Share

Menghindar

Seharusnya, aku tidak lari!

Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri.

"Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku.

"Iya Bik," jawab Kak Satya singkat.

"Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya."

Aduh!

Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya?

Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan.

Masa harus nunggu Kak Satya berangkat?

Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi!

Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua.

Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini.

Tentu tanpa campur tanganku. Seperti yang Kak Abisatya minta, aku tidak boleh memasak apalagi menyentuh pakaiannya juga barang-barangnya.

Jujur, aku kadang merasa tak enak karena tidak membantu bibi. Tapi, mau gimana lagi?

Jika sampai ketahuan, Kak Satya akan marah besar. Bahkan, ia pernah sampai membakar bajunya gara-gara aku membantu meletakkan baju yang sudah disetrika oleh Bibi ke dalam lemarinya.

Jangan tanya perasaanku!

Sakit? Tentu saja, sakit sekali.

Pelan aku menghela nafas. Mengingat kejadian itu seperti mengelupas luka yang belum sembuh benar.

Sepertinya, ini waktu yang tepat aku keluar. Kak Satya sibuk dengan sarapannya dan Bibi entah ke mana. Mungkin mengambil baju kotor di kamar Kak Satya?

Sambil berjinjit, aku pun berjalan keluar kamar. Tujuanku adalah teras samping yang pintu penghubungnya di sebelah dapur. Untungnya, aku berhasil.

Sesampainya di teras samping, aku berjalan cepat menuju halaman depan.

Ojek online yang kupesan juga sudah ada di depan rumah, sehingga aku bisa langsung pergi!

***

"Sarapan dulu," perintah sahabatku menyodorkan sepotong sandwich yang kuyakin buatannya sendiri, begitu tiba di kampus.

"Makasih."

"Cie..... calon ipar yang baik," celetuk Sandra yang langsung mendapat lirikan tajam dari Jihan.

"Pelan saja makannya masih ada lima belas menit lagi," ujar Jihan sambil menepuk pelan pundakku.

Aku mengangguk sebagai respon.

"Kenapa kemarin kamu gak dateng?" Sandra mulai mengungkit isi pesannya kemarin. "Harusnya kamu itu datang dan labrak itu pelakor!" ucapnya dengan wajah gemas, sedang Jihan hanya manggut-manggut saja.

"Kamu lupa? Di sini, bukan Danisa pelakornya, tapi aku," kataku setelah menelan makanan yang ada di mulutku.

"Kamu bukan pelakor, Tari." Jihan menimpali. "Kalian sudah menikah. Pak Abisatya harusnya sadar kalau dia harus menjaga perasaanmu."

"Gimana mau jaga perasaan dia aja gak punya perasaan?"

"Sandra," tegurku. Meski aku sakit hati, tapi aku tidak suka ada yang menghina Kak Satya.

Ya, sebodoh itulah aku.

"Eh... itu orangnya." Jihan tiba-tiba menunjuk ke arah halaman kampus.

Terlihat Kak Satya berjalan cepat menuju ....

Tunggu, apa aku tidak salah lihat? Bukankah dia harusnya ada jadwal operasi?

"Dia ke sini," bisik Sandra.

Tanpa pikir panjang, aku segera berlari. Lebih baik, menghindar dari pada sakit hati.

Sebab, dia tidak akan berbicara denganku jika bukan untuk melampiaskan amarahnya.

Dan aku berhasil!

Kucoba menenangkan diri.

Untungnya, sampai kuliah selesai, tak kutemukan tanda-tanda Kak Satya mencariku..

Kami pun memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke mall.

Sekadar refreshing….

"Baru dapat transferan dari Kak Alfa, mau beli baju sama sepatu." Sandra berjalan sambil mengibaskan kartu ATM-nya.

"Duh .... senengnya! Mau dong ditraktir," godaku berjalan dengan menggandeng tangan Jihan.

"Beres," ucapnya jumawa, "pilih satu baju, ya!"

Aku dan Jihan sontak bersorak.

Dengan riang, kami berjalan menuju sebuah toko yang cukup bermerk. Baju-baju bagus dan khusus anak muda.

Entah berapa lama. Yang jelas, setelah puas memilih, kami pun menuju kasir. Tiga paperback untuk Sandra, sedang aku dan Jihan hanya satu paperback untuk masing-masing.

"Cari makan yuk," ajak Sandra dan kami hanya mengekori saja.

"Eh.... itu kan...." Masih sambil berbincang aku menoleh ke arah jari telunjuk Jihan.

Di sana, Kak Satya dan Daniasa tampak sedang bersama.

Hatiku seketika berdenyut nyeri.

Ternyata .... melihat sendiri jauh lebih sakit dibanding di foto.

Haruskah aku bertahan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status