Share

Awal Mula Bencana

Enam bulan sebelumnya, keluarga besarku tengah menyiapkan acara pernikahan.

Rumah sudah bising dengan suara orang beraktivitas. Saudara dari Mama dan Papaku sudah berkumpul semua untuk akad esok hari.

Aku begitu khawatir mengingat akan melepas status gadis yang selama 20 tahun ini aku sandang.

Bukannya tak senang, hanya saja aku merasa masih belum benar-benar siap untuk memasuki tahap berumah tangga.

Kuliahku saja masih semester 4. Jadi, aku tidak yakin jika aku bisa menjalankan peran seorang istri dengan baik.

Jika bukan karena kesungguhan Bagas, kekasihku, dalam membujuk orang tuaku, sekarang aku pasti masih sedang menghabiskan waktu di mall bersama teman dan sepupuku.

Ya, dialah tersangka utamanya!

Pria itu sudah tidak sabar mempersunting diriku.

Katanya, takut kehilangan aku.

Alasan yang terlalu mengada-ngada. Aku bahkan merasa jengah mendengar gombalan dan ungkapan Bagas yang kurasa sangat berlebihan. Tapi, entahlah … aku dan keluargaku merasa Bagas adalah orang yang tulus dan bisa menerimaku apa adanya.

Mungkin karena itu aku menerimanya?

Sebab, kalau bicara cinta, rasa itu sudah habis sejak aku merasakan sakitnya bertepuk sebelah tangan pada….

"Tari!" Mama mendadak muncul dari ruang tamu. "Coba periksa souvenir untuk acara akad besok, takutnya kurang."

Tanpa menjawab, aku segera beranjak bangun menuju ke kamar tamu sesuai perintah Mama.

Semalam, Mama memang memberitahu jika akan ada tamu tambahan, entah siapa?

Untungnya, walau besok pagi rencananya acara akad nikah saja dan hanya dihadiri keluarga besar dari kedua mempelai, kami menyiapkan souvenir yang dibutuhkan cukup banyak.

"Aku bantuin," sahut Sandra tanpa diminta. Sepupuku dari pihak papa itu tiba-tiba sudah menyusul di belakangku.

"Berapa undangannya?" tanyanya di sela-sela menghitung souvenir yang ada di dalam kardus.

"Seratus lebih. Dari keluarga Mama dan papah aja banyak banget belum lagi dari keluarga Bagas," jawabku.

"Hemmm..... kamu sudah benar-benar yakin? Gak mau berusaha ngejar cinta pertamamu lagi?"

"Ck..... apa sih?" Aku berdecak, meliriknya dari ekor mata lalu kembali sibuk dengan souvenir yang ternyata masih berantakan dan hitungannya tidak sama di setiap kardusnya.

"Padahal kamu sudah menyukainya sejak SMP. Sampai nangis-nangis doa minta berjodoh sama Aww….”

Kucubit lengannya gemas. "Sudah dibilangin gak usah dibahas malah diterusin."

"Iya. Maksudku, yang namanya jodoh, Tuhan yang ngatur. Mau kamu nangis darah pun, percuma kalau dia memang bukan jodohmu, gitu maksudnya." Sandra nyengir.

"Itu mulut bisa gak dikondisikan? Aku nggak pernah ya nangis darah?!" Aku mendelik.

"Gak nangis darah, sih. Cuma nangis tujuh hari tujuh malam sambil ngomong, ‘Ya Allah.... dosakah rasa cinta hamba?"

“MMPH….!”

Kubekap mulut sepupuku itu sambil melihat ke arah pintu kamar, takut ada yang mendengar.

Memang sepupuku yang satu ini suka kelepasan kalau bicara!

“Tari!”

Teriakan Ganendra–kakakku–menghentikan candaanku dan Sandra.

“Ada apa, Kak?” tanyaku, penasaran.

"Cepat keluar! Ada cewek yang marah-marah nyariin kamu!" beritahu Kak Ganendra.

Hah?

Reflek aku mengerutkan keningku.

Siapa?

Gegas, aku mengangguk dan segera keluar. Bahkan, aku mempercepat langkah saat terdengar suara teriakan dari teras rumah.

"Bestari.... keluar kamu!!!"

Nampak seorang wanita dengan perut sedikit membuncit sedang berkacak pinggang di teras rumah.

Tak ayal, itu menarik perhatian semua kerabat dan saudara yang sedang berkumpul.

"Siapa kamu?" tanyaku berusaha menekan suaraku agar tidak tidak ikut meninggi. "Jangan teriak-teriak, bicaralah baik-baik kalau memang ada perlu."

"Kamu, Ayu Bestari, kan?" tanyanya ketus.

"Iya, aku Tari."

Tiba-tiba saja, wanita itu tertawa ketus. "Cantik, sih. Tapi sayang, perebut suami orang."

Deg!

Mataku melebar. "Maksud kamu apa?"

"Cih sok polos! Padahal, kamu berani menikahi suami orang."

Mendengar itu, dadaku bergemuruh–kesal bercampur marah.

Baru bertemu, sudah dibilang perebut suami orang? Kurasa wanita ini salah orang!

"Jangan asal bicara kamu!" Kak Ganendra datang–menuding wanita itu. "Kami bisa melaporkan kamu atas kasus pencemaran nama baik."

"Laporkan saja, biar adikmu itu yang malu sendiri karena aibnya diumbar. Kenyataannya, adikmu memang merebut suamiku."

Astagfirullah...... Makin lantang wanita itu berbicara!

"Memang siapa suamimu?" tanyaku berusaha tenang meski tak bisa dipungkiri ucapan wanita ini membuatku sedikit panik.

"Pria yang akan kamu nikahi besok, Bagaskara Bumi Pradipta. Dia adalah suamiku dan ayah dari bayi yang aku kandung."

Mendadak, telingaku berdengung. Kalimat yang keluar dari mulut wanita itu bak petir yang menyambar tepat di atas kepalaku.

Ya Allah ..... apa ini?

Tubuhku oleng saking kagetnya. Beruntung dengan sigap Kak Ganendra memegangiku.

"Kamu gak apa-apa?" tanyanya dengan wajah khawatir.

"Kak, wanita itu bicara apa? Aku salah dengar, kan?"

"Tenanglah biar Kakak yang urus," ucap kakakku itu, lalu maju selangkah di depanku. "Kamu yakin dengan apa yang kamu katakan? Dan apa kamu punya bukti?"

"Sangat yakin. Bukti, tentu saja aku punya," katanya lalu mengambil sesuatu dari alam tasnya. "Namaku Airin. Aku dan Bagas sudah menikah sejak empat bulan yang lalu."

Astaga. Dadaku seperti dihantam benda berat, sesak dan nyeri rasanya.

Lebih dari itu, ada rasa panik tiba-tiba muncul.

Di sekitar, banyak saudara dan kerabat yang menyaksikan

Ya Tuhan … aku tidak bisa membayangkan betapa malunya keluargaku bila ini benar.

"Ini buktinya!"

Wanita itu menunjukkan selembar foto yang memperlihatkan seorang wanita memakai kebaya duduk bersanding dengan seorang pria sedang melakukan ijab kabul.

Kupertajam penglihatanku untuk memastikan pria yang ada di foto itu.

Bahkan, aku sampai mengedipkan kedua mata beberapa kali untuk memastikan penglihatanku tak salah.

Namun benar, itu Bagaskara calon suamiku!

Bagaimana bisa?

"Ini bukti suratnya jika kalian belum percaya." Kembali wanita itu mengulurkan selembar kertas putih yang entah apa tulisannya.

"Tunggu!" Suara seorang pria berlari dari pintu gerbang rumah.

"Tari, aku bisa jelaskan semuanya, tolong percayalah padaku," ucap Bagas, lalu berlari ke arahku.

Akan tetapi, dia langsung dihadang oleh Kak Ganendra.

"Tetap di situ!" Suara Kak Ganendra terdengar tegas dan penuh penekanan.

"Apa maksudnya ini Bagas?" Papa tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. "Kamu jangan bikin saya malu!"

Suasana makin kacau. Semua keluarga ikut keluar. Teringat Mama, aku pun menoleh kebelakang.

Sedikit lega, karena dia duduk di sofa. Di sampingnya ada Tante Aisyah mengelus pundak Mama.

"Jangan diam saja, jelaskan!!" bentak Papa. Pelindungku itu bahkan mencengkram kerah baju Bagas.

Melihat emosi Papa, aku segera mendekat. "Pa, lepasin Bagas!"

"Lepaskan dulu, Pa. Kasih kesempatan Bagas bicara." Kak Ganendra ikut menarik Papa mundur.

Bagas lantas menghela nafas panjang sebelum berbicara. "Dia sebenarnya adik dari teman saya. Beberapa bulan yang lalu saya terpaksa menikahinya secara siri karena dia hamil," jelasnya yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak.

Hamil?

"Hamil anak siapa?" Suara Kak Ganendra membentak.

"Apa itu anakmu?" sambung Papa tak sabar melihat Bagas yang hanya diam tertunduk.

"Heh.... Kenapa kamu diam? Jawab!!" Kakak laki-lakiku itu kembali melangkah maju namun baru selangkah tangannya dicekal papa.

"Biar dia jawab dulu!"

Bagaskara menghela nafas lalu menatapku sendu dan penuh sesal. Seketika dadaku terasa sesak. Jantungku seperti diremas-remas.

Melihat ekspresinya, aku sudah tahu jawabannya.

Mataku seketika memanas.

"Maaf," ucapnya, "Saya melakukannya karena mabuk."

Suara Bagas pelan, tetapi terasa seperti petir yang menyambar di atas kepalaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status