Pagi ini sesuai perintah Ibu, Angga datang pagi-pagi saat aku sedang bersiap mengaduk adonan kue. “Sini, biar aku yang ngaduk!” Dia mengambil baskom berisi bahan yang sudah siap diaduk. Dia begitu lihai mengaduk adonan kue kering. “Jangan menatapku terus, nanti jatuh cinta!” Sikapnya tetap sama sejak dulu, kepedean dj jika di depanku.“Ish! Ngapain juga aku cinta sama kamu?” Aku beralih membuat adonan kue lain untuk Ara. Kue lidah kucing dan nastar adalah kesukaan Ara. Tidak sabar melihat senyum Ara nanti saat melihatku datang membawa kue kesukaannya.Ternyata peran Angga membuat pekerjaan menjadi ringan. Kue sebanyak ini bisa menghabiskan waktu seharian, tetapi karena bantuan Angga, kue bisa selesai sampai siang hari termasuk pengemasan.“Ada aku jadi cepat selesai, bukan?” Sahutnya sambil memasukkan beberapa toples ke dalam kardus. “Iya, iya. Terima kasih!” Sahutku sambil mencebik ke arahnya.Usai mengemas semua pesanan, kami segera menghubungi ojek online untuk mengantar pesana
Semua berjalan lancar termasuk kembali ke restoran seperti semula. Semua sudah kembali seperti semula. Aku sebagai pemilik sekaligus pengelola restoran. Begitu pula dengan Angga, dia yang mengelola cabang baru.Seperti rencana kemarin, sepulang dari restoran aku mampir ke asrama sebelum nanti main ke rumah Maya mengantar kue. Hal yang paling membahagiakan saat Ara menyambutku dengan suka cita.“Kue kesukaan Ara, terima kasih, Ma!” Dua kue kesukaan Ara sejak dulu.“Iya dong! Oh ya, bagaimana belajarnya?”“Aman terkendali dong, Ma!” Senang bisa bercengkrama bersama anak semata wayangku. Kami berbagi cerita layaknya seorang sahabat. Memang dekat dengan anak berusia remaja sangat dibutuhkan. Kita akan tahu apa kendala ataupun kesulitan yang dihadapi seorang anak. Bahkan tanpa ditanya pun, seorang anak akan bicara dengan sendirinya.“Om Angga mana, Ma?” Selalu dia mencari sosok Angga.“Sudah ada Mama disini, untuk apa cari Om Angga?” “Om Angga menyenangkan sekali, Ma. Andai punya Ayah ka
Perasaanku masih bercampur aduk, belum lama aku tengah tersakiti mantan tunanganku dan Angga mau memasuki hatiku di saat yang belum tepat. Aldo pun masih tetap mengirim pesan padaku dengan nomor baru. Ingin sekali aku pindah ke tempat yang jauh supaya tidak ada orang yang mengenalku. Aku lelah dipermainkan perasaan.Aku sengaja tidur lebih awal untuk menyambut pesanan kue lagi. Tubuhku benar-benar lelah, harus mengerjakan dua pekerjaan dalam sehari.Tok tokBaru juga kedua mata hendak terpejam, terdengar suara ketukan dari arah jendela kamar. Jendela yang mengarah langsung ke halaman.Aku penasaran, namun aku juga tidak mau membahayakan diriku dengan menyibak tirai kamarku. Selimut kubentangkan dan aku bersembunyi di balik selimut tebalku.Ketukan semakin kencang, aku mulai.merasa risih. Terpaksa aku meraih ponsel dan menghubungi satpam. Aku bersyukur sekali satpam merespon dengan cepat. Tidak berapa lama, ketukan misterius itupun selesai. Terdengar suara sedikit gaduh dari luar. Bah
Perlahan aku mulai sadar meski begitu berat untuk membuka mata. Aku merasa tubuhku berada di sebuah kasur yang cukup lumayan nyaman meski tidak senyaman ranjang yang ada di kamarku.Aku memaksa membuka kedua mataku meski terasa berat. Hanya tertidur begini saja membuatku sudah cukup nyaman. Beberapa hari aku merasa lelah badan ditambah lelah pikiran. Maklum saja, aku masih terbayang penghianatan Aldo berujung batal nikah.Kedua mataku perlahan mengerjap dan kini aku berada di sebuah ruangan bernuansa hijau muda ala rumah sakit. Di sampingku ada Ibu yang tengah tertidur di sofa dan di samping brankar ternyata ada sosok yang sepertinya tertidur bersandar di brankar.“Kenapa aku disini?” Aku membatin akan keberadaanku di rumah sakit. Bahkan jarum infus terpasang di tangan kananku.“Apa yang terjadi?” Aku berusaha memutar ulang kejadian sebelumnya dan yang aku ingat hanya tertidur tiba-tiba.“Masya Allah, bukankah aku waktunya membuat pesanan kue? Aku belum menyiapkan bahan!” Aku berusaha
Tiga hari dirawat akhirnya aku dinyatakan sehat dan diperbolehkan pulang. Angga tentu saja yang paling berperan selama aku dirawat. Dia tetap menjagaku meski aku sudah beberapa kali memintanya pulang dan beristirahat.“Ayo masuk!” Angga membuka pintu mobilnya untukku. Ibu sudah pulang terlebih dahulu diantar Tante Mira. Kini aku di dalam mobil berdua dengan Angga.“Terima kasih sudah mau aku repotkan, Ngga. Setelah mengantarku, sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Kamu harus tetap menjalankan usaha restoran selama aku istirahat!” Aku takut jika nanti dia yang sakit karena kelelahan menjagaku selama dirawat.“Aku akan selalu sehat untukmu, Ris. Ragaku tidak akan pernah sakit selama aku di dekatmu!” Hampir saja aku tertawa dibuatnya. Gombalan itu kini aku mulai terbiasa, meski sebisa mungkin tidak terbawa perasaan.Tidak berapa lama, kami sudah sampai di rumah. Bibirku seketika tersenyum bahagia melihat Ara menyambut kedatanganku. “Mama!” Ara menghamburkan pelukannya padaku.“Ara. Kapa
Pagi ini aku tidak bersemangat sama sekali. Sekedar untuk sarapan saja aku tidak bisa. Mimpi buruk itu terasa nyata sekali. Aku meraih ponsel dan mencari nomor Angga. Aku berharap tidak terjadi apapun padanya. Aku tidak putus asa, kini aku kembali menghubungi Tante Mira setelah kemarin tidak ada respon apapun dari beliau.Ada sedikit rasa tenang dan tidak sabar ketika Tante Mira menjawab teleponku.“Assalamu alaikum, Tante!” “Wa-alaikum salam, Ris!” Suara Tante Mira cukup aneh hari ini. Seperti habis menangis. “Tante, Rista tidak bisa menghubungi Angga dari kemarin. Kira-kira dimana Angga, Te?” Bukannya mendapat jawaban yang aku tunggu, melainkan semakin terdengar isak tangis dari Tante Mira.“Tante, ada apa? Apa yang terjadi?” Aku sudah tidak sabar menunggu jawaban Tante Mira ditambah suara isak tangis yang masih terdengar jelas olehku.“Angga, Angga kritis!” Jantung berdetak begitu kencang dan nyaris keluar. Tubuh mendadak lemas seakan tidak mampu menahan bobot tubuhku. Sebuah pes
Enam hari sudah Angga dirawat di ruang ICU. Selama enam hari pula aku ikut menjaganya selama dia dirawat. Sementara aku mempercayakan semua usaha kepada manajer pilihanku. Kini kami sudah diperbolehkan sesekali masuk ke ruangan karena menurut dokter, kondisi Angga sudah lebih baik.Aku sebenarnya kasihan pada Tante Mira, wajahnya terlihat lelah. “Tante, jika lelah sebaiknya istirahat saja!” Tante Mira rela duduk berlama-lama di kursi yang berada di samping Angga yang belum sadarkan diri.“Tante menunggu anak nakal ini bangun, Nak!” Sesekali Tante Mira terlihat terisak sambil mengusap air mata. Aku mengusap bahu Tante untuk menguatkannya. “Insyaallah, sebentar lagi Angga akan siuman. Semoga doa kita terjawab!” Aku mengusap bahu Tante Mira.“Aamiin!” Kami berdua mengaminkan doa kami.Hampir saja aku tidak percaya, jari Angga terlihat bergerak. Aku mendekat dan memastikan lagi, menunggu pergerakan yang mungkin mustahil terjadi lagi.“Tante, jari Angga bergerak!” “Benarkah?” Aku mengan
Usai bekerja, aku dan Rilo memutuskan ke pantai yang lokasinya memang tidak terlalu jauh dari kota.“Haaaaaaaaaa!” Aku berteriak kencang seperti yang Rilo lakukan sebelum aku.“Bu Rista benci dengan siapa, bisa teriak saja! Aku dulu begitu!” Aku mencoba kembali saran Rilo.“Baik, akan aku coba!”“Aku benci Angga!” Suaraku menggema meski bertabrakan dengan suara ombak yang menggulung indah di sore hari.“Kenapa benci dengan Pak Angga?” Aku malu jika harus mengatakannya karena ini masalah pribadi.“Dia memang menjengkelkan, Rilo!”“Baiklah itu terserah Bu Rista. Yang penting Bu Rista jangan benci Rilo. Rilo tidak mau kehilangan Bu Rista yang sudah Rilo anggap seperti Ibu sendiri!” Dia memang anak yang baik.Rilo berlari ke sebuah warung membeli dua buah kelapa muda untuk kami. Menikmati indahnya sore di pantai sambil ditemani kelapa muda. Ini sungguh nikmat sekali. Semua beban seakan sirna, namun entah nanti. Apakah kembali terngiang tentangnya lagi atau tidak. “Rumah masa kecil Rilo a