"Ini yang cerita Andika," Bestari mengangguk, tahu Andika saudara sepupu Danisa yang dekat sama Sandra. Saling suka tapi belum jadian juga. "Dia bilang sebelum kecelakaan Danisa mengaku sempat bertemu kamu di rumah Tante Aisyah Di sana Tante Aisyah memuji-muji kamu dan mengatakan jika kamu adalah menantu pilihannya untuk Satya. Tante Aisyah sengaja melakukan itu untuk membuat Clarisa cemburu. Padahal saat itu kata Danisa Satya dan Clarisa sedang menjalin hubungan." Iya, Bestari ingat kejadian itu. Tapi kenapa sedikit berbeda dengan cerita Sandra. "Mendengar ucapan Tante Aisyah Clarisa marah. Apalagi Satya tidak membelanya, jadinya Clarisa langsung pergi bersama Danisa. Tapi, bukannya pulang karena kesal dan marah Clarisa malah melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju pusat kota. Tapi di perempatan jalan mobil lepas kendali dan menabrak truk. Karena kecelakaan itu Clarisa meninggal." Mendadak tubuh Bestari lemas, terhempas ke belakang dan menyandar pada pinggiran
Dengan menahan amarah Aisyah menunggu putra sulungnya tiba. Sudah lebih dari tiga puluh menit namun Satya yang katanya sudah di jalan nyatanya belum sampai juga. Di dalam ruang tamu Aisyah mondar-mandir sambil melampiaskan kegelisahannya pada ponsel yang digenggamnya erat. Sepuluh menit yang lalu wanita yang masih terlihat awet muda itu menghubungi suaminya, menceritakan tentang surat panggilan dari pengadilan agama untuk putra mereka. Ingin menenangkan, sang suami pun memintanya menahan emosi dan mengkonfirmasi lebih dulu pada Satya, siapa yang mengajukan gugatan itu ke pengadilan agama. Aisyah langsung menoleh saat terdengar pintu pagar terbuka. Dari dalam ruang tamu terlihat Satya berjalan cepat masuk ke dalam rumah. "Mama?" pekik Satya kaget untuk beberapa saat namun setelah berusaha bersikap tenang. "Kenapa Mama di sini?" tanyanya lagi lalu mengarahkan pandangannya pada Bik Sumi yang berdiri di belakang sofa. Bukankah tadi pembantunya itu bilang Ganendra yang datan
Setelah berpikir semalaman, pagi ini Satya memutuskan untuk menemui Bestari di kampus. Kebetulan pagi ini dirinya juga ada jadwal mengajar. "Pagi Pak," sapa beberapa mahasiswi yang lewat di depan Satya. Setengah tujuh pagi Satya sudah berangkat ke kampus. Semalam Satya sudah mengirim pesan ke nomor Bestari tapi centang satu. Sepertinya nomornya sudah diblokir. Karena itu pagi ini Satya berdiri di lobi gedung management, niatnya untuk menunggu Bestari dan memintanya datang ke ruangannya setalah jam pelajaran pertama. Setelah setengah jam menunggu akhirnya gadis itu pun muncul. Dari kejauhan terlihat Bestari sedang berbicara sambil tersenyum malu-malu dengan seseorang yang berjalan di sampingnya. Entah siapa dia? Seseorang itu wajahnya tertutup mahasiswa yang berjalan di depannya. Mata Satya menajam dengan alis menukik saat dua orang itu mulai menapaki tangga teras gedung. 'Rendra,' sebutnya dalam hati. Dalam pandangan Satya dua orang itu seperti dua sejoli yang sed
"Melihat respon Mama Farah, aku yakin beliau belum tahu tentang masalah kita." Satya tersenyum puas saat melihat wajah panik Bestari. "Lihat, ekspresi wajahmu tidak bisa berbohong. Waktumu lima menit. Bersiaplah, aku akan meminta izin Mama Farah." Satya berjalan menyusul Mama Farah ke halaman samping. Tak punya pilihan, Bestari pun naik ke kamarnya di lantai atas untuk menaruh buku kuliahnya juga berganti pakaian. Setelahnya ia pun turun dan Satya sudah menunggu bersama Mamanya. "Kalau kamu pergi ke luar kota, tolong antar Bestari kesini. Mama tau kalian butuh waktu untuk saling menerima tapi, bagaimana pun sekarang Bestari itu tanggung jawabmu. Jadi, tolong jaga dia baik-baik," ucap Farah saat Satya hendak mencium tangannya untuk berpamitan. "Tolong maklumi jika Tari terlalu manja. Karena di sini dia sangat dicintai." Sambungnya dengan tatapan sendu. Mendengar ucapan Farah, hati Satya merasa tersentuh. Ada debaran aneh di dadanya. Sedangkan Bestari segera membuang muka u
Pov Abisatya. Setelah melampiaskan hasrat, aku baru tersadar wanita yang sedang aku gag*hi tak sadarkan diri. Kenikmatan itu membutakan nuraniku. Aku laki-laki normal yang baru kali ini merasakan nikmatnya menyalurkan nafs*ku pada wanita dan beruntungnya aku jadi yang pertama. "Tari, Bestari...." Kupanggil dia berulang kali namun gadis itu tetap menutup matanya. "Ya Tuhan... apa yang sudah kulakukan?" Hatiku seperti teriris melihat lebam di wajah cantik itu. Pipinya tercetak lima jariku dan sudut bibirnya robek entah karena tamparanku atau mungkin karena aku menggigitnya. "Demi Tuhan, kamu laki-laki paling brengs*k di dunia ini, Satya." Aku merutuki diri sendiri. Berkali-kali aku menjambak rambutku sendiri, menyesali apa. yang sudah aku lakukan. Segera kuaraih selimut untuk menutupi tubuh polos yang penuh dengan luka lebam akibat tindakan brengs*kku. Kembali aku menarik kasar rambutku ketika teringat kalimat hinaan dan umpatan yang aku lontarkan oada Bestari. Istri
"Kak Satya mengutukku? Aku adikmu Kak, kenapa Kak Satya lebih membela Tari?" Anindia merasa tidak terima. "Apa kamu masih belum menyadari kesalahanmu? Apa yang kamu lakukan itu sudah sangat keterlaluan." Satya mendesah. Sungguh, adik yang dikiranya penurut ternyata keras kepala dan arrogant. "Sedikitpun aku tidak pernah berpikir adikku yang penurut bisa melakukan hal seburuk itu? Memangnya apa salah Bestari padamu, sampai kamu tega memfitnah sedemikian kejamnya?" tanya Satya setengah putus asa. Ada perang batin saat mengucapkan pertanyaan itu. Kalimat tanya itu harusnya untuk dirinya sendiri. Bukannya menyadari kesalahannya Anindia malah mencebik. Ekspresi sedih kakaknya membuatnya semakin kesal. Kenapa seolah Satya sangat menyesal? "Aku hanya ingin membuatnya merasakan sedikit rasa kecewa. Hidupnya sudah terlalu sempurna. Dia begitu disayangi oleh orang tuanya. Punya banyak teman, cantik dan dikagumi oleh banyak orang. Akan sangat tidak adil jika cinta pertamanya jug
Pov Bestari. Suara deringan ponsel memaksaku membuka mata. Seluruh tubuhku terasa sakit. Terutama di bagian intiku. Setengah sadar aku berusaha mengingat apa yang terjadi. Seketika rasa sesak itu menyeruak ke dalam dadaku. Teringat bagaimana dia merenggut apa yang kujaga selama 20 tahun ini dengan paksa. Aku tak menyangka dia begitu tega padaku. Katanya tak mencintaiku tapi kenapa merusak hidupku sampai sedalam ini? Sepi, tak ada suara dari luar kamar. Sepertinya taknada orang selain aku. Entah kemana pria itu? Setelah melampiaskan nafs*nya, dia pergi begitu saja. Kuhapus air mataku dan beranjak bangun. Sambil tertatih aku turun dari ranjang. Memunguti pakaianku yang berserakan lalu memakainya dengan tangan gemetaran. 'Cepat, kamu harus segera pergi dari sini.' Dengan tertatih aku berjalan menuju pintu kamar. Ponsel diatas meja samping ranjang kembali berdering, terlihat nama Kak Ganendra sedang melakukan panggilan. Segera kuraih benda pintar itu lalu membuka pingu kamar. Seb
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, hari ini aku sudah diizinkan pulang. Selama dua hari Jihan ikut bermalam di rumah sakit untuk menjagaku. Di siang hari Jihan dan Sandra bergantian menjagaku saat Kak Ganendra sibuk dengan urusannya. Entah urusan kantor apa urusan lain, dua hari ini kakakku itu selalu datang di saat hari sudah malam. Katanya ada hal penting yang dia kerjakan. Sedang Papa hanya sekali datang. Papa harus menjaga dan menemani Mama di rumah karena kondisinya kembali drop. Kata Sandra mama sempat anfal karena merasa bersalah telah mengizinkan Kak Satya membawaku pergi. Mama menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi padaku. Mama yang anak tunggal sudah menganggap Tante Aisyah seperti saudara kandungnya sendiri. Karena itu Mama juga sudah menganggap Kak Satya dan Anindia sebagai anak-anaknya. Tak pernah sekalipun Mama mengatakan hal buruk tentang Kak Satya. Bagi Mama Kak Satya pria yang baik, sukses dan bertanggung jawab. Dan kini saat orang yang selalu di
Ganendra langsung berdiri begitu terdengar suara mobil di depan rumah. "Itu pasti dia?" katanya lalu melangkah. "Tunggu!" Jihan menyusul dan langsung mencekal lengan suaminya itu. "Jangan pakai emosi. Tari sudah memiliki keputusannya sendiri. Jadi, hormati keputusannya." "Tari adikku, aku juga punya keputusanku sebelum menurutu keinginan Tari." Ganendra melepas tangan Jihan dan melangkah keluar. Seolah tak peduli, dengan tatapan dingin Tari menggendong putrinya lalu naik ke kamarnya di lantai dua. Sebuah helaan nafas terdengar dari mulut Jihan. Beberapa hari ini kakak beradik itu membuatnya pusing dan hampir kehabisan kesabaran. Ganendra yang main api dengan Anindya lalu Tarinyang makin hari makin aneh dengan sikap dinginnya. "Bikin pusing," gumamnya tidak berniat mengikuti Ganendra ataupun Tari. "Kalau mau berantem yan terserah," gerutunya lalu melangkah menuju dapur untuk lanjut memasak. Di teras Ganendra langsung menyambut Satya denga tatapan tajam penuh amarah. Raha
Pukul setengah lima Ganendra pulang dari kantor. Pra itu berjalan menuju dapur, dimana istrinya sedang memasak dibantu artnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya berdiri di depan meja dapur sambil mengukurkan tangannya. Jihan menoleh, diletakkan pisau yang digunakan mengupas kentang. "Wa'alaikum salam," jawabnya lalu mencium tangan Ganendra. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Ganendra. Meski belum sepenugnya berbaikan namun sikap Jihan tetap patuh dan menghormatinya sebagai suami. "Masak apa?" tanyanya membuat obrolan. Jihan menghela nafas, rasanya enggan menjawab namun tak bisa mengabaikan. "Sayur sop sama perkedel kentang, ayam kecap, ikan goreng dan sambal," jawabnya lengkap. Ganendra menganggukkan kepalanya, "Hemmm.... kelihatan enak," katanya lagi dengan senyum lebar. "Terus?" Jihan menatap suaminya itu datar. Ganendra bukan orang yang suka bebasa-basi. Pasti ada yang diinginkannya dari omong kosongnya itu. "Bisa bikinkan aku kopi?" "Hemm..." Jihan menganggu
Sore ini Tari dan Jihan sibuk di dapur. Dua wanita itu sibuk mencoba resep makanan yang rencananya akan Tari masukkan di daftar menu di kafe miliknya. "Segini?" tanya Jihan menakar sirup yang akan di masukkan ke dalam blender. "Iya, habis itu susu uhtnya juga sesuai takaran yang ada di buku," jawab Tari sambil memotong buah strawberry dan mangga. Dua puluh menit berlalu dan minuman juga sepiring camilan sudah siap di atas nampan. "Biar aku yang bawa." Jihan mengambil nampan tesebut dna membawanya ke ruang tengah. Dibelakangnya Tari mengikuti sambil menggendong Sabia. Sambil mengawasi Sabia yang asyik bermain sambil. menonton kartun kesukaannya, Tari dan Jihan berbincang. Meski dua sahabat itu belum sepakat masalah Anindya namun mereka tetap akur. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan pernikahannya itu terjadi. Meskipun itu artinya aku harus melawan Papa," ujar Tari. "Kenapa harus kamu? Suruh Anindya sendiri yang bicara sama Papa Ibra. Maaf, tapi ini semua nggak a
Belum lima belas menit Satya dan Ibra pergi, sang pengasuh mendatangi Tari. "Permisi Bu, saya pamit balik ke Surabaya," ucap Sarah sambil membawa ransel di pundaknya. Tari sama sekali tak menoleh untuk melihat wanita yang saat ini sangat dibencinya. Entah benar atau tidak perselingkuhan itu? Tapi, nyatanya sejak pertama kali wanita itu masuk ke dalam rumahnya Satya selalu membela jika dirinya mengadukan sikap tidak wajar Sarah yang terkesan genit dan terkadang tidak sopan. Sebulan yang lalu tiba-tiba Satya membawa pulang seorang wanita muda bernama Sarah, katanya didapat dari sebuah agen penyalur pengasuh di dekat kantornya. Kata Satya,, untuk membantu Tari mengasuh Sabia agar tidak kecapekan. Namun sikap Sarah yang ceplas-ceplos dan kadang terkesan genit membuat Tari tidak terlalu menyukai wanita yang mengaku berasal dari desa itu. "Sama siapa kamu balik ke Surabayanya? Sendirian?" sahut Jihan membuat Tari menoleh, menyipitkan mata menatap perempuan yang berdiri di sisi kan
"Dia...." "Dia kenapa?" desak Ibra tak sabar. Melihat reaksi Tari tiba-tiba banyak pikiran buruk muncul di otaknya. Tari mememjamkan matanya, menarik nafas panjng dan menghembuskan perlahan. "Pelan-pelan saja, bicaralah apa yang sudah Satya lakukan?" Ibra mengelus punggung tangan puyfinya itu lembut. "Kami berdebat dan aku mulai kesal padanya," jawab Tari menundukkan kepalanya. Ibra mengheka nafas panjang lalu dibawanya Tari masuk kedalam dekapannya. "Tidak apa-apa," ucapnya mengelus punggung punggung putri kesayangannya itu dengan lembut. Tangis Tari pecah. Pundaknya sampai terguncang menunjukkan betapa sakit hatinya. "Jangan takut ada Papa di sini. Semua akan baik-baik saja, " ucap Ibra dengan tatapan dingin. Dia tahu putrinya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi entah apa? Cukup sulit untuk membuat Tari jujur akan masalahnya. "Ini sudah malam kamu tidurlah, Papa temani di sini sampai kami terlelap." Ibra membantu Tari naik ke atas tempat tidur, menyelimutin
"Apa yang kalian lakukan?" pekik Tari saat melihat orang dua orang laki-laki dan perempuan dengan tubuh saling menempel dan tangan sang pria melingkar di tengkuk sang wanita dan wajah mereka saling berhadapan seperti sedang berciuman. "Tari,.. aku bisa jelasin," ujar Satya panik, memisahkan diri dari wanita yang baru saja dipeluknya. Ya, salah satu dari dua orang itu adalah Satya, suaminya sendiri sedang berduaan dengan Sarah, pengasuh yang baru saja diterimanya bekerja satu bulan yang lalu. "Jelasin apa Mas? Jelasin kalau kamu ada main dengan pengasuh putrimu sendiri," cecar Tari dengan wajah merah dan mata memanas. Dadanya seolah tebakar oleh konaran amarah yang menyulut emosi besar dalam dirinya. "Tidak seperti itu," bantah Satya menggelengkan kepalanya. Dengan wajah panik Satya melangkah mendekati istrinya yang sudah diliputu amarah. Namun baru selangkah, sebuh tangan menghentikannya. "Pak, saya saya takut dimarahin Ibu." Sarah memegang lengan kekar Satya. Wajahn
Tidak ingin memperpanjang perdebatan yang akhirnya akan melebar kemana-mana, Tari pun menuruti keinginan Satya untuk langsung pulang ke rumahnya dan tidak jadi menemui Anindya. Sampai di rumah terlihat Sabia sedang bermain di taman ditemani Ibra dan pengasuh barunya. Rasa kesal di hati Tari perlahan luntur melihat wajaha bahagia papanya dan putri semata wayangnya. "Kalian sudah pulang?" tanya Ibra ketika Satya dan Tari mendekat. Sepasang suami istri itu mencium pungung tangan Ibra bergantian. "Iya," jawab Tari dengan wajah kusut. Dan itu menarik perhatian Ibra. "Aku masuk dulu ya Pa, nitip Sabia. Nanti kalau sudah selesai mainnya biar pengasuhnya bawa masuk," "Oh iya. Sabia biar sama Papa saja. Kamu pasti lelah, istirahatlah di kamarmu," jawab Ibra menyuruh putrinya itu segera istirahat. Sebagai seorang ayah, Ibra tentu hafal dengan sifat putrinya itu. Mimik wajah Tari, sudah menunjukkan jika putrinya itu sedang kesal pada Satya. Tak lagi menyahut Tari pun segera mas
Dari bandara Tari dan Satya langsung menuju rumah sakit. Kabar Jihan ingin mengajukan cerai membuat Tari sedih dan panik. Ia tahu betul seperti apa sahabatnya itu. Meski terlihat lembut dan baik hati namun sebenarnya istri Ganendra itu lebih keras kepala dari pada Tari dan Sandra. Tak hanya keras kepala, Jihan juga lebih realistis dibanding dua sahabatnya. Tari bisa menitup mata demi cinta begitu juga Sandra, bisa melakukan rela melakukan dosa demi orang yang dicintainya. Tapi tidak dengan Jihan, cinta tidak akan membutakan matanya. "Jihan, plis pikirin lagi. Jangan ambil keputusan di saat kepala masih panas." Sudah lebih satu jam Tari menasehati sahabatnya itu. "Ini sudah seminggu, mana ada kepala panas. Aku sudah sangat tenang dan sadar sepenuhnya." Jihan menatap adik iparnya itu lekat. "Jangan bilang kamu membela kakakmu? Hubungan kita lebih berharga dari keberpihakan," Tari menghela nafas panjang, lebih baik menasehati Jihan saat dia galau dan sedih ketimbang saat dia s
"Tapi, Om. Dia pacar teman saya, Ratih." Anindya menarik lengan Ratih dan menghadapkan pada Ibra. Meski dalam situasi terpojok akan tetapi mengkhianati teman sendiri tidaklah mungkin dia lakukan. "Apa? Pacar temanmu?" Kedua alis Ibra menukik, menatap tajam Ratih dan Gibran bergantian. Ratih terlihat gugup sedang Gibran nampak tenang meski sempat kaget saat melihat Ratih. "Iya." Anindya menganggukkan kepalanya. Kedua orang tua Gibran langsung panik, ditatapnya sang putra yang tetap terlihat tenang. Sama halnya dengan orang tua Gibran, Aisyah dan Farhan juga panik. Mereka pikir, Anindya sedang membuat ulah untuk membatalkan perjodohan malam ini. "Anindya, kamu tidak serius kan?" Aisyah beranjak bangun dan mendekati putrinya itu. "Ingat janjimu, jangan bikin masalah." Sambungnya berbisik sambil menggamit lengan putrinya agar duduk di tengah-tengah Farhan dan dirinya. Tinggallah Ratih yang berdiri seorang diri dengan rasa canggung dan gugup karena ditatap Ibra denga