Share

Jauh dari Kenyataan

"Maaf. Tapi, tolong dengarkan penjelasanku. Aku sama sekali tidak–"

"Aku tidak butuh penjelasanmu!" potong Kak Abisatya dengan tatapan tajamnya, hingga bibirku langsung terkatup rapat.

"Dengar dan ingat baik-baik ucapanku ini, Tari. Jangan pernah menyentuh barang-barangku, jangan memasak atau mencuci pakaianku. Jangan melakukan pekerjaan rumah meski itu hanya menyapu lantai kamarku,” tambahnya, “Dan yang paling penting, berpura-puralah tidak saling mengenal jika kita bertemu di luar rumah."

Tubuhku seketika kaku. Dan air mata luruh begitu saja.

Jika waktu bisa diputar….

"Mbak Tari!" panggil Bik Sumi. Asisten rumah tangga mama mertuaku itu menepuk pundakku pelan.

Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku.

"Dari tadi dipanggil, tapi Mbak Tari nggak denger."

"Maaf Bik," ucapku mengedipkan kedua mata yang terasa panas, lalu menarik kedua sudut bibirku paksa, "Ada apa ya Bik?"

"Kalau sudah mau magrib, masuk rumah. Jangan malah melamun di luar, ndak baik." Bibik mengikutiku duduk di undakan teras.

"Iya, Bik. Tadi cuma sedang mengingat sesuatu malah jadi keterusan melamun," ujarku memberi alasan.

"Mbak Tari sekarang berubah. Senyumnya itu gak ceria seperti dulu. Kayak dipaksakan.

Wanita yang sudah puluhan tahun ikut Mama mertuaku itu memang sudah mengenalku sejak kecil.

Sebelum keluarga Kak Abisatya pindah rumah. Dulu kami tinggal di satu komplek perumahan yang sama. Meski beda blok, tapi aku sering main ke rumah Kak Abisatya.

Tak hanya dekat dengan Mama Aisyah, tapi dengan semua keluarganya, termasuk dengan Kak Abisatya, adik perempuanya, juga semua Art di rumahnya.

Namun, semua berubah setelah mereka pindah. Baik Kak Abisatya maupun adiknya mulai bersikap dingin karena jarang bertemu.

"Loh ... kok melamun lagi?" Suara Bik Sumi menyentakku. Aku mengurai senyum lebih lebar lagi. "Mbak Tari, lagi ada masalah sama Kak Satya?"

"Nggak Bik. Kami baik-baik saja," jawabku cepat. "Aku cuma sedang mikirin tugas kuliah. Banyak banget."

Aku terpaksa berbohong. Bik Sumi adalah art kepercayaan Mama Aisyah.

Jika Bik Sumi tahu kondisi hubunganku dengan Kak Abisatya, dia pasti akan langsung mengadu pada mama mertuaku.

"Mbak Tari ndak bohong, kan?"

"Nggak lah, Bik,” ucapku sembari tersenyum, “Oh iya, Bik Sumi mau pulang?"

Bik Sumi memang hanya bantu-bantu di rumah sampai sore saja. Beliau akan kembali ke rumah mertuaku saat hari menjelang malam.

"Iya, itu Pak Yono sudah menunggu." Tunjuknya pada sang suami yang sudah menunggu di dalam mobil depan rumah.

Aku mengangguk. "Ya sudah Bibi pulang gih. Kasihan Pak Yono nungguin."

“Tapi….” Bik Sumi nampak ragu. "Bibik tunggu sampai Kak Satya pulang saja, ya."

"Sebentar lagi juga pulang, sudah Bibi pulang saja."

Setelah kupaksa, Bibi akhirnya pulang bersama suaminya yang seorang sopir di keluarga Aditama. Dua pasangan paruh baya itu sudah berkerja di rumah mertuaku sejak Kak Abisatya masih bayi sampai sekarang.

Drrt!

Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Sandra.

[Datanglah ke cafe The Choco. Lihatlah sendiri kelakuan suamimu dan sepupu tercintanya.]

Deg!

Bersamaan dengan itu, Sandra mengirimkan sebuah foto sepasang kekasih sedang bermesraan.

Aku terdiam. Seperti apapun kondisi pernikahan kami, namun terlepas dari semua itu aku adalah istrinya. Cemburu dan sakit hati, kuakui ada.

Cukup lama aku diam dalam tangis. Meski penasaran, kuputuskan untuk tak pergi untuk melindungi hatiku.

Hanya saja, foto itu ternyata membuatku tak bisa tidur. Terlebih, Kak Abisatya juga belum pulang meski harum jam sudah menunjuk angka 12 malam.

Selarut ini … mungkinkah mereka masih bersama? Apa yang sedang mereka lakukan sampai larut malam begini?

Kuhela nafas dalam. Tiba-tiba ada rasa sesak yang berjejalan di dalam dada.

Bayangan foto mereka berdua, membuatku berpikir. Bagaimana jika mereka sudah berhubungan jauh? Bagaimana kalau mereka...

"Akh...." Aku mengacak rambutku kesal.

Bodoh sekali! Kenapa aku harus memikirkan dua pasangan itu?

Jika memang mereka ingin menikah, aku dengan ikhlas akan mundur. Berpisah secara baik-baik dengan Kak Abisatya.

Ya, mungkin ibi sudah nasibku jadi janda di usia muda? Aku tertawa miris.

Kuputuskan untuk mengambil air wudhu dan salat sunnah saja. Berharap setelahnya, aku bisa tidur. Dengan khusyuk, aku pun melaksanakan salat tahajud.

Meski keluargaku bukan orang yang religius, tetapi untuk urusan salat, mama selalu bersikap tegas. Bahkan, salat malam pun sudah dibiasakan sejak kecil.

Setelah salat, tak lupa aku berdoa. Mengadukan segala resah dan gelisahku pada sang pemilik segalanya.

Dan hati ini jadi lebih tenang, sehingga aku pun bisa tertidur dengan nyenyak setelahnya.

Kira-kira pukul setengah lima, Alarm ponselku berbunyi. Aku otomasis terbangun. Mandi, lalu salat subuh.

Sengaja aku bersiap sepagi ini agar aku tidak bertemu dengan pemilik rumah. Jujur aku bingung bagaimana bersikap menghadapi Kak Abisatya.

Cemburu?

Jelas, rasa itu ada dan bergemuruh dalam dadaku saat ini. Namun, aku sadar sebagai istri yang tak dianggap aku tidak punya hak untuk cemburu.

Oleh karena itu, lebih baik jika kami tidak bertemu. Apalagi sejak pertengkaran sepulang dari makan malam di rumah Mama Aisyah, sampai detik ini kami belum berkomunikasi sama sekali

Pelan aku membuka pintu. Kepalaku menyembul keluar untuk melihat situasi.

Suasana rumah masih sepi. Jam setengah 6, Bik Sumi memang belum datang. Pintu kamar Kak Abisatya juga masih tertutup.

Kebetulan posisi kamar kami berhadapan. Jadi, aku bisa langsung melihat begitu membuka pintu kamar.

Ini waktu yang tepat untuk pergi. Namun baru hendak melangkah, tiba-tiba saja pintu kamar seberang terbuka.

Ceklek!

Sosok pria tampan berkemeja biru keluar dari kamar. Di lengannya, tersampir jas putih yang menambah pesona seorang dokter muda.

"Ekhemm…."

Aku tersentak mendengar dehemannya.

Tanpa sadar, aku menatap Kaka Abisatya intens yang tampak melirik ke arahku.

Ada apa ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status