Share

Tamu

Dari kafe, kami memutuskan mampir ke taman kota. Sekadar cari angin sambil cari jajanan yang biasanya mangkal di pinggir jalan.

Beberapa makanan yang memiliki rasa pedas menjadi pilihan. Suasana hatiku yang sedang kacau terasa lebih lega. Rasa pedas membuat otakku kosong, semua beban pikiran terusir dengan rasa pedas yang rasa membakar lidah dan tenggorokanku.

"Bakso bakarnya pedas banget," keluh Jihan sambil sambil memegangi telinganya, "Ya Allah!"

"Jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit." Sandra mengambil sisa bakso bakar dari tanganku lalu menghabiskannya.

Padahal wajahnya sudah memerah. Tak hanya bakso bakar, sosis bakar dan tahu mercon juga Sandra habiskan. Sengaja dia lakukan agar aku tidak memakannya lagi.

"Pedes tapi enak," kataku lalu menyesap es teh punyaku sampai tandas.

"Hahhh..... lega....."

Kulempar cup plasti bekas es teh ke dalam tong sampah. Diikuti Jihan dan Sandra. Setelahnya, kami pun memutuskan untuk pulang

Awalnya, aku berniat pulang naik taksi online saja, namun Sandra dan Jihan ingin mampir ke rumah. Katanya, sekalian numpang mandi.

"Nggak ada Pak Satya, kan?" Sudah kedua kalinya Jihan bertanya. Sama seperti tadi, dia bertugas jadi sopir.

"Nggak ada. Pulangnya malam kadang juga nggak pulang."

"Lah, kamu berarti di rumah sendirian?" tanya Sandra dari kursi belakang.

"Sudah biasa," jawabku tanpa menoleh ke jok belakang.

Ya, sudah enam bulan berlalu, aku pun sudah terbiasa ditinggal sendirian di rumah yang sebelahnya masih banyak rumah kosong.

"Tante Farah pasti akan sangat sedih kalau tahu semua ini." Sandra menatapku sendu. "Andai saja Kak Alfa tidak berada di kuar negeri, semua gak akan kayak gini."

Sandra menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Gadis itu menangis.

Kutarik nafas panjang. Aku tak tahu hubungan Kak Alfa yang merupakan Kakak dari Sandra dengan masalah ini.

Namun melihat Sandra, air mataku luruh juga.

"Sudah sampai," beritahu Jihan saat mobil berhenti tepat didepan pagar rumah. "Sudah jangan nangis, Sandra. Aku yakin Tari kuat, jadi kamu jangan khawatir."

"Asal kamu tahu Jihan, Tari itu paling disayang. Bahkan, Kakak dan mamaku itu lebih sayang dia dari pada aku. Tapi, si Satya itu bisa-bisanya menyakiti dan mengabaikannya," ujar Sandra dengan air mata berderai.

Ketulusan Sandra membuat hatiku sakit melihatnya.

"Hei, jangan kayak gitu!" Jihan keluar dari mobil dan kembali masuk ke kursi belakang. Dipeluknya Sandra lalu berkata, "Jangan membebani Tari. Kita harus dukung dia."

Entah apa kalimat selanjutnya, aku tidak bisa mendengar dengan jelas. Di samping suara Jihan yang lirih, aku juga sibuk mengusap air mataku di kursi depan.

"Kita lakukan yang terbaik buat sahabat kita," sambungnya seperti memberi kode dengan tatapan pada Sandra.

Sandra pun mengangguk lalu menatapku. "Tari, berhentilah jika sudah tidak sanggup. Kamu tidak salah."

Aku hanya hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Setelah lebih tenang, kami pun keluar.

Karena sudah sore, Bik Sumi dan suaminya pasti sudah pulang. Jadi, aku pun membuka sendiri pagar rumah.

***

"Jadi begini kelakuanmu saat suamimu tidak di rumah?

Mendengar suara adik iparku, tanpa sadar aku menghela nafas.

Di ruang tamu, sudah duduk dua orang yang tidak aku harapkan kedatangannya, Danisa dan Anindia.

Kekasih dan adik ipar dari Kak Abisatya.

"Tidak kaget, ya memang begitulah kelakuan jalang perebut suami orang," sahut Danisa.

Wajahnya kalem, tapi mulutnya lebih tajam dari pisau.

"Heh! Jaga ya itu mulut!" Suara lantang Sandra dari belakangku. Dia maju, hendak mendekati dua wanita songong yang mimik wajahnya membuat orang baik darah.

"San, biarin saja!" cegahku menahan tangan Sandra. "Sudah kita masuk kamar saja." Aku menarik Sandra dengan dibantu Jihan.

Namun baru beberapa langkah, langkah kami terhenti.

"Hei, Tari! Kamu gak sopan banget sih? Ada tamu malah ditinggal pergi." Kali ini, adik iparku yang berbicara. "Bikinin minum!" perintahnya dengan dagu terangkat.

"Jadi kalian tamu? Aku pikir maling, masuk tanpa izin ke rumah orang."

Mata gadis itu melotot tajam. "Berani kamu ya? Mau aku aduin Kak Satya?" tantangnya sengit.

"Aduain, sekalian bilang sama dia, suruh bawa selingkuhannya pergi dari rumah ini!!"

Wajah dua gadis itu langsung memerah. Pasti mereka tidak menyangka aku akan melawan. Jika biasanya aku diam saja, kali ini kesabaranku habis sudah.

"Gitu dong, ini baru Ayu Bestari yang aku kenal." Sandra berbisik.

Aku tersenyum miring melihat ekspresi wajah Danisa yang sudah seperti tomat busuk.

"Kayaknya ada yang lupa, siapa disini yang tukang rebut?" Gadis berambut sebahu itu menyindir.

"Aku istri sah! Foto pernikahan kami terpampang di sana. Kalau tidak buta, pasti bisa lihat." Langsung kubalas sindirannya tak kalah pedas.

"Astaga .... kalau aku mah, malu deket sama suami orang. Gandengan di mall lagi! Astaghfirullah! Dosa- dosa." Sandra ikut menimpali sambil menatap foto pernikahan yang menempel di dinding ruang tamu.

Nafas Danisa memburu, sepertinya gadis itu benar-benar marah. Dia maju mendekat dan diikuti Anindia.

"Kamu itu punya malu, gak? Kamu yang merebut Mas Abi dariku. Gara-gara kamu, rencana pernikahan kami batal. Sekarang kamu nuduh aku pelakor, Ngaca!!" teriak Danisa murka.

"Dia itu memang pelakor, gagal merebut Bagas dari istrinya dia beralih merebut Kak Abi. Dasar pelakor!!!" Tanpa tahu masalahnya Anindia juga ikut memakiku. Mengungkit masalah batalnya pernikahanku dan Bagas.

"Asal kalian tahu ya, Bagas lah yang mengkhianati Tari. Dan wanita hamil itu pelakornya." Sandra tersulut emosi.

"Mana ada maling ngaku? Semua orang juga tahu wanita itu istri Bagas kok masih ngelak dibilang pelakor." Lagi-lagi Anindia sok tahu.

Entah dari siapa cerita itu bermula, tapi yang pasti baik Kak Abi dan Anindia selalu mengganggapku orang ketiga.

"Siapa sih yang ngajarin kamu jadi pelakor?" tanya Danisa mengejek.

"Kamu," jawabku mengarahkan telunjuk padanya. Seketika Sandra dan Jihan tertawa.

"Malah ketawa? Dasar minim attitude," geram Anindia.

"Biarin Anin, memang seperti itulah akhlak putri dari wanita penyakitan. Saking seringnya masuk rumah sakit sampai gak becus ngajarin putrinya."

Deg!

Dadaku bergemuruh. Isi kepalaku serasa mendidih. "Tarik ucapanmu!" perintahku tegas.

"Kenapa? Tersinggung aku bilang mamamu penyakitan? Kan memang be....."

Plak!

Tak bisa lagi menahan, tangan kananku melayang mengenai pipi kiri gadis berhidung mancung itu.

"Kamu?" Danisa mengangkat tangannya.

"Ada apa ini?" Suara bariton menginstruksi kami menoleh ke arah suara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status