"Maaf Pa, nanti aku akan menjelaskannya." Segera aku menyeret Danisa keluar dari ruanganku. Wanita itu terus meronta tapi aku tak peduli dan membawanya masuk ke dalam lift. "Diam, ikuti aku kita bicara di luar." Meski masih terlihat kesal namun Danisa mengikuti ucapanku. Menutup mulutnya dan berjalan di belakangku begitu lift terbuka. Aku membawanya ke area parkiran mobil. "Masuk," perintahku sambil membuka pintu mobil. Setelahnya aku berjalan memutar dan membuka pintu mobil dan duduk dibalik kemudi. "Aku melakukan ini karena kamu tidak mau menemuiku," ucapnya tak kuhiraukan. Aku tetap fokus menyetir tak peduli dengan ocehannya yang menjelekkan Bestari. Entahlah.... setelah kejujuran Anindya aku jadi hilang respect pada wanita di sebelahku ini. Karena ucapannya dan fitnahnya aku jadi ikut membenci Bestari. Aku mulai tak percaya dengan semua yang dia katakan. "Harusnya kamu senang sudah bebas dari wanita liar seperti Tari, kenapa kamu malah jadi bimbang kayak gini?
"Ini....." Sebuah foto lama yang belum pernah aku lihat. Foto ini pastinya diambil saat Bestari merayakan kelulusannya dari sekolah menengah pertama-nya. Di dalam foto itu Bestari tersenyum manis sambil memegang buket bunga mawar merah. Dan di sampingnya seorang wanita cantik tersenyum sambil merangkul pundak Tari. Wanita itu... Clarissa..... Benar ini Clarissa. Aku yakin dari dress dan tas yang dipakainya. Itu hadiah ulang tahun dari seseorang yang sempat dia pamerkan padaku. Jadi aku yaki yang di foto itu bukan Danisa tapi Clarissa. Kalau mereka sedekat ini, lalu dari mana asal cerita Bestari sering mendatangi Clarissa untuk mengancamnya. Benar-benar tidak masuk akal. Tak mau berlama-lama, segera aku mengambil buku diary dan mulai membacanya. Setelah setahun lebih akhirnya aku bisa melihatnya lagi. Kak Abisatya, cinta pertamaku. Sejak dia pindah rumah tiga tahun lalu kini kami tidak seakrab dulu. Setiap kali ada pertemuan keluarga Kak Satya jadi sering absen dan har
"Jawab, semua yang kamu katakan tentang kecelakaan itu bohong kan?" Suaraku meninggi, sudah tak bisa menahan emosiku. "A-apa maksudmu?" tanyanya dengan wajah memelas. "Aku mana mungkin berbohong?" "Kamu yakin? Bukan kamu yang menyetir mobil hari itu?" "Tentu saja," jawabnya menatap mataku, seolah membuktikan dia tak berbohong. "Kalau Tante Aisyah bilang aku yang bertengkar dengannya, itu karena aku ingin membela Clarisa," Kutatap lekat wajah yang selalu membuatku merasa bersalah itu. "Lalu, tentang Tari mengancam Clarisa kamu bohong kan?" "Tidak, aku tidak bohong. Aku sering melihat mereka bertemu," bantahnya dengan ekspresi meyakinkan. "Bertemu? Artinya bukan Tari yang mendatangi Clarissa, bisa jadi mereka sengaja ketemuan atau tidak sengaja bertemu." Mendadak raut wajah Danisa berubah. Wajah memelas itu lenyap berganti tatapan sinis. "Jadi wanita jalan* itu sudah menghasutmu?" Sebuah seringai muncul di bibirnya yang pucat tanpa polesan lipstik. "Wanita itu sudah
Pov Bestari. Benar kata orang, di dunia ini tidak ada yang sempurna. Setiap hal memiliki kekurangan. Bahkan seorang raja pasti memiliki satu celah kosong yang tidak bisa diisi. Sama halnya kehidupan. Hidupku juga tak sesempurna yang orang lihat. Dimata mereka aku memiliki segalanya, orang tua yang hebat, saudara yang menyayangi dan teman-teman yang setia. Namun mereka tidak tahu jika satu sisi hatiku kosong. Kisah cintaku tak seindah orang-orang di luar sana. Cinta pertamaku tak hanya kandas, tapi meninggalkan kenangan pahit yang membuatku trauma. Aku mendapat kemudahan tapi tidak dengan kesempatan. Otak cerdas aku punya, biaya ada, sayangnya waktu tak memberiku kesempatan untuk menikmati pendidikan setinggi-tingginya dan meraih cita-cita yang kuimpikan. Setelah segala hal buruk yang terjadi dalam hidupku aku bahkan tak memiliki kesempatan untuk menjadi diriku sendiri. Namun tak apa, aku mendapatkan hal yang lebih berharga yang harus aku jaga. Ya... itulah hidup. Tidak
"Berita hebohnya mau tahu?" lanjut Sandra dan reflek aku mengangguk. "Danisa hamil. Bulan depan Danisa akan menikah dengan dokter Abisatya Putra Aditama." Degh.... "Me-menikah?" Aku tak salah dengar kan? Pria itu akan menikah. Kepegang perutku yang membuncit, tiba-tiba terasa ada pergerakan di dalamnya. 'Nak, apa kamu juga kaget mendengarnya? Akhirnya ayahmu akan menikahi kekasihnya. Tak apa kita tidak butuh dia. Kita doakan saja mereka bahagia supaya tidak mengusik kita,' bisikku dalam hati. "Tari, kamu nggak papa kan? Kenapa wajahmu tiba-tiba pucat?" tanya Sandra khawatir. "Nggak, aku nggak papa." Kupaksa bibirku tersenyum. Sandra menghembuskan nafas panjang. "Mulai sekarang jangan pernah berharap sama pria itu. Jangan buang waktumu untuk menunggu dan berharap dia akan mencarimu. Aku yakin dia tidak merasa kehilangan kamu. Buktinya dia sudah merencanakan pernikahan dengan pacarnya itu." Jujur, rasa berharap itu ada. Sebagai calon ibu aku ingin anakku juga di
Satu tahun kemudian. Setelah masa sulit penuh perjuangan, kini perusahaan yang Farhan dirikan kembali jaya. Perusahaan yang hampir bangkrut itu kini berkembang dan menjadi lebih besar dari sebelumnya. Bahkan kini Satya sedang memulai prose pembangunan anak perusahaan di luar kota. Ya, perusahaan yang bergerak di bidang makanan instan itu mulai kewalahan melayani permintaan dari dalam maupun luar negeri. Untuk memenuhi itu rencananya akan dibangun anak cabang di beberapa kota. Di ruangannya, Satya yang kini menjabat sebagai CEO menggantikan ayahnya itu sedang sibuk memeriksa kontrak kerja sama dari perusahaan di luar negeri. Mempelajari keuntungan yang akan didapatkan dari kerja sama itu dan kemungkinan resiko kerugian yang mungkin akan dialami efek dari kerja sama itu. Tok.. tok... Fokus Satya terpecah karena ketukan pintu ruangannya. "Masuk," Seorang wanita cantik membuka sedikit pintu lalu melangkah masuk. "Siang, Pak." "Iya, ada apa?" tanya Satya tanpa mengalihk
"Iya, kepulanganku kali ini untuk menghadiri pernikahan dan merencanakan pernikahanku sendiri." "Dengan siapa?" Spontan Satya bertanya lagi. Debar jantungnya merasakan firasat buruk. Alfa menaikkan satu alisnya, "Sepertinya kamu sangat penasaran?" "Khemm...." Satya berdehem, sadar dirinya sudah bersikap berlebihan. "Sebagai teman aku ikut bahagia mendengarnya. Dan kurasa normal jika aku penasaran dengan calon pasanganmu," Alfa tergelak, pria itu menganggukkan kepalanya lalu kembali berbicara. "Teman?" Satu alisnya terangkat. "Iya, tentu tidak salah. Tapi....." Alfa menjeda kalimatnya. "Sayangnya aku tidak ingin berbagi kebahagiaan itu denganmu. Tapi jangan khawatir, yang pasti aku tidak akan menikahi wanita yang membuat karirku hancur." Seketika rahang Satya mengeras dengan mata menatap tajam. Ada kilatan amarah dalam tatapannya saat mendengar ucapan Alfa. Ibarat gada kalimat itu menghantam tepat di dada Satya. Sudah dua kali teman lamanya itu memberinya sindiran. Dada
Seorang wanita cantik sedang duduk dibalik meja kerjanya. Tatapannya fokus pada lembaran kertas di hadapannya. Sesekali mata indah itu beralih pada layar laptop membandingkan tulisan pada kertas dan deretan angka di layar benda canggih itu. Dertt.... Dering ponsel mengalihkan fokusnya, sebuah nama tertera di layar ponsel. Sebuah senyum pun terbit dari bibir tipis yang disapu lipstik warna pink nude. [Kenapa gak jadi ikut?] Suara dari seberang sana. "Assalamu'alaikum, Sandra," ucap wanita yang tak lain adalah Bestari. Dengan bibir mengulum senyum dia menyapa sahabat juga sepupunya, Sandra. [Wa'alai salam, Bestari.] Terdengar Sandra mendengus. [Kenapa gak jadi datang?] "Maaf, Sabia sedang flu. Dia sedang rewel-rewelnya, kasian kalo dibawa bepergian." Bestari mengarahkan tatapannya pada box bayi tak jauh darinya. Di dalam box sedang terlelap sosok kecil kesayangannya. Sejak ibunya kembali ke Jakarta Bestari akan membawa Sabia, putri tunggalnya saat pergi bekerja. Di r
Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha
Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu
Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a
Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan
"Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin
"Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn
Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas
Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s
"Tapi, Om. Dia pacar teman saya, Ratih." Anindya menarik lengan Ratih dan menghadapkan pada Ibra. Meski dalam situasi terpojok akan tetapi mengkhianati teman sendiri tidaklah mungkin dia lakukan. "Apa? Pacar temanmu?" Kedua alis Ibra menukik, menatap tajam Ratih dan Gibran bergantian. Ratih terlihat gugup sedang Gibran nampak tenang meski sempat kaget saat melihat Ratih. "Iya." Anindya menganggukkan kepalanya. Kedua orang tua Gibran langsung panik, ditatapnya sang putra yang tetap terlihat tenang. Sama halnya dengan orang tua Gibran, Aisyah dan Farhan juga panik. Mereka pikir, Anindya sedang membuat ulah untuk membatalkan perjodohan malam ini. "Anindya, kamu tidak serius kan?" Aisyah beranjak bangun dan mendekati putrinya itu. "Ingat janjimu, jangan bikin masalah." Sambungnya berbisik sambil menggamit lengan putrinya agar duduk di tengah-tengah Farhan dan dirinya. Tinggallah Ratih yang berdiri seorang diri dengan rasa canggung dan gugup karena ditatap Ibra denga