Beranda / Pernikahan / Membalas Hinaan Mantan Suami / Bab 1. Tidak sengaja bertemu

Share

Membalas Hinaan Mantan Suami
Membalas Hinaan Mantan Suami
Penulis: Eka Sa'diyah

Bab 1. Tidak sengaja bertemu

Hari ini aku memutuskan pindah rumah lebih dekat dengan rumah makan milik mendiang ayahku yang sudah aku kelola usai perceraianku dengan Mas Bagas. Sengaja aku memilih pindah rumah dengan alasan supaya bisa cepat sampai ke restoran apalagi lokasi boarding school Ara juga tidak jauh dari sana. Aku menggunakan jasa sekaligus yang akan mengatur semua desain rumahku. Aku memilih rumah yang tidak terlalu besar, karena aku hanya tinggal bersama Ibuku saja. 

“Ara, sudah disiapkan semua keperluannya?” tanyaku pada Ara, gadis kecilku yang kini sudah menginjak remaja. 

“Sudah, Ma. Tingga pembalut saja yang belum!” Sahut Ara sambil memainkan ponsel miliknya sebelum nanti akan diberikan padaku karena ada larangan membawa ponsel di asrama. 

Ara berusia 13 tahun dan kini masuk ke salah satu boarding school ternama di kota ini. Bukan tanpa alasan aku memilih sekolah berasrama karena aku ingin Ara menjadi wanita yang berakhlak yang baik dan wanita yang paham ilmu agama.

Aku mampir sejenak ke sebuah supermarket terbesar di kota ini. Bukan karena hidupku berubah menjadi hedon, tetapi aku juga butuh beberapa barang yang harus aku beli untuk keperluan pribadi. Usai memarkirkan mobil hitamku, aku gegas mengambil troli yang sudah berjajar rapi di tempatnya.

“Eh, ada si udik kampungan!” Aku sangat mengenali suara itu. Meski sudah lima tahun tidak bertemu namun suaranya masih sangat jelas ku kenali.

“Ma, ada Papa disana! Kenapa harus bertemu Papa juga sih!” Aku berbalik menatap pemilik suara yang berada di belakangku. 

Sebenarnya aku juga sudah sangat kesal meski hanya mendengar suaranya. Sama seperti yang dirasakan Ara. Lima tahun lalu memang sangat menyakitkan, dimana kami berdua selalu dihina dengan alasan aku tidak bekerja dan miskin. Sedangkan Ara, dihina karena saat itu mengalami kesulitan dalam belajar sebab gangguan pada motoriknya, sehingga nilainya turun. Aku cukup menyadari dengan keterbatasan Ara. Setelah bercerai dengannya, aku berusaha keras supaya Ara bisa belajar dengan lancar meski aku tetap harus mengembangkan restoran milik mendiang ayahku yang dulunya hanya warung biasa.

“Ara, kamu nggak salim?” Terlihat Mas Bagas mengulurkan tangannya kepada Ara. Aku melihat Ara mencium tangan Mas Bagas dengan wajah terpaksa. Bisa jadi karena ada aku, ibunya. Usai mencium punggung telapak tangan, Ara pun kembali di sampingku.

“Penampilanmu tetap kampungan ya, Rista. Pakai jilbab besar kayak mau shalat saja!” Selalu saja penampilan berhijabku yang selalu dihina. Aku diam dan hendak berlalu meninggalkan ocehannya. Akan tetapi tangan kanannya dibentangkan untuk mencegahku pergi.

“Rista, aku belum selesai bicara padamu! Kamu penampilan begini, memangnya mau pengajian di mall?” Semakin kesal karena hinaannya. Andai tidak ada orang, ingin aku tabrak saja dia pakai troli.

“Pa. Ngapain hina kita terus! Papa nggak puas sudah menghina kita dan mengusir kita dulu?” Tatapan mata Mas Bagas berubah nyalang ke arah Ara. Tiba-tiba kedua mata Mas Bagas menatap almamater yang dikenakan Ara. Tertulis sebuah nama instansi pendidikan tergolong mahal. Mahal karena semua fasilitas serta sistem pendidikannya juga terkenal baik.

“Attaqwa. Kamu sekolah disana?” Aku tersenyum melihat mantan suamiku sepertinya tidak percaya jika Ara bersekolah disana.

“Iya, kenapa memangnya, Mas? Ada yang salah?” Aku melipat kedua tanganku di dada melihat wajah Mas Bagas yang terkejut.

“Paling kamu minta keringanan, tidak mungkin kamu bisa menyekolahkan Ara di sana. Sekarang tinggal minta surat keterangan miskin bisa bersekolah dimana saja termasuk sekolah mahal pun!” Aku menggeleng pelan atas sikap mantan suamiku yang tidak terkendali dalam berucap. Aku maklumi, karena mertuaku juga gaya bicaranya sama dengan mantan suamiku.

“Terserah kamu, Mas. Aku pergi dulu! Ayo, Ra!” Aku dan Ara memilih berlalu meninggalkan Mas Bagas dan memulai tujuan kami berbelanja.

“Ma, mulut Papa kok tetep ember ya. Mirip sama Oma!” Tidak salah jika Ara bicara seperti itu. Bahkan setelah palu diketuk, Ara dimarahi habis-habisan sama neneknya tanpa sebab yang jelas. Setelah kejadian itu, aku memblokir semua nomor ponsel keluarga Mas Bagas tanpa terkecuali.

Aku memilih beberapa cemilan untuk Ara sebagai bekalnya nanti di asrama, setelah selesai semua, kami segera membayar dan lagi-lagi kedua mataku mendadak jengah melihat tiga manusia ember di depanku.

“Loh, Rista. Kamu ternyata belum berubah juga ya. Penampilan tetep kampungan juga!” Ingin rasanya aku sumpal mulutnya pakai kapas segede gaban. Sudah tua bukannya tobat, malah semakin ember.

“Oh, Rista. Pantas saja Mas Bagas lebih memilihku daripada kamu. Habisnya kamu memang tidak bisa menjaga penampilan!” Kini kedua mataku beralih ke arah wanita seusiaku. Dia dulu sahabatku, namanya Dara. Setelah perceraianku, dia menikah dengan Mas Bagas. Itu pun aku dengar dari Ibuku yang mendapat undangan langsung dari Mas Bagas. 

Aku malas menanggapinya dan berlalu begitu saja. Aku biarkan dulu dia menghinaku habis-habisan karena setelah ini, mereka pasti akan tercengang dengan perubahanku.

“Oma, penampilan Mama itu lebih baik daripada terbuka seperti tante ini. Ara malah seneng punya Mama yang menjaga auratnya. Ara saja ingin seperti Mama!” Aku meraih tangan Ara dan berlalu ke lantai dua untuk memeriksa restoran di sana. Aku membuka cabang di mall ini karena menurutku akan cukup menguntungkan.

Aku duduk bersama Ara, karyawanku langsung menyuguhkan minuman untuk kami. Ternyata mereka juga datang ke restoran ini. Pasti mereka akan menghinaku dan Ara lagi.

“Kamu ngapain makan disini. Restoran terbaik ini tidak cocok untukmu!” Dara melipat kedua tangannya di dadanya sembari menatap remeh ke arahku.

“Memangnya tidak boleh makan di tempat seperti ini?” Sahutku sambil membenarkan hijab Ara yang miring sedikit.

“Orang kampung tidak cocok makan disini!” imbuh mantan mertuaku.

Tidak berapa lama, salah satu manajer datang membawa berkas untukku. Menurutku ini kebetulan sekali untuk membalas hinaan mereka.

“Bu Rista. Semua laporan dua bulan sudah saya taruh di meja. Dan ini, dokumen perpanjangan sewa lokasi. Kita diberi harga khusus kalau mau perpanjang mulai sekarang!” Aku memeriksa berkas perpanjangan sewa lokasi.

“Kenapa kamu memanggilnya seperti bos?” Dara sepertinya masih penasaran dengan karyawanku.

Apa yang akan dikatakan karyawan itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status