Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih......
Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu. Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini? "Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram. Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta. "Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami. "Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa. Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melotot menatapku dan Sandra. "Plis.... Sandra, biarin saja." "Kamu itu terlalu baik, makanya mereka seenaknya." Sentak Sandra dengan wajah kesal. "Kemana Ayu Bestari yang aku kenal? Atu Bestari yang berani dan tidak suka ditindas. Jangan karena cinta kamu jadi lemah." Kubekab mulut Sandra, gadis ini sudah mulai tak terkendali. "Ya Allah ... Sandra, di sini aku yang salah. Please, jangan bikin aku tambah malu." Aku berusaha menarik tangan sepupu juga sahabatku itu namun bukan Sandra jika tidak keras kepala. Wanita berambut sebahu itu ngotot ingin mendekati Kak Abisatya dan Danisa. "Sandra, dengarkan Tari. Jangan dia makin malu Jihan ikut menarik lengan Sandra. "Ini di tempat umum, kasihan Tari." Bersyukur, Sandra menurut. Segera kami membawanya pergi menjauh. Sebelum pergi aku sempat melihat kearah Kak Abisatya. Pria itu menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan. Mungkin kesal, benci atau malu karena beberapa orang mulai berbisik sambil melihat kearah kami. Sedang Danisa menatap sinis, seolah menatangku. Seandainya tidak mengingat permintaan Kak Abisatya untuk berpura-pura tidak kenal di tempat umum, aku pasti sudah mendatanginya dan mengucapkan banyak kata mutiara untuk wanita sok kalem itu. Seperti kata Sandra sejatinya aku bukan wanita lemah lembut yang akan diam saja saat disakiti. Aku dan Sandra bisa dibilang sebelas dua belas. Hanya saja aku lebih bisa mengeram mulutku saat berbicara. Sedang Sandra ceplas-ceplos tak peduli dengan siapa dia bicara. "Ck... harusnya tadi kamu biarin aku melabrak mereka. Biar malu sekalian." Sandra mengomel masih dengan mimik wajah marah saat kami sudah berada di dalam mobil. "Kamu nggak malu dilihatin banyak orang?" tanyaku memberikan sebotol air mineral padanya. "Mereka itu yang harusnya malu, pasangan selingkuhan." "Astaghfirullah....." Kuhela nafas panjang. "Tapi mereka nggak tahu malu, Sandra," sahut Jihan. "Kita yang masih punya malu, jangan malah mempermalukan diri sendiri." "Noh... dengerin," ujarku menoyor -dahi Sandra. "Ck.... iya Bu Ustadzah." Jawab Sandra dengan kepala goyang-goyang yang membuatku pengen jitak kepalanya. "Kemana nih?" tanya Jihan yang sudah standby dibalik kemudi. "Cari makan dulu, lapar." "Marah-marah mulu, makanya lapar." Jihan tertawa. "Ya sudah ke kafe biasanya aja, Han." Aku memberi perintah dan mobil pun langsung berjalan keluar area parkiran. *** "Biar aku yang traktir," kataku saat kami sampai di kafe. Kulihat Jihan seperti bingung memilih menu. Gadis itu pasti mencari menu yang harganya paling murah. Diantara kami bertiga Jihan yang hidupnya paling sederhana. Orang tuanya memutuskan pulang ke kampung halaman untuk bertani setelah restoran mereka gulung tikar karena pandemi beberapa tahun yang lalu. Di sini Jihan tinggal di sebuah kosan khusus cewek. Dia mendapatkan beasiswa full dari kampus karena kepintarannya. "Alhamdulillah... tadi ditraktir beli baju sekarang ditraktir makan. Nikmat Tuhan-mu yang manalagi yang kau dustakan." Jihan menakupkan kedua tangannya ke depan dada. . "Aku bayar sendiri," ucap Sandra sewot. "Papa sama Kak Ganendra masih tetap ngasih uang jajan buat aku tiap bulan." jelasku. Aku tahu Sandra pasti mengira uang yang aku pakai uang pemberian Kak Abisatya. "Jadi, si Satya itu gak ngasih kamu nafkah?" Aku spontan menggelengkan kepala. "Astaga! Suami macam apa si Satya itu? Sudah selingkuh gak ngasih nafkah lagi." "Astaghfirullah.... San! Itu mulut ya." "Kenapa?" Sandra mengangkat dagunya. "Bisa kan nyebutnya Kak Satya," kataku. Agak risih juga dengar dia manggil nama aja. Padahal umur kami jauh dibawah Kak Abisatya. "Aku gak peduli! Aku gak anggap ABISATYA itu sepupuku! Dia uga bukan dosenku, kok," jawabnya tegas. Aku dan Jihan saling pandang. Sandra kalau sudah benci sama orang, semua di matanya jelek gak ada baiknya. "Kamu juga, mau-maunya dibegoin sama dokter abal-abal itu. Aku nggak bisa bayangin jika pihak kampus dan rumah sakit tahu perselingkuhan si Satya itu." Tangan Jihan mengelus pundakku lembut sambil bibirnya berkata, "Sabar ya, Tari...." "Hati kamu itu terbuat dari apa sih, Tari? Bisa-bisanya kamu diam saja melihat suami kamu selingkuh." Kuhela nafas panjang. Semua ucapan Sandra benar, tetapi aku juga punya alasan kenapa aku diam. "Sebagai istri, tentu aku sakit hati melihat suamiku bersama wanita lain. Rasanya lebih sakit dari saat mengetahui pengkhianatan Bagas. Tapi, aku juga bisa memahami perasaan Kak Satya," ucapku, "dia pasti sangat membenciku. Karena aku, dia harus kehilangan kesempatan untuk hidup bersama orang yang dia cintai." "Tapi dia sudah mengambil tanggung jawab atas hidupmu. Mengikrarkan janji suci untuk hidup bersamamu, jadi sudah menjadi kewajibannya untuk setia dan mencintaimu." "Iya, kamu benar. Tapi pikirkan, jika kamu di posisinya. Demi menyelamatkan nama baik keluarga harus mengorbankan cinta. Pasti sangat berat." "Itu bukan salah kamu, Tari!" "Mereka juga tidak salah. Andai saja, aku tidak menerima lamaran Bagas, pernikahan ini tidak perlu terjadi. Tidak akan ada hati yang terluka." "Takdir Tuhan, siapa yang tahu?" sahut Jihan, tiba-tiba, "Percaya atau tidak semua yang terjadi itu sudah takdir. Mau menghindar ke ujung dunia, tidak akan merubah hasil akhirnya. Mungkin saat ini kalian saling membenci, tapi esok siapa yang tahu?"Dari kafe, kami memutuskan mampir ke taman kota. Sekadar cari angin sambil cari jajanan yang biasanya mangkal di pinggir jalan. Beberapa makanan yang memiliki rasa pedas menjadi pilihan. Suasana hatiku yang sedang kacau terasa lebih lega. Rasa pedas membuat otakku kosong, semua beban pikiran terusir dengan rasa pedas yang rasa membakar lidah dan tenggorokanku."Bakso bakarnya pedas banget," keluh Jihan sambil sambil memegangi telinganya, "Ya Allah!" "Jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit." Sandra mengambil sisa bakso bakar dari tanganku lalu menghabiskannya. Padahal wajahnya sudah memerah. Tak hanya bakso bakar, sosis bakar dan tahu mercon juga Sandra habiskan. Sengaja dia lakukan agar aku tidak memakannya lagi. "Pedes tapi enak," kataku lalu menyesap es teh punyaku sampai tandas. "Hahhh..... lega....." Kulempar cup plasti bekas es teh ke dalam tong sampah. Diikuti Jihan dan Sandra. Setelahnya, kami pun memutuskan untuk pulang Awalnya, aku berniat pulang naik taksi o
"Ada apa ini?" Suara bariton menginstruksi kami menoleh kearah suara. "Kak Satya," panggil Anindia saat kakaknya itu berjalan mendekat. "Lihat, Tari bersikap kasar padaku dan Mbak Danisa." Seperti biasanya gadis yang terpaut satu tahun di atasku itu mengadu pada kakaknya. "Mas, dia menamparku. Sakit sekali pipiku." Tak. ketinggalan Danisa ikut merengek sambil menunjukkan pipinya yang memerah habis aku tampar. Entah kenapa mendengar wanita itu memanggil Kak Satya dengan panggilan 'Mas' membuatku kesal. Dari semua sepupu Kak Satya hanya Danisa yang diizinkan memanggilnya 'Mas'. Istimewa sekali, Gadis yang tadi sempat beradu mulut denganku itu berlagak lemah. Mimik wajahnya berubah kalem dan memelas. "Dia juga menghinaku dengan kata-kata kasar." Adunya lagi dengan berderai air mata. Kak Satya menunduk, menyamakan tinggi tubuhnya dengan wajah Danisa. Terlihat, sedang memeriksa pipi kekasihnya itu. "Ahk.... sakit," rengek Danisa, wanita itu saat ujung jari tangan Kak Satya men
"Selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali." Suara Kak Satya lantang. Aku menghentikan langkahku, menarik nafas panjang lalu menoleh pada sang pria. Sebuah senyum sinis muncul di bibirnya. "Aku tidak akan kembali. Terima kasih untuk semuanya. Hutangku sudah kubayar lunas hari ini. Selamat tinggal." Senyum sini itu langsung lenyap. Mimik wajah Kak Satya langsung berubah garang. Tapi aku tak peduli. Gegas aku berbalik. Dengan penuh keyakinan aku berjalan keluar dari rumah yang selama enam bulan ini menjadi tempat tinggalku. Tempat singgah sementara yang hanya dipenuhi dengan pertengkaran. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak luruh namun begitu mobil berjalan keluar melewati pagar rumah cairan bening itu meluruh tanpa bisa dicegah. Tak bisa bohong, hatiku sakit. Rasa kecewa itu begitu besar. Aku tak menyangka Kak Satya tega menamparku demi membela kekasihnya. Bagaimanapun aku adalah istrinya meski hanya diatas kertas. Tapi, dia sudah melafalk
Pov Author. Pagi ini Ganendra mendapat pesan dari Jihan, teman dekat sang adik. Memintanya untuk bertemu di depan kampusnya. Sempat merasa bingung namun rasa penasaran membuat pria berwajah tampan itu menyisihkan waktunya untuk menemui teman adiknya itu. Dan feeling-nya benar. Gadis itu tak mungkin iseng ingin bertemu dengannya. Pasti ada sesuatu yang penting sampai gadis yang ia tahu pendiam dan pemalu itu berani mengirim pesan padanya. Tepat pukul 10 pagi Ganendra menghentikan mobilnya beberapa meter dari gerbang kampus dimana Jihan sudah menunggunya. Lima menit sudah mereka berbicara di dalam mobil dan ekspresi Ganendra yang tadinya santai berubah penuh amarah. Ganendra mencengkeram kuat stir mobil. Darahnya serasa mendidih mendengar cerita yang mengalir lancar dari bibir Jihan. Sahabat Bestari itu menceritakan kebenaran tentang rumah tangga adiknya yang selama ini ternyata penuh dengan kebohongan. Abisatya Putra Aditama yang dia kira ikhlas menerima perjodohan ternya
"Apa kamu sudah kehilangan otakmu karena cinta? Sampai rela dipukul dan dihina?" Ganendra menatap tajam adiknya itu. Tahu salah, Bestari pun menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu menyembunyikannya?" tanya Ganendra geram. Tak tega, pria itu mengalihkan pandangannya ke arah jalanan di depannya. Sedang Bestari tetap menunduk dengan mulut tertutup rapat. "Sampai kapan? Sampai kamu kehilangan nyawamu? Barulah kami tahu?" Sontak Bestari menatap sang kakak. Tak menyangka sebesar itu prasangka buruknya pada Satya. "Kak Satya tidak sejahat itu," bantahnya. Ganendra terkekeh, "Ternyata cinta sudah benar-benar mengosongkan isi otakmu," Ganendra menata adiknya miris. "Lihat dirimu sekarang!!" sentaknya dan langsung membuat Bestari berjingkat kaget. Seumur hidupnya sekalipun Ganendra tidak pernah memarahinya, ada apalagi membentak. Dan ini kali pertama Bestari dibentak kakak kandungnya itu. Tak urung membuat gadis itu meneteskan air matanya. Tak berhenti, Ganendra terus member
"Pacar siapa? Tolong ulangi," tanya Ganendra dengan ekspresi geram yang membuat Rendra menatap Bestari. "Ah... dia Kakak saya, Pak." Bestari merangkul lengan kakaknya sambil mencubit, berusaha menahan kakaknya untuk tidak berbicara. Namun sayangnya, Ganendra tak menggubris kode yang diberikan adiknya. Pria itu kembali mengutarakan rasa penasaran di hatinya lewat pertanyaan yang sama. "Kalau tidak salah dengar, tadi Anda bilang Satya punya pacar?" "Iya," jawab Rendra menaikan satu alisnya. "Siapa?." "Maaf Pak, kakaknya saya ini temannya Pak Satya, jadi sedikit kepo." Bestari menyela ucapkan kakaknya. "Sepertinya kami harus pergi, permisi." Dengan memaksa Bestari menarik lengan kakaknya pergi. "Plis....." Mohonnya memelas. Ganendra pun terpaksa Ganendra mengikuti adiknya untuk pergi. Melihat sikap Bestari yang seperti menyembunyikan sesuatu membuat Rendra merasa curiga.Tidak biasanya mahasiswinya itu bersikap canggung dan gugup seperti itu. Dan ada apa terjadi dengan wa
Sudah seminggu sejak kepergian Bestari dari rumah Satya dan kini Gadis itu sudah pulang kembali ke rumah orang tuanya. Tentu saja dengan alasan rindu pada mamanya. Dengan kondisi jantung Farah yang kadang tidak stabil, menjadi pertimbangan Ganendra untuk merahasiakan dulu rencana pembatalan pernikahan Bestari dan Satya. Ganendra tidak memutuskan sendiri, beberapa hari sebelumnya dia sudah memberitahu papanya. Ibra Khasif Rahardian, sangat kecewa namun tak bisa melampiaskan amarahnya. Pria itu hanya diam dengan rahang mengeras dan tangan mengepal. Hutang budi dan persaudaraan menjadi alasannya. "Jangan lakukan apapun, cukup urus surat pembatalan pernikahan." Setelah mendengar jika putri dan menantunya tidur dikamar terpisah, Ibra pun memutuskan untuk mengambil jalan pembatalan pernikahan ketimbang perceraian. Status putrinya yang dipikirkannya. "Tapi yang dia lakukan pada Tari sudah melewati batas. Aku tidak bisa menerimanya, Pa." "Dia brengs*k tapi kita harus punya et
"Ini yang cerita Andika," Bestari mengangguk, tahu Andika saudara sepupu Danisa yang dekat sama Sandra. Saling suka tapi belum jadian juga. "Dia bilang sebelum kecelakaan Danisa mengaku sempat bertemu kamu di rumah Tante Aisyah Di sana Tante Aisyah memuji-muji kamu dan mengatakan jika kamu adalah menantu pilihannya untuk Satya. Tante Aisyah sengaja melakukan itu untuk membuat Clarisa cemburu. Padahal saat itu kata Danisa Satya dan Clarisa sedang menjalin hubungan." Iya, Bestari ingat kejadian itu. Tapi kenapa sedikit berbeda dengan cerita Sandra. "Mendengar ucapan Tante Aisyah Clarisa marah. Apalagi Satya tidak membelanya, jadinya Clarisa langsung pergi bersama Danisa. Tapi, bukannya pulang karena kesal dan marah Clarisa malah melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju pusat kota. Tapi di perempatan jalan mobil lepas kendali dan menabrak truk. Karena kecelakaan itu Clarisa meninggal." Mendadak tubuh Bestari lemas, terhempas ke belakang dan menyandar pada pinggiran