Share

Jauh dari Kenyataan

Penulis: iva dinata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Maaf. Tapi, tolong dengarkan penjelasanku. Aku sama sekali tidak–"

"Aku tidak butuh penjelasanmu!" potong Kak Abisatya dengan tatapan tajamnya, hingga bibirku langsung terkatup rapat.

"Dengar dan ingat baik-baik ucapanku ini, Tari. Jangan pernah menyentuh barang-barangku, jangan memasak atau mencuci pakaianku. Jangan melakukan pekerjaan rumah meski itu hanya menyapu lantai kamarku,” tambahnya, “Dan yang paling penting, berpura-puralah tidak saling mengenal jika kita bertemu di luar rumah."

Tubuhku seketika kaku. Dan air mata luruh begitu saja.

Jika waktu bisa diputar….

"Mbak Tari!" panggil Bik Sumi. Asisten rumah tangga mama mertuaku itu menepuk pundakku pelan.

Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku.

"Dari tadi dipanggil, tapi Mbak Tari nggak denger."

"Maaf Bik," ucapku mengedipkan kedua mata yang terasa panas, lalu menarik kedua sudut bibirku paksa, "Ada apa ya Bik?"

"Kalau sudah mau magrib, masuk rumah. Jangan malah melamun di luar, ndak baik." Bibik mengikutiku duduk di undakan teras.

"Iya, Bik. Tadi cuma sedang mengingat sesuatu malah jadi keterusan melamun," ujarku memberi alasan.

"Mbak Tari sekarang berubah. Senyumnya itu gak ceria seperti dulu. Kayak dipaksakan.

Wanita yang sudah puluhan tahun ikut Mama mertuaku itu memang sudah mengenalku sejak kecil.

Sebelum keluarga Kak Abisatya pindah rumah. Dulu kami tinggal di satu komplek perumahan yang sama. Meski beda blok, tapi aku sering main ke rumah Kak Abisatya.

Tak hanya dekat dengan Mama Aisyah, tapi dengan semua keluarganya, termasuk dengan Kak Abisatya, adik perempuanya, juga semua Art di rumahnya.

Namun, semua berubah setelah mereka pindah. Baik Kak Abisatya maupun adiknya mulai bersikap dingin karena jarang bertemu.

"Loh ... kok melamun lagi?" Suara Bik Sumi menyentakku. Aku mengurai senyum lebih lebar lagi. "Mbak Tari, lagi ada masalah sama Kak Satya?"

"Nggak Bik. Kami baik-baik saja," jawabku cepat. "Aku cuma sedang mikirin tugas kuliah. Banyak banget."

Aku terpaksa berbohong. Bik Sumi adalah art kepercayaan Mama Aisyah.

Jika Bik Sumi tahu kondisi hubunganku dengan Kak Abisatya, dia pasti akan langsung mengadu pada mama mertuaku.

"Mbak Tari ndak bohong, kan?"

"Nggak lah, Bik,” ucapku sembari tersenyum, “Oh iya, Bik Sumi mau pulang?"

Bik Sumi memang hanya bantu-bantu di rumah sampai sore saja. Beliau akan kembali ke rumah mertuaku saat hari menjelang malam.

"Iya, itu Pak Yono sudah menunggu." Tunjuknya pada sang suami yang sudah menunggu di dalam mobil depan rumah.

Aku mengangguk. "Ya sudah Bibi pulang gih. Kasihan Pak Yono nungguin."

“Tapi….” Bik Sumi nampak ragu. "Bibik tunggu sampai Kak Satya pulang saja, ya."

"Sebentar lagi juga pulang, sudah Bibi pulang saja."

Setelah kupaksa, Bibi akhirnya pulang bersama suaminya yang seorang sopir di keluarga Aditama. Dua pasangan paruh baya itu sudah berkerja di rumah mertuaku sejak Kak Abisatya masih bayi sampai sekarang.

Drrt!

Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sandra.

[Datanglah ke cafe The Choco. Lihatlah sendiri kelakuan suamimu dan sepupu tercintanya.]

Deg!

Bersamaan dengan itu, Sandra mengirimkan sebuah foto sepasang kekasih sedang bermesraan.

Aku terdiam. Seperti apapun kondisi pernikahan kami, namun terlepas dari semua itu aku adalah istrinya. Cemburu dan sakit hati, kuakui ada.

Cukup lama aku diam dalam tangis. Meski penasaran, kuputuskan untuk tak pergi untuk melindungi hatiku.

Hanya saja, foto itu ternyata membuatku tak bisa tidur. Terlebih, Kak Abisatya juga belum pulang meski harum jam sudah menunjuk angka 12 malam.

Selarut ini … mungkinkah mereka masih bersama? Apa yang sedang mereka lakukan sampai larut malam begini?

Kuhela nafas dalam. Tiba-tiba ada rasa sesak yang berjejalan di dalam dada.

Bayangan foto mereka berdua, membuatku berpikir. Bagaimana jika mereka sudah berhubungan jauh? Bagaimana kalau mereka...

"Akh...." Aku mengacak rambutku kesal.

Bodoh sekali! Kenapa aku harus memikirkan dua pasangan itu?

Jika memang mereka ingin menikah, aku dengan ikhlas akan mundur. Berpisah secara baik-baik dengan Kak Abisatya.

Ya, mungkin ibi sudah nasibku jadi janda di usia muda? Aku tertawa miris.

Kuputuskan untuk mengambil air wudhu dan salat sunnah saja. Berharap setelahnya, aku bisa tidur. Dengan khusyuk, aku pun melaksanakan salat tahajud.

Meski keluargaku bukan orang yang religius, tetapi untuk urusan salat, mama selalu bersikap tegas. Bahkan, salat malam pun sudah dibiasakan sejak kecil.

Setelah salat, tak lupa aku berdoa. Mengadukan segala resah dan gelisahku pada sang pemilik segalanya.

Dan hati ini jadi lebih tenang, sehingga aku pun bisa tertidur dengan nyenyak setelahnya.

Kira-kira pukul setengah lima, Alarm ponselku berbunyi. Aku otomasis terbangun. Mandi, lalu salat subuh.

Sengaja aku bersiap sepagi ini agar aku tidak bertemu dengan pemilik rumah. Jujur aku bingung bagaimana bersikap menghadapi Kak Abisatya.

Cemburu?

Jelas, rasa itu ada dan bergemuruh dalam dadaku saat ini. Namun, aku sadar sebagai istri yang tak dianggap aku tidak punya hak untuk cemburu.

Oleh karena itu, lebih baik jika kami tidak bertemu. Apalagi sejak pertengkaran sepulang dari makan malam di rumah Mama Aisyah, sampai detik ini kami belum berkomunikasi sama sekali

Pelan aku membuka pintu. Kepalaku menyembul keluar untuk melihat situasi.

Suasana rumah masih sepi. Jam setengah 6, Bik Sumi memang belum datang. Pintu kamar Kak Abisatya juga masih tertutup.

Kebetulan posisi kamar kami berhadapan. Jadi, aku bisa langsung melihat begitu membuka pintu kamar.

Ini waktu yang tepat untuk pergi. Namun baru hendak melangkah, tiba-tiba saja pintu kamar seberang terbuka.

Ceklek!

Sosok pria tampan berkemeja biru keluar dari kamar. Di lengannya, tersampir jas putih yang menambah pesona seorang dokter muda.

"Ekhemm…."

Aku tersentak mendengar dehemannya.

Tanpa sadar, aku menatap Kaka Abisatya intens yang tampak melirik ke arahku.

Ada apa ini?

Bab terkait

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menghindar

    Seharusnya, aku tidak lari! Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri. "Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku. "Iya Bik," jawab Kak Satya singkat. "Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya." Aduh! Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya? Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan. Masa harus nunggu Kak Satya berangkat? Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi! Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua. Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini. Tentu tanpa ca

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pedih

    Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih...... Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu. Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini? "Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram. Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta. "Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami. "Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa. Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melo

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tamu

    Dari kafe, kami memutuskan mampir ke taman kota. Sekadar cari angin sambil cari jajanan yang biasanya mangkal di pinggir jalan. Beberapa makanan yang memiliki rasa pedas menjadi pilihan. Suasana hatiku yang sedang kacau terasa lebih lega. Rasa pedas membuat otakku kosong, semua beban pikiran terusir dengan rasa pedas yang rasa membakar lidah dan tenggorokanku."Bakso bakarnya pedas banget," keluh Jihan sambil sambil memegangi telinganya, "Ya Allah!" "Jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit." Sandra mengambil sisa bakso bakar dari tanganku lalu menghabiskannya. Padahal wajahnya sudah memerah. Tak hanya bakso bakar, sosis bakar dan tahu mercon juga Sandra habiskan. Sengaja dia lakukan agar aku tidak memakannya lagi. "Pedes tapi enak," kataku lalu menyesap es teh punyaku sampai tandas. "Hahhh..... lega....." Kulempar cup plasti bekas es teh ke dalam tong sampah. Diikuti Jihan dan Sandra. Setelahnya, kami pun memutuskan untuk pulang Awalnya, aku berniat pulang naik taksi o

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tamparan.

    "Ada apa ini?" Suara bariton menginstruksi kami menoleh kearah suara. "Kak Satya," panggil Anindia saat kakaknya itu berjalan mendekat. "Lihat, Tari bersikap kasar padaku dan Mbak Danisa." Seperti biasanya gadis yang terpaut satu tahun di atasku itu mengadu pada kakaknya. "Mas, dia menamparku. Sakit sekali pipiku." Tak. ketinggalan Danisa ikut merengek sambil menunjukkan pipinya yang memerah habis aku tampar. Entah kenapa mendengar wanita itu memanggil Kak Satya dengan panggilan 'Mas' membuatku kesal. Dari semua sepupu Kak Satya hanya Danisa yang diizinkan memanggilnya 'Mas'. Istimewa sekali, Gadis yang tadi sempat beradu mulut denganku itu berlagak lemah. Mimik wajahnya berubah kalem dan memelas. "Dia juga menghinaku dengan kata-kata kasar." Adunya lagi dengan berderai air mata. Kak Satya menunduk, menyamakan tinggi tubuhnya dengan wajah Danisa. Terlihat, sedang memeriksa pipi kekasihnya itu. "Ahk.... sakit," rengek Danisa, wanita itu saat ujung jari tangan Kak Satya men

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Keluar dari rumah.

    "Selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali." Suara Kak Satya lantang. Aku menghentikan langkahku, menarik nafas panjang lalu menoleh pada sang pria. Sebuah senyum sinis muncul di bibirnya. "Aku tidak akan kembali. Terima kasih untuk semuanya. Hutangku sudah kubayar lunas hari ini. Selamat tinggal." Senyum sini itu langsung lenyap. Mimik wajah Kak Satya langsung berubah garang. Tapi aku tak peduli. Gegas aku berbalik. Dengan penuh keyakinan aku berjalan keluar dari rumah yang selama enam bulan ini menjadi tempat tinggalku. Tempat singgah sementara yang hanya dipenuhi dengan pertengkaran. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak luruh namun begitu mobil berjalan keluar melewati pagar rumah cairan bening itu meluruh tanpa bisa dicegah. Tak bisa bohong, hatiku sakit. Rasa kecewa itu begitu besar. Aku tak menyangka Kak Satya tega menamparku demi membela kekasihnya. Bagaimanapun aku adalah istrinya meski hanya diatas kertas. Tapi, dia sudah melafalk

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Ketahuan.

    Pov Author. Pagi ini Ganendra mendapat pesan dari Jihan, teman dekat sang adik. Memintanya untuk bertemu di depan kampusnya. Sempat merasa bingung namun rasa penasaran membuat pria berwajah tampan itu menyisihkan waktunya untuk menemui teman adiknya itu. Dan feeling-nya benar. Gadis itu tak mungkin iseng ingin bertemu dengannya. Pasti ada sesuatu yang penting sampai gadis yang ia tahu pendiam dan pemalu itu berani mengirim pesan padanya. Tepat pukul 10 pagi Ganendra menghentikan mobilnya beberapa meter dari gerbang kampus dimana Jihan sudah menunggunya. Lima menit sudah mereka berbicara di dalam mobil dan ekspresi Ganendra yang tadinya santai berubah penuh amarah. Ganendra mencengkeram kuat stir mobil. Darahnya serasa mendidih mendengar cerita yang mengalir lancar dari bibir Jihan. Sahabat Bestari itu menceritakan kebenaran tentang rumah tangga adiknya yang selama ini ternyata penuh dengan kebohongan. Abisatya Putra Aditama yang dia kira ikhlas menerima perjodohan ternya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Jujur.

    "Apa kamu sudah kehilangan otakmu karena cinta? Sampai rela dipukul dan dihina?" Ganendra menatap tajam adiknya itu. Tahu salah, Bestari pun menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu menyembunyikannya?" tanya Ganendra geram. Tak tega, pria itu mengalihkan pandangannya ke arah jalanan di depannya. Sedang Bestari tetap menunduk dengan mulut tertutup rapat. "Sampai kapan? Sampai kamu kehilangan nyawamu? Barulah kami tahu?" Sontak Bestari menatap sang kakak. Tak menyangka sebesar itu prasangka buruknya pada Satya. "Kak Satya tidak sejahat itu," bantahnya. Ganendra terkekeh, "Ternyata cinta sudah benar-benar mengosongkan isi otakmu," Ganendra menata adiknya miris. "Lihat dirimu sekarang!!" sentaknya dan langsung membuat Bestari berjingkat kaget. Seumur hidupnya sekalipun Ganendra tidak pernah memarahinya, ada apalagi membentak. Dan ini kali pertama Bestari dibentak kakak kandungnya itu. Tak urung membuat gadis itu meneteskan air matanya. Tak berhenti, Ganendra terus member

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Amarah Ganendra.

    "Pacar siapa? Tolong ulangi," tanya Ganendra dengan ekspresi geram yang membuat Rendra menatap Bestari. "Ah... dia Kakak saya, Pak." Bestari merangkul lengan kakaknya sambil mencubit, berusaha menahan kakaknya untuk tidak berbicara. Namun sayangnya, Ganendra tak menggubris kode yang diberikan adiknya. Pria itu kembali mengutarakan rasa penasaran di hatinya lewat pertanyaan yang sama. "Kalau tidak salah dengar, tadi Anda bilang Satya punya pacar?" "Iya," jawab Rendra menaikan satu alisnya. "Siapa?." "Maaf Pak, kakaknya saya ini temannya Pak Satya, jadi sedikit kepo." Bestari menyela ucapkan kakaknya. "Sepertinya kami harus pergi, permisi." Dengan memaksa Bestari menarik lengan kakaknya pergi. "Plis....." Mohonnya memelas. Ganendra pun terpaksa Ganendra mengikuti adiknya untuk pergi. Melihat sikap Bestari yang seperti menyembunyikan sesuatu membuat Rendra merasa curiga.Tidak biasanya mahasiswinya itu bersikap canggung dan gugup seperti itu. Dan ada apa terjadi dengan wa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pernikahan tanpa cinta.

    Di ujung ranjang Anindya termenung. Masih dengan gaun yang dipakai untuk resepsi pernikahan sore tadi. Entah sudah berapa kali dia menghela nafas. Wanita berwajah manis itu masih terngiang dengan suara Gibran yang melafalkan namanya dengan menjabat tangan sang papa. Bahkan jantungnya masih berdebar-debar sampai sekarang. Bukan debaran karena cinta namun debar ya g ditimbulkan karena rasa takut yang sangat dalam. Helaan nafas berat kembali terdengar untuk yang ke sekian kalinya. ' Oh... Tuhan.... Kini aku telah menjadi seorang istri, bisakah aku bahagia dengannya?' batinnya terus saja mengeluh. Ada rasa tidak rela menyerahkan hidupmya untuk pria yang tidak dicintainya.Tak hanya keluhan, ada banyak pertanyaan mengusik hati dan pikirannya. Membuatnya semakin bimbang. Bisakah dia mengabdikan dirinya pada Gibran sebagai sekarang istri yang baik? Tak ada cinta diantar mereka, bagaiamana ruamh tangga mereka akan dijalani?Dan menjadi menantu..... Sebagai anak saja dia gagal membangga

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pedebatan suami istri

    Sampai di rumah perdebatan Ganendra dan Jihan berlanjut. Dimulai dengan gerutuan Ganendra ditambab kekesalan Jihan. Jadilah perdebatan kembali memanas. Ibra yang melihat putra dan menantunya berselisih faham memilih untuk membawa cucynya masuk ke dalam kamarnya. Untuk sementara waktu Ibra akan tinggal di kediaman Rahardian untuk menjaga cucu pertamanya sampai kedua orang tuanya kembali. "Bukannya senang Anindya menikah, malah ikut-ikutan Tari berencana membatalkan pernikahannya," gerutu Ganendra yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Jihan. "Apa ada yang salah? Benarkan yang aku katakan, harusnya kamu senang Anindya menikah, kamu tidak perlu cemburu lagi," sambungnya. "Cemburu?" Jihan menghadapkan tubuhnya pada Ganendra. "Lebih tepatnya, Marah. Dan itu karena ada pemicunya." Wanita bermata bulat itu mengireksi kamlimat suaminya. "Ck... sama aja. Marah juga karena cemburu." "Beda," tegas Jihan. "Ok marah bukan cemburu. Dan sekarang setelah Anindya sudah menikah

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Akad nikah.

    "Tunggu Ratih, aku bisa jelasin." Anindya berusaha melepas tangan Gibran dan berniat menyusul sahabatnya itu, namun genggaman di tangannya makin mengerat. "Hentikan drama kalian! Jangan buat keluarga kita bertambah malu," bisik Gibran. Anindya menatap Gibaran tajam, mulutnya sudah terbuka untuk membalas ucapan pria itu. Namun wajah sang papa yang menunjukkan kekhawatiran membuatnya menelan kembali kalimat yang sudah di ujung lidahnya. "Jangan membuat tamu kita menungu lebih lama lagi, cepat duduk di kursi kalian!" perintah Ibra tegas. Anindya menurut dia mengikuti Gibran yang kini menggenggam jemarinya, menuntun ke arah kursi yang sudah diasiapkan untuk akad nikah dengan Penghulu dan saksi yang sudah duduk di tempatnya. Sembari berjalan Anindya mencari keberadaan Tari. Kakak iparnya itu harus menolongnya untuk menjelaskan kesalahpahamannya dengan Ratih. Entah apa yang terjadi sebelumnya sampai Ratih ketahuan dan dipermalukan di depan semua tamu undangan. Sayangnya samp

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Gagal kabur.

    'Oh... astaga... Bagaimana kalau dia mengenaliku?' batin Anindya panik lalu membenarkan masker yang dipakainya. Dia buru-buru keluar ketika sosok di depannya itu masih fokus denga ponselnya. "Khem..." Dehenam dari sosok itu membuat Anindya digempur perasaan panik dan tegang dalam waktu yang bersamaan. Sontak saja langkahnya langsung terhenti. Dia menelan ludah lalu dengan susah payah melangkah melewati pria itu. "Huh...." Akhirnya dia bisa bernafas lega. Pria itu tidak mengenalinya bahkan tak melihat kearahnya sekalipun. "Mau kemana kamu?" Kakinya seketika membeku di tempat saat gendang telinganya menangkap suara berat yang sudah dipastikan dari pria yang baru saja dilewatinya. "Mau bikin malu keluarga saya?" Suara itu terdengar penuh amarah meski tak bernada tinggi. Anindya mendesah berat, sadar jika pria itu mengenalinya. Wanita berwajah manis itu pun memutar tubuhnya. Degh.... Pria dengan setelan jas hitam itu menatapnya taja. Wajah Gibran sudah memerah

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pernikahan

    Di sebuah kamar hotel, tampak seorang gadis berbalut kebaya putih duduk di depan meja rias. Wajahnya yang manis sedang dipoles oleh MuA ternama di kotanya. Sesuai keinginan sang gadis, make up soft yang sedang digemari menjadi pilihannya dan gadis berlesung pipi itu terlihat sangat cantik anggun. Namun sayang wajah cantik bak artis korea itu nampak muram. Hatinya kalut dan dipenuhi rasa takut. Sejak dua jam yang lalu entah sudah berapa kali helaan nafas terdengar berat membuat sang MUA menjadi heran. "Kak, kepalanya bisa diangkat sedikit?" pinta sang MUA sedikit lelah dengan sikap calon penggantin yang lebih sering menundukkan kepalanya. Tidak seperti calon pengantin lain yang sangat antusias dan bersemangat. Kliennya hari ini terlihat bermuram durja. "Kak Anindya," panggilnya lagi karena wanita berwajah manis itu tak mereapon ucapannya. "Bisa diangkat sebenar wajahnya?" pintanya lagi. Gadis dengan kebaya putih itu adalah Anindya. Adik kandung Satya yang akan menikah den

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pengakuan Anindya.

    "Apa itu benar?" tanya Tari. "Kamu sangat membenciku?" Anindya menggeleng. "Aku tidak membencimu, Mbak. Baik dulu atau pun sekarang. Aku hanya merasa iri karena kmau baik dan banyak orang yang mencintaimu tapi aku berani sumpah aku tidak pernah berniat melukaimu...." jawabnya sambil menangis. Tari mengangguk, entah kenapa tapi Tari yaki Anindya jujur. Meski semua orang tak percaya tapi suara hati Tari mengatakan, Anindya sudah berubah dan dia tidak sejahat Danisa. "Ya... kamu iri makanya kamu ingin merusak wajahnya, iya kan?" tuduh Satya geram. "Demi Tuhan.... bukan aku yang merencanakannya, Kak. Danisa dan teman-temannya sudah membawa air keras itu sebelum menjemputku. Aku sama sekali tidak ikut merencanakannya." "Jangan bawa-bawa Tuhan untuk dosamu!!! Kamu bilang tidak ikut merencanakan, apa kamu pikir aku akan percaya?" Satya sudah kehilangan kesabaran. "Kali ini kamu benar-benar sudah melewati batas," Ganendra berjalan cepat dan memegangi Satya tang sudaah seperti

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menjenguk Tari.

    Keesokan harinya Farhan dan Aisyah juga Anindya datang menjenguk Tari. Tak lupa Aisyah membawakan makanan yang dia masak sendiri untuk Tari dan Satya yang setiap hari menjaga Tarindi rumah sakit. Aisyah dan Farhan sangat bahagia dan besyukur akhirnya setelah ketegangan kini mereka bisa bernafas lega. Terlebih lagi Anindya, sepanjang jalan menuju rumah sakit gadis itu tak henti-hentinya mengucap syukur. Akhirnya, doanya terkabul Tari telah sadar dan keadaannya membaik. Dengan sadarnya Tari, setidaknya satu masalah selesai. Anindya tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi keluarga jika sampai terjadi sesuatu pada kakak iparnya itu. Kemungkinan besar dirinya akan diusir dari rumah. 'Ya Allah... terima kasih Engkau sudah memberi keselamatan untuk Mbak Tari,' ucap Anindya dalam hati. **** "Assalamu'alaikum," ucap Farhan dan Aisyah setelah membuka pintu kamar rawat inap Tari. "Wa'alaikum salam," jawab beberapa orang yang ada di dalam kamar. Tari tersenyum lebar melihat

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Hukuman untuk Anindya.

    Setelah pulang dari rumah sakit, Anindya tidak lagi di izinkan keluar rumah seorang diri. Ponselnya disiita dan semua kegiatannya dibatasi. Hanya untuk urusan kuliah gadis iti diizinkan pergi dan tentu saja dengan di kawal bodyguard yang sengaja disewa Farhan. Bukan tanpa alasan Farhan melakukan itu, pria paruh baya itu khawatir Anindya akan membuat masalah lagi dan mungkin saja kabur sebelum hari pernikahan. Sore itu Farhan dna Aisyah memanggil Anindya untuk bicara di ruang tengah, membahas tentang pernikahan dan masalah ynag telah diperbuat putri bungsunya. Namun dari mulai awal Anindya lebih banyak diam dan menurut saja. Tak sekalipun membantah. Meski begitu baik Farhan dan Aisyah tak berhenti mengungkit kesalahan Anindya dan membuat hati gadis itu terluka. "Kamu sendiri yang setuju untuk menikah tapi di belakang kami kamu meminta Tari membatalkan perjodohanmu dan Gibran," omel Farhan karena merasa Anindya tidak bisa konsisten dengan ucapannya. Anindya tak membantah se

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Kekecewaan keluarga kepada Anindya

    "Kondisi pasien kritis karena kehilangan banyak darah." Degh.... Jantung Satya seakan beehenyi berdetak saking kagetnya. Akan langsung memucat. "Nggak... aku nggak bisa kehilangan dia," gumam Satya, tubuhnya meluruh terduduk di lantai. "Kak," pekik Anindya memegangi lengan Kakaknya. Air matanya terus mengalir menunjukkan penyesalannya yang tak bertepi. "Ya Allah... Papa." Jihan ikut memekik sambil memegangi tubuh Ibra yang tiba-tiba oleng. Dengan sigap Ganendra memegang lengan sang Papa agar tak sampai jatuh ke lantai. "Bantu Papa duduk," ucap Ganendra memberi arahan Jihan. "Aku nggak papa," kata Ibra sambil memegangi dadanya. "Tolong tenang, dokter akan menjelaskan keadaan pasien," ujar wanita berseragam perawat. Detik berikutnya seorang dokter keluar dari ruang operasi. "Begini, kondisi pasien saat ini sedang kritis dna membutuhkan transfusi darah dengan segera. Namun cadangan darah yang sesuai golongan darah pasien kosong. Jadi kami butuh bantuan keluarga untuk mend

DMCA.com Protection Status