Setelah berpikir semalaman, pagi ini Satya memutuskan untuk menemui Bestari di kampus. Kebetulan pagi ini dirinya juga ada jadwal mengajar. "Pagi Pak," sapa beberapa mahasiswi yang lewat di depan Satya. Setengah tujuh pagi Satya sudah berangkat ke kampus. Semalam Satya sudah mengirim pesan ke nomor Bestari tapi centang satu. Sepertinya nomornya sudah diblokir. Karena itu pagi ini Satya berdiri di lobi gedung management, niatnya untuk menunggu Bestari dan memintanya datang ke ruangannya setalah jam pelajaran pertama. Setelah setengah jam menunggu akhirnya gadis itu pun muncul. Dari kejauhan terlihat Bestari sedang berbicara sambil tersenyum malu-malu dengan seseorang yang berjalan di sampingnya. Entah siapa dia? Seseorang itu wajahnya tertutup mahasiswa yang berjalan di depannya. Mata Satya menajam dengan alis menukik saat dua orang itu mulai menapaki tangga teras gedung. 'Rendra,' sebutnya dalam hati. Dalam pandangan Satya dua orang itu seperti dua sejoli yang sed
"Melihat respon Mama Farah, aku yakin beliau belum tahu tentang masalah kita." Satya tersenyum puas saat melihat wajah panik Bestari. "Lihat, ekspresi wajahmu tidak bisa berbohong. Waktumu lima menit. Bersiaplah, aku akan meminta izin Mama Farah." Satya berjalan menyusul Mama Farah ke halaman samping. Tak punya pilihan, Bestari pun naik ke kamarnya di lantai atas untuk menaruh buku kuliahnya juga berganti pakaian. Setelahnya ia pun turun dan Satya sudah menunggu bersama Mamanya. "Kalau kamu pergi ke luar kota, tolong antar Bestari kesini. Mama tau kalian butuh waktu untuk saling menerima tapi, bagaimana pun sekarang Bestari itu tanggung jawabmu. Jadi, tolong jaga dia baik-baik," ucap Farah saat Satya hendak mencium tangannya untuk berpamitan. "Tolong maklumi jika Tari terlalu manja. Karena di sini dia sangat dicintai." Sambungnya dengan tatapan sendu. Mendengar ucapan Farah, hati Satya merasa tersentuh. Ada debaran aneh di dadanya. Sedangkan Bestari segera membuang muka u
Pov Abisatya. Setelah melampiaskan hasrat, aku baru tersadar wanita yang sedang aku gag*hi tak sadarkan diri. Kenikmatan itu membutakan nuraniku. Aku laki-laki normal yang baru kali ini merasakan nikmatnya menyalurkan nafs*ku pada wanita dan beruntungnya aku jadi yang pertama. "Tari, Bestari...." Kupanggil dia berulang kali namun gadis itu tetap menutup matanya. "Ya Tuhan... apa yang sudah kulakukan?" Hatiku seperti teriris melihat lebam di wajah cantik itu. Pipinya tercetak lima jariku dan sudut bibirnya robek entah karena tamparanku atau mungkin karena aku menggigitnya. "Demi Tuhan, kamu laki-laki paling brengs*k di dunia ini, Satya." Aku merutuki diri sendiri. Berkali-kali aku menjambak rambutku sendiri, menyesali apa. yang sudah aku lakukan. Segera kuaraih selimut untuk menutupi tubuh polos yang penuh dengan luka lebam akibat tindakan brengs*kku. Kembali aku menarik kasar rambutku ketika teringat kalimat hinaan dan umpatan yang aku lontarkan oada Bestari. Istri
"Kak Satya mengutukku? Aku adikmu Kak, kenapa Kak Satya lebih membela Tari?" Anindia merasa tidak terima. "Apa kamu masih belum menyadari kesalahanmu? Apa yang kamu lakukan itu sudah sangat keterlaluan." Satya mendesah. Sungguh, adik yang dikiranya penurut ternyata keras kepala dan arrogant. "Sedikitpun aku tidak pernah berpikir adikku yang penurut bisa melakukan hal seburuk itu? Memangnya apa salah Bestari padamu, sampai kamu tega memfitnah sedemikian kejamnya?" tanya Satya setengah putus asa. Ada perang batin saat mengucapkan pertanyaan itu. Kalimat tanya itu harusnya untuk dirinya sendiri. Bukannya menyadari kesalahannya Anindia malah mencebik. Ekspresi sedih kakaknya membuatnya semakin kesal. Kenapa seolah Satya sangat menyesal? "Aku hanya ingin membuatnya merasakan sedikit rasa kecewa. Hidupnya sudah terlalu sempurna. Dia begitu disayangi oleh orang tuanya. Punya banyak teman, cantik dan dikagumi oleh banyak orang. Akan sangat tidak adil jika cinta pertamanya jug
Pov Bestari. Suara deringan ponsel memaksaku membuka mata. Seluruh tubuhku terasa sakit. Terutama di bagian intiku. Setengah sadar aku berusaha mengingat apa yang terjadi. Seketika rasa sesak itu menyeruak ke dalam dadaku. Teringat bagaimana dia merenggut apa yang kujaga selama 20 tahun ini dengan paksa. Aku tak menyangka dia begitu tega padaku. Katanya tak mencintaiku tapi kenapa merusak hidupku sampai sedalam ini? Sepi, tak ada suara dari luar kamar. Sepertinya taknada orang selain aku. Entah kemana pria itu? Setelah melampiaskan nafs*nya, dia pergi begitu saja. Kuhapus air mataku dan beranjak bangun. Sambil tertatih aku turun dari ranjang. Memunguti pakaianku yang berserakan lalu memakainya dengan tangan gemetaran. 'Cepat, kamu harus segera pergi dari sini.' Dengan tertatih aku berjalan menuju pintu kamar. Ponsel diatas meja samping ranjang kembali berdering, terlihat nama Kak Ganendra sedang melakukan panggilan. Segera kuraih benda pintar itu lalu membuka pingu kamar. Seb
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, hari ini aku sudah diizinkan pulang. Selama dua hari Jihan ikut bermalam di rumah sakit untuk menjagaku. Di siang hari Jihan dan Sandra bergantian menjagaku saat Kak Ganendra sibuk dengan urusannya. Entah urusan kantor apa urusan lain, dua hari ini kakakku itu selalu datang di saat hari sudah malam. Katanya ada hal penting yang dia kerjakan. Sedang Papa hanya sekali datang. Papa harus menjaga dan menemani Mama di rumah karena kondisinya kembali drop. Kata Sandra mama sempat anfal karena merasa bersalah telah mengizinkan Kak Satya membawaku pergi. Mama menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi padaku. Mama yang anak tunggal sudah menganggap Tante Aisyah seperti saudara kandungnya sendiri. Karena itu Mama juga sudah menganggap Kak Satya dan Anindia sebagai anak-anaknya. Tak pernah sekalipun Mama mengatakan hal buruk tentang Kak Satya. Bagi Mama Kak Satya pria yang baik, sukses dan bertanggung jawab. Dan kini saat orang yang selalu di
Setelah kedatangan Tante Asyah kemarin, Kak Ganendra langsung mencabut laporan atas perbuatan Kak Satya ke polisi. Dan Hari ini Keluarga Aditama datang ke rumah meminta bicara baik-baik. Seperti kemarin, q juga mendengarkan dari lantai dua rumahku. Kali ini aku duduk bersama Sandra di ruang keluarga lantai atas. Dari sini hanya bisa terdengar suara mereka. Jika kemarin suara Tante Aisyah mendominasi perdebatan, berbeda dengan hari ini. Sepupu jauh Mama itu belum mengeluarkan sepatah katapun. Hanya Om Farhan dan Papa yang mendominasi percakapan sempat beberapa kali Kak Ganendra juga ikut menyahut. Dan kata Sandra yang tadi sempat turun untuk mengambil minum, Kak Satya hanya diam sambil menundukkan kepalanya. "Baru kali ini aku melihat pria sombong itu menundukkan kepalanya," cibir Sandra beberapa menit yang lalu. "Kurasa bukan karena menyesal tapi lebih ke malu." Sambungnya yang tidak aku tanggapi. Aku masih fokus mendengarkan pembicaraan orang tua di bawah sana. "Aku
"Maaf, saya salah. Tapi saya tidak bisa berpisah dengan Tari," ucap Kak Satya dan langsung mendapat tatapan dari semua orang. "Seperti yang kamu katakan, Aku adalah pria bej*T dan brengs*k. Siapa lagi yang akan menerimaku jika bukan Tari?" "Apa kamu pikir aku sebodoh itu akan membiarkan adikku hidup dengan pria beja*t seperti kamu?" jawab Kak Ganendra geram. "Aku akan menebus kesalahanku, Ge. Tolong beri aku kesempatan." "Seumur hidup kamu tidak akan bisa menebusnya. Serahkan adikmu akan aku perlakuan seperti kau memperlakukan Bestari, hanya itu penebusan dosamu." "Ganendra!!!" teriak Kak Satya. Pria sontak itu berdiri saking emosinya. Terlihat sekali dia tidak rela adiknya disakiti tapi seenaknya menyakiti adik orang lain," Dengan senyum remeh Kak Ganendra pun ikut bangkit. "Kenapa, kau tak sanggup membayangkannya?" cibirnya. "Cukup!!!" Papa ikut berdiri sedang Mama masih setiap dengan kediamannya. "Farhan, bawa istri dan putramu keluar dari rumahku. Mulai de
"Sah?" ucap penghulu setelah selesai0 Guntur mengucapkan janji suci atas nama Anindya dengan menjabat tangan Farhan, ayah kandung dari wanita yang saat ini sedang menunggu di ruang tunggu pengantin dengan jantung berdegup kencang. Hanya dengan satu tarikan nafas, lafadz itu berhasil Guntur ucapkan tanpa kesalahan, meski disertai rasa gugup dan detak jantung yang tak beraturan. Ac ruangan seolah tak bisa mendinginkan tubuhnya entah kenapa mengeluarkan keringan sebesar biji jagung dari kedua pelipisnya. "Sah," seru Ibra dan seorang pria dari pihak keluarga mempelai laki-laki. Guntur memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang, berusaha menetralkan degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang. "Alhamdulillah....." ucapnya yang entah kenapa berbarengan dengan Anindya yang ada di ruang tunggu. Gadis itu menakupkan kedua telapak tangannya saat lantunan do'a terdengar. Tak hanya kedua mempelai yang merasa terharu hampir semua yang hadir di ruangan private wedding itu
"Banyak hal dalam hidup Guntur yang sudah kau ambil. Apa otak cerdasmu itu tidak mampu menghitungnya?" "Memangnya apa yang sudah aku ambil, Pa? Tolong jelaskan aku benar-benar tidak faham," tanya Gibran berusaha sopan meski ada rasa tidak terima bergemuruh di dalam dadanya. Selama hidupnya, Gibran tidak pernah mengusik Guntur. Apapun yang dilakukan kakaknya itu Gibran tak pernah sekalipun ikut campur. Jangankan melarang, memprotes saja tidak. Sebaliknya, Guntur yang selalu ikut campur urusan Gibran. "Kenapa Papa diam? Ayo jelaskan," pinta Gibran tak sabar. Ario, mendesah berat. Ada rasa enggan untuk membahas apa yang sudah berlalu. Ibarat membuka luka lama. Namun, putra keduanya itu harus tahu sebesar apa pengorbanan Guntur untuk dirinya. Ario menghela nafas panjang sebelum bicara. "Apakah hatimu sedingin itu sampai tak bisa melihat betapa besar pengorbanan kakakmu itu?" "Maksudnya apa? Tolong bicara yang jelas," ujar Gibran tak sabar. Ario pun tak lagi segan. "Hal
"Kudengar kamu menemui wanita itu?" tanya Ario pada Gibran saat makan malam. Hari ini Gibran pulang lebih awal dari biasanya. Tentu karena permintaan sang papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Meski enggan Gibran menuruti permintaan papanya itu. Gibran mengangkat wajahnya memandang Ario sedang menatapnya sembari mengunyah makanan di mulutnya. "Hemm," jawab Gibran singkat, lalu kembali menunduk fokus dengan makanannya. "Untuk apa wanita itu menemuimu?" tanya Ario lagi. Gibran mendesah berat, mereka sedang makan malam bersama setelah beberapa waktu tidak ada waktu untuk berkumpul seperti ini. Diliriknya Gia yang terlihat menghentikan gerak tangannya. Gadis itu juga nampak menahan tak senang. Dalam hati Gibran merutuki sikap papanya yang tidak tahu tempat. Tidak pernah bisa mencari waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang tentu saja sangat sensitif untuk dibahas di rumah mereka. Saat ini mereka sedang makan malam bersama, meski masalah itu penting setidakny
"Coba tebak kenapa aku tidak menolak?" tanya balik Atika. Sebuah ekspresi yang sulit Gibran baca. Satu alis Gibran terangkat. Matanya berusaha membaca ekspresi wajah Atika. Dari sorot mata wanita itu tersirat luka dan kekecewaan yang mendalam. Tatapan itu juga menyimpan dendam yang amat sangat. Entah itu pada keluarga Gibran atau malah pada Gibran sendiri. "Coba tebak," ujar Atika mengangkat dagunya. Gibran mendesah berat. "Sayangnya saya tidak suka main tebak-tebakan," katanya enggan. Pria itu tidak mau menunjukkan rasa penasarannya. Tidak ingin memberi kesempatan untuk Atika kembali mempermainkan rasa ibanya. Kalaupun Atika tidak mau bercerita, Gibran masih punya banyak sumber informasi lain yang bisa dia tanyai. Sadar umpannya tak mengenai sasaran, Atika menghela nafas panjang. Meski begitu wanita itu tak putus asa. Jika kali ini tidak berhasil dia akan mencari cara lain. Gibran adalah putra yang dibesarkannya dari bayi sampai dewasa, tentu saja dirinya tahu aoay ya
Pagi ini Gibran kembali menerima pesan dari Atika. Mantan ibu tirinya itu memberi kabar, jika dirinya sudah sampai di Indonesia sejak kemarin malam. Dan siang ini wanita itu meminta waktu untuk bertemu. Meski enggan tapi pria itu tak sampai hati menolak permintaan wanita yang dulu pernah amat sangat disayanginya. Di sela-sela kesibukannya, putra kedua keluarga Wiratama itu menyempatkan datang ke sebuah resto di pusat kota, tempat yang dipilih Atika untuk menunggu pria itu. Pukul satu lebih Gibran baru sampai di resto bergaya Italia itu. Satu jam lebih lambat dari permintaan Atika. Sebuah meeting dadakan yang cukup penting tidak mungkin diakhirinya demi menemui wanita yang sudah menipunya puluhan tahun. Gibran melangkah masuk dengan diikuti Andi, asisten setianya. Dia sudah tidak berharap Atika masih menunggu, kalaupun wanita itu sudah pergi tapi setidaknya dirinya dan sang asisten harus makan siang. Tapi ternyata Gibran salah, wanita berwajah kalem itu masih duduk tenan
"Dua tahun aku mengalah. Menahan diri untuk memperjuangkan rasaku padanya demi untuk memberimu kesempatan untuk memperjuangkan cintamu. Tapi apa, kamu hanya diam di tempat. Kamu membiarkan di sana dia sendiri bersama lukanya. Apakah itu yang kamu sebut cinta?" "Aku menunggunya untuk..... untuk...." Mendadak otak Gibran kosong. Tak ada kata yang tepat untuk membenarkan sikapnya yang hanya diam saja selama dua tahun ini. Guntur mendesah berat, ada rasa iba melihat adiknya kembali kehilangan orang yang dicintainya, namun dirinya juga tidak ingin melepaskan cinta yang sudah diperjuangkannya dengan mempertaruhkan harga dirinya juga kedudukan sebagai CEO pun dilepasnya demi Anindya. "Dia tidak terluka karena kamu. Harusnya kamu masih bisa mendekatinya sebagai teman. Menemaninya mengobati luka hatinya," kata Guntur lagi. "Aku pikir dengan memberinya waktu adalah cara terbaik untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah waktu adalah obat terbaik?" Gibran menatap lekat Guntur. "Salah, wa
Gibran sampai rumah pukul delapan pagi setelah menggunakan penerbangan pertama dini hari dari bandara Juanda Surabaya. Semalaman Gibran ditemani Andi menjelajahi kota yang terkenal dengan kota pahlawan itu. Untuk mengalahkan rasa sakit hatinya pria dingin itu menyewa tour guide lewat onlin untuk mengantarkan mereka mencari tempat makan unik dan kuliner khas kota itu di malam hari. Dari Bandara mobil yang di kendarai oleh Andi berhenti di halaman rumah mewah keluarga Wiratama. "Kamu bawa saja mobilnya. Pagi ini kamu tidak perlu ke kantor. Suruh Cika menghandle semuanya," ucap Gibran begitu mobil berhenti. "Baik Pak," "Jangan lupa siang nanti kita ada meeting, kamu jemput saya." Tambahnya sebelum turun. Dengan langkah lebar Gibran memasuki rumah yang sudah dua tahun ini terasa sangat sepi. Apalagi saat pagi. Ario, sang papa pasti sibuk di kantor dan Anggia, adik bungsunya sepengetahuannya masih menghabiskan waktu libur kuliahnya di Surabaya.Atika sang Mama, yang dulu
Sudah satu jam Gibran duduk termenung di salah satu kursi tunggu di bandara Juanda Surabaya. kepalanya menunduk menatap ujung sepatunya dengan tangan saling bertautan kuat. Berusaha menahan rasa pilu dari luka yang kini menganga di hatinya. Suara lembut Anindya beberapa jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di otaknya. "Iya, aku menerimanya. Dua minggu lagi kami akan menikah." Seperti di gempur tsunami dari samudera, ucapan Anindya seketika memporak-porandakan hatinya sampai hancur berkeping-keping. Bagaimana hatinya tidak terluka, wanita yabg dia cintai akan menikahi kakak kandungnya. Dirinya saja bekum bisa merelakan perpisahan mereka dan hanya kurang dari empat belas hari cintanya itu akan jadi kakak iparnya. Tidak adakah pria lain yang bida dicintai Anindya selain Guntur? Tidak bisakah gadis itu memikirkan perasaannya? Entah sudah berapa kali desahan berat keluar dari bibir tipisnya. Sesak itu benar-benar terasa menyesakkan dadanya hingga membuat pria yang
Anindya jadi kesal sendiri jika teringat kejadian lamaran kemarin. Ternyata semua sudah direncanakan oleh Guntur. Natalie dan semua keluarga mereka sengaja diminta pria itu untuk mengikuti skenario yang dibuat olehnya. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Guntur sampai bisa meluluhkan hati Farhan dan Satya sampai-sampai dua pria keras kepala itu setuju membantu Guntur untuk mendapatkan Anindya meski dengan jalan menipu gadis itu. Satu bulan sebelum hari H berbagai persiapan sudah mulai dilakukan oleh kedua belah keluarga. K3dua mempelai hanya bisa pasrah karena kesibukan pekerjaan dan kuliah. Jadilah seluruh persiapan diambil alih oleh pihak keluarga. Dari keluarga Anindya tentu saja Aisyah dan Tari yang pegang kendali. Mertua dan menantu itu sangat bersemangat dalam mengurus segala keperluan untuk pernikahan Anindya dan Guntur. Saking sibuknya sampai membuat Satya sempat marah karena takut membahayakan kondisi Tari yang sedang hamil anak kedua mereka. "Serahkan pada EO aja.