak lemah. Mimik wajahnya berubah kalem dan memelas. "Dia juga menghinaku dengan kata-kata kasar." Adunya lagi dengan berderai air mata. Kak Satya menunduk, menyamakan tinggi tubuhnya dengan wajah Danisa. Terlihat, sedang memeriksa pipi kekasihnya itu. "Ahk.... sakit," rengek Danisa, wanita itu saat ujung jari tangan Kak Satya men

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Keluar dari rumah.

    "Selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali." Suara Kak Satya lantang. Aku menghentikan langkahku, menarik nafas panjang lalu menoleh pada sang pria. Sebuah senyum sinis muncul di bibirnya. "Aku tidak akan kembali. Terima kasih untuk semuanya. Hutangku sudah kubayar lunas hari ini. Selamat tinggal." Senyum sini itu langsung lenyap. Mimik wajah Kak Satya langsung berubah garang. Tapi aku tak peduli. Gegas aku berbalik. Dengan penuh keyakinan aku berjalan keluar dari rumah yang selama enam bulan ini menjadi tempat tinggalku. Tempat singgah sementara yang hanya dipenuhi dengan pertengkaran. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak luruh namun begitu mobil berjalan keluar melewati pagar rumah cairan bening itu meluruh tanpa bisa dicegah. Tak bisa bohong, hatiku sakit. Rasa kecewa itu begitu besar. Aku tak menyangka Kak Satya tega menamparku demi membela kekasihnya. Bagaimanapun aku adalah istrinya meski hanya diatas kertas. Tapi, dia sudah melafalk

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Ketahuan.

    Pov Author. Pagi ini Ganendra mendapat pesan dari Jihan, teman dekat sang adik. Memintanya untuk bertemu di depan kampusnya. Sempat merasa bingung namun rasa penasaran membuat pria berwajah tampan itu menyisihkan waktunya untuk menemui teman adiknya itu. Dan feeling-nya benar. Gadis itu tak mungkin iseng ingin bertemu dengannya. Pasti ada sesuatu yang penting sampai gadis yang ia tahu pendiam dan pemalu itu berani mengirim pesan padanya. Tepat pukul 10 pagi Ganendra menghentikan mobilnya beberapa meter dari gerbang kampus dimana Jihan sudah menunggunya. Lima menit sudah mereka berbicara di dalam mobil dan ekspresi Ganendra yang tadinya santai berubah penuh amarah. Ganendra mencengkeram kuat stir mobil. Darahnya serasa mendidih mendengar cerita yang mengalir lancar dari bibir Jihan. Sahabat Bestari itu menceritakan kebenaran tentang rumah tangga adiknya yang selama ini ternyata penuh dengan kebohongan. Abisatya Putra Aditama yang dia kira ikhlas menerima perjodohan ternya

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Jujur.

    "Apa kamu sudah kehilangan otakmu karena cinta? Sampai rela dipukul dan dihina?" Ganendra menatap tajam adiknya itu. Tahu salah, Bestari pun menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu menyembunyikannya?" tanya Ganendra geram. Tak tega, pria itu mengalihkan pandangannya ke arah jalanan di depannya. Sedang Bestari tetap menunduk dengan mulut tertutup rapat. "Sampai kapan? Sampai kamu kehilangan nyawamu? Barulah kami tahu?" Sontak Bestari menatap sang kakak. Tak menyangka sebesar itu prasangka buruknya pada Satya. "Kak Satya tidak sejahat itu," bantahnya. Ganendra terkekeh, "Ternyata cinta sudah benar-benar mengosongkan isi otakmu," Ganendra menata adiknya miris. "Lihat dirimu sekarang!!" sentaknya dan langsung membuat Bestari berjingkat kaget. Seumur hidupnya sekalipun Ganendra tidak pernah memarahinya, ada apalagi membentak. Dan ini kali pertama Bestari dibentak kakak kandungnya itu. Tak urung membuat gadis itu meneteskan air matanya. Tak berhenti, Ganendra terus member

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Amarah Ganendra.

    "Pacar siapa? Tolong ulangi," tanya Ganendra dengan ekspresi geram yang membuat Rendra menatap Bestari. "Ah... dia Kakak saya, Pak." Bestari merangkul lengan kakaknya sambil mencubit, berusaha menahan kakaknya untuk tidak berbicara. Namun sayangnya, Ganendra tak menggubris kode yang diberikan adiknya. Pria itu kembali mengutarakan rasa penasaran di hatinya lewat pertanyaan yang sama. "Kalau tidak salah dengar, tadi Anda bilang Satya punya pacar?" "Iya," jawab Rendra menaikan satu alisnya. "Siapa?." "Maaf Pak, kakaknya saya ini temannya Pak Satya, jadi sedikit kepo." Bestari menyela ucapkan kakaknya. "Sepertinya kami harus pergi, permisi." Dengan memaksa Bestari menarik lengan kakaknya pergi. "Plis....." Mohonnya memelas. Ganendra pun terpaksa Ganendra mengikuti adiknya untuk pergi. Melihat sikap Bestari yang seperti menyembunyikan sesuatu membuat Rendra merasa curiga.Tidak biasanya mahasiswinya itu bersikap canggung dan gugup seperti itu. Dan ada apa terjadi dengan wa

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pulang ke rumah.

    Sudah seminggu sejak kepergian Bestari dari rumah Satya dan kini Gadis itu sudah pulang kembali ke rumah orang tuanya. Tentu saja dengan alasan rindu pada mamanya. Dengan kondisi jantung Farah yang kadang tidak stabil, menjadi pertimbangan Ganendra untuk merahasiakan dulu rencana pembatalan pernikahan Bestari dan Satya. Ganendra tidak memutuskan sendiri, beberapa hari sebelumnya dia sudah memberitahu papanya. Ibra Khasif Rahardian, sangat kecewa namun tak bisa melampiaskan amarahnya. Pria itu hanya diam dengan rahang mengeras dan tangan mengepal. Hutang budi dan persaudaraan menjadi alasannya. "Jangan lakukan apapun, cukup urus surat pembatalan pernikahan." Setelah mendengar jika putri dan menantunya tidur dikamar terpisah, Ibra pun memutuskan untuk mengambil jalan pembatalan pernikahan ketimbang perceraian. Status putrinya yang dipikirkannya. "Tapi yang dia lakukan pada Tari sudah melewati batas. Aku tidak bisa menerimanya, Pa." "Dia brengs*k tapi kita harus punya et

Bab terbaru

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kondisi Tari yang sebenarnya.

    Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Terpaksa jujur

    Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Makin rumit.

    Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kejujuran Anindya pada Bestari.

    Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Memendam

    "Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Amarah Tari.

    "Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Permintaan maaf Satya pada Ibra

    Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Permintaan cerai Jihan

    Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Perjodohan.

    "Tapi, Om. Dia pacar teman saya, Ratih." Anindya menarik lengan Ratih dan menghadapkan pada Ibra. Meski dalam situasi terpojok akan tetapi mengkhianati teman sendiri tidaklah mungkin dia lakukan. "Apa? Pacar temanmu?" Kedua alis Ibra menukik, menatap tajam Ratih dan Gibran bergantian. Ratih terlihat gugup sedang Gibran nampak tenang meski sempat kaget saat melihat Ratih. "Iya." Anindya menganggukkan kepalanya. Kedua orang tua Gibran langsung panik, ditatapnya sang putra yang tetap terlihat tenang. Sama halnya dengan orang tua Gibran, Aisyah dan Farhan juga panik. Mereka pikir, Anindya sedang membuat ulah untuk membatalkan perjodohan malam ini. "Anindya, kamu tidak serius kan?" Aisyah beranjak bangun dan mendekati putrinya itu. "Ingat janjimu, jangan bikin masalah." Sambungnya berbisik sambil menggamit lengan putrinya agar duduk di tengah-tengah Farhan dan dirinya. Tinggallah Ratih yang berdiri seorang diri dengan rasa canggung dan gugup karena ditatap Ibra denga

DMCA.com Protection Status