Pov Bestari. Suara deringan ponsel memaksaku membuka mata. Seluruh tubuhku terasa sakit. Terutama di bagian intiku. Setengah sadar aku berusaha mengingat apa yang terjadi. Seketika rasa sesak itu menyeruak ke dalam dadaku. Teringat bagaimana dia merenggut apa yang kujaga selama 20 tahun ini dengan paksa. Aku tak menyangka dia begitu tega padaku. Katanya tak mencintaiku tapi kenapa merusak hidupku sampai sedalam ini? Sepi, tak ada suara dari luar kamar. Sepertinya taknada orang selain aku. Entah kemana pria itu? Setelah melampiaskan nafs*nya, dia pergi begitu saja. Kuhapus air mataku dan beranjak bangun. Sambil tertatih aku turun dari ranjang. Memunguti pakaianku yang berserakan lalu memakainya dengan tangan gemetaran. 'Cepat, kamu harus segera pergi dari sini.' Dengan tertatih aku berjalan menuju pintu kamar. Ponsel diatas meja samping ranjang kembali berdering, terlihat nama Kak Ganendra sedang melakukan panggilan. Segera kuraih benda pintar itu lalu membuka pingu kamar. Seb
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, hari ini aku sudah diizinkan pulang. Selama dua hari Jihan ikut bermalam di rumah sakit untuk menjagaku. Di siang hari Jihan dan Sandra bergantian menjagaku saat Kak Ganendra sibuk dengan urusannya. Entah urusan kantor apa urusan lain, dua hari ini kakakku itu selalu datang di saat hari sudah malam. Katanya ada hal penting yang dia kerjakan. Sedang Papa hanya sekali datang. Papa harus menjaga dan menemani Mama di rumah karena kondisinya kembali drop. Kata Sandra mama sempat anfal karena merasa bersalah telah mengizinkan Kak Satya membawaku pergi. Mama menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi padaku. Mama yang anak tunggal sudah menganggap Tante Aisyah seperti saudara kandungnya sendiri. Karena itu Mama juga sudah menganggap Kak Satya dan Anindia sebagai anak-anaknya. Tak pernah sekalipun Mama mengatakan hal buruk tentang Kak Satya. Bagi Mama Kak Satya pria yang baik, sukses dan bertanggung jawab. Dan kini saat orang yang selalu di
Setelah kedatangan Tante Asyah kemarin, Kak Ganendra langsung mencabut laporan atas perbuatan Kak Satya ke polisi. Dan Hari ini Keluarga Aditama datang ke rumah meminta bicara baik-baik. Seperti kemarin, q juga mendengarkan dari lantai dua rumahku. Kali ini aku duduk bersama Sandra di ruang keluarga lantai atas. Dari sini hanya bisa terdengar suara mereka. Jika kemarin suara Tante Aisyah mendominasi perdebatan, berbeda dengan hari ini. Sepupu jauh Mama itu belum mengeluarkan sepatah katapun. Hanya Om Farhan dan Papa yang mendominasi percakapan sempat beberapa kali Kak Ganendra juga ikut menyahut. Dan kata Sandra yang tadi sempat turun untuk mengambil minum, Kak Satya hanya diam sambil menundukkan kepalanya. "Baru kali ini aku melihat pria sombong itu menundukkan kepalanya," cibir Sandra beberapa menit yang lalu. "Kurasa bukan karena menyesal tapi lebih ke malu." Sambungnya yang tidak aku tanggapi. Aku masih fokus mendengarkan pembicaraan orang tua di bawah sana. "Aku
"Maaf, saya salah. Tapi saya tidak bisa berpisah dengan Tari," ucap Kak Satya dan langsung mendapat tatapan dari semua orang. "Seperti yang kamu katakan, Aku adalah pria bej*T dan brengs*k. Siapa lagi yang akan menerimaku jika bukan Tari?" "Apa kamu pikir aku sebodoh itu akan membiarkan adikku hidup dengan pria beja*t seperti kamu?" jawab Kak Ganendra geram. "Aku akan menebus kesalahanku, Ge. Tolong beri aku kesempatan." "Seumur hidup kamu tidak akan bisa menebusnya. Serahkan adikmu akan aku perlakuan seperti kau memperlakukan Bestari, hanya itu penebusan dosamu." "Ganendra!!!" teriak Kak Satya. Pria sontak itu berdiri saking emosinya. Terlihat sekali dia tidak rela adiknya disakiti tapi seenaknya menyakiti adik orang lain," Dengan senyum remeh Kak Ganendra pun ikut bangkit. "Kenapa, kau tak sanggup membayangkannya?" cibirnya. "Cukup!!!" Papa ikut berdiri sedang Mama masih setiap dengan kediamannya. "Farhan, bawa istri dan putramu keluar dari rumahku. Mulai de
Pov Satya. "Baiklah saya terima keputusan kalian. Tapi, saya mau kami bercerai bukan pembatalan pernikahan. " "Apa bedanya. Sekarang yang berjalan di pengadilan agama adalah pembatalan pernikahan, jangan buang-buang waktu dengan mengajukan gugatan baru," ujar Om Farhan tidak setuju. "Dia memang sengaja ingin mempersulit," sahut Ganendra. "Tidak perlu khawatir, saya sendiri yang akan mengurusnya ke pengadilan." Aku menatap Tari yang bersembunyi dibalik lengan Ganendra. "Saya tidak akan ingkar. Surat cerai itu pasti akan Tari dapatkan," Sejak tadi dia tidak mau menatapku. Hanya sekali kami kontak mata, namun hanya beberapa detik saja, dengan cepat Tari membuang muka. Sebenci itu Tari padaku, sampai menatapku pun enggan. Tapi.... ada yang aneh. Sikap tari seolah dia sedang menahan rasa takut. Aku cukup hafal dengan tingkah dan kebiasaan Tari. Tidak sehari atau dua hari, tapi sudah sejak kecil aku mengenal gadis itu. Tentu aku faham betul sikapnya. Sejak tadi dia seol
Seperti mendapatkan kutukan. Masalah datang bertubi-tubi seakan tak memberiku waktu untuk mengumpulkan tenaga. Belum selesai satu masalah datang masalah lain. Ibarat musibah datang beruntun. Kalimat Tante Farah seolah jadi kenyataan, Tuhan benar-benar menghukum kami. Ya, tak hanya aku tapi seluruh keluarga mendapatkan karma atas perbuatan yang aku lakukan. "Biar Tuhan yang menilai. Dia tidak akan salah menghukum orang yang berdosa." Kalimat itu seperti momok yang setiap malam menghantuiku. Apa lagi yang akan terjadi besok? Hukuman seperti yang akan kuterima? Perlahan kami mulai menuai karma dari dosa kami terhadap keluarga Rahardian. Pertama masalah gosip di kampus, entah siapa penyebarnya. Mungkin salah satu teman Bestari atau mungkin Rendra. Hanya mereka yang tahu jika aku sudah menikah. Sandra dan Jihan tentu mengetahui dari Bestari sedang Rendra, memang menjadi tempatku berkeluh kesah dan meminta pendapat. Tentu tanpa menyebutkan nama Bestari. Dan diluar prediksik
"Maaf Pa, nanti aku akan menjelaskannya." Segera aku menyeret Danisa keluar dari ruanganku. Wanita itu terus meronta tapi aku tak peduli dan membawanya masuk ke dalam lift. "Diam, ikuti aku kita bicara di luar." Meski masih terlihat kesal namun Danisa mengikuti ucapanku. Menutup mulutnya dan berjalan di belakangku begitu lift terbuka. Aku membawanya ke area parkiran mobil. "Masuk," perintahku sambil membuka pintu mobil. Setelahnya aku berjalan memutar dan membuka pintu mobil dan duduk dibalik kemudi. "Aku melakukan ini karena kamu tidak mau menemuiku," ucapnya tak kuhiraukan. Aku tetap fokus menyetir tak peduli dengan ocehannya yang menjelekkan Bestari. Entahlah.... setelah kejujuran Anindya aku jadi hilang respect pada wanita di sebelahku ini. Karena ucapannya dan fitnahnya aku jadi ikut membenci Bestari. Aku mulai tak percaya dengan semua yang dia katakan. "Harusnya kamu senang sudah bebas dari wanita liar seperti Tari, kenapa kamu malah jadi bimbang kayak gini?
"Ini....." Sebuah foto lama yang belum pernah aku lihat. Foto ini pastinya diambil saat Bestari merayakan kelulusannya dari sekolah menengah pertama-nya. Di dalam foto itu Bestari tersenyum manis sambil memegang buket bunga mawar merah. Dan di sampingnya seorang wanita cantik tersenyum sambil merangkul pundak Tari. Wanita itu... Clarissa..... Benar ini Clarissa. Aku yakin dari dress dan tas yang dipakainya. Itu hadiah ulang tahun dari seseorang yang sempat dia pamerkan padaku. Jadi aku yaki yang di foto itu bukan Danisa tapi Clarissa. Kalau mereka sedekat ini, lalu dari mana asal cerita Bestari sering mendatangi Clarissa untuk mengancamnya. Benar-benar tidak masuk akal. Tak mau berlama-lama, segera aku mengambil buku diary dan mulai membacanya. Setelah setahun lebih akhirnya aku bisa melihatnya lagi. Kak Abisatya, cinta pertamaku. Sejak dia pindah rumah tiga tahun lalu kini kami tidak seakrab dulu. Setiap kali ada pertemuan keluarga Kak Satya jadi sering absen dan har
"Jujur sama Mama, sebenarnya tadi kamu tiba-tiba menghilang karena kamu ingin kabur kan? Kamu sudah tidak tahan dengan sikap kasar Gibran kan?" Anindya menggelengkan kepalanya, "Nggak seperti itu Ma?" "Gak usah bohong sama Mama. Mama sudah tahu semuanya," kekeh Aisya pada pendiriannya. Anindya memandang Jihan yang juga memandangnya dengan tatapa sendu. Ada rasa bersalah tersirat dalam tatapan wanita cantik itu. Karena dirinya yang cemburu buta Anindya dipaksa menikahi Gibran. "Ini salah faham Ma, Mas Gibran tidak seperti yang kalian pikirkan. Dia memang kaku dan tegas tapi dia baik. Mas Gibran yang menolongku saat aku dibully di kampus. Bahkan dia menolak untuk damai," terang Anindya. Aisyah memcingkan matanya. Wanita yang telah melahirkan Anindya itu tidak serta merta mempercayai ucapan putrinya itu. Dia tahu betul seperti apa Anindya. Dia pandai berbohong. "Aku nggak bohong Ma," kekeh Anindya berusaha meyakinkan sang Mama. "Kalau Mama tidak percaya Mama bisa telp
"Satu... dua... ti...." Anindya sontak menutup matanya, jantungnya berdegup kencang membayangkan rasa sakit yang akan dirasakannya saat cairan keras itu mengenai kulit mulusnya. 'Yaa Allah..... Hanya Enkaulah penolongku dan hanya pada-Mu aku bersandar.' Dalam hati Anindya terus Metapalk doa meminta pertolongan dari Tuhan. Namun sampai beberapa menit tidak ada yang terjadi, suasana mendadak hening. Hanya terdengar deru mesin mobil yang berjalan. Tangan yang memeganginya juga mengendur. Perlahan Anindya membuka matanya. Nampak dua orang disamping kanan kirinya menatapnya lekat. "Takut?" ucap Danisa yang di sambut decak tawa dua orang teman Danisa. "Sepertinya dia penasaran dengan rasa sakitnya?" sahut seseorang yang duduk dibalik kemudi. "Rasa sangat panas dan menyakitkan. Kulitmu akan melepuh dan terasa perih. Rasa sakitnya masih terasa meski lukanya sudah kering. Kamu mau lihat?" Danisa memegangi maskernya seolah akan melepaskan kain penutup itu. "A-aku minta maa
Anindya tertegun, lidahnya kelu dan pikirannya tiba-tiba kosong. Pandangannya menatap Gibran dengan tatapan tak percaya. "Kamu tidak salah dengar, Ayra anak haram papa dengan selingkuhan." Gibran memperjelas pernyataan sebelumnya. "Oh astaga...." ucap Anindya shock. "Jadi, maksudnya kamu mencintai saudara tiri kamu?" tanya Anindya dengan mata melebar. Dia benar-benar tidak pernah mengira akan akan bertemu dengan orang yang mencintai saudara sendiri. "Ini nyata kah? Bukan cerita novel?" tanyanya lagi. "Iya, benar." Gibran mendengus kasar, sedikit kesal karena merasa reaksi Anindya terlalu berlebihan. "Astaghfirullah...." pekik Anindya lalu membekap mulutnya sendiri. Tiba-tiba gadis itu teringat dengan ucapan Atika yang menunjukkan penolakan hubungan Gibran dna Ayra. "-----mereka tidak boleh bersama----" Ucapan Atika waktu itu terngiang kembali di telinga Anindya. Kini Anindya mengerti kenapa Atika berusaha membujuk dirinya untuk tetap bersama Gibran. Anindya semakin bin
Malam ini Anindya dan Gibran pergi makan malam di rumah orang tua Gibran. Seperti biasanya, setiap satu bulan sekali mereka diharuskan ikut makan malam di rumah keluarga Gibran. Dan satu kali makan malam bersama keluarga besar dari kakek Gibran. Anindya memakai dress putih bermotif bunga-bunga kecil berwarna pink senada dengan renda yang menghiasai bagian lengan dan perut juga bagian bawah dress. Sedangkan Gibran memakai kemeja putih lengan pendek dan celana kain berwarna krem. Untuk pertama kalinya sepasang suami istri itu datang bersama dengan pakaian yang senada. Hal itu membuat Atika terkejut juga terharu. Wanita yang telah membesarkan Gibran itu terlihat sangat bahagia melihat kemajuan hubungan Anindya dna Gibran. Saat Gibran dan Anindya datang Atika dan Ayra yang menyambut dan membukakan pintu. "Astaga.... kalian kompak sekali. Mama senang lihatnya," ucap Atika terlihat sangat bahagia. Dipeluknya Anindya sayang. Berbeda dengan sang mama, Ayra kakak kedua Gibran te
"Nanti pulangnya di jemput sopir. Langsung pulang," ucap Gibran setelah menghentikan mobilnya di pinggir jalan depan kampus. "Iya," jawab Anindya. "Pak Johan dan Pak Rudi akan mengawsimu dari jauh. Ada apa-apa langsung telpon. Jang sok menghadapi sendiri," tambah Gibran lagi yang dijawab anggukan oleh gadis manis di sebelahnya. "Sudah turun sana," perintahnya. "Assalamu'alaikum," ucap Anindya membuka pintu mobil namun tak bisa. Diulangi lagi tetap tak bisa. Doa pun menoleh pada Gibran yang menatap lurus ke depan. "Oh... maaf lupa," katanya meringis lalu mengulurkan tangannya mencium punggung tangan suaminya. "Ck... Apa otak kecilmu itu terlalu penuh dengan Ganendra sampai tidak bisa mengingat hal lain?" omel Gibran terlihat kesal. "Kan sudah minta maaf, kenapa bawa-bawa Kak Ganendra sih?" gerutu Anindya. "Kenapa gak terima?" balas Ganendra mendelik. "Ck... kamu jadi mirip Mbak Ayra kalau lagi datang bulan. Marah-marah gak jelas," "Emang kami tahu kapan Ayra datang b
"Jangan mengujiku, berhenti bicara atau......" "Apa? Kamu mau menjambakku, memukulku? Silahkan, pu..." Dengan cepat Gibran menarik tangan Anindya sampai membuat tubuh ramping itu merapat ke dada bidangnya. Satu tangannya melingkar di pinggang dan satunya memegangi tengkuk gadis itu. "Gib... Mmmm.." Mata Anindya melebar dengan tubuh mematung. Tanpa di duga Gibran mencium bibir Anindya dengan kasar. Seperti orang kelaparan dilum*tnya benda kenyal itu dengan rakus. Setelah beberapa detik Anindya mulai sadar dan berusaha memberontak. Tubuh kecilnya menggeliat meminta dilepaskan. "Emmmm....." Gadis itu mengerang sambil tangannya memukuli punggung dan tangan Gibran namun tenaga tak berarti apa-apa untuk pria bertubuh tinggi dan kekar seperti Gibran. Tak putus asa, Anindya menggigit bibir Gibran kuat sampai membuat pria itu mengerang kesakitan. "Akh.... apa kamu sudah gila?" sentak Gibran sambil memegangi bibirnya yang berdarah. "Kamu yang gila," sentak balik Anindya.
Hari sabtu, hari tenang bagiku. Tak ada kelas jadi tak perlu ke kampus. Jadwal les kepribadian juga libur. Aku hanya perlu mengikuti bimbingan belajar saja. Dan mulai hari ini dilakukan di rumah. Senang sekali rasanya karena aku tidak perlu datang ke tempat bimbel tapi gurunya yang datang ke rumah untuk mengajariku. Aku tak perlu menahan rasa malu pada adik-adik yang ada di tempat bimbel. Dan semua itu atas perintah Gibran. Tidak tahu apa alasan pastinya, tapi yang pasti itu sebuah keberuntungan untukku. Bicara tentang Gibran, sekarang pria itu sudah berubah. Dia tak suka membentak dan sikapnya tak sekasar biasanya. Entah kapan pastinya, tapi seingatku sejak kembalinya Ayra dan Kak Guntur perlahan perubahan itu mulai terlihat. Kata-katanya masih pedas tapi tidak lagi bernada tinggi. Sikapnya juga lebih lembut. Tak pernah menjambak dan mencengkeram wajahku. Gibran yang biasa cuek juga lebih perhatian. Kadang dia mengantarku ke kampus dan menjemputku dari tempat les. Jik
Brakkk...... Suara pintu terbuka dengan paksa dari luar. "Apa yang kalian lakukan padanya ?" Suara yang tak asing ditelingaku terdengar menggema di raungan ini. Sambil menahan perih di salah satu sisi wajahku aku mendongak, melihat sosok yang berdiri angkuh di tengah pintu. Gibran Narendra? Kenapa pria itu ada di sini? "Lepaskan tangan kalian dari tubuh istriku!!!" sentaknya keras. Begitu mengagetkan sampai membuatkj tertegun. Bukan suaranya naman kalimatnya. Istriku? Pak Jodi, bodyguard yang ditugaskan menjagaku mendekat dan menyingkirkan tangan Renata juga Cicilia dari tubuhku. Dua orang itu langsung bergambung bersama Sifa dan yang lainnya. "Maaf, saya datang terlambat Non," ucap Pak Jodi terlihat menyesal. "Nggak papa Pak," kataku lalu beranjak bangun dengan bantuannya. "Si-siapa kalian?" tanya Sifa panik. "Siapa? Apa kau tuli?" ujar Gibran dengan tatapan dinginnya. "Benar kamu suaminya?" tanya Sifa namun tak dihiraukan oleh Gibran. Pria itu m
Pagi ini aku bangun dengan tubuh terasa sakit semua. Takut Gibran tiba-tiba masuk ke dalam kamar seperti beberapa hari yang lalu, jadinya aku berjaga semalaman dibalik pintu sampai ketiduran. Dan hasilnya paginya pagi ini tubuh sakit semua. Beruntung hari ini kuliahku dimulai jam setengah sembilan jadinya aku punya waktu tidur sebentar setelah sholat shubuh. Pukul tujuh pagi aku sudah selesai mandi namun aku menahan diri untuk tetap di dalam kamar. Baru setelah mendengar suara mobil Gibran keluar rumah barulah aku turun untuk sarapan. "Selamat pagi Non," ucap Bibi mengurai senyum saat aku mendekati meja makan. "Dari tadi bibi tunggu kok baru turun, Non?" tanyanya sambil merapikan piring bekas makan Gibran. "Kecapean Bi, jadi tadi bangunnya kesiangan." Aku menjawab sambil mendudukan diri di salah satu kursi. Begitu aku duduk bibi langsung mengambil piring dan mengisinya dengan nasi goreng serta telur mata sapi. "Aku sarapan roti aja Bik," kataku menolak saat piring