Aku mengabaikan panggilan dari mantan suamiku itu. Menurutku itu lebih baik daripada harus menanggapi ucapannya yang tidak penting. Aku memilih pergi ke dapur menyiapkan makan siang untukku dan Ibu. Meski sudah berkecukupan, aku tetap melakukan pekerjaan rumah sendiri. Tidak mempekerjakan asisten rumah tangga. Aku tidak suka ada orang asing tinggal di rumahku.
“Rista, ponselmu berdering dari tadi!” Panggilan Ibu membuyarkan kegiatanku memasak. Aku mengambil ponsel dan menolak panggilan darinya.“Mas Bagas menghubungiku lagi, Bu. Tidak pantas jika Rista menerima panggilannya, karena Maa Bagas juga sudah memiliki istri!” “Mungkin ingin bicara sama Ara!” Ibuku masih berharap pada Mas Bagas untuk mengingat Ara.“Mas Bagas sudah tahu Ara di asrama. Jadi tidak ada alasan menghubungiku untuk bicara dengan Ara, Bu!” Ibuku mengangguk pelan. Mungkin paham dengan yang aku katakan. Memang tidak pantas jika kami saling berhubungan meski melalui sambungan telepon. Apalagi soal Ara, Mas Bagas bisa langsung menghubungi pihak yayasan dan bicara langsung pada Ara.Ting TingTingBeberapa pesan masuk dari nomor Mas Bagas. Tanpa aku baca, aku segera menghapusnya kemudian menonaktifkan ponselku supaya tidak menggangguku.Mood Ku benar-benar berantakan sejak bertemu dengan Mas Bagas. Imbasnya, makanan yang aku buat tidak terasa enak. Rasanya hambar tidak karuan.“Bu, tolong cicipi masakan Rista! Benar-benar kacau hari ini!” Ibu mengambil sendok dan mencicipi kuah capcay yang aku buat. Tanpa berkomentar, Ibu meraih beberapa bumbu dan perasa untuk ditambahkan ke dalam capcay buatanku.“Istirahatlah, Rista. Sebentar lagi dhuhur, lebih baik tenangkan dirimu di mushola. Berdzikirlah untuk menenangkan pikiran kamu!” Aku menurut apa kata Ibuku. Memang benar, setiap aku merasa gelisah, khawatir dan perasaan sedang kesal, Ibu selalu menyuruhku berwudhu kemudian berdzikir sampai benar-benar tenang.Aku mengambil wudhu sebelum memasuki mushola kecil di rumah ini. Aku menyukai rumah yang terdapat mushola pribadi di dalamnya, sama seperti mendiang ayah. Rumah diwajibkan memiliki mushola di dalamnya meski tidak besar.Setelah melakukan shalat sunnah dua rakaat, aku lanjutkan dengan berdzikir hingga adzan dzuhur tiba. Tidak berapa lama, Ibu menyusulku di mushola untuk melakukan shalat dzuhur berjamaah. Usai makan siang, aku memeriksa semua laporan dari beberapa manajer yang ditugaskan di beberapa cabang. Aku benar-benar baru bisa menikmati beberapa hari ini setelah lima tahun berkecimpung langsung demi berjalannya usaha warisan ayah. “Ada masalah, Ris?” Ibu melihatku berkutat dengan laptop usai makan siang.“Tidak ada, cuma memeriksa laporan harian saja, Bu. Alhamdulillah, sekarang Rista bisa sedikit lebih tenang karena semua sudah berjalan lancar,” Ibu duduk di sampingku usai membawakan aku camilan serta teh hangat untukku.“Alhamdulillah. Semua ini hasil jerih payahmu dan juga ayahmu. Ibu bersyukur sekali, memiliki anak perempuan sepertimu. Aldi bagaimana? Apakah dia sudah menghubungimu hari ini?” Tiba-tiba Ibu menanyakan adikku. Anak bungsu yang tengah menempuh pendidikan di Yaman dengan jalur beasiswa prestasi. Adik lelaki ku jarang pulang, karena diperbantukan mengajar di salah satu yayasan di sana. “Hari ini belum menghubungi Rista, Bu. Mungkin nanti malam!” Aku mencoba menghibur Ibu yang rindu pada anak lelakinya. Aldi juga hampir setiap hari berkirim pesan padaku meski tidak bicara langsung melalui sambungan telepon.“Baiklah. Ibu mau keluar menyiram tanaman dulu!” Di halaman rumah terdapat beberapa bunga mawar yang aku pesan khusus untuk Ibu. Bukan tanpa alasan, bunga mawar adalah bunga kesukaan Ibu dan Ayah.“Ris-Rista. Lihat si Lala di depan!” Ibuku masuk dengan nafas tersengal-sengal. Tanpa berpikir panjang, aku berlari keluar rumah dan mendapati kondisi Lala dengan wajah lebam. Entah karena apa, yang jelas Lala jatuh terduduk dengan kondisi lebam di wajah. Sebenarnya aku malas sekali menolongnya, tetapi karena Ibuku terus mendesak, akhirnya aku terpaksa menghampirinya.“La, kamu nggak apa-apa?” Aku mencoba tetap berbaik hati padanya. Akan tetapi rasa kesalku bertambah ketika kedua mata Lala menatap nyalang ke arahku.“Ck, ngapain kamu kemari? Mau menertawakan aku?” Lala berdiri sambil mengibaskan rambutnya yang berwarna pirang yang di ombre dengan warna ungu kemudian pergi menggunakan motor scoopy berwarna pink. Ibu hanya beristighfar melihat sikap Lala barusan.“Kok ada ya, gadis sejahat itu!” Ibuku menghela nafas besar menatap Lala yang semakin menjauh. Aku melihat guratan kecewa yang terpancar dari wajah Ibuku.“Sudah turunan, Bu. Semua begitu!” Sahutku sambil berlalu.“Huss, tidak boleh begitu. Mungkin dia tidak ada yang membimbing ke jalan yang benar!” Ibuku selalu begitu. Padahal sudah jelas Lala menunjukkan sikap buruknya padaku.Aku merasa akan ada banyak gangguan setelah pindah kemari. Tapi bagaimana lagi, aku butuh tempat tinggal yang mudah menjangkau tempat usahaku serta asrama Ara.Ponselku kembali bergetar panggilan dari nomor baru. Aku cukup tenang karena bukan nomor Mas Bagas tadi. Aku berharap jika ini adalah nomor salah satu pemilik lokasi yang aku sewa untuk pembukaan cabang selanjutnya.“Halo.”Aku tidak mendengar suara siapapun disana.“Halo, Rista. Aku ingin bicara padamu sebentar,” seketika aku menutup panggilan setelah tahu pemilik suara tersebut. Mas Bagas ternyata menghubungiku menggunakan nomor ponsel lain. Aku tidak menyangka dia tetap menghubungiku meski aku sudah menolaknya dari tadi.Ting[Rista, aku rindu padamu] Mual sekali aku membacanya. Tadi pagi menghinaku dan Ara, siang ini dia rindu padaku. Benar-benar pagi kedelai sore jadi tempe. Aku hapus pesannya, kemudian memblokir nomor baru yang digunakan Mas Bagas. Aku benar-benar ingin menjauh dari mantan suami dan keluarganya yang gila harta. TingTingKedua mataku membulat sempurna melihat sebuah pesan dari nomor asli Mas Bagas yang belum sempat aku blokir. Benar-benar gila, sampai dia berani mengirim pesan memalukan seperti itu padaku.Pesan apa yang dikirim Bagas?Tunggu Bab selanjutnya.Aku tidak menyangka dengan jalan pikiran Mas Bagas dengan mengirim pesan itu padaku.“Apa dia keracunan makanan sampai tidak bisa berpikir jernih?” Gumamku sambil menghapus pesan dari Mas Bagas. Aku juga segera memblokir nomor ponselnya.“Kamu kenapa ngedumel sendiri?” “Mas Bagas, Bu. Setelah melihat kesuksesanku, tiba-tiba mengajak rujuk. Padahal tadinya menghina penampilanku!” Ibu menggeleng pelan sesekali terdengar lantunan istighfar dari bibirnya. Mungkin Ibu juga terkejut dengan sikap yang diambil mantan suamiku ini.“Ibu tidak ingin kamu rujuk dengan Bagas. Ibu sudah terlalu kecewa dengannya, Ris!”“Rista juga tidak mau, Bu. Kalau Rista sampai rujuk, sama saja menjadi pelakor. Lagian Rista tidak mau jatuh ke lubang yang sama. Rista cukup bahagia menjalani hidup seperti ini. Membesarkan anak dan melanjutkan usaha keluarga!” Tidak banyak yang aku minta setelah perceraian. Jika setelah perceraian banyak yang menginginkan pasangan yang lebih baik. Namun bukan itu yang aku inginkan
[Jangan kira kamu bisa mendapatkan semua yang kamu inginkan. Aku tetap akan merampasnya darimu] Sebuah pesan dari nomor baru masuk ke ponselku. Aku sama sekali tidak takut dengan ancaman yang bisa dipastikan dari keluarga Mas Bagas. Aku menyodorkan ponselku pada Maya, seketika dia membacanya dan berakhir menggeleng kepalanya pelan.“Keluarga benalu, semua keturunannya juga benalu semua!” sahut Maya. Maya kembali meletakkan ponsel di meja. “Iya, semua menyusahkan termasuk istrinya itu!” “Aku dulu tidak suka saat kalian bersahabat. Dara bukanlah gadis baik, dia akan memanfaatkan pertemanan! Dara sudah mengincar Bagas sejak kalian menikah. Perselingkuhan mereka akhirnya terkuak menjelang kalian bercerai!” Aku mengangguk pelan, memang aku dulu curiga saat Mas Bagas tiba-tiba sering mendapat sesuatu dari seseorang. Barang-barang itu adalah kesukaan Mas Bagas dan selama menikah, hanya aku dan Dara yang mengetahuinya karena aku sering bercerita mengenai Mas Bagas pada Dara. Awalnya aku ab
Aku mengabaikan sejenak orang yang sedang mengawasiku. Tidak peduli dia siapa yang penting disini aku tidak merasa mengganggunya.“Tidak terasa kita sudah tua begini!” Sahut Angga. Hampir dua belas tahun tidak saling bertemu, jadi ada rasa rindu akan kebersamaan serta kekompakan kami dulu.“Iya, rasanya kangen banget sama teman-teman sekolah,” Maya menimpali ucapan Angga.“Kalian kompak sekali!” Sahutku begitu saja. Sepertinya menjodohkan mereka yang masih sama-sama lajang adalah rencana yang cukup baik. “Bagaimana kalau aku bikin acara reuni untuk teman sekelas?” Sebetulnya itu ide bagus, tapi pasti nanti aku bertemu dengan Dara. Sahabat yang dulu menjalin hubungan dengan Mas Bagas sebelum kami bercerai. Ah, biarkan saja. Aku juga sudah tidak peduli dengan mereka. “Ide bagus itu, Angga. Nostalgia jaman sekolah!” Aku pun menyetujui ide Angga mengadakan acara reuni. Tidak masalah jika nanti ada yang akan menggangguku. Aku sudah tahu resiko yang nantinya aku hadapi.“Kita catat semua
Reuni memang masih diselenggarakan satu bulan lagi, mengingat perlu banyak persiapan. Termasuk mengundang guru-guru kami saat masih SMA. Meski sudah menjadi alumni, namun jasa guru tidak pernah terbalaskan.TingPonselku bergetar, aku lihat sebuah pesan masuk dari nomor baru.[Ris, sudah tidur?] Sebuah pesan dari Angga. Aku bisa menebaknya melalui foto profilnya.[Belum, ada apa?] Aku membalas pesannya.[Ya sudah, cepat tidur karena besok kamu pasti sibuk dengan restoran kamu] Aku tidak lagi menanggapi pesan yang dikirim Angga padaku. Aku meletakkan kembali ponselku di nakas dan bersiap hendak ke peraduan. Pikiranku melayang akan hari esok, tidak lupa harapan aku lantunkan sebelum aku tidur. Baru juga hendak memejamkan kedua mataku, ponselku lagi-lagi berdering. Aku melihat dengan jelas foto profilnya. Aku langsung menonaktifkan ponselku supaya tidak lagi berhubungan dengannya.Dini hari, aku merasa tubuhku diguncang pelan oleh seseorang.“Ris, Rista. Bangun cepat!” aku sangat mengen
Usai mengunjungi Ara, aku gegas pulang ke rumah. Aku sudah panas usai melihat Dara dan juga Mas Bagas. Mood Ku benar-benar berantakan karena ulah mereka di depan Ara. Andai Ara tidak di antara kami, mungkin aku sudah menendang wajahnya yang tidak tahu malu.Sesampai di pos satpam, aku melihat mantan mertuaku dan juga Lala. Lala sudah sadar dan masih mengenakan pakaian semalam. Apa mungkin Lala baru sadar siang ini? Aku melajukan mobilku menuju ke rumahku.“Assalamu alaikum!” Aku mencium punggung telapak tangan Ibuku.“Waalaikum salam!” “Bagaimana Ara? Apa dia baik-baik saja?” Tanya Ibu kepada cucu kesayangannya.“Alhamdulillah, Bu. Ara ternyata lebih nyaman di asrama! Badannya juga terlihat lebih berisi,” aku sengaja menyembunyikan kejadian memalukan di asrama tadi daripada membuat beban pikiran Ibuku.Aku duduk bersama Ibu menikmati sejuknya angin siang hari. Apalagi di teras rumah terdapat pohon mangga yang cukup rindang. Sekotak buah potong yang aku beli sebelum pulang menjadi cam
Satu bulan berlalu dan tepat hari ini adalah acara reuni dilaksanakan. Aku menggunakan gamis berwarna senada. Sebuah cincin berlian tidak lupa kusematkan di jari manisku. Cincin berlian hasil kerja kerasku usai bercerai dengan Mas Bagas.“Kamu cantik sekali, Nak. Ibu hanya bisa mendoakan, semoga kamu diberikan kebahagiaan!” Ibu mengusap kepalaku yang tertutup hijab lebar yang menjuntai. Penampilanku ini mungkin akan dianggap memalukan oleh sebagian orang. Apalagi saat masih sekolah, aku selalu berpenampilan modis tanpa hijab. Aku berhijab ketika menikah dengan Mas Bagas sebagai baktiku menjadi seorang istri yang harus menjaga kehormatannya.“Rista sudah cukup bahagia bersama Ibu dan Ara. Untuk saat ini, belum ada kebahagiaan lain selain Ibu dan Ara!” Aku mencium punggung telapak tangan Ibuku saat akan pergi menghadiri acara reuni. Sebenarnya aku juga sudah tidak sabar bertemu teman-teman paling gokil.Mobil yang kukendarai sudah mulai memasuki area parkir. Samar-samar aku melihat Dara
Aku merasa sangat jengah melihat penampilan Dara seperti bulan lalu saat ke asrama. Aku sendiri bahkan ikut malu dengan penampilan Dara yang tidak lain adalah ibu tiri Ara.“Mama!” Ara menghamburkan pelukannya padaku, begitulah jika lama tidak bertemu. Kemudian dia mencium punggung telapak tangan Maya dan Angga. “Hai gadis cantik!” Sapa Angga pada Ara. “Hai, Om. Bagaimana kabarnya?” “Alhamdulillah. Om selalu baik! Ara nyaman tinggal di Asrama?”“Nyaman dong, Om. Kalau pun rindu, pasti hanya rindu pada Mamaku yang sangat baik dan cantik!” “Nona kecil, kapan liburan? Tante mau ajak jalan-jalan ke Malang!” Wajah Ara seketika terlihat begitu ceria usai mendengar ajakan Maya berlibur ke luar kota. Apalagi kota yang terkenal dengan buah apelnya itu.“Tiga bulan lagi Ara udah libur sekolah, Te. Sepertinya rencana Tante sangat bagus. Ara ingin sekali jalan-jalan ke tempat yang sejuk!” “May, Ara saja yang kamu ajak! Aku juga ikut dong!” Angga ternyata tidak mau ketinggalan. Pria berusia k
Wajah Mas Bagas kali ini cukup berbeda ketika tiba-tiba mendatangi meja makan kami. Aku lihat Ara begitu asyik menikmati ikan bakar bersama kedua temanku.“Ara, Ayah ingin bicara padamu. Ayah rindu padamu!” Ara menghentikan aktivitas makannya sejenak dan menatap sang ayah yang sudah lima tahun menelantarkannya.“Untuk apa?” Suara Ara terlihat cukup singkat dan lebih mengarah ke sikap judes.“Ayah rindu!” Sahut Mas Bagas. Aku mengamati sikap Mas Bagas memang cukup berbeda. Keangkuhannya seakan sirna saat bertemu Ara.“Sebaiknya ayah fokus sama istri ayah saja. Kalau ayah rindu pada Ara, nanti istri ayah marah sama Ara!” Ara kembali melanjutkan makanannya tanpa ada beban sama sekali.“Kenapa kamu begitu pada ayah?” Mas Bagas masih berharap Ara bersikap baik padanya.“Kenapa ya? Karena Ara sudah tidak berharap punya ayah seperti anda. Sepertinya Ara lebih menyukai seorang Ayah yang sikapnya seperti Om Angga!” Uhuk uhukAku melihat Angga terbatuk karena ucapan Ara yang mungkin ini sangat