Seharusnya, aku tidak lari! Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri. "Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku. "Iya Bik," jawab Kak Satya singkat. "Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya." Aduh! Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya? Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan. Masa harus nunggu Kak Satya berangkat? Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi! Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua. Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini. Tentu tanpa ca
Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih...... Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu. Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini? "Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram. Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta. "Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami. "Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa. Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melo
Dari kafe, kami memutuskan mampir ke taman kota. Sekadar cari angin sambil cari jajanan yang biasanya mangkal di pinggir jalan. Beberapa makanan yang memiliki rasa pedas menjadi pilihan. Suasana hatiku yang sedang kacau terasa lebih lega. Rasa pedas membuat otakku kosong, semua beban pikiran terusir dengan rasa pedas yang rasa membakar lidah dan tenggorokanku."Bakso bakarnya pedas banget," keluh Jihan sambil sambil memegangi telinganya, "Ya Allah!" "Jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit." Sandra mengambil sisa bakso bakar dari tanganku lalu menghabiskannya. Padahal wajahnya sudah memerah. Tak hanya bakso bakar, sosis bakar dan tahu mercon juga Sandra habiskan. Sengaja dia lakukan agar aku tidak memakannya lagi. "Pedes tapi enak," kataku lalu menyesap es teh punyaku sampai tandas. "Hahhh..... lega....." Kulempar cup plasti bekas es teh ke dalam tong sampah. Diikuti Jihan dan Sandra. Setelahnya, kami pun memutuskan untuk pulang Awalnya, aku berniat pulang naik taksi o
"Ada apa ini?" Suara bariton menginstruksi kami menoleh kearah suara. "Kak Satya," panggil Anindia saat kakaknya itu berjalan mendekat. "Lihat, Tari bersikap kasar padaku dan Mbak Danisa." Seperti biasanya gadis yang terpaut satu tahun di atasku itu mengadu pada kakaknya. "Mas, dia menamparku. Sakit sekali pipiku." Tak. ketinggalan Danisa ikut merengek sambil menunjukkan pipinya yang memerah habis aku tampar. Entah kenapa mendengar wanita itu memanggil Kak Satya dengan panggilan 'Mas' membuatku kesal. Dari semua sepupu Kak Satya hanya Danisa yang diizinkan memanggilnya 'Mas'. Istimewa sekali, Gadis yang tadi sempat beradu mulut denganku itu berlagak lemah. Mimik wajahnya berubah kalem dan memelas. "Dia juga menghinaku dengan kata-kata kasar." Adunya lagi dengan berderai air mata. Kak Satya menunduk, menyamakan tinggi tubuhnya dengan wajah Danisa. Terlihat, sedang memeriksa pipi kekasihnya itu. "Ahk.... sakit," rengek Danisa, wanita itu saat ujung jari tangan Kak Satya men
"Selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali." Suara Kak Satya lantang. Aku menghentikan langkahku, menarik nafas panjang lalu menoleh pada sang pria. Sebuah senyum sinis muncul di bibirnya. "Aku tidak akan kembali. Terima kasih untuk semuanya. Hutangku sudah kubayar lunas hari ini. Selamat tinggal." Senyum sini itu langsung lenyap. Mimik wajah Kak Satya langsung berubah garang. Tapi aku tak peduli. Gegas aku berbalik. Dengan penuh keyakinan aku berjalan keluar dari rumah yang selama enam bulan ini menjadi tempat tinggalku. Tempat singgah sementara yang hanya dipenuhi dengan pertengkaran. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak luruh namun begitu mobil berjalan keluar melewati pagar rumah cairan bening itu meluruh tanpa bisa dicegah. Tak bisa bohong, hatiku sakit. Rasa kecewa itu begitu besar. Aku tak menyangka Kak Satya tega menamparku demi membela kekasihnya. Bagaimanapun aku adalah istrinya meski hanya diatas kertas. Tapi, dia sudah melafalk
Pov Author. Pagi ini Ganendra mendapat pesan dari Jihan, teman dekat sang adik. Memintanya untuk bertemu di depan kampusnya. Sempat merasa bingung namun rasa penasaran membuat pria berwajah tampan itu menyisihkan waktunya untuk menemui teman adiknya itu. Dan feeling-nya benar. Gadis itu tak mungkin iseng ingin bertemu dengannya. Pasti ada sesuatu yang penting sampai gadis yang ia tahu pendiam dan pemalu itu berani mengirim pesan padanya. Tepat pukul 10 pagi Ganendra menghentikan mobilnya beberapa meter dari gerbang kampus dimana Jihan sudah menunggunya. Lima menit sudah mereka berbicara di dalam mobil dan ekspresi Ganendra yang tadinya santai berubah penuh amarah. Ganendra mencengkeram kuat stir mobil. Darahnya serasa mendidih mendengar cerita yang mengalir lancar dari bibir Jihan. Sahabat Bestari itu menceritakan kebenaran tentang rumah tangga adiknya yang selama ini ternyata penuh dengan kebohongan. Abisatya Putra Aditama yang dia kira ikhlas menerima perjodohan ternya
"Apa kamu sudah kehilangan otakmu karena cinta? Sampai rela dipukul dan dihina?" Ganendra menatap tajam adiknya itu. Tahu salah, Bestari pun menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu menyembunyikannya?" tanya Ganendra geram. Tak tega, pria itu mengalihkan pandangannya ke arah jalanan di depannya. Sedang Bestari tetap menunduk dengan mulut tertutup rapat. "Sampai kapan? Sampai kamu kehilangan nyawamu? Barulah kami tahu?" Sontak Bestari menatap sang kakak. Tak menyangka sebesar itu prasangka buruknya pada Satya. "Kak Satya tidak sejahat itu," bantahnya. Ganendra terkekeh, "Ternyata cinta sudah benar-benar mengosongkan isi otakmu," Ganendra menata adiknya miris. "Lihat dirimu sekarang!!" sentaknya dan langsung membuat Bestari berjingkat kaget. Seumur hidupnya sekalipun Ganendra tidak pernah memarahinya, ada apalagi membentak. Dan ini kali pertama Bestari dibentak kakak kandungnya itu. Tak urung membuat gadis itu meneteskan air matanya. Tak berhenti, Ganendra terus member
"Pacar siapa? Tolong ulangi," tanya Ganendra dengan ekspresi geram yang membuat Rendra menatap Bestari. "Ah... dia Kakak saya, Pak." Bestari merangkul lengan kakaknya sambil mencubit, berusaha menahan kakaknya untuk tidak berbicara. Namun sayangnya, Ganendra tak menggubris kode yang diberikan adiknya. Pria itu kembali mengutarakan rasa penasaran di hatinya lewat pertanyaan yang sama. "Kalau tidak salah dengar, tadi Anda bilang Satya punya pacar?" "Iya," jawab Rendra menaikan satu alisnya. "Siapa?." "Maaf Pak, kakaknya saya ini temannya Pak Satya, jadi sedikit kepo." Bestari menyela ucapkan kakaknya. "Sepertinya kami harus pergi, permisi." Dengan memaksa Bestari menarik lengan kakaknya pergi. "Plis....." Mohonnya memelas. Ganendra pun terpaksa Ganendra mengikuti adiknya untuk pergi. Melihat sikap Bestari yang seperti menyembunyikan sesuatu membuat Rendra merasa curiga.Tidak biasanya mahasiswinya itu bersikap canggung dan gugup seperti itu. Dan ada apa terjadi dengan wa
"Assalamu'alaikum," ucap Anindya saat memasuki rumah. "Wa'alaikum salam...." Tari yang duduk di sofa ruang tengah langsung beranjak bangun, menyambut afik iparnya itu dengan pelukan. Wanita yang sedang hamil lima bulan itu nampak begitu bahagia. Senyumnya mengembang membuat Anindya bertanya-tanya dalam hati. Apa yang terjadi saat dirinya tak ada di rumah? Kenapa tiba-tiba kakak iparnya terlihat sangat bahagia? Apa kedatangan orang tuanya membuat sang kakak ipar sebahagia itu? Bukankan dua bulan sekali mama papanya rutin datang berkunjung? "Mbak Tari kayaknya bahagia banget?" "Ya iyalah, Mbak ikut bahagia. Bahagia banget malah," jawab Tari masih dengan senyum mengembang. Bahkan tangan lembutnya merapikan beberapa anak rambut Anindya yang menutupi wajah. Anindya mengerutkan dahinya. "Di suruh pulang jam 4, nyampek rumah jam 5," omel Satya dari arah tangga. Sontak dua wanita itu menoleh, nampak Satya yang sudah rapi menuruni tangga. "Jadi orang kok susah banget disuru
Sudah dua minggu sejak pertemuan di kedai eskrim, Guntur tak menampakkan diri. Dari Satya baru diketahui jika pria itu sudah kembali ke Jakarta. Anindya sempat menghubungi mantan kakak iparnya itu untuk menanyakan perihal kelanjutan pembuatan iklan. [Tentu saja jadi. Untuk konsepnya pakai yang pertama jamu presentasikan.] Balasan pesan dari Guntur yang membuat Anindya mengumpat untuk pertama kalinya sejak pindah ke Surabaya. "Gil*!! Dasar pria gil* sialan," umpatnya setelah membaca balasan pesan dari Guntur. "Itu kulkas pasti sengaja ngerjain aku. Kalau dari awal suka dengan konsep yang pertama kenapa bilangnya jelek, udah gitu minta dibuatkan konsep lain. Aduhh... dasar..." Anindya menggerutu dengan kedua tangan mengepal gemas. "Pengen aku pites kepalanya yang kayak batu itu," ujarnya kesal. "Sabar Bu Bos..... itu orang bawa fulus," seru Cindy, salah satu anak buah Anindya. Saat ini Anindya sedang berada di kantor yang lebih tepatnya basecamp tempat berkumpul dengan an
"Kamu gak ke kantor, Nin?" tanya Tari saat mendapati adik iparnya pulang lebih awal dari biasanya. "Sudah tadi, pulang kuliah mampir sebentar. Kerjaannya gak banyak, cuma ngecek hasil kerjaan anak-anak aja," jawab Anindya menjatuhkan bobot tubuhnya diatas sofa ruang tengah. Wajahnya terlihat lelah, kusut dan tidak bersemangat. Seperti orang banyak pikiran. "Gimana dengan iklan buat kedai eskrim milik Guntur?" tanya Tari lagi. "Terakhir kamu cerita belum ada kesepakatan tentang temanya," Tari ikut duduk di sebelah Anindya setelah sebelum meminta art-nya membuatkan minuman segar untuk adik iparnya yang baru pulang. "Tahu tuh, perjaka tua ribet banget," celetuk Anindya tiba-tiba merasa kesal. "Astagfirullah... Gak boleh lo Nin, ngomong kayak gitu," tegur Tari memukul pelan lengan Anindya. "Ck... emang iya," gerutu Anindya. Wajah cantik bertambah suram saat ingatannya tertarik mundur pada kejadian dua hari yang lalu. Ketika dirinya dan Guntur berdebat tentang tema iklan p
"Ck... seneng banget yang habis ngerjain anak orang," sindir Anindya melirik pria yang duduk di balik kemudi. Guntur menoleh, menatap sejenak Anindya lalu kembali fokus pada jalanan di depannya. Pri itu berdecak, "Harusnya kalian berterima kasih padaku," katanya. Sepanjang jalan Guntur tersenyum lebar. Entah apa alasan pastinya namun pria dengan wajah tampan nanu terkesan tegas itu sangat puas melihat ekspresi Andre yang langsung shock dan pamit pulang lebih dulu setelah mendengar pernyataan yang diucapkannya. "Hah, berterima kasih untuk apa?" Anindya menoleh, dahinya berkerut dan tatapannya menyipit. "Mulai sekarang kamu nggak perlu cari alasan untuk menolak,.... siapa tadi namanya?" Guntur berlagak lupa. "Andre," sahut Anindya ketus. "Iya, itu. Dan laki-laki itu bisa mulai berhenti membuang waktu untuk mengejar sesuatu yang tidak yang tidak mungkin dia dapatkan." "Ck.... sok tahu," gumam Anindya membuang muka keluar jendela. "Kenapa, jangan-jangan kamu menyukai A
Andre menatap wanita yang duduk di hadapannya dengan tatapan kesal bercampur gemas. Matanya memicing sambil menggigit bibir bawahnya menahan diri agar tidak lepas kendali. "Apa?" kata Anindya melebarkan matanya. "Nggak papa," ketus Andre seperti abak kecil, ngambek. "Kalau kamu kayak gitu aku jadi pengen pulang," celetuk Anindya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Andre mendesah berat, ditatapnya wanita yang audah membuatnya jatuh hati sejak pertama kali bertemu itu sendu. "Kamu kok tega, ngancurin semua rencana dan harapan aku?" Anindya mengangkat pundaknya cuek. "Terserah ya, menurutmu apa? Tapi yang pasti aku sudah menepati janjiku untuk menerima ajakan makan malam darimu, jika job iklan pariwisata selesai sebelum akhir bulan," terangnya lalu mencomot kentang goreng pesanannya. "Ck.." Andre berdecak kesal. Bagaimana tidak kesal, makan malam romantis yang direncanakan jadi berantakan. Sudah dari jauh-jauh hari Andre sudah merencanakan dinner romantis
"Loh... kamu mau kemana, Nin?" tanya Tari saat melihat Anin Anindya keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Tari yang sedang menata makanan diatas meja makan menghentikan kegiatannya. Dipandanginya adik iparnya itu dengan kening berkerut. Selama dua tahun tinggal bersama, Anindya jarang sekali keluar malam. Apalagi dengan pakaian rapi seperti saat ini. Dress selutut yang dilapisi dengan cardinal jeans tak ketinggalan sepatu kets putih senada dengan warna tas selempang yang dipakainya. Membuat wanita 24 tahun itu terlihat cantik dan modis. "Aku izin keluar sebentar ya Mbak, jam sembilan sudah sampai rumah kok." "Mau kemana? Sama siapa?" tanya Tari. Istri Satya itu sangat protective kepada adik iparnya itu. Tidak hanya mengenal teman-teman Anindya, dia bahkan tahu dan hafal dengan kegiatan Anindya di luar rumah. Anindya berjalan mendekat, "Mau makan malam sama Andre," jawabnya jujur. "Apa? Tunggu!-tunggu!!" Tari menarik salah satu kursi lalu mendudukkan dirinya. "D
Anindya dan Guntur berjalan beriringan menuju tempat parkiran dimana mobilnya berada. Dua insan itu berbincang ringan. Saling bertanya kabar satu sama lain. "Kudengar kamu melanjutkan S2-mu di Surabaya," Guntur menoleh pada wanita cantik yang berjalan di sampingnya. "Iya," jawab Anindya, menoleh sambil tersenyum tipis. Wajah cantik itu terlihat lebih dewasa dan anggun. Apalagi sikapnya yang lebih kalem. Sangat berbeda dengan Anindya yang dikenal Guntur dua tahun lalu. Masih segar di ingatan Guntur saat pertama kali melihat mantan adik iparnya itu. Saat itu kepulangan pertamanya setelah hampir sepuluh tahun di luar negeri untuk menjaga Ayra. Anindya yang masih muda terlihat penuh semangat dan ambisi. Sedikit ceroboh dan ceria. Berbeda sekali dengan yang dilihatnya sekarang. Dewasa anggun dan lebih se*si. "Bagaimana kabar, Gia? Dia pasti sudah kuliah sekarang?" Anindya mulai mencari topik lain. Jujur bertemu dengan Guntur cukup membuatnya kaget dan bingung harus bersika
"Aku ingin waduk dan jembatan gantungnya jadi background utamanya. Tetap fokus pada modelnya tapi perlihatkan keindahan waduk dan langitnya." Seorang wanita cantik sedang memberi arahan pada dua orang pria yang memegang kamera. "Ok," jawab sang fotografer mengacungkan jempolnya. Di sisi yang lain kameramen juga mengacungkan jempolnya. "Siap, Nin!" Wanita dengan kemeja putih dan celana jeans itu pun mengangguk lalu melangkah mundur, membiarkan rekan-rekannya mulai bekerja. Bola mata berwarna coklat itu mengamati setiap pergerakan orang-orang di depan sana. Sesekali matanya indah itu menyipit dengan bibir mengerucut, saat adegan didepannya menurutnya kurang pas. Wanita berambut panjang itu berulang kali menyelipkan anak rambutnya yang tertiup angin tanpa sedikitpun mengalihkan fokusnya mencatat dalam otaknya mana adegan dan eagle mana yang perlu diedit. Wanita itu mendesah lega saat terdengar suara salah satu rekan kerjanya. "Cut," ucap pria bernama Andre, sambil memba
"Wah..... bagus banget rumahnya," seru Anindya begitu keluar dari mobil. Matanya langsung disambut oleh pemandangan rumah dengan desain modern farmhouse American yang membuatnya tan henti-hentinya berdecak kagum. Ini kali pertama dirinya datang ke rumah kakak iparnya itu. "Semoga kamu betah di sini ya," ucap Tari sambil menggendong Sabia yang terlelap. Sementara Satya mengeluarkan koper dan tas mereka yang ada di dalam bagasi mobil. "Pasti, aku pasti akan betah." Anindya mengurai senyum lebar. "Ingat jangan kecewakan Tari," ujar Satya setelah meletakkan koper dan tas di di teras rumah yang langsung di ambil alih bibi dan pak sopir. "InsyaAllah, aku tidak akan mengecewakan semua orang lagi." Entah sudah ke berapa kalinya kalimat itu Anindya. Sejak kemarin kakak laki-lakinya juga kedua orang tuanya terus mengingatkannya sehingga membuatnya harus mengulangi janjinya. "Sudah gak usah di dengerin," bisik Tari menggamit lengannya. "Ayo masuk," ajaknya mengajak adik ipar