[Jangan kira kamu bisa mendapatkan semua yang kamu inginkan. Aku tetap akan merampasnya darimu]
Sebuah pesan dari nomor baru masuk ke ponselku. Aku sama sekali tidak takut dengan ancaman yang bisa dipastikan dari keluarga Mas Bagas. Aku menyodorkan ponselku pada Maya, seketika dia membacanya dan berakhir menggeleng kepalanya pelan.“Keluarga benalu, semua keturunannya juga benalu semua!” sahut Maya. Maya kembali meletakkan ponsel di meja. “Iya, semua menyusahkan termasuk istrinya itu!” “Aku dulu tidak suka saat kalian bersahabat. Dara bukanlah gadis baik, dia akan memanfaatkan pertemanan! Dara sudah mengincar Bagas sejak kalian menikah. Perselingkuhan mereka akhirnya terkuak menjelang kalian bercerai!” Aku mengangguk pelan, memang aku dulu curiga saat Mas Bagas tiba-tiba sering mendapat sesuatu dari seseorang. Barang-barang itu adalah kesukaan Mas Bagas dan selama menikah, hanya aku dan Dara yang mengetahuinya karena aku sering bercerita mengenai Mas Bagas pada Dara. Awalnya aku abaikan saja, setelah memergoki keduanya dalam satu mobil, akhirnya aku mundur. Ditambah hinaan keluarga miskin dari keluarganya aku terima setiap hari.Kami asyik mengobrol mengenang masa sekolah kami sesekali membahas kendala usaha kami masing-masing. Aku dan Maya tidak pernah sungkan jika membutuhkan solusi. Tok tok tokSeseorang mengetuk pintu ruang kerjaku, aku berjingkat membuka pintu. Ternyata karyawanku yang mengetuk pintu dengan wajah gelisah.“Ada apa?” Tanyaku padanya.“Ada gadis pirang meminta jatah pada kasir, katanya dia adik ipar!” Ternyata gangguannya belum selesai juga.“Ada apa, Ris?” Maya akhirnya menghampiri seraya bertanya padaku.“Ada keluarga benalu minta duit!” Aku dan Maya akhirnya keluar dari ruangan kerja dan mencari sumber masalah yang datang.Aku terkekeh melihat penampilan Lala, rambut di ombre ditambah baju yang dikenakannya tidak pas sama sekali, kostum kemarin masih nyambung, sekarang sungguh di luar nalar. Maya tertawa keras melihat adik Mas Bagas dengan teman lelakinya mirip preman. “Heh, bocil! Begini yang diajarkan Bagas sama kamu? Tadi dia ngancam, eh sekarang kurcacinya datang malak duit!” Mulut Maya memang lemas sekali. Mengatai Lala kayak kurcaci. Memang tidak salah dia mengatakan begitu, karena memang tinggi tubuh Lala tidak sampai 150 cm. Aku berusaha tetap diam, karena aku tidak boleh ikutan menghina postur tubuh Lala meski aku sebenarnya ingin tertawa.“Kamu ngapain? Mau malak duit?” Belum juga aku bertanya, Maya sudah mendahuluiku bertanya pada Lala. Wajah Lala tidak menunjukkan keramahan sama sekali termasuk lelaki di sampingnya.“Bukan urusanmu, aku kesini minta jatah!” Teriak Lala. Aku meraih ponsel dan memanggil salah satu tim keamanan. Di seberang restoran berdiri kantor polisi dan kebetulan sekali aku mengenal salah satu dari mereka. Aku merekam kejadian Lala meminta jatah uang dan aku kirim kepada salah satu polisi yang aku kenal.BrakLala menggebrak meja kasir membuat karyawan yang menjaga kasir ketakutan.“Biarkan, sebentar lagi akan ada kejutan untuknya!” Aku biarkan dia mengambil uang di kasir, karyawan yang lain sudah aku perintahkan merekam semua kejadian ini. Kemudian memposting di dunia maya. Setidaknya jika diviralkan, akan ada pelajaran yang dia dapatkan. Dia terlihat maruk sekali ketika laci kasir terbuka. Bersama teman lelakinya, dia memasukkan semua uang ke dalam sebuah kantong terbuat dari kain. Ya, mirip perampok, hanya saja dia baru belajar jadi perampok.“Angkat tangan!” Ternyata polisi yang aku hubungi membawa rekannya juga untuk meringkus mereka.“A-aku tidak salah, Pak. Aku hanya minta uang jajan!” Wajah pucat hingga otak dan mulutnya tidak sinkron. Mana ada orang minta jajan dengan cara seperti itu. Akhirnya dia bersama teman lelakinya dibawa ke kantor polisi. Cukup mudah menanganinya tanpa mengotori tanganku. Biarkan saja mereka berdua menjalani proses hukum. Aku juga tidak masalah sebagian uang yang diambilnya dijadikan barang bukti. Toh, aku sudah mengajarkan pada kasir jika sebagian uang yang nominal besar disimpan terlebih dahulu sesuai nominal modal yang dikeluarkan.“Paling juga emaknya akan kemari menuntut kamu, Ris. Anaknya kamu masukkan ke kantor polisi!” Sahut Maya saat kami memandang Lala digelandang ke kantor polisi. “Biarin, lagian karyawanku juga sudah memviralkan dia!” Aku duduk kembali ke ruang kerja bersama Maya.Benar dugaan Maya, tidak lama kami saling mengobrol, mantan Ibu mertua datang bersama istri Mas Bagas. Suasana kembali gaduh, untung saja pelanggan sedang sepi jadi tidak terlihat memalukan karena ulah mereka.“Heh, wanita tidak tahu diri! Bebaskan anakku!” Tunjuk Nani padaku. “Bebaskan Lala, Rista. Kamu tidak berhak memenjarakannya!” Dara ikut-ikutan menjadi kompor.Aku menatap dua wanita beda generasi di depanku. Aku melipat tanganku di dada kemudian menatap mereka satu persatu.“Ngapain kamu menatap kami seperti itu?” Dara tidak terima dengan tatapanku. Ini membuatku semakin ingin mengerjainya, andai boleh diizinkan.“Jadi, jika kalian berdua tidak terima Lala masuk penjara atas kasus perampokan, itu artinya kalian berdua adalah dalangnya!” Seketika mulut mereka terdiam usai mendengar pernyataanku.“Jangan asal menuduh! Itu fitnah!” jari telunjuk Dara diarahkan padaku. Aku terkekeh melihat dua wanita ini. “Langsung ke kantor polisi saja. Polisi sudah mengantongi bukti berupa video saat Lala dan teman lelakinya sedang beraksi!” “Apa? Bukti?” Nani terdengar tidak percaya saat aku mengatakan bukti sudah didapatkan polisi.Wajah mereka berdua berubah pucat kemudian pergi begitu saja. Bisa dipastikan jika Lala menghubungi mereka berdua. Kemudian mereka datang ke restoran untuk memarahiku.“Begitu saja kemampuannya?” Maya terkekeh di sampingku usai melihat sikap kedua wanita itu.“Begitulah, May. Lebih baik kita jalan-jalan saja bagaimana? Sudah lama sekali kita tidak cuci mata bareng!” Aku dan Maya mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan di kota ini. Aku sudah meminta polisi mengurus semua kasus Lala sehingga aku bisa cukup tenang. Meski aku bisa menduga akan ada lagi gangguan dari keluarga benalu. Aku sudah tidak takut lagi pada mereka termasuk Mas Bagas.“Maya, Rista!” Seseorang melambaikan tangan ke arah kami. Sosok lelaki yang aku kenali saat masih sekolah. Lelaki memakai kemeja lengkap dengan jas berwarna hitam berlari kecil menghampiri kami berdua.“Angga!” Maya berhasil menebak sosok yang ada di depan kami berdua.“Kamu Angga yang dulu sering dibully teman-teman bukan?” Angga mengangguk cepat disertai senyum manisnya. Senyum yang sama saat dia masih sekolah.“Apa kabar kalian berdua?”“Alhamdulillah, kami berdua sangat baik sekali!” Jawabku diselingi tawa.Kami akhirnya memilih di salah satu cafe sekedar mengobrol bersama teman lama. Aku merasa diawasi oleh seseorang di sekitarku. Entah siapa dan aku sementara tidak mau berurusan dengannya.Aku mengabaikan sejenak orang yang sedang mengawasiku. Tidak peduli dia siapa yang penting disini aku tidak merasa mengganggunya.“Tidak terasa kita sudah tua begini!” Sahut Angga. Hampir dua belas tahun tidak saling bertemu, jadi ada rasa rindu akan kebersamaan serta kekompakan kami dulu.“Iya, rasanya kangen banget sama teman-teman sekolah,” Maya menimpali ucapan Angga.“Kalian kompak sekali!” Sahutku begitu saja. Sepertinya menjodohkan mereka yang masih sama-sama lajang adalah rencana yang cukup baik. “Bagaimana kalau aku bikin acara reuni untuk teman sekelas?” Sebetulnya itu ide bagus, tapi pasti nanti aku bertemu dengan Dara. Sahabat yang dulu menjalin hubungan dengan Mas Bagas sebelum kami bercerai. Ah, biarkan saja. Aku juga sudah tidak peduli dengan mereka. “Ide bagus itu, Angga. Nostalgia jaman sekolah!” Aku pun menyetujui ide Angga mengadakan acara reuni. Tidak masalah jika nanti ada yang akan menggangguku. Aku sudah tahu resiko yang nantinya aku hadapi.“Kita catat semua
Reuni memang masih diselenggarakan satu bulan lagi, mengingat perlu banyak persiapan. Termasuk mengundang guru-guru kami saat masih SMA. Meski sudah menjadi alumni, namun jasa guru tidak pernah terbalaskan.TingPonselku bergetar, aku lihat sebuah pesan masuk dari nomor baru.[Ris, sudah tidur?] Sebuah pesan dari Angga. Aku bisa menebaknya melalui foto profilnya.[Belum, ada apa?] Aku membalas pesannya.[Ya sudah, cepat tidur karena besok kamu pasti sibuk dengan restoran kamu] Aku tidak lagi menanggapi pesan yang dikirim Angga padaku. Aku meletakkan kembali ponselku di nakas dan bersiap hendak ke peraduan. Pikiranku melayang akan hari esok, tidak lupa harapan aku lantunkan sebelum aku tidur. Baru juga hendak memejamkan kedua mataku, ponselku lagi-lagi berdering. Aku melihat dengan jelas foto profilnya. Aku langsung menonaktifkan ponselku supaya tidak lagi berhubungan dengannya.Dini hari, aku merasa tubuhku diguncang pelan oleh seseorang.“Ris, Rista. Bangun cepat!” aku sangat mengen
Usai mengunjungi Ara, aku gegas pulang ke rumah. Aku sudah panas usai melihat Dara dan juga Mas Bagas. Mood Ku benar-benar berantakan karena ulah mereka di depan Ara. Andai Ara tidak di antara kami, mungkin aku sudah menendang wajahnya yang tidak tahu malu.Sesampai di pos satpam, aku melihat mantan mertuaku dan juga Lala. Lala sudah sadar dan masih mengenakan pakaian semalam. Apa mungkin Lala baru sadar siang ini? Aku melajukan mobilku menuju ke rumahku.“Assalamu alaikum!” Aku mencium punggung telapak tangan Ibuku.“Waalaikum salam!” “Bagaimana Ara? Apa dia baik-baik saja?” Tanya Ibu kepada cucu kesayangannya.“Alhamdulillah, Bu. Ara ternyata lebih nyaman di asrama! Badannya juga terlihat lebih berisi,” aku sengaja menyembunyikan kejadian memalukan di asrama tadi daripada membuat beban pikiran Ibuku.Aku duduk bersama Ibu menikmati sejuknya angin siang hari. Apalagi di teras rumah terdapat pohon mangga yang cukup rindang. Sekotak buah potong yang aku beli sebelum pulang menjadi cam
Satu bulan berlalu dan tepat hari ini adalah acara reuni dilaksanakan. Aku menggunakan gamis berwarna senada. Sebuah cincin berlian tidak lupa kusematkan di jari manisku. Cincin berlian hasil kerja kerasku usai bercerai dengan Mas Bagas.“Kamu cantik sekali, Nak. Ibu hanya bisa mendoakan, semoga kamu diberikan kebahagiaan!” Ibu mengusap kepalaku yang tertutup hijab lebar yang menjuntai. Penampilanku ini mungkin akan dianggap memalukan oleh sebagian orang. Apalagi saat masih sekolah, aku selalu berpenampilan modis tanpa hijab. Aku berhijab ketika menikah dengan Mas Bagas sebagai baktiku menjadi seorang istri yang harus menjaga kehormatannya.“Rista sudah cukup bahagia bersama Ibu dan Ara. Untuk saat ini, belum ada kebahagiaan lain selain Ibu dan Ara!” Aku mencium punggung telapak tangan Ibuku saat akan pergi menghadiri acara reuni. Sebenarnya aku juga sudah tidak sabar bertemu teman-teman paling gokil.Mobil yang kukendarai sudah mulai memasuki area parkir. Samar-samar aku melihat Dara
Aku merasa sangat jengah melihat penampilan Dara seperti bulan lalu saat ke asrama. Aku sendiri bahkan ikut malu dengan penampilan Dara yang tidak lain adalah ibu tiri Ara.“Mama!” Ara menghamburkan pelukannya padaku, begitulah jika lama tidak bertemu. Kemudian dia mencium punggung telapak tangan Maya dan Angga. “Hai gadis cantik!” Sapa Angga pada Ara. “Hai, Om. Bagaimana kabarnya?” “Alhamdulillah. Om selalu baik! Ara nyaman tinggal di Asrama?”“Nyaman dong, Om. Kalau pun rindu, pasti hanya rindu pada Mamaku yang sangat baik dan cantik!” “Nona kecil, kapan liburan? Tante mau ajak jalan-jalan ke Malang!” Wajah Ara seketika terlihat begitu ceria usai mendengar ajakan Maya berlibur ke luar kota. Apalagi kota yang terkenal dengan buah apelnya itu.“Tiga bulan lagi Ara udah libur sekolah, Te. Sepertinya rencana Tante sangat bagus. Ara ingin sekali jalan-jalan ke tempat yang sejuk!” “May, Ara saja yang kamu ajak! Aku juga ikut dong!” Angga ternyata tidak mau ketinggalan. Pria berusia k
Wajah Mas Bagas kali ini cukup berbeda ketika tiba-tiba mendatangi meja makan kami. Aku lihat Ara begitu asyik menikmati ikan bakar bersama kedua temanku.“Ara, Ayah ingin bicara padamu. Ayah rindu padamu!” Ara menghentikan aktivitas makannya sejenak dan menatap sang ayah yang sudah lima tahun menelantarkannya.“Untuk apa?” Suara Ara terlihat cukup singkat dan lebih mengarah ke sikap judes.“Ayah rindu!” Sahut Mas Bagas. Aku mengamati sikap Mas Bagas memang cukup berbeda. Keangkuhannya seakan sirna saat bertemu Ara.“Sebaiknya ayah fokus sama istri ayah saja. Kalau ayah rindu pada Ara, nanti istri ayah marah sama Ara!” Ara kembali melanjutkan makanannya tanpa ada beban sama sekali.“Kenapa kamu begitu pada ayah?” Mas Bagas masih berharap Ara bersikap baik padanya.“Kenapa ya? Karena Ara sudah tidak berharap punya ayah seperti anda. Sepertinya Ara lebih menyukai seorang Ayah yang sikapnya seperti Om Angga!” Uhuk uhukAku melihat Angga terbatuk karena ucapan Ara yang mungkin ini sangat
“Aldo!” Dia akhirnya bergabung dengan kami. Kami saling bertukar kabar karena hampir setahun tidak bertemu. Dia juga bisnis kuliner sama denganku.“Ma, Ara balik ke asrama dulu sama Om Angga dan Tante Maya!” Setelah berpamitan denganku, mereka bertiga ke asrama mengantar Ara. Entah kenapa sikap mereka bertiga berubah. Tadinya mereka begitu senang saat kami bersama. Tapi setelah kedatangan Aldo, wajah mereka bertiga berubah. Aku ingin ikut dengan mereka tapi aku tidak enak sama Aldo.“Ris. Bagaimana bisnis kuliner kamu?”“Alhamdulillah, sudah ada tiga cabang. Rencana mau nambah lagi, Do. Semoga saja rencananya lancar!” Aku tidak bisa tenang ternyata tanpa mereka. Wajah Angga, Maya dan Ara terlihat berbeda sekali.“Oh ya, Ris. Sebenarnya aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Ya meskipun nggak jauh. Cukup menikmati waktu senggang di tengah bisnis kita yang mulai meroket!” Dia bahkan ingin mengajakku jalan-jalan. Aku akui, parasnya tidak kalah tampan dengan Angga, tapi untuk keputusan pergi
“Bu, kenalkan dia Aldo!” Aku memperkenalkan Aldo pada Ibu, namun Ibu menatap Aldo dengan tatapan cukup aneh.“Bu, kami sudah saling mengenal lama dan kami sekarang sedang sama-sama dekat!” Ibu masih diam saja. Tiba-tiba saja Ibu berdiri dan beranjak masuk ke dalam. Aku tidak enak dengan Aldo akan sikap yang Ibu tunjukkan. Aku ikut masuk ke dalam dan melihat Ibu di belakang rumah.“Bu,” Ibu sama sekali tidak menatap wajahku. Ibu menatap kolam ikan seperti aku biasanya jika sedang bosan.“Bu, restui hubungan kami!” Ibu sama sekali mengabaikan aku saat ini.“Rista sudah mengenal lama dan dia lelaki baik!” Ibu tetap diam meski aku menjelaskan sosok Aldo.“Pergilah!” Satu kata yang keluar dari mulut Ibuku. Ibu membiarkan aku pergi bersama dengan Aldo meski tatapan Ibu seakan tidak rela. Mungkin karena sebelum pergi, aku telah meyakinkan Ibu jika Aldo adalah lelaki baik. Semoga saja Ibu akan memberikan restu padaku.Kini aku dan Aldo menikmati indahnya wisata taman yang penuh dengan aneka