"Jawab, semua yang kamu katakan tentang kecelakaan itu bohong kan?" Suaraku meninggi, sudah tak bisa menahan emosiku. "A-apa maksudmu?" tanyanya dengan wajah memelas. "Aku mana mungkin berbohong?" "Kamu yakin? Bukan kamu yang menyetir mobil hari itu?" "Tentu saja," jawabnya menatap mataku, seolah membuktikan dia tak berbohong. "Kalau Tante Aisyah bilang aku yang bertengkar dengannya, itu karena aku ingin membela Clarisa," Kutatap lekat wajah yang selalu membuatku merasa bersalah itu. "Lalu, tentang Tari mengancam Clarisa kamu bohong kan?" "Tidak, aku tidak bohong. Aku sering melihat mereka bertemu," bantahnya dengan ekspresi meyakinkan. "Bertemu? Artinya bukan Tari yang mendatangi Clarissa, bisa jadi mereka sengaja ketemuan atau tidak sengaja bertemu." Mendadak raut wajah Danisa berubah. Wajah memelas itu lenyap berganti tatapan sinis. "Jadi wanita jalan* itu sudah menghasutmu?" Sebuah seringai muncul di bibirnya yang pucat tanpa polesan lipstik. "Wanita itu sudah
Pov Bestari. Benar kata orang, di dunia ini tidak ada yang sempurna. Setiap hal memiliki kekurangan. Bahkan seorang raja pasti memiliki satu celah kosong yang tidak bisa diisi. Sama halnya kehidupan. Hidupku juga tak sesempurna yang orang lihat. Dimata mereka aku memiliki segalanya, orang tua yang hebat, saudara yang menyayangi dan teman-teman yang setia. Namun mereka tidak tahu jika satu sisi hatiku kosong. Kisah cintaku tak seindah orang-orang di luar sana. Cinta pertamaku tak hanya kandas, tapi meninggalkan kenangan pahit yang membuatku trauma. Aku mendapat kemudahan tapi tidak dengan kesempatan. Otak cerdas aku punya, biaya ada, sayangnya waktu tak memberiku kesempatan untuk menikmati pendidikan setinggi-tingginya dan meraih cita-cita yang kuimpikan. Setelah segala hal buruk yang terjadi dalam hidupku aku bahkan tak memiliki kesempatan untuk menjadi diriku sendiri. Namun tak apa, aku mendapatkan hal yang lebih berharga yang harus aku jaga. Ya... itulah hidup. Tidak
"Berita hebohnya mau tahu?" lanjut Sandra dan reflek aku mengangguk. "Danisa hamil. Bulan depan Danisa akan menikah dengan dokter Abisatya Putra Aditama." Degh.... "Me-menikah?" Aku tak salah dengar kan? Pria itu akan menikah. Kepegang perutku yang membuncit, tiba-tiba terasa ada pergerakan di dalamnya. 'Nak, apa kamu juga kaget mendengarnya? Akhirnya ayahmu akan menikahi kekasihnya. Tak apa kita tidak butuh dia. Kita doakan saja mereka bahagia supaya tidak mengusik kita,' bisikku dalam hati. "Tari, kamu nggak papa kan? Kenapa wajahmu tiba-tiba pucat?" tanya Sandra khawatir. "Nggak, aku nggak papa." Kupaksa bibirku tersenyum. Sandra menghembuskan nafas panjang. "Mulai sekarang jangan pernah berharap sama pria itu. Jangan buang waktumu untuk menunggu dan berharap dia akan mencarimu. Aku yakin dia tidak merasa kehilangan kamu. Buktinya dia sudah merencanakan pernikahan dengan pacarnya itu." Jujur, rasa berharap itu ada. Sebagai calon ibu aku ingin anakku juga di
Satu tahun kemudian. Setelah masa sulit penuh perjuangan, kini perusahaan yang Farhan dirikan kembali jaya. Perusahaan yang hampir bangkrut itu kini berkembang dan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Bahkan kini Satya sedang memulai prose pembangunan anak perusahaan di luar kota. Ya, perusahaan yang bergerak di bidang makanan instan itu mulai kewalahan melayani permintaan dari dalam maupun luar negeri. Untuk memenuhi itu rencananya akan dibangun anak cabang di beberapa kota. Di ruangannya, Satya yang kini menjabat sebagai CEO menggantikan ayahnya itu sedang sibuk memeriksa kontrak kerja sama dari perusahaan di luar negeri. Mempelajari keuntungan yang akan didapatkan dari kerja sama itu dan kemungkinan resiko kerugian yang mungkin akan dialami efek dari kerja sama itu. Tok.. tok... Fokus Satya terpecah karena ketukan pintu ruangannya. "Masuk," Seorang wanita cantik membuka sedikit pintu lalu melangkah masuk. "Siang, Pak." "Iya, ada apa?" tanya Satya tanpa mengalihk
"Iya, kepulanganku kali ini untuk menghadiri pernikahan dan merencanakan pernikahanku sendiri." "Dengan siapa?" Spontan Satya bertanya lagi. Debar jantungnya merasakan firasat buruk. Alfa menaikkan satu alisnya, "Sepertinya kamu sangat penasaran?" "Khemm...." Satya berdehem, sadar dirinya sudah bersikap berlebihan. "Sebagai teman aku ikut bahagia mendengarnya. Dan kurasa normal jika aku penasaran dengan calon pasanganmu," Alfa tergelak, pria itu menganggukkan kepalanya lalu kembali berbicara. "Teman?" Satu alisnya terangkat. "Iya, tentu tidak salah. Tapi....." Alfa menjeda kalimatnya. "Sayangnya aku tidak ingin berbagi kebahagiaan itu denganmu. Tapi jangan khawatir, yang pasti aku tidak akan menikahi wanita yang membuat karirku hancur." Seketika rahang Satya mengeras dengan mata menatap tajam. Ada kilatan amarah dalam tatapannya saat mendengar ucapan Alfa. Ibarat gada kalimat itu menghantam tepat di dada Satya. Sudah dua kali teman lamanya itu memberinya sindiran. Dada
Seorang wanita cantik sedang duduk dibalik meja kerjanya. Tatapannya fokus pada lembaran kertas di hadapannya. Sesekali mata indah itu beralih pada layar laptop membandingkan tulisan pada kertas dan deretan angka di layar benda canggih itu. Dertt.... Dering ponsel mengalihkan fokusnya, sebuah nama tertera di layar ponsel. Sebuah senyum pun terbit dari bibir tipis yang disapu lipstik warna pink nude. [Kenapa gak jadi ikut?] Suara dari seberang sana. "Assalamu'alaikum, Sandra," ucap wanita yang tak lain adalah Bestari. Dengan bibir mengulum senyum dia menyapa sahabat juga sepupunya, Sandra. [Wa'alai salam, Bestari.] Terdengar Sandra mendengus. [Kenapa gak jadi datang?] "Maaf, Sabia sedang flu. Dia sedang rewel-rewelnya, kasian kalo dibawa bepergian." Bestari mengarahkan tatapannya pada box bayi tak jauh darinya. Di dalam box sedang terlelap sosok kecil kesayangannya. Sejak ibunya kembali ke Jakarta Bestari akan membawa Sabia, putri tunggalnya saat pergi bekerja. Di r
"Aku serius, aku ingin mengajak kamu dan Sabia untuk tinggal bersamaku di Jerman," Bestari mengerutkan dahinya. Tinggal bersama? Maksudnya apa? Apa mungkin karena statusnya? "Terima kasih, tapi kurasa tidak." Bestari menolak dengan sapan. Dalam hati dia jadi berpikir buruk tentang kakak sepupunya itu. 'Apa karena aku janda jadi bisa seenak diajak hidup bersama?' batinnya. Melihat perubahan minik wajah Bestari, Alfa tersenyum tipis. "Jadi nggak suka, ya? Kali begitu kamu lebih suka tinggal dimana?" Bestari menghela nafas panjang, sebenarnya malas menjawab. "Kalau di suruh milih, aku mau tinggal di sini saja," "Kenapa? Padahal di Jerman pendidikannya lebih maju dan lingkungannya juga nyaman untuk membesarkan anak." "Iya, tapi aku nggak bisa tinggal jauh dari Mama. Kak Alfa tahu kan, kondisi Mama." Bestari tak mungkin meninggalkan mamanya. Wanita yang sudah melahirkannya itu adalah pahlawan dan cahaya hidupnya setelah Sabia. Pengorbanan yang dilakukan Farah takkan bis
"Tunggu, Jihan, tahan dulu!" Bestari segera melerai dua orang itu. "Ikutlah denganku, kita bicara berdua." Tanpa menunggu jawaban Bestari langsung menarik tangan sahabatnya itu dan membawanya masuk ke dalam kamar. Kedua orang tua Jihan menghela nafas, merasa sedikit lega. Setidaknya pertengkaran pasangan kekasih itu berhenti. Bagaimanapun mereka tidak ingin hubungan dua keluarga menjadi buruk meski anaknya batal nikah. "Tolong maafkan Ganendra ya Mbak Risma, Mas Darmawan," ucap Farah memegangi tangan ibunya Jihan. "Saya juga minta maaf, Mbak Farah. Jihan sangat keras kepala. Pendiriannya sangat kuat. Kalau sudah memutuskan sulit dirubah." Ibunya Jihan juga menyesalkan sikap keras putrinya. "Tidak Tante, saya yang salah. Saya tidak bisa tegas sehingga menyakiti perasaan Jihan." Dengan gentle Ganendra mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Ibra menepuk pundak putranya, bangga. "Ya, semoga saja Tari bisa membujuk Jihan. Jujur saya juga bingung kalau sampai pernikahan k
"Jujur sama Mama, sebenarnya tadi kamu tiba-tiba menghilang karena kamu ingin kabur kan? Kamu sudah tidak tahan dengan sikap kasar Gibran kan?" Anindya menggelengkan kepalanya, "Nggak seperti itu Ma?" "Gak usah bohong sama Mama. Mama sudah tahu semuanya," kekeh Aisya pada pendiriannya. Anindya memandang Jihan yang juga memandangnya dengan tatapa sendu. Ada rasa bersalah tersirat dalam tatapan wanita cantik itu. Karena dirinya yang cemburu buta Anindya dipaksa menikahi Gibran. "Ini salah faham Ma, Mas Gibran tidak seperti yang kalian pikirkan. Dia memang kaku dan tegas tapi dia baik. Mas Gibran yang menolongku saat aku dibully di kampus. Bahkan dia menolak untuk damai," terang Anindya. Aisyah memcingkan matanya. Wanita yang telah melahirkan Anindya itu tidak serta merta mempercayai ucapan putrinya itu. Dia tahu betul seperti apa Anindya. Dia pandai berbohong. "Aku nggak bohong Ma," kekeh Anindya berusaha meyakinkan sang Mama. "Kalau Mama tidak percaya Mama bisa telp
"Satu... dua... ti...." Anindya sontak menutup matanya, jantungnya berdegup kencang membayangkan rasa sakit yang akan dirasakannya saat cairan keras itu mengenai kulit mulusnya. 'Yaa Allah..... Hanya Enkaulah penolongku dan hanya pada-Mu aku bersandar.' Dalam hati Anindya terus Metapalk doa meminta pertolongan dari Tuhan. Namun sampai beberapa menit tidak ada yang terjadi, suasana mendadak hening. Hanya terdengar deru mesin mobil yang berjalan. Tangan yang memeganginya juga mengendur. Perlahan Anindya membuka matanya. Nampak dua orang disamping kanan kirinya menatapnya lekat. "Takut?" ucap Danisa yang di sambut decak tawa dua orang teman Danisa. "Sepertinya dia penasaran dengan rasa sakitnya?" sahut seseorang yang duduk dibalik kemudi. "Rasa sangat panas dan menyakitkan. Kulitmu akan melepuh dan terasa perih. Rasa sakitnya masih terasa meski lukanya sudah kering. Kamu mau lihat?" Danisa memegangi maskernya seolah akan melepaskan kain penutup itu. "A-aku minta maa
Anindya tertegun, lidahnya kelu dan pikirannya tiba-tiba kosong. Pandangannya menatap Gibran dengan tatapan tak percaya. "Kamu tidak salah dengar, Ayra anak haram papa dengan selingkuhan." Gibran memperjelas pernyataan sebelumnya. "Oh astaga...." ucap Anindya shock. "Jadi, maksudnya kamu mencintai saudara tiri kamu?" tanya Anindya dengan mata melebar. Dia benar-benar tidak pernah mengira akan akan bertemu dengan orang yang mencintai saudara sendiri. "Ini nyata kah? Bukan cerita novel?" tanyanya lagi. "Iya, benar." Gibran mendengus kasar, sedikit kesal karena merasa reaksi Anindya terlalu berlebihan. "Astaghfirullah...." pekik Anindya lalu membekap mulutnya sendiri. Tiba-tiba gadis itu teringat dengan ucapan Atika yang menunjukkan penolakan hubungan Gibran dna Ayra. "-----mereka tidak boleh bersama----" Ucapan Atika waktu itu terngiang kembali di telinga Anindya. Kini Anindya mengerti kenapa Atika berusaha membujuk dirinya untuk tetap bersama Gibran. Anindya semakin bin
Malam ini Anindya dan Gibran pergi makan malam di rumah orang tua Gibran. Seperti biasanya, setiap satu bulan sekali mereka diharuskan ikut makan malam di rumah keluarga Gibran. Dan satu kali makan malam bersama keluarga besar dari kakek Gibran. Anindya memakai dress putih bermotif bunga-bunga kecil berwarna pink senada dengan renda yang menghiasai bagian lengan dan perut juga bagian bawah dress. Sedangkan Gibran memakai kemeja putih lengan pendek dan celana kain berwarna krem. Untuk pertama kalinya sepasang suami istri itu datang bersama dengan pakaian yang senada. Hal itu membuat Atika terkejut juga terharu. Wanita yang telah membesarkan Gibran itu terlihat sangat bahagia melihat kemajuan hubungan Anindya dna Gibran. Saat Gibran dan Anindya datang Atika dan Ayra yang menyambut dan membukakan pintu. "Astaga.... kalian kompak sekali. Mama senang lihatnya," ucap Atika terlihat sangat bahagia. Dipeluknya Anindya sayang. Berbeda dengan sang mama, Ayra kakak kedua Gibran te
"Nanti pulangnya di jemput sopir. Langsung pulang," ucap Gibran setelah menghentikan mobilnya di pinggir jalan depan kampus. "Iya," jawab Anindya. "Pak Johan dan Pak Rudi akan mengawsimu dari jauh. Ada apa-apa langsung telpon. Jang sok menghadapi sendiri," tambah Gibran lagi yang dijawab anggukan oleh gadis manis di sebelahnya. "Sudah turun sana," perintahnya. "Assalamu'alaikum," ucap Anindya membuka pintu mobil namun tak bisa. Diulangi lagi tetap tak bisa. Doa pun menoleh pada Gibran yang menatap lurus ke depan. "Oh... maaf lupa," katanya meringis lalu mengulurkan tangannya mencium punggung tangan suaminya. "Ck... Apa otak kecilmu itu terlalu penuh dengan Ganendra sampai tidak bisa mengingat hal lain?" omel Gibran terlihat kesal. "Kan sudah minta maaf, kenapa bawa-bawa Kak Ganendra sih?" gerutu Anindya. "Kenapa gak terima?" balas Ganendra mendelik. "Ck... kamu jadi mirip Mbak Ayra kalau lagi datang bulan. Marah-marah gak jelas," "Emang kami tahu kapan Ayra datang b
"Jangan mengujiku, berhenti bicara atau......" "Apa? Kamu mau menjambakku, memukulku? Silahkan, pu..." Dengan cepat Gibran menarik tangan Anindya sampai membuat tubuh ramping itu merapat ke dada bidangnya. Satu tangannya melingkar di pinggang dan satunya memegangi tengkuk gadis itu. "Gib... Mmmm.." Mata Anindya melebar dengan tubuh mematung. Tanpa di duga Gibran mencium bibir Anindya dengan kasar. Seperti orang kelaparan dilum*tnya benda kenyal itu dengan rakus. Setelah beberapa detik Anindya mulai sadar dan berusaha memberontak. Tubuh kecilnya menggeliat meminta dilepaskan. "Emmmm....." Gadis itu mengerang sambil tangannya memukuli punggung dan tangan Gibran namun tenaga tak berarti apa-apa untuk pria bertubuh tinggi dan kekar seperti Gibran. Tak putus asa, Anindya menggigit bibir Gibran kuat sampai membuat pria itu mengerang kesakitan. "Akh.... apa kamu sudah gila?" sentak Gibran sambil memegangi bibirnya yang berdarah. "Kamu yang gila," sentak balik Anindya.
Hari sabtu, hari tenang bagiku. Tak ada kelas jadi tak perlu ke kampus. Jadwal les kepribadian juga libur. Aku hanya perlu mengikuti bimbingan belajar saja. Dan mulai hari ini dilakukan di rumah. Senang sekali rasanya karena aku tidak perlu datang ke tempat bimbel tapi gurunya yang datang ke rumah untuk mengajariku. Aku tak perlu menahan rasa malu pada adik-adik yang ada di tempat bimbel. Dan semua itu atas perintah Gibran. Tidak tahu apa alasan pastinya, tapi yang pasti itu sebuah keberuntungan untukku. Bicara tentang Gibran, sekarang pria itu sudah berubah. Dia tak suka membentak dan sikapnya tak sekasar biasanya. Entah kapan pastinya, tapi seingatku sejak kembalinya Ayra dan Kak Guntur perlahan perubahan itu mulai terlihat. Kata-katanya masih pedas tapi tidak lagi bernada tinggi. Sikapnya juga lebih lembut. Tak pernah menjambak dan mencengkeram wajahku. Gibran yang biasa cuek juga lebih perhatian. Kadang dia mengantarku ke kampus dan menjemputku dari tempat les. Jik
Brakkk...... Suara pintu terbuka dengan paksa dari luar. "Apa yang kalian lakukan padanya ?" Suara yang tak asing ditelingaku terdengar menggema di raungan ini. Sambil menahan perih di salah satu sisi wajahku aku mendongak, melihat sosok yang berdiri angkuh di tengah pintu. Gibran Narendra? Kenapa pria itu ada di sini? "Lepaskan tangan kalian dari tubuh istriku!!!" sentaknya keras. Begitu mengagetkan sampai membuatkj tertegun. Bukan suaranya naman kalimatnya. Istriku? Pak Jodi, bodyguard yang ditugaskan menjagaku mendekat dan menyingkirkan tangan Renata juga Cicilia dari tubuhku. Dua orang itu langsung bergambung bersama Sifa dan yang lainnya. "Maaf, saya datang terlambat Non," ucap Pak Jodi terlihat menyesal. "Nggak papa Pak," kataku lalu beranjak bangun dengan bantuannya. "Si-siapa kalian?" tanya Sifa panik. "Siapa? Apa kau tuli?" ujar Gibran dengan tatapan dinginnya. "Benar kamu suaminya?" tanya Sifa namun tak dihiraukan oleh Gibran. Pria itu m
Pagi ini aku bangun dengan tubuh terasa sakit semua. Takut Gibran tiba-tiba masuk ke dalam kamar seperti beberapa hari yang lalu, jadinya aku berjaga semalaman dibalik pintu sampai ketiduran. Dan hasilnya paginya pagi ini tubuh sakit semua. Beruntung hari ini kuliahku dimulai jam setengah sembilan jadinya aku punya waktu tidur sebentar setelah sholat shubuh. Pukul tujuh pagi aku sudah selesai mandi namun aku menahan diri untuk tetap di dalam kamar. Baru setelah mendengar suara mobil Gibran keluar rumah barulah aku turun untuk sarapan. "Selamat pagi Non," ucap Bibi mengurai senyum saat aku mendekati meja makan. "Dari tadi bibi tunggu kok baru turun, Non?" tanyanya sambil merapikan piring bekas makan Gibran. "Kecapean Bi, jadi tadi bangunnya kesiangan." Aku menjawab sambil mendudukan diri di salah satu kursi. Begitu aku duduk bibi langsung mengambil piring dan mengisinya dengan nasi goreng serta telur mata sapi. "Aku sarapan roti aja Bik," kataku menolak saat piring