Share

Menghindar

Penulis: iva dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-31 18:27:20

Seharusnya, aku tidak lari!

Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri.

"Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku.

"Iya Bik," jawab Kak Satya singkat.

"Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya."

Aduh!

Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya?

Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan.

Masa harus nunggu Kak Satya berangkat?

Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi!

Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua.

Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini.

Tentu tanpa campur tanganku. Seperti yang Kak Abisatya minta, aku tidak boleh memasak apalagi menyentuh pakaiannya juga barang-barangnya.

Jujur, aku kadang merasa tak enak karena tidak membantu bibi. Tapi, mau gimana lagi?

Jika sampai ketahuan, Kak Satya akan marah besar. Bahkan, ia pernah sampai membakar bajunya gara-gara aku membantu meletakkan baju yang sudah disetrika oleh Bibi ke dalam lemarinya.

Jangan tanya perasaanku!

Sakit? Tentu saja, sakit sekali.

Pelan aku menghela nafas. Mengingat kejadian itu seperti mengelupas luka yang belum sembuh benar.

Sepertinya, ini waktu yang tepat aku keluar. Kak Satya sibuk dengan sarapannya dan Bibi entah ke mana. Mungkin mengambil baju kotor di kamar Kak Satya?

Sambil berjinjit, aku pun berjalan keluar kamar. Tujuanku adalah teras samping yang pintu penghubungnya di sebelah dapur. Untungnya, aku berhasil.

Sesampainya di teras samping, aku berjalan cepat menuju halaman depan.

Ojek online yang kupesan juga sudah ada di depan rumah, sehingga aku bisa langsung pergi!

***

"Sarapan dulu," perintah sahabatku menyodorkan sepotong sandwich yang kuyakin buatannya sendiri, begitu tiba di kampus.

"Makasih."

"Cie..... calon ipar yang baik," celetuk Sandra yang langsung mendapat lirikan tajam dari Jihan.

"Pelan saja makannya masih ada lima belas menit lagi," ujar Jihan sambil menepuk pelan pundakku.

Aku mengangguk sebagai respon.

"Kenapa kemarin kamu gak dateng?" Sandra mulai mengungkit isi pesannya kemarin. "Harusnya kamu itu datang dan labrak itu pelakor!" ucapnya dengan wajah gemas, sedang Jihan hanya manggut-manggut saja.

"Kamu lupa? Di sini, bukan Danisa pelakornya, tapi aku," kataku setelah menelan makanan yang ada di mulutku.

"Kamu bukan pelakor, Tari." Jihan menimpali. "Kalian sudah menikah. Pak Abisatya harusnya sadar kalau dia harus menjaga perasaanmu."

"Gimana mau jaga perasaan dia aja gak punya perasaan?"

"Sandra," tegurku. Meski aku sakit hati, tapi aku tidak suka ada yang menghina Kak Satya.

Ya, sebodoh itulah aku.

"Eh... itu orangnya." Jihan tiba-tiba menunjuk ke arah halaman kampus.

Terlihat Kak Satya berjalan cepat menuju ....

Tunggu, apa aku tidak salah lihat? Bukankah dia harusnya ada jadwal operasi?

"Dia ke sini," bisik Sandra.

Tanpa pikir panjang, aku segera berlari. Lebih baik, menghindar dari pada sakit hati.

Sebab, dia tidak akan berbicara denganku jika bukan untuk melampiaskan amarahnya.

Dan aku berhasil!

Kucoba menenangkan diri.

Untungnya, sampai kuliah selesai, tak kutemukan tanda-tanda Kak Satya mencariku..

Kami pun memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke mall.

Sekadar refreshing….

"Baru dapat transferan dari Kak Alfa, mau beli baju sama sepatu." Sandra berjalan sambil mengibaskan kartu ATM-nya.

"Duh .... senengnya! Mau dong ditraktir," godaku berjalan dengan menggandeng tangan Jihan.

"Beres," ucapnya jumawa, "pilih satu baju, ya!"

Aku dan Jihan sontak bersorak.

Dengan riang, kami berjalan menuju sebuah toko yang cukup bermerk. Baju-baju bagus dan khusus anak muda.

Entah berapa lama. Yang jelas, setelah puas memilih, kami pun menuju kasir. Tiga paperback untuk Sandra, sedang aku dan Jihan hanya satu paperback untuk masing-masing.

"Cari makan yuk," ajak Sandra dan kami hanya mengekori saja.

"Eh.... itu kan...." Masih sambil berbincang aku menoleh ke arah jari telunjuk Jihan.

Di sana, Kak Satya dan Daniasa tampak sedang bersama.

Hatiku seketika berdenyut nyeri.

Ternyata .... melihat sendiri jauh lebih sakit dibanding di foto.

Haruskah aku bertahan?

Komen (28)
goodnovel comment avatar
Ros Dianie
Kalo memang sdh tdk tahan lg, dan laki nya ga tau diri, ya ssh minta cerai atau ajukan guvatan cerai sajah. Kelar. selesai kan kuliah dan pergi jauuh. Laki2 kalo berani menikah, hrs berani tanggung jawab. Kalo ga berani dan msh mau sm pacar nya, yah jgn nikahi lah. Baru itu laki2 sejati.
goodnovel comment avatar
Titik Sudaryanti
Lanjut tor...saya greget sama Tari kenapa nda minta cerai aja,kalau emang Satya nda peduli
goodnovel comment avatar
Elsa muthia Handini
ngapain bertahan bikin sesak hati ja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pedih

    Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih...... Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu. Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini? "Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram. Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta. "Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami. "Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa. Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melo

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tamu

    Dari kafe, kami memutuskan mampir ke taman kota. Sekadar cari angin sambil cari jajanan yang biasanya mangkal di pinggir jalan. Beberapa makanan yang memiliki rasa pedas menjadi pilihan. Suasana hatiku yang sedang kacau terasa lebih lega. Rasa pedas membuat otakku kosong, semua beban pikiran terusir dengan rasa pedas yang rasa membakar lidah dan tenggorokanku."Bakso bakarnya pedas banget," keluh Jihan sambil sambil memegangi telinganya, "Ya Allah!" "Jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit." Sandra mengambil sisa bakso bakar dari tanganku lalu menghabiskannya. Padahal wajahnya sudah memerah. Tak hanya bakso bakar, sosis bakar dan tahu mercon juga Sandra habiskan. Sengaja dia lakukan agar aku tidak memakannya lagi. "Pedes tapi enak," kataku lalu menyesap es teh punyaku sampai tandas. "Hahhh..... lega....." Kulempar cup plasti bekas es teh ke dalam tong sampah. Diikuti Jihan dan Sandra. Setelahnya, kami pun memutuskan untuk pulang Awalnya, aku berniat pulang naik taksi o

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tamparan.

    "Ada apa ini?" Suara bariton menginstruksi kami menoleh kearah suara. "Kak Satya," panggil Anindia saat kakaknya itu berjalan mendekat. "Lihat, Tari bersikap kasar padaku dan Mbak Danisa." Seperti biasanya gadis yang terpaut satu tahun di atasku itu mengadu pada kakaknya. "Mas, dia menamparku. Sakit sekali pipiku." Tak. ketinggalan Danisa ikut merengek sambil menunjukkan pipinya yang memerah habis aku tampar. Entah kenapa mendengar wanita itu memanggil Kak Satya dengan panggilan 'Mas' membuatku kesal. Dari semua sepupu Kak Satya hanya Danisa yang diizinkan memanggilnya 'Mas'. Istimewa sekali, Gadis yang tadi sempat beradu mulut denganku itu berlagak lemah. Mimik wajahnya berubah kalem dan memelas. "Dia juga menghinaku dengan kata-kata kasar." Adunya lagi dengan berderai air mata. Kak Satya menunduk, menyamakan tinggi tubuhnya dengan wajah Danisa. Terlihat, sedang memeriksa pipi kekasihnya itu. "Ahk.... sakit," rengek Danisa, wanita itu saat ujung jari tangan Kak Satya men

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Keluar dari rumah.

    "Selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali." Suara Kak Satya lantang. Aku menghentikan langkahku, menarik nafas panjang lalu menoleh pada sang pria. Sebuah senyum sinis muncul di bibirnya. "Aku tidak akan kembali. Terima kasih untuk semuanya. Hutangku sudah kubayar lunas hari ini. Selamat tinggal." Senyum sini itu langsung lenyap. Mimik wajah Kak Satya langsung berubah garang. Tapi aku tak peduli. Gegas aku berbalik. Dengan penuh keyakinan aku berjalan keluar dari rumah yang selama enam bulan ini menjadi tempat tinggalku. Tempat singgah sementara yang hanya dipenuhi dengan pertengkaran. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak luruh namun begitu mobil berjalan keluar melewati pagar rumah cairan bening itu meluruh tanpa bisa dicegah. Tak bisa bohong, hatiku sakit. Rasa kecewa itu begitu besar. Aku tak menyangka Kak Satya tega menamparku demi membela kekasihnya. Bagaimanapun aku adalah istrinya meski hanya diatas kertas. Tapi, dia sudah melafalk

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-14
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Ketahuan.

    Pov Author. Pagi ini Ganendra mendapat pesan dari Jihan, teman dekat sang adik. Memintanya untuk bertemu di depan kampusnya. Sempat merasa bingung namun rasa penasaran membuat pria berwajah tampan itu menyisihkan waktunya untuk menemui teman adiknya itu. Dan feeling-nya benar. Gadis itu tak mungkin iseng ingin bertemu dengannya. Pasti ada sesuatu yang penting sampai gadis yang ia tahu pendiam dan pemalu itu berani mengirim pesan padanya. Tepat pukul 10 pagi Ganendra menghentikan mobilnya beberapa meter dari gerbang kampus dimana Jihan sudah menunggunya. Lima menit sudah mereka berbicara di dalam mobil dan ekspresi Ganendra yang tadinya santai berubah penuh amarah. Ganendra mencengkeram kuat stir mobil. Darahnya serasa mendidih mendengar cerita yang mengalir lancar dari bibir Jihan. Sahabat Bestari itu menceritakan kebenaran tentang rumah tangga adiknya yang selama ini ternyata penuh dengan kebohongan. Abisatya Putra Aditama yang dia kira ikhlas menerima perjodohan ternya

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-14
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Jujur.

    "Apa kamu sudah kehilangan otakmu karena cinta? Sampai rela dipukul dan dihina?" Ganendra menatap tajam adiknya itu. Tahu salah, Bestari pun menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu menyembunyikannya?" tanya Ganendra geram. Tak tega, pria itu mengalihkan pandangannya ke arah jalanan di depannya. Sedang Bestari tetap menunduk dengan mulut tertutup rapat. "Sampai kapan? Sampai kamu kehilangan nyawamu? Barulah kami tahu?" Sontak Bestari menatap sang kakak. Tak menyangka sebesar itu prasangka buruknya pada Satya. "Kak Satya tidak sejahat itu," bantahnya. Ganendra terkekeh, "Ternyata cinta sudah benar-benar mengosongkan isi otakmu," Ganendra menata adiknya miris. "Lihat dirimu sekarang!!" sentaknya dan langsung membuat Bestari berjingkat kaget. Seumur hidupnya sekalipun Ganendra tidak pernah memarahinya, ada apalagi membentak. Dan ini kali pertama Bestari dibentak kakak kandungnya itu. Tak urung membuat gadis itu meneteskan air matanya. Tak berhenti, Ganendra terus member

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-17
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Amarah Ganendra.

    "Pacar siapa? Tolong ulangi," tanya Ganendra dengan ekspresi geram yang membuat Rendra menatap Bestari. "Ah... dia Kakak saya, Pak." Bestari merangkul lengan kakaknya sambil mencubit, berusaha menahan kakaknya untuk tidak berbicara. Namun sayangnya, Ganendra tak menggubris kode yang diberikan adiknya. Pria itu kembali mengutarakan rasa penasaran di hatinya lewat pertanyaan yang sama. "Kalau tidak salah dengar, tadi Anda bilang Satya punya pacar?" "Iya," jawab Rendra menaikan satu alisnya. "Siapa?." "Maaf Pak, kakaknya saya ini temannya Pak Satya, jadi sedikit kepo." Bestari menyela ucapkan kakaknya. "Sepertinya kami harus pergi, permisi." Dengan memaksa Bestari menarik lengan kakaknya pergi. "Plis....." Mohonnya memelas. Ganendra pun terpaksa Ganendra mengikuti adiknya untuk pergi. Melihat sikap Bestari yang seperti menyembunyikan sesuatu membuat Rendra merasa curiga.Tidak biasanya mahasiswinya itu bersikap canggung dan gugup seperti itu. Dan ada apa terjadi dengan wa

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-17
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pulang ke rumah.

    Sudah seminggu sejak kepergian Bestari dari rumah Satya dan kini Gadis itu sudah pulang kembali ke rumah orang tuanya. Tentu saja dengan alasan rindu pada mamanya. Dengan kondisi jantung Farah yang kadang tidak stabil, menjadi pertimbangan Ganendra untuk merahasiakan dulu rencana pembatalan pernikahan Bestari dan Satya. Ganendra tidak memutuskan sendiri, beberapa hari sebelumnya dia sudah memberitahu papanya. Ibra Khasif Rahardian, sangat kecewa namun tak bisa melampiaskan amarahnya. Pria itu hanya diam dengan rahang mengeras dan tangan mengepal. Hutang budi dan persaudaraan menjadi alasannya. "Jangan lakukan apapun, cukup urus surat pembatalan pernikahan." Setelah mendengar jika putri dan menantunya tidur dikamar terpisah, Ibra pun memutuskan untuk mengambil jalan pembatalan pernikahan ketimbang perceraian. Status putrinya yang dipikirkannya. "Tapi yang dia lakukan pada Tari sudah melewati batas. Aku tidak bisa menerimanya, Pa." "Dia brengs*k tapi kita harus punya et

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-18

Bab terbaru

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Sah?" ucap penghulu setelah selesai0 Guntur mengucapkan janji suci atas nama Anindya dengan menjabat tangan Farhan, ayah kandung dari wanita yang saat ini sedang menunggu di ruang tunggu pengantin dengan jantung berdegup kencang. Hanya dengan satu tarikan nafas, lafadz itu berhasil Guntur ucapkan tanpa kesalahan, meski disertai rasa gugup dan detak jantung yang tak beraturan. Ac ruangan seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya entah kenapa mengeluarkan keringan sebesar biji jagung dari kedua pelipisnya. "Sah," seru Ibra dan seorang pria dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Guntur memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang. "Alhamdulillah....." ucapnya yang entah kenapa berbarengan dengan Anindya yang ada di ruang tunggu. Gadis itu menakupkan kedua telapak tangannya saat lantunan do'a terdengar. Tak hanya kedua mempelai yang merasa terharu hampir semua yang hadir di ruangan private wedding itu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Banyak hal dalam hidup Guntur yang sudah kau ambil. Apa otak cerdasmu itu tidak mampu menghitungnya?" "Memangnya apa yang sudah aku ambil, Pa? Tolong jelaskan aku benar-benar tidak faham," tanya Gibran berusaha sopan meski ada rasa tidak terima bergemuruh di dalam dadanya. Selama hidupnya, Gibran tidak pernah mengusik Guntur. Apapun yang dilakukan kakaknya itu Gibran tak pernah sekalipun ikut campur. Jangankan melarang, memprotes saja tidak. Sebaliknya, Guntur yang selalu ikut campur urusan Gibran. "Kenapa Papa diam? Ayo jelaskan," pinta Gibran tak sabar. Ario, mendesah berat. Ada rasa enggan untuk membahas apa yang sudah berlalu. Ibarat membuka luka lama. Namun, putra keduanya itu harus tahu sebesar apa pengorbanan Guntur untuk dirinya. Ario menghela nafas panjang sebelum bicara. "Apakah hatimu sedingin itu sampai tak bisa melihat betapa besar pengorbanan kakakmu itu?" "Maksudnya apa? Tolong bicara yang jelas," ujar Gibran tak sabar. Ario pun tak lagi segan. "Hal

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    "Kudengar kamu menemui wanita itu?" tanya Ario pada Gibran saat makan malam. Hari ini Gibran pulang lebih awal dari biasanya. Tentu karena permintaan sang papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Meski enggan Gibran menuruti permintaan papanya itu. Gibran mengangkat wajahnya memandang Ario sedang menatapnya sembari mengunyah makanan di mulutnya. "Hemm," jawab Gibran singkat, lalu kembali menunduk fokus dengan makanannya. "Untuk apa wanita itu menemuimu?" tanya Ario lagi. Gibran mendesah berat, mereka sedang makan malam bersama setelah beberapa waktu tidak ada waktu untuk berkumpul seperti ini. Diliriknya Gia yang terlihat menghentikan gerak tangannya. Gadis itu juga nampak menahan tak senang. Dalam hati Gibran merutuki sikap papanya yang tidak tahu tempat. Tidak pernah bisa mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang tentu saja sangat sensitif untuk dibahas di rumah mereka. Saat ini mereka sedang makan malam bersama, meski masalah itu penting setidakny

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part.

    "Coba tebak kenapa aku tidak menolak?" tanya balik Atika. Sebuah ekspresi yang sulit Gibran baca. Satu alis Gibran terangkat. Matanya berusaha membaca ekspresi wajah Atika. Dari sorot mata wanita itu tersirat luka dan kekecewaan yang mendalam. Tatapan itu juga menyimpan dendam yang amat sangat. Entah itu pada keluarga Gibran atau malah pada Gibran sendiri. "Coba tebak," ujar Atika mengangkat dagunya. Gibran mendesah berat. "Sayangnya saya tidak suka main tebak-tebakan," katanya enggan. Pria itu tidak mau menunjukkan rasa penasarannya. Tidak ingin memberi kesempatan untuk Atika kembali mempermainkan rasa ibanya. Kalaupun Atika tidak mau bercerita, Gibran masih punya banyak sumber informasi lain yang bisa dia tanyai. Sadar umpannya tak mengenai sasaran, Atika menghela nafas panjang. Meski begitu wanita itu tak putus asa. Jika kali ini tidak berhasil dia akan mencari cara lain. Gibran adalah putra yang dibesarkannya dari bayi sampai dewasa, tentu saja dirinya tahu aoay ya

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Pagi ini Gibran kembali menerima pesan dari Atika. Mantan ibu tirinya itu memberi kabar, jika dirinya sudah sampai di Indonesia sejak kemarin malam. Dan siang ini wanita itu meminta waktu untuk bertemu. Meski enggan tapi pria itu tak sampai hati menolak permintaan wanita yang dulu pernah amat sangat disayanginya. Di sela-sela kesibukannya, putra kedua keluarga Wiratama itu menyempatkan datang ke sebuah resto di pusat kota, tempat yang dipilih Atika untuk menunggu pria itu. Pukul satu lebih Gibran baru sampai di resto bergaya Italia itu. Satu jam lebih lambat dari permintaan Atika. Sebuah meeting dadakan yang cukup penting tidak mungkin diakhirinya demi menemui wanita yang sudah menipunya puluhan tahun. Gibran melangkah masuk dengan diikuti Andi, asisten setianya. Dia sudah tidak berharap Atika masih menunggu, kalaupun wanita itu sudah pergi tapi setidaknya dirinya dan sang asisten harus makan siang. Tapi ternyata Gibran salah, wanita berwajah kalem itu masih duduk tenan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    "Dua tahun aku mengalah. Menahan diri untuk memperjuangkan rasaku padanya demi untuk memberimu kesempatan untuk memperjuangkan cintamu. Tapi apa, kamu hanya diam di tempat. Kamu membiarkan di sana dia sendiri bersama lukanya. Apakah itu yang kamu sebut cinta?" "Aku menunggunya untuk..... untuk...." Mendadak otak Gibran kosong. Tak ada kata yang tepat untuk membenarkan sikapnya yang hanya diam saja selama dua tahun ini. Guntur mendesah berat, ada rasa iba melihat adiknya kembali kehilangan orang yang dicintainya, namun dirinya juga tidak ingin melepaskan cinta yang sudah diperjuangkannya dengan mempertaruhkan harga dirinya juga kedudukan sebagai CEO pun dilepasnya demi Anindya. "Dia tidak terluka karena kamu. Harusnya kamu masih bisa mendekatinya sebagai teman. Menemaninya mengobati luka hatinya," kata Guntur lagi. "Aku pikir dengan memberinya waktu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah waktu adalah obat terbaik?" Gibran menatap lekat Guntur. "Salah, wa

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Gibran sampai rumah pukul delapan pagi setelah menggunakan penerbangan pertama dini hari dari bandara Juanda Surabaya. Semalaman Gibran ditemani Andi menjelajahi kota yang terkenal dengan kota pahlawan itu. Untuk mengalahkan rasa sakit hatinya pria dingin itu menyewa tour guide lewat onlin untuk mengantarkan mereka mencari tempat makan unik dan kuliner khas kota itu di malam hari. Dari Bandara mobil yang di kendarai oleh Andi berhenti di halaman rumah mewah keluarga Wiratama. "Kamu bawa saja mobilnya. Pagi ini kamu tidak perlu ke kantor. Suruh Cika menghandle semuanya," ucap Gibran begitu mobil berhenti. "Baik Pak," "Jangan lupa siang nanti kita ada meeting, kamu jemput saya." Tambahnya sebelum turun. Dengan langkah lebar Gibran memasuki rumah yang sudah dua tahun ini terasa sangat sepi. Apalagi saat pagi. Ario, sang papa pasti sibuk di kantor dan Anggia, adik bungsunya sepengetahuannya masih menghabiskan waktu libur kuliahnya di Surabaya.Atika sang Mama, yang dulu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part

    Sudah satu jam Gibran duduk termenung di salah satu kursi tunggu di bandara Juanda Surabaya. kepalanya menunduk menatap ujung sepatunya dengan tangan saling bertautan kuat. Berusaha menahan rasa pilu dari luka yang kini menganga di hatinya. Suara lembut Anindya beberapa jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di otaknya. "Iya, aku menerimanya. Dua minggu lagi kami akan menikah." Seperti di gempur tsunami dari samudera, ucapan Anindya seketika memporak-porandakan hatinya sampai hancur berkeping-keping. Bagaimana hatinya tidak terluka, wanita yabg dia cintai akan menikahi kakak kandungnya. Dirinya saja bekum bisa merelakan perpisahan mereka dan hanya kurang dari empat belas hari cintanya itu akan jadi kakak iparnya. Tidak adakah pria lain yang bida dicintai Anindya selain Guntur? Tidak bisakah gadis itu memikirkan perasaannya? Entah sudah berapa kali desahan berat keluar dari bibir tipisnya. Sesak itu benar-benar terasa menyesakkan dadanya hingga membuat pria yang

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Extra part .

    Anindya jadi kesal sendiri jika teringat kejadian lamaran kemarin. Ternyata semua sudah direncanakan oleh Guntur. Natalie dan semua keluarga mereka sengaja diminta pria itu untuk mengikuti skenario yang dibuat olehnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Guntur sampai bisa meluluhkan hati Farhan dan Satya sampai-sampai dua pria keras kepala itu setuju membantu Guntur untuk mendapatkan Anindya meski dengan jalan menipu gadis itu. Satu bulan sebelum hari H berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh kedua belah keluarga. K3dua mempelai hanya bisa pasrah karena kesibukan pekerjaan dan kuliah. Jadilah seluruh persiapan diambil alih oleh pihak keluarga. Dari keluarga Anindya tentu saja Aisyah dan Tari yang pegang kendali. Mertua dan menantu itu sangat bersemangat dalam mengurus segala keperluan untuk pernikahan Anindya dan Guntur. Saking sibuknya sampai membuat Satya sempat marah karena takut membahayakan kondisi Tari yang sedang hamil anak kedua mereka. "Serahkan pada EO aja.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status