Pov Satya. "Baiklah saya terima keputusan kalian. Tapi, saya mau kami bercerai bukan pembatalan pernikahan. " "Apa bedanya. Sekarang yang berjalan di pengadilan agama adalah pembatalan pernikahan, jangan buang-buang waktu dengan mengajukan gugatan baru," ujar Om Farhan tidak setuju. "Dia memang sengaja ingin mempersulit," sahut Ganendra. "Tidak perlu khawatir, saya sendiri yang akan mengurusnya ke pengadilan." Aku menatap Tari yang bersembunyi dibalik lengan Ganendra. "Saya tidak akan ingkar. Surat cerai itu pasti akan Tari dapatkan," Sejak tadi dia tidak mau menatapku. Hanya sekali kami kontak mata, namun hanya beberapa detik saja, dengan cepat Tari membuang muka. Sebenci itu Tari padaku, sampai menatapku pun enggan. Tapi.... ada yang aneh. Sikap tari seolah dia sedang menahan rasa takut. Aku cukup hafal dengan tingkah dan kebiasaan Tari. Tidak sehari atau dua hari, tapi sudah sejak kecil aku mengenal gadis itu. Tentu aku faham betul sikapnya. Sejak tadi dia seol
Seperti mendapatkan kutukan. Masalah datang bertubi-tubi seakan tak memberiku waktu untuk mengumpulkan tenaga. Belum selesai satu masalah datang masalah lain. Ibarat musibah datang beruntun. Kalimat Tante Farah seolah jadi kenyataan, Tuhan benar-benar menghukum kami. Ya, tak hanya aku tapi seluruh keluarga mendapatkan karma atas perbuatan yang aku lakukan. "Biar Tuhan yang menilai. Dia tidak akan salah menghukum orang yang berdosa." Kalimat itu seperti momok yang setiap malam menghantuiku. Apa lagi yang akan terjadi besok? Hukuman seperti yang akan kuterima? Perlahan kami mulai menuai karma dari dosa kami terhadap keluarga Rahardian. Pertama masalah gosip di kampus, entah siapa penyebarnya. Mungkin salah satu teman Bestari atau mungkin Rendra. Hanya mereka yang tahu jika aku sudah menikah. Sandra dan Jihan tentu mengetahui dari Bestari sedang Rendra, memang menjadi tempatku berkeluh kesah dan meminta pendapat. Tentu tanpa menyebutkan nama Bestari. Dan diluar prediksik
"Maaf Pa, nanti aku akan menjelaskannya." Segera aku menyeret Danisa keluar dari ruanganku. Wanita itu terus meronta tapi aku tak peduli dan membawanya masuk ke dalam lift. "Diam, ikuti aku kita bicara di luar." Meski masih terlihat kesal namun Danisa mengikuti ucapanku. Menutup mulutnya dan berjalan di belakangku begitu lift terbuka. Aku membawanya ke area parkiran mobil. "Masuk," perintahku sambil membuka pintu mobil. Setelahnya aku berjalan memutar dan membuka pintu mobil dan duduk dibalik kemudi. "Aku melakukan ini karena kamu tidak mau menemuiku," ucapnya tak kuhiraukan. Aku tetap fokus menyetir tak peduli dengan ocehannya yang menjelekkan Bestari. Entahlah.... setelah kejujuran Anindya aku jadi hilang respect pada wanita di sebelahku ini. Karena ucapannya dan fitnahnya aku jadi ikut membenci Bestari. Aku mulai tak percaya dengan semua yang dia katakan. "Harusnya kamu senang sudah bebas dari wanita liar seperti Tari, kenapa kamu malah jadi bimbang kayak gini?
"Ini....." Sebuah foto lama yang belum pernah aku lihat. Foto ini pastinya diambil saat Bestari merayakan kelulusannya dari sekolah menengah pertama-nya. Di dalam foto itu Bestari tersenyum manis sambil memegang buket bunga mawar merah. Dan di sampingnya seorang wanita cantik tersenyum sambil merangkul pundak Tari. Wanita itu... Clarissa..... Benar ini Clarissa. Aku yakin dari dress dan tas yang dipakainya. Itu hadiah ulang tahun dari seseorang yang sempat dia pamerkan padaku. Jadi aku yaki yang di foto itu bukan Danisa tapi Clarissa. Kalau mereka sedekat ini, lalu dari mana asal cerita Bestari sering mendatangi Clarissa untuk mengancamnya. Benar-benar tidak masuk akal. Tak mau berlama-lama, segera aku mengambil buku diary dan mulai membacanya. Setelah setahun lebih akhirnya aku bisa melihatnya lagi. Kak Abisatya, cinta pertamaku. Sejak dia pindah rumah tiga tahun lalu kini kami tidak seakrab dulu. Setiap kali ada pertemuan keluarga Kak Satya jadi sering absen dan har
"Jawab, semua yang kamu katakan tentang kecelakaan itu bohong kan?" Suaraku meninggi, sudah tak bisa menahan emosiku. "A-apa maksudmu?" tanyanya dengan wajah memelas. "Aku mana mungkin berbohong?" "Kamu yakin? Bukan kamu yang menyetir mobil hari itu?" "Tentu saja," jawabnya menatap mataku, seolah membuktikan dia tak berbohong. "Kalau Tante Aisyah bilang aku yang bertengkar dengannya, itu karena aku ingin membela Clarisa," Kutatap lekat wajah yang selalu membuatku merasa bersalah itu. "Lalu, tentang Tari mengancam Clarisa kamu bohong kan?" "Tidak, aku tidak bohong. Aku sering melihat mereka bertemu," bantahnya dengan ekspresi meyakinkan. "Bertemu? Artinya bukan Tari yang mendatangi Clarissa, bisa jadi mereka sengaja ketemuan atau tidak sengaja bertemu." Mendadak raut wajah Danisa berubah. Wajah memelas itu lenyap berganti tatapan sinis. "Jadi wanita jalan* itu sudah menghasutmu?" Sebuah seringai muncul di bibirnya yang pucat tanpa polesan lipstik. "Wanita itu sudah
Pov Bestari. Benar kata orang, di dunia ini tidak ada yang sempurna. Setiap hal memiliki kekurangan. Bahkan seorang raja pasti memiliki satu celah kosong yang tidak bisa diisi. Sama halnya kehidupan. Hidupku juga tak sesempurna yang orang lihat. Dimata mereka aku memiliki segalanya, orang tua yang hebat, saudara yang menyayangi dan teman-teman yang setia. Namun mereka tidak tahu jika satu sisi hatiku kosong. Kisah cintaku tak seindah orang-orang di luar sana. Cinta pertamaku tak hanya kandas, tapi meninggalkan kenangan pahit yang membuatku trauma. Aku mendapat kemudahan tapi tidak dengan kesempatan. Otak cerdas aku punya, biaya ada, sayangnya waktu tak memberiku kesempatan untuk menikmati pendidikan setinggi-tingginya dan meraih cita-cita yang kuimpikan. Setelah segala hal buruk yang terjadi dalam hidupku aku bahkan tak memiliki kesempatan untuk menjadi diriku sendiri. Namun tak apa, aku mendapatkan hal yang lebih berharga yang harus aku jaga. Ya... itulah hidup. Tidak
"Berita hebohnya mau tahu?" lanjut Sandra dan reflek aku mengangguk. "Danisa hamil. Bulan depan Danisa akan menikah dengan dokter Abisatya Putra Aditama." Degh.... "Me-menikah?" Aku tak salah dengar kan? Pria itu akan menikah. Kepegang perutku yang membuncit, tiba-tiba terasa ada pergerakan di dalamnya. 'Nak, apa kamu juga kaget mendengarnya? Akhirnya ayahmu akan menikahi kekasihnya. Tak apa kita tidak butuh dia. Kita doakan saja mereka bahagia supaya tidak mengusik kita,' bisikku dalam hati. "Tari, kamu nggak papa kan? Kenapa wajahmu tiba-tiba pucat?" tanya Sandra khawatir. "Nggak, aku nggak papa." Kupaksa bibirku tersenyum. Sandra menghembuskan nafas panjang. "Mulai sekarang jangan pernah berharap sama pria itu. Jangan buang waktumu untuk menunggu dan berharap dia akan mencarimu. Aku yakin dia tidak merasa kehilangan kamu. Buktinya dia sudah merencanakan pernikahan dengan pacarnya itu." Jujur, rasa berharap itu ada. Sebagai calon ibu aku ingin anakku juga di
Satu tahun kemudian. Setelah masa sulit penuh perjuangan, kini perusahaan yang Farhan dirikan kembali jaya. Perusahaan yang hampir bangkrut itu kini berkembang dan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Bahkan kini Satya sedang memulai prose pembangunan anak perusahaan di luar kota. Ya, perusahaan yang bergerak di bidang makanan instan itu mulai kewalahan melayani permintaan dari dalam maupun luar negeri. Untuk memenuhi itu rencananya akan dibangun anak cabang di beberapa kota. Di ruangannya, Satya yang kini menjabat sebagai CEO menggantikan ayahnya itu sedang sibuk memeriksa kontrak kerja sama dari perusahaan di luar negeri. Mempelajari keuntungan yang akan didapatkan dari kerja sama itu dan kemungkinan resiko kerugian yang mungkin akan dialami efek dari kerja sama itu. Tok.. tok... Fokus Satya terpecah karena ketukan pintu ruangannya. "Masuk," Seorang wanita cantik membuka sedikit pintu lalu melangkah masuk. "Siang, Pak." "Iya, ada apa?" tanya Satya tanpa mengalihk