Perlahan aku mulai sadar meski begitu berat untuk membuka mata. Aku merasa tubuhku berada di sebuah kasur yang cukup lumayan nyaman meski tidak senyaman ranjang yang ada di kamarku.Aku memaksa membuka kedua mataku meski terasa berat. Hanya tertidur begini saja membuatku sudah cukup nyaman. Beberapa hari aku merasa lelah badan ditambah lelah pikiran. Maklum saja, aku masih terbayang penghianatan Aldo berujung batal nikah.Kedua mataku perlahan mengerjap dan kini aku berada di sebuah ruangan bernuansa hijau muda ala rumah sakit. Di sampingku ada Ibu yang tengah tertidur di sofa dan di samping brankar ternyata ada sosok yang sepertinya tertidur bersandar di brankar.“Kenapa aku disini?” Aku membatin akan keberadaanku di rumah sakit. Bahkan jarum infus terpasang di tangan kananku.“Apa yang terjadi?” Aku berusaha memutar ulang kejadian sebelumnya dan yang aku ingat hanya tertidur tiba-tiba.“Masya Allah, bukankah aku waktunya membuat pesanan kue? Aku belum menyiapkan bahan!” Aku berusaha
Tiga hari dirawat akhirnya aku dinyatakan sehat dan diperbolehkan pulang. Angga tentu saja yang paling berperan selama aku dirawat. Dia tetap menjagaku meski aku sudah beberapa kali memintanya pulang dan beristirahat.“Ayo masuk!” Angga membuka pintu mobilnya untukku. Ibu sudah pulang terlebih dahulu diantar Tante Mira. Kini aku di dalam mobil berdua dengan Angga.“Terima kasih sudah mau aku repotkan, Ngga. Setelah mengantarku, sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Kamu harus tetap menjalankan usaha restoran selama aku istirahat!” Aku takut jika nanti dia yang sakit karena kelelahan menjagaku selama dirawat.“Aku akan selalu sehat untukmu, Ris. Ragaku tidak akan pernah sakit selama aku di dekatmu!” Hampir saja aku tertawa dibuatnya. Gombalan itu kini aku mulai terbiasa, meski sebisa mungkin tidak terbawa perasaan.Tidak berapa lama, kami sudah sampai di rumah. Bibirku seketika tersenyum bahagia melihat Ara menyambut kedatanganku. “Mama!” Ara menghamburkan pelukannya padaku.“Ara. Kapa
Pagi ini aku tidak bersemangat sama sekali. Sekedar untuk sarapan saja aku tidak bisa. Mimpi buruk itu terasa nyata sekali. Aku meraih ponsel dan mencari nomor Angga. Aku berharap tidak terjadi apapun padanya. Aku tidak putus asa, kini aku kembali menghubungi Tante Mira setelah kemarin tidak ada respon apapun dari beliau.Ada sedikit rasa tenang dan tidak sabar ketika Tante Mira menjawab teleponku.“Assalamu alaikum, Tante!” “Wa-alaikum salam, Ris!” Suara Tante Mira cukup aneh hari ini. Seperti habis menangis. “Tante, Rista tidak bisa menghubungi Angga dari kemarin. Kira-kira dimana Angga, Te?” Bukannya mendapat jawaban yang aku tunggu, melainkan semakin terdengar isak tangis dari Tante Mira.“Tante, ada apa? Apa yang terjadi?” Aku sudah tidak sabar menunggu jawaban Tante Mira ditambah suara isak tangis yang masih terdengar jelas olehku.“Angga, Angga kritis!” Jantung berdetak begitu kencang dan nyaris keluar. Tubuh mendadak lemas seakan tidak mampu menahan bobot tubuhku. Sebuah pes
Enam hari sudah Angga dirawat di ruang ICU. Selama enam hari pula aku ikut menjaganya selama dia dirawat. Sementara aku mempercayakan semua usaha kepada manajer pilihanku. Kini kami sudah diperbolehkan sesekali masuk ke ruangan karena menurut dokter, kondisi Angga sudah lebih baik.Aku sebenarnya kasihan pada Tante Mira, wajahnya terlihat lelah. “Tante, jika lelah sebaiknya istirahat saja!” Tante Mira rela duduk berlama-lama di kursi yang berada di samping Angga yang belum sadarkan diri.“Tante menunggu anak nakal ini bangun, Nak!” Sesekali Tante Mira terlihat terisak sambil mengusap air mata. Aku mengusap bahu Tante untuk menguatkannya. “Insyaallah, sebentar lagi Angga akan siuman. Semoga doa kita terjawab!” Aku mengusap bahu Tante Mira.“Aamiin!” Kami berdua mengaminkan doa kami.Hampir saja aku tidak percaya, jari Angga terlihat bergerak. Aku mendekat dan memastikan lagi, menunggu pergerakan yang mungkin mustahil terjadi lagi.“Tante, jari Angga bergerak!” “Benarkah?” Aku mengan
Usai bekerja, aku dan Rilo memutuskan ke pantai yang lokasinya memang tidak terlalu jauh dari kota.“Haaaaaaaaaa!” Aku berteriak kencang seperti yang Rilo lakukan sebelum aku.“Bu Rista benci dengan siapa, bisa teriak saja! Aku dulu begitu!” Aku mencoba kembali saran Rilo.“Baik, akan aku coba!”“Aku benci Angga!” Suaraku menggema meski bertabrakan dengan suara ombak yang menggulung indah di sore hari.“Kenapa benci dengan Pak Angga?” Aku malu jika harus mengatakannya karena ini masalah pribadi.“Dia memang menjengkelkan, Rilo!”“Baiklah itu terserah Bu Rista. Yang penting Bu Rista jangan benci Rilo. Rilo tidak mau kehilangan Bu Rista yang sudah Rilo anggap seperti Ibu sendiri!” Dia memang anak yang baik.Rilo berlari ke sebuah warung membeli dua buah kelapa muda untuk kami. Menikmati indahnya sore di pantai sambil ditemani kelapa muda. Ini sungguh nikmat sekali. Semua beban seakan sirna, namun entah nanti. Apakah kembali terngiang tentangnya lagi atau tidak. “Rumah masa kecil Rilo a
Pagi ini aku sudah disibukkan dengan proses pindah ke rumah lama. Rumah penuh kenangan di masa lalu. Ara juga sudah tahu semua alasanku untuk pindah. Rumah belum lama aku tinggali telah menorehkan banyak kenangan buruk.Sebuah truk sudah bersiap melaju ke rumah lama dengan jarak lebih lama. Hati terasa tenang, menjauh dari semua yang pernah mengenalku. Mungkin aku akan dianggap seperti anak kecil yang akan pergi ketika ada masalah. Tapi ini pilihan, aku ingin lepas dari belenggu luka yang pernah mereka torehkan.Untuk pekerjaan hari ini, aku menyerahkan semuanya pada karyawanku. Aku hanya ingin fokus pindah rumah dan menikmati masa berjayanya usahaku saat ini. Usaha kue kering berjalan lancar seperti usaha restoran.Bibirku tersenyum ketika mobil yang aku kendarai sudah memasuki halaman rumah. Hatiku begitu gembira ketika melihat pohon mangga yang ada di depan rumah berbuah lebat. Dulu, Ayah akan mencari buah mangga yang sudah tua kemudian memeramnya di dalam beras. Hanya dalam waktu
Aku benar-benar tidak mau ambil pusing lagi dengan semua orang di kota. Aku tetap pada pendirianku, menghilang sejenak dari hiruk pikuknya kota.[Bilang saja, urusan saya sedang tidak bisa diganggu] Aku tambahkan pesan untuk karyawanku. Sebenarnya aku ingin bertemu Tante Mira, hanya saja aku tidak ingin mendapat luka dari Angga. Sudah cukup semua yang aku rasakan, kini aku ingin membuka lembaran baru di kampung.[Baiklah, orangnya sudah kembali setelah memesan kue kering] Cukup lega setelah mendapat kabar dari karyawanku. Bersyukur sekali memiliki rekan kerja yang bisa dipercaya serta bisa diandalkan.Terlihat sosok lelaki berjalan cepat ke arahku yang tengah menikmati bakwan sayur di belakang rumah.“Mbak Rista, ini ada pisang goreng dari Ibu. Semoga suka ya!” Belum juga habis gorengan buatan Ibu, kini ustadz Fahri datang membawa sepiring pisang goreng.“Terima kasih, Ustadz. Sepertinya enak sekali!” Aku memuji penampilan pisang goreng yang diberikan padaku.“Alhamdulillah jika suka.
Keesokan harinya, aku dikejutkan dengan keadaan ibu yang mendadak demam. Tidak ada kata lain selain membawa Ibu ke klinik terdekat. Aku harap hanya demam biasa. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju ke sebuah klinik yang tidak terlalu besar. Klinik sebagai andalan warga untuk berobat selain puskesmas.Sesampai disana, perawat dengan sigap membawakan kursi roda untuk Ibu. Wajah Ibu bahkan terlihat pucat sekali. Melihat keadaan seperti ini membuatku takut. Takut kehilangan seseorang yang harusnya mendampingiku merawat Ara. Ibu dibawa ke IGD. Sedari tadi Ibu merintih menahan sakit di bagian perutnya. Bibir tidak bisa berhenti melafalkan istighfar melihat Ibu yang tengah merintih. Seorang Ibu yang tidak pernah mengeluh sakit, kini harus terbaring lemas di ranjang.Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata Ibu harus opname karena setelah diperiksa, ternyata asam lambung Ibu sedang naik. Rencana melanjutkan berkebun pun aku batalkan demi menjaga Ibuku.Jarum infus pun mulai dipasang di