Share

Awal Mula Bencana

Author: iva dinata
last update Last Updated: 2024-07-31 16:46:52

Enam bulan sebelumnya, keluarga besarku tengah menyiapkan acara pernikahan.

Rumah sudah bising dengan suara orang beraktivitas. Saudara dari Mama dan Papaku sudah berkumpul semua untuk akad esok hari.

Aku begitu khawatir mengingat akan melepas status gadis yang selama 20 tahun ini aku sandang.

Bukannya tak senang, hanya saja aku merasa masih belum benar-benar siap untuk memasuki tahap berumah tangga.

Kuliahku saja masih semester 4. Jadi, aku tidak yakin jika aku bisa menjalankan peran seorang istri dengan baik.

Jika bukan karena kesungguhan Bagas, kekasihku, dalam membujuk orang tuaku, sekarang aku pasti masih sedang menghabiskan waktu di mall bersama teman dan sepupuku.

Ya, dialah tersangka utamanya!

Pria itu sudah tidak sabar mempersunting diriku.

Katanya, takut kehilangan aku.

Alasan yang terlalu mengada-ngada. Aku bahkan merasa jengah mendengar gombalan dan ungkapan Bagas yang kurasa sangat berlebihan. Tapi, entahlah … aku dan keluargaku merasa Bagas adalah orang yang tulus dan bisa menerimaku apa adanya.

Mungkin karena itu aku menerimanya?

Sebab, kalau bicara cinta, rasa itu sudah habis sejak aku merasakan sakitnya bertepuk sebelah tangan pada….

"Tari!" Mama mendadak muncul dari ruang tamu. "Coba periksa souvenir untuk acara akad besok, takutnya kurang."

Tanpa menjawab, aku segera beranjak bangun menuju ke kamar tamu sesuai perintah Mama.

Semalam, Mama memang memberitahu jika akan ada tamu tambahan, entah siapa?

Untungnya, walau besok pagi rencananya acara akad nikah saja dan hanya dihadiri keluarga besar dari kedua mempelai, kami menyiapkan souvenir yang dibutuhkan cukup banyak.

"Aku bantuin," sahut Sandra tanpa diminta. Sepupuku dari pihak papa itu tiba-tiba sudah menyusul di belakangku.

"Berapa undangannya?" tanyanya di sela-sela menghitung souvenir yang ada di dalam kardus.

"Seratus lebih. Dari keluarga Mama dan papah aja banyak banget belum lagi dari keluarga Bagas," jawabku.

"Hemmm..... kamu sudah benar-benar yakin? Gak mau berusaha ngejar cinta pertamamu lagi?"

"Ck..... apa sih?" Aku berdecak, meliriknya dari ekor mata lalu kembali sibuk dengan souvenir yang ternyata masih berantakan dan hitungannya tidak sama di setiap kardusnya.

"Padahal kamu sudah menyukainya sejak SMP. Sampai nangis-nangis doa minta berjodoh sama Aww….”

Kucubit lengannya gemas. "Sudah dibilangin gak usah dibahas malah diterusin."

"Iya. Maksudku, yang namanya jodoh, Tuhan yang ngatur. Mau kamu nangis darah pun, percuma kalau dia memang bukan jodohmu, gitu maksudnya." Sandra nyengir.

"Itu mulut bisa gak dikondisikan? Aku nggak pernah ya nangis darah?!" Aku mendelik.

"Gak nangis darah, sih. Cuma nangis tujuh hari tujuh malam sambil ngomong, ‘Ya Allah.... dosakah rasa cinta hamba?"

“MMPH….!”

Kubekap mulut sepupuku itu sambil melihat ke arah pintu kamar, takut ada yang mendengar.

Memang sepupuku yang satu ini suka kelepasan kalau bicara!

“Tari!”

Teriakan Ganendra–kakakku–menghentikan candaanku dan Sandra.

“Ada apa, Kak?” tanyaku, penasaran.

"Cepat keluar! Ada cewek yang marah-marah nyariin kamu!" beritahu Kak Ganendra.

Hah?

Reflek aku mengerutkan keningku.

Siapa?

Gegas, aku mengangguk dan segera keluar. Bahkan, aku mempercepat langkah saat terdengar suara teriakan dari teras rumah.

"Bestari.... keluar kamu!!!"

Nampak seorang wanita dengan perut sedikit membuncit sedang berkacak pinggang di teras rumah.

Tak ayal, itu menarik perhatian semua kerabat dan saudara yang sedang berkumpul.

"Siapa kamu?" tanyaku berusaha menekan suaraku agar tidak tidak ikut meninggi. "Jangan teriak-teriak, bicaralah baik-baik kalau memang ada perlu."

"Kamu, Ayu Bestari, kan?" tanyanya ketus.

"Iya, aku Tari."

Tiba-tiba saja, wanita itu tertawa ketus. "Cantik, sih. Tapi sayang, perebut suami orang."

Deg!

Mataku melebar. "Maksud kamu apa?"

"Cih sok polos! Padahal, kamu berani menikahi suami orang."

Mendengar itu, dadaku bergemuruh–kesal bercampur marah.

Baru bertemu, sudah dibilang perebut suami orang? Kurasa wanita ini salah orang!

"Jangan asal bicara kamu!" Kak Ganendra datang–menuding wanita itu. "Kami bisa melaporkan kamu atas kasus pencemaran nama baik."

"Laporkan saja, biar adikmu itu yang malu sendiri karena aibnya diumbar. Kenyataannya, adikmu memang merebut suamiku."

Astagfirullah...... Makin lantang wanita itu berbicara!

"Memang siapa suamimu?" tanyaku berusaha tenang meski tak bisa dipungkiri ucapan wanita ini membuatku sedikit panik.

"Pria yang akan kamu nikahi besok, Bagaskara Bumi Pradipta. Dia adalah suamiku dan ayah dari bayi yang aku kandung."

Mendadak, telingaku berdengung. Kalimat yang keluar dari mulut wanita itu bak petir yang menyambar tepat di atas kepalaku.

Ya Allah ..... apa ini?

Tubuhku oleng saking kagetnya. Beruntung dengan sigap Kak Ganendra memegangiku.

"Kamu gak apa-apa?" tanyanya dengan wajah khawatir.

"Kak, wanita itu bicara apa? Aku salah dengar, kan?"

"Tenanglah biar Kakak yang urus," ucap kakakku itu, lalu maju selangkah di depanku. "Kamu yakin dengan apa yang kamu katakan? Dan apa kamu punya bukti?"

"Sangat yakin. Bukti, tentu saja aku punya," katanya lalu mengambil sesuatu dari alam tasnya. "Namaku Airin. Aku dan Bagas sudah menikah sejak empat bulan yang lalu."

Astaga. Dadaku seperti dihantam benda berat, sesak dan nyeri rasanya.

Lebih dari itu, ada rasa panik tiba-tiba muncul.

Di sekitar, banyak saudara dan kerabat yang menyaksikan

Ya Tuhan … aku tidak bisa membayangkan betapa malunya keluargaku bila ini benar.

"Ini buktinya!"

Wanita itu menunjukkan selembar foto yang memperlihatkan seorang wanita memakai kebaya duduk bersanding dengan seorang pria sedang melakukan ijab kabul.

Kupertajam penglihatanku untuk memastikan pria yang ada di foto itu.

Bahkan, aku sampai mengedipkan kedua mata beberapa kali untuk memastikan penglihatanku tak salah.

Namun benar, itu Bagaskara calon suamiku!

Bagaimana bisa?

"Ini bukti suratnya jika kalian belum percaya." Kembali wanita itu mengulurkan selembar kertas putih yang entah apa tulisannya.

"Tunggu!" Suara seorang pria berlari dari pintu gerbang rumah.

"Tari, aku bisa jelaskan semuanya, tolong percayalah padaku," ucap Bagas, lalu berlari ke arahku.

Akan tetapi, dia langsung dihadang oleh Kak Ganendra.

"Tetap di situ!" Suara Kak Ganendra terdengar tegas dan penuh penekanan.

"Apa maksudnya ini Bagas?" Papa tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. "Kamu jangan bikin saya malu!"

Suasana makin kacau. Semua keluarga ikut keluar. Teringat Mama, aku pun menoleh kebelakang.

Sedikit lega, karena dia duduk di sofa. Di sampingnya ada Tante Aisyah mengelus pundak Mama.

"Jangan diam saja, jelaskan!!" bentak Papa. Pelindungku itu bahkan mencengkram kerah baju Bagas.

Melihat emosi Papa, aku segera mendekat. "Pa, lepasin Bagas!"

"Lepaskan dulu, Pa. Kasih kesempatan Bagas bicara." Kak Ganendra ikut menarik Papa mundur.

Bagas lantas menghela nafas panjang sebelum berbicara. "Dia sebenarnya adik dari teman saya. Beberapa bulan yang lalu saya terpaksa menikahinya secara siri karena dia hamil," jelasnya yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak.

Hamil?

"Hamil anak siapa?" Suara Kak Ganendra membentak.

"Apa itu anakmu?" sambung Papa tak sabar melihat Bagas yang hanya diam tertunduk.

"Heh.... Kenapa kamu diam? Jawab!!" Kakak laki-lakiku itu kembali melangkah maju namun baru selangkah tangannya dicekal papa.

"Biar dia jawab dulu!"

Bagaskara menghela nafas lalu menatapku sendu dan penuh sesal. Seketika dadaku terasa sesak. Jantungku seperti diremas-remas.

Melihat ekspresinya, aku sudah tahu jawabannya.

Mataku seketika memanas.

"Maaf," ucapnya, "Saya melakukannya karena mabuk."

Suara Bagas pelan, tetapi terasa seperti petir yang menyambar di atas kepalaku.

Comments (30)
goodnovel comment avatar
Diah Setia
terimakasih
goodnovel comment avatar
Titin Sulistiyanti
bikin ikut Emosi
goodnovel comment avatar
Nazmah Cenggu
ayo dong lanjut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Berita Mengejutkan

    "Brengsek!" umpat Kak Ganendra seketika. Bugh! Dengan penuh amarah, kakakku itu menghadiahkan bogem mentah tepat di wajah tampan Bagas, hingga pria itu tersungkur. Di sisi lain, aku hanya menatap kosong ke arah dua orang yang sedang berkelahi itu. Entah terbang ke mana perginya rasa belas kasihku melihat Bagas dipukuli? Suara teriakan dan jeritan di sekitarku pun tak membuatku berempati. Berbeda denganku, wanita yang mengaku istrinya Bagas itu terlihat begitu khawatir bahkan sampai menangis melihat keadaan suaminya yang babak belur. Sambil marah-marah, wanita itu membantu Bagas berdiri meski pria itu berulang kali menepis tangannya kasar. "Lepas!" sentak Bagas kembali menepis tangan istri yang dinikahinya empat bulan lalu tanpa sepengetahuanku itu. Aku menoleh saat sebuah tangan merangkulku dari samping. Sandra menatapku sedih. "Sabar," ucapnya. Sabar? Bisakah aku sabar? Kecewa, marah, bercampur malu. Itu yang saat ini berjejalan di otakku. "Pernikahan kamu

    Last Updated : 2024-07-31
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Jauh dari Kenyataan

    "Maaf. Tapi, tolong dengarkan penjelasanku. Aku sama sekali tidak–" "Aku tidak butuh penjelasanmu!" potong Kak Abisatya dengan tatapan tajamnya, hingga bibirku langsung terkatup rapat. "Dengar dan ingat baik-baik ucapanku ini, Tari. Jangan pernah menyentuh barang-barangku, jangan memasak atau mencuci pakaianku. Jangan melakukan pekerjaan rumah meski itu hanya menyapu lantai kamarku,” tambahnya, “Dan yang paling penting, berpura-puralah tidak saling mengenal jika kita bertemu di luar rumah." Tubuhku seketika kaku. Dan air mata luruh begitu saja. Jika waktu bisa diputar…. "Mbak Tari!" panggil Bik Sumi. Asisten rumah tangga mama mertuaku itu menepuk pundakku pelan. Aku mengerjap, tersadar dari lamunanku. "Dari tadi dipanggil, tapi Mbak Tari nggak denger." "Maaf Bik," ucapku mengedipkan kedua mata yang terasa panas, lalu menarik kedua sudut bibirku paksa, "Ada apa ya Bik?" "Kalau sudah mau magrib, masuk rumah. Jangan malah melamun di luar, ndak baik." Bibik mengikutiku du

    Last Updated : 2024-07-31
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menghindar

    Seharusnya, aku tidak lari! Tapi, gugup membuatku malah memilih kembali masuk ke dalam kamar. Setelah ketahuan mencuri pandang aku jadi panik sendiri. "Assalamu'alaikum Mas Satya, tumben jam segini kok sudah siap? Apa ada jadwal operasi?" Suara Bik Sumi terdengar dari dalam kamarku. "Iya Bik," jawab Kak Satya singkat. "Tunggu sebentar ya, Bibi siapkan sarapannya." Aduh! Kalau begini, bagaimana aku bisa keluar tanpa menyapa Kak Satya? Bisa-bisa Bibi curiga. Tapi kalau aku menyapa dan mencium tangan Kak Satya, sudah pasti dia akan marah dan mengatakan aku cari kesempatan. Masa harus nunggu Kak Satya berangkat? Sampai jam berapa? Sedang, aku ada mata kuliah pagi lagi! Kubuka sedikit pintu kamar, memerhatikan sekeliling. Bibi tampak sibuk di dapur, menata makanan yang dibawanya dari rumah ibu mertua. Untuk sarapan, Bibi memang selalu membawa makanan yang sudah dia masak di rumah Mama Aisyah. Tapi, untuk makan malam, bibi akan memasaknya di sini. Tentu tanpa ca

    Last Updated : 2024-07-31
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Pedih

    Sakitnya itu seperti luka yang masih basah disiram air garam. Perih...... Itu yang aku rasakan saat melihat Danisa bergelayut manja di lengan Kak Abisatya. Pria yang sudah menghalalkan aku dengan ijab qobul sejak beberapa bulan yang lalu. Ya Allah ... rumah tangga ini benar-benar menyiksa. Haruskah aku bertahan, jika hanya aku yang mencinta dalam pernikahan ini? "Astaga... Anj*ng mereka itu, bisa-bisanya bermesraan di tempat umum. Gak tau malu!!!" Sandra geram. Aku yang masih dalam keterkejutan sampai tak sadar sepupuku itu sudah melangkah mendekati dua insan yang sedang dimabuk cinta. "Eh... Sandra," panggil Jihan panik. "Tari.... itu Sandra." Jihan menggoyangkan lenganku sambil menunjuk ke depan kami. "Astaga...." pekikku dan segera mengejar sepupuku itu. "Sandra jangan." Kutarik tangan Sandra yang tinggal beberapa langkah lagi mendekati Kak Abisatya dan Danisa. Dua orang itu pun terlihat kaget melihat kami. Terbukti langkahnya langsung berhenti dengan mata melo

    Last Updated : 2024-08-13
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tamu

    Dari kafe, kami memutuskan mampir ke taman kota. Sekadar cari angin sambil cari jajanan yang biasanya mangkal di pinggir jalan. Beberapa makanan yang memiliki rasa pedas menjadi pilihan. Suasana hatiku yang sedang kacau terasa lebih lega. Rasa pedas membuat otakku kosong, semua beban pikiran terusir dengan rasa pedas yang rasa membakar lidah dan tenggorokanku."Bakso bakarnya pedas banget," keluh Jihan sambil sambil memegangi telinganya, "Ya Allah!" "Jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit." Sandra mengambil sisa bakso bakar dari tanganku lalu menghabiskannya. Padahal wajahnya sudah memerah. Tak hanya bakso bakar, sosis bakar dan tahu mercon juga Sandra habiskan. Sengaja dia lakukan agar aku tidak memakannya lagi. "Pedes tapi enak," kataku lalu menyesap es teh punyaku sampai tandas. "Hahhh..... lega....." Kulempar cup plasti bekas es teh ke dalam tong sampah. Diikuti Jihan dan Sandra. Setelahnya, kami pun memutuskan untuk pulang Awalnya, aku berniat pulang naik taksi o

    Last Updated : 2024-08-13
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tamparan.

    "Ada apa ini?" Suara bariton menginstruksi kami menoleh kearah suara. "Kak Satya," panggil Anindia saat kakaknya itu berjalan mendekat. "Lihat, Tari bersikap kasar padaku dan Mbak Danisa." Seperti biasanya gadis yang terpaut satu tahun di atasku itu mengadu pada kakaknya. "Mas, dia menamparku. Sakit sekali pipiku." Tak. ketinggalan Danisa ikut merengek sambil menunjukkan pipinya yang memerah habis aku tampar. Entah kenapa mendengar wanita itu memanggil Kak Satya dengan panggilan 'Mas' membuatku kesal. Dari semua sepupu Kak Satya hanya Danisa yang diizinkan memanggilnya 'Mas'. Istimewa sekali, Gadis yang tadi sempat beradu mulut denganku itu berlagak lemah. Mimik wajahnya berubah kalem dan memelas. "Dia juga menghinaku dengan kata-kata kasar." Adunya lagi dengan berderai air mata. Kak Satya menunduk, menyamakan tinggi tubuhnya dengan wajah Danisa. Terlihat, sedang memeriksa pipi kekasihnya itu. "Ahk.... sakit," rengek Danisa, wanita itu saat ujung jari tangan Kak Satya men

    Last Updated : 2024-08-13
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Keluar dari rumah.

    "Selangkah kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali." Suara Kak Satya lantang. Aku menghentikan langkahku, menarik nafas panjang lalu menoleh pada sang pria. Sebuah senyum sinis muncul di bibirnya. "Aku tidak akan kembali. Terima kasih untuk semuanya. Hutangku sudah kubayar lunas hari ini. Selamat tinggal." Senyum sini itu langsung lenyap. Mimik wajah Kak Satya langsung berubah garang. Tapi aku tak peduli. Gegas aku berbalik. Dengan penuh keyakinan aku berjalan keluar dari rumah yang selama enam bulan ini menjadi tempat tinggalku. Tempat singgah sementara yang hanya dipenuhi dengan pertengkaran. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak luruh namun begitu mobil berjalan keluar melewati pagar rumah cairan bening itu meluruh tanpa bisa dicegah. Tak bisa bohong, hatiku sakit. Rasa kecewa itu begitu besar. Aku tak menyangka Kak Satya tega menamparku demi membela kekasihnya. Bagaimanapun aku adalah istrinya meski hanya diatas kertas. Tapi, dia sudah melafalk

    Last Updated : 2024-08-14
  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Ketahuan.

    Pov Author. Pagi ini Ganendra mendapat pesan dari Jihan, teman dekat sang adik. Memintanya untuk bertemu di depan kampusnya. Sempat merasa bingung namun rasa penasaran membuat pria berwajah tampan itu menyisihkan waktunya untuk menemui teman adiknya itu. Dan feeling-nya benar. Gadis itu tak mungkin iseng ingin bertemu dengannya. Pasti ada sesuatu yang penting sampai gadis yang ia tahu pendiam dan pemalu itu berani mengirim pesan padanya. Tepat pukul 10 pagi Ganendra menghentikan mobilnya beberapa meter dari gerbang kampus dimana Jihan sudah menunggunya. Lima menit sudah mereka berbicara di dalam mobil dan ekspresi Ganendra yang tadinya santai berubah penuh amarah. Ganendra mencengkeram kuat stir mobil. Darahnya serasa mendidih mendengar cerita yang mengalir lancar dari bibir Jihan. Sahabat Bestari itu menceritakan kebenaran tentang rumah tangga adiknya yang selama ini ternyata penuh dengan kebohongan. Abisatya Putra Aditama yang dia kira ikhlas menerima perjodohan ternya

    Last Updated : 2024-08-14

Latest chapter

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Tidak. Selama Danisa masih hidup, dia pasti akan kembali,"

    "Ini semua harus berakhir dan akulah yang harus mengakhirinya," gumam Anindya dengan keteguhan hati. "Kamu mau menyusul mereka?" Dilla terlihat tidak setuju dengan keputusan Anindya. "Kamu tahu kemana mereka pergi?" Tak menjawab Anindya malah mengajukan pertanyaan. Dilla berdecak kesal. Pertanyaannya malah dijawab dengan pertanyaan lagi. Meski begitu tetap menjawab. "Ke dermaga, di sana sudah menunggu kapal yang akan membawa mereka ke Batam setelah itu ke Singapura." Anindya menganggukkan kepalanya. "Danisa bilang akan membawamu tapi aku tinggal di sini sampai kuliahku selesai baru menyusul kalian. Tapi tenyata..... " Dilla tidak pernah menyangka orang yang dianggapnya sebagai seorang kakak yang datang ketika dirinya terpuruk ternyata orang jahat yang hanya memanfaatkannya dan setelah merasa tak butuh berniat menghabisi nyawanya. Beruntung Dilla mengikuti ucapan Anindya. Meski sempat tak percaya. "Turuti kataku, jika aku salah kamu juga takkan rugi. Namun jika ak

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   "Gibran mencintaimu. Tapi kamu tidak pantas karena itu aku datang dan mengacaukannya."

    "Eh.... tunggu jangan salah faham! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan," ujar Gibran panik. Tanpa bicara Satya langsung mendekati istrinya. "Kamu nggak papa kan?" tanyanya khawatir sambil kedua tangan besarnya menakup wajah sang istri. Tari menggelengkan kepalanya. "Syukurlah," ucapnya Satya menghembuskan nafas lega. "Loh..... kamu gak salah faham?" Gibran melihat pasangan suami istri itu dengan tatapan takjub. Tadinya dia pikir Satya akan marah-marah menuduhnya dan Tari berbuat yang tidak-tidak karena berada di dalam kamar hotel sendirian. "Kamu pikir aku bodoh? Setelah semua masalah yang kami hadapi istriku akan mengkhianatiku? Yang benar saja," ujar Satya. "Aku salut padamu, kamu sanga pencemburu tapi sangat percaya pada istrimu." Gibran kagum. "Dimana Anindya?" tanya Satya. "Tadi dia pergi angkat telpon tadi sudah lima belas menit belum kembali," jelas Gibran. "Kenapa kamu biarkan dia pergi sendirian? Dia pasti sudah kabur," geram Satya. "Bodoh," umpat

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Menemui Anindya.

    "Aku mau pergi sebentar. Nitip Sabia ya," ucap Tari pada Jihan yang sedang menghabiskan waktu senggangnya dengan menonton drakor kesukaannya di ruang tengah. "Nanti kalau Papa atau Mas Satya tanya, bilang aja aku mau keluar beli kebutuhan Sabia." Sambungnya setelah menyerahkan putrinya pada kakak iparnya itu. "Emang kamu mau kemana?" Jihan menatap Tari curiga. Tangannya mendekap Sabia yang ada di pangkuannya. Tari menggigit bibir bawahnya, bingung mau bohong atau jujur. "Mau pergi sebentar ketemu orang?" "Siapa?" "Teman," "Namanya siapa?" Jihan makin curiga. "Tak ada temanmu yang aku nggak kenal. Sebutkan namanya siapa?" Tari mendesah berat, Jihan lebih protective dari Ganendra. Sulit sekali membohongimu wanita itu. "Aku mau ketemu Anindya," jujur Tari tak bisa mengelak. "Apa? Kamu mau ketemu Anindya?" tanya Jihan dengan mata menyipit. "Kalau memang ada perlu kenapa di gak datang kesini aja? Emang Satya tahu kamu kamu mau keluar untuk ketemu Anindya?" Istri Gan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Dibawah ancaman Danisa.

    "Sekarang kamu pilih, membantuku membalas Tari atau semua keluargamu akan mengalami hal yang sama dengan anak buah suamimu. Satu mat* dan satu terbaring koma di ranjang rumah sakit." Suara Danisa terdengar dari balik maskernya. "Pilih!!!" sentaknya. Anindya menelan ludahnya, tatapan tajam Danisa membuatnya bergidik ngeri. Setahun di rumah sakit jiwa tidak membuat kejiwaan kembaran Clarissa itu menjadi lebih baik tapi sepertinya malah bertambah parah. "Aku mohon jangan libatkan orang tuaku," mohon Anindya yang langsung disambut dengan tawa keras oleh Danisa. "Bukankah waktu itu aku sudah bilang, aku ingin memberimu kesempatan untuk melihat sendiri wajah-wajah orang-orang di sekitarmu. Dan aku memberimu bantuan namun untuk bayarannya kamu harus kembali padaku," terang Danisa mengingatkan Anindya tentang kesepakatan yang di tentukannya. "Apa kamu mau berpura-pura lupa?" tambah wanita berbaju serba hitam itu. "Ck..... kamu benar-benar mengecewakanku. Ingatlah kemarin kamu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Danisa ikut berperan membantu Anindya,

    "Katakan!!" Sentak Satya marah. "Mas, tenanglah.." Tari memegangi lengan suaminya. Meminta pria itu untuk tenang. "Anin, aku minta maaf karena aku tidak bisa membantumu membatalkan perjodohan itu. Tapi kamu tahu kan, kita semua sayang sama kamu. Jadi kumohon jujurlah, apa kamu berhubungan lagi dengan wanita itu?" tanya Tari menatap Anindya lekat. Anindya menatap Tari melas. "Mbak lebih percaya sama Gibran? Semua yang pria itu katakan bohong. Gibran dan mamanya itu sangat licik Mbak," Tari terdiam, matanya menatap Anindya dengan sorot kecewa. Dia tidak yakin Gibran jujur tapi dia tahu Anindya sedang berbohong. Bukannya menjawab Anindya berusaha mengalahkan dengan menjelekkan Gibran dan mamanya. "Ganendra sudah menyelidiki semuanya. Lima menit yang lalu dia menelponku. Katanya, ada indikasi campur tangan Danisa dalam kejadian kemarin. Masih mau berbohong?" ujar Satya menahan geram. Kecewa, pasti. Dia tidak menyangka adiknya masih saja berhubungan dengan wanita yang dulu

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Penjelasan Gibran 2

    "Pukul dan hajar aku sesukamu. Aku tidak minta untuk dimaafkan. Tapi aku mohon izin aku bertemu dengan Anindya sekali saja," mohon Gibran sambil memegang kaki Satya. "Ada yang harus aku jelaskan," "Bangunlah, jangan seperti ini?" Satya melihat ke sekelilingnya. Beberapa pengunjung kafe melihat kearah mereka. "Tidak, aku tidak akan berdiri sebelum kamu berjanji mengizinkan aku bertemu Anindya," tolak Gibran kekeh pada pendiriannya. "Semua keputusan bukan di tanganku. Sekalipun aku mengizinkanmu belum tentu Anindya mau bertemu denganmu," ujar Satya dengan tatapan kesal. "Mas Satya benar. Anindya sudah memutuskan untuk mengajukan perceraian dan pergi ke luar negeri untuk sekolah." Tari menyahut. "Apa?" Gibran langsung bangkit. "Kamu serius?" tanyanya menatap Tari dengan tatapan melas. "Duduklah," suruh Tari dan pria itu langsung menurut. Satya menghembuskan nafas kasar. Melihat Gibran seperti melihat dirinya sendiri empat tahun lalu. Saat dirinya dipaksa menceraikan

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Penjelasan Gibran.

    "Cepat katakan, aku tidak punya banyak waktu." Satya menatap tajam pria berwajah kusut di depannya. Sudah sepuluh menit Satya dan Tari menunggu tapi tidak sepatah katapun keluar dari mulut Gibran. "Kau ingin bicara atau tidak?" geram Satya mulai habis kesabaran. "Mas, bersabarlah." Tari memegang lengan suaminya yang sudah mengepal diatas meja. "Apa kamu tidak lihat dia sedang kebingungan," sambungnya dengan tatapan mengarah pada pria yang sudah berulang kali mengusap wajahnya. Gibran seperti orang yang sedang gelisah. Tatapannya sayu dan wajahnya pucat. Satya menarik nafas panjang, berusaha meredam emosinya. Setelah mengetahui perbuatan Gibran pada Anindya membuat suami Tari itu kesulitan menahan emasinya. Meski begitu Satya sadar, dirinya juga bersalah karena tidak mendengarkan Tari untuk membatalkan perjodohan Anindya dna Gibran. "Mas, tadi janji apa? Kalau kayak gini mending tadi gak usah datang," ujar Tari mengingatkan janji yang sudah diucapkan Satya sebelum bera

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Penjelasan

    "Katakan dengan jujur, apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Gibran. Dan juga tentang kejadian kemarin, ceritakan dengan jelas!" peringah Satya menatap intens pada gadis manis yang duduk di hadapannya. Pagi ini setelah sarapan Satya mengumpulkan semua anggota keluarganya untuk mendengar penjelasan tentang rumah tangga adiknya, Anindya. Jika kemarin Anindya bisa menghindar dengan alasan capek. Tapi tidak hari ini tidak bisa lagi. Suami Tari itu memutuskan untuk tinggal di rumah orang tuanya untuk beberapa sampai masalah Anindya dan Gibran selesai. Dan setelahnya baru akan kembali ke Surabaya. "Jangan diam saja. Katakan ada masalah apa sebenarnya?" sambung Aisyah tidak sabar. Anindya yang jadi fokus utama semua orang hanya menatap datar dan menghela nafas. Mimik wajahnya memelas. "Ceritanya panjang, Ma. Bingung aku Kak, mau cerita dari mana?" Gadis itu menatap Aisyah dan Satya bergantian. Wajahnya cemberut seolah enggan untuk bercerita tentang apa yang sudah diriny

  • Mempelai yang Tak Diharapkan   Terbongkar.

    "Tapi kamu mencintai Gibran." Jantung Gibran serasa hampir lepas dari tempatnya. Matanya membelalak menatap tak percaya Anindya seberani itu membuka rahasianya dan Ayra. Gadis yang biasanya penurut itu mendadak berani dan seolah sudah bisa membaca situasi setiap ucapan juga bantahan terlontar dengan sangat lancar dari celah diantara dua bibirnya. "Benar kan, Gibran?" "Jangan bicara sembarangan kamu," bentak Ayra dengan wajah mendadak pucat. Wanita dengan make up yang sudah sedikit luntur itu jadi salah tingkah saat menyadari semua mata menatap kearahnya dan Gibran. Apalagi saat ini kedua tangan Gibran memeluk tubuh rampingnya dari belakang. Mendadak suasana menjadi hening. "Gil* mencintai saudaranya sendiri," celetuk Sifa dengan tatapan jijik. Merasa ditipu Erlangga marah besar. "Apa ini maksudnya semua ini? Jelaskan!!!" Erlangga meminta penjelasan pada Ario, sebagai ayah Ayra dan Gibran. Ario terlihat marah dan juga bingung. Tidak yahu harus berkata apa. Pria itu gel

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status