Reuni memang masih diselenggarakan satu bulan lagi, mengingat perlu banyak persiapan. Termasuk mengundang guru-guru kami saat masih SMA. Meski sudah menjadi alumni, namun jasa guru tidak pernah terbalaskan.
TingPonselku bergetar, aku lihat sebuah pesan masuk dari nomor baru.[Ris, sudah tidur?] Sebuah pesan dari Angga. Aku bisa menebaknya melalui foto profilnya.[Belum, ada apa?] Aku membalas pesannya.[Ya sudah, cepat tidur karena besok kamu pasti sibuk dengan restoran kamu] Aku tidak lagi menanggapi pesan yang dikirim Angga padaku. Aku meletakkan kembali ponselku di nakas dan bersiap hendak ke peraduan. Pikiranku melayang akan hari esok, tidak lupa harapan aku lantunkan sebelum aku tidur. Baru juga hendak memejamkan kedua mataku, ponselku lagi-lagi berdering. Aku melihat dengan jelas foto profilnya. Aku langsung menonaktifkan ponselku supaya tidak lagi berhubungan dengannya.Dini hari, aku merasa tubuhku diguncang pelan oleh seseorang.“Ris, Rista. Bangun cepat!” aku sangat mengenal suara khas Ibuku. Aku menggeliat kemudian melirik jam dinding masih menunjukkan pukul 01.00 dini hari. “Bu, bukannya shalat tahajud masih dua jam lagi?”“Coba lihat ke depan. Ada gadis mabuk, dan gadis itu mirip dengan Lala!” Seketika rasa kantukku hilang. Bukannya aku kemarin memenjarakannya, dan kenapa sekarang sudah berkeliaran di luar. Mana pakai acara mabuk lagi. Aku terpaksa menyibak tirai dan benar saja, aku melihat Lala tergeletak tidak sadar di halaman rumahku. Entah apa yang dia pikirkan hingga harus kemari. Membuatku kesal saja dengan gadis labil ini.Tidak banyak yang bisa aku perbuat, saat itu juga aku pergi ke rumah ketua RT untuk mengadukan kejadian di luar rumah termasuk Ibuku yang ikut menceritakan kejadian sebelum Lala tergeletak.Aku bersama ketua RT dan juga dibantu beberapa warga mengevakuasi Lala ke pos satpam. Disana Lala dibaringkan di sebuah matras yang biasanya digunakan satpam kami beristirahat. Sesekali Lala meracau karena masih dalam pengaruh alkohol. Bisa saja aku menolongnya dan menampung di rumah. Akan tetapi, aku memikirkan kemungkinan buruknya setelah ini. Aku tidak habis pikir jika pergaulan Lala tidak berubah. Menurutku semakin buruk sekali.“Pak RT, terima kasih sudah membantu saya pagi ini. Saya tadi benar-benar takut, ditambah lagi gadis ini yang kemarin bikin gaduh disini!”“Iya, saya masih ingat jika kemarin gadis ini membuat gaduh dengan Bu Retno. Tapi tenang saja, besok jika sudah sadar, saya akan memanggil keluarganya!” Ingin aku memberikan nomor ponsel keluarga Lala sekarang juga. Akan tetapi jika aku memberikannya pasti aku akan dianggap sebagai manusia tidak peduli pada keluarga mantan suami.Aku bersama Ibu kembali ke rumah melanjutkan mimpi kami yang tertunda karena Lala. Ditambah lagi kedua mata kami sudah sangat mengantuk.Seperti biasa, pagi ini aku sudah bersiap berangkat ke restoran di cabang lain untuk memantau. Sebelum pergi bekerja, aku lebih dulu menyiapkan semua barang yang akan aku bawa untuk mengunjungi Ara di asrama termasuk sepatu yang dibelikan Maya kemarin. Sebelum pergi bekerja, aku menitipkan sarapan kepada satpam untuk Lala jika dia sudah sadar. Meski semalam aku terlihat begitu tega, namun jika membiarkan dia kelaparan juga kasihan.Hari ini cukup berjalan lancar tanpa ada gangguan sama sekali dari siapapun. Bersyukur sekali bisa menjalankan aktivitas tanpa harus senam jantung setiap hari karena kemunculan mereka.Siang ini, aku bergegas mengunjungi Ara. Meski baru beberapa hari namun rasa rinduku pada anak gadisku tidak bisa ditahan. Kedatanganku disambut ustadzah yang kebetulan berjaga di tempat informasi. “Mama!” Ara datang menemuiku di ruang informasi menghamburkan pelukannya padaku.“Sayang!” tidak lupa aku mencium kedua pipinya. Tiba-tiba tatapan mata Ara terlihat malas ke salah satu arah. Aku menoleh ke sebuah objek yang membuat Ara seperti berubah mood.“Mas Bagas!” Aku melihat Mas Bagas berdiri tidak jauh dari kami. Di tangan kanannya terdapat sebuah boneka dan sebuah paper bag entah berisi apa di tangan kirinya.“Ara!” Ara menatap wajahku sejenak, aku memberikan kode anggukan kepala untuk menemui ayahnya, meski dari raut wajahnya sangat terlihat jika Ara tidak ingin bertemu Mas Bagas.Ara akhirnya menurut padaku kemudian berjalan pelan ke arah Mas Bagas. Ara juga tidak lupa mencium punggung telapak tangan Mas Bagas.“Ara, bagaimana kabarmu?” Mas Bagas berusaha mendekatkan diri pada Ara. “Baik!” Sahut Ara singkat. Mungkin kenangan masa lalu masih membekas di ingatan Ara.“Ara, ini ayah bawa hadiah untukmu. Ayah tadi menjumpai boneka beruang ini dan ini ada camilan untuk kamu selama di asrama!” Ara menerima pemberian dari Mas Bagas meski dengan senyum dipaksakan.“Ini juga untuk Ara buat jajan di asrama!” Aku membiarkan Ara menerima uang jajan dari ayahnya. “Enak sekali dikasih duit!” Tiba-tiba suara yang paling aku benci berada di samping Mas Bagas. Dara ternyata datang tiba-tiba dan meraih uang yang diberikan Mas Bagas pada Ara. Dara terlihat mengibas ibaskan sejumlah uang yang direbutnya dari Ara. “Tante Dara butuh duit ya, sampai merebut uang jajan Ara?” Seketika wajah Dara berubah muram karena ucapan Ara. Aku diam sejenak dan melihat apa yang akan dilakukan Dara setelah ini.“Dara, kamu sudah aku beri uang bulanan. Kenapa masih merebut uang jajan Ara?” Maa Bagas menasehati Dara dengan nada melunak. Sangat berbeda denganku dulu yang selalu dibentak-bentak. Bahkan tidak jarang sambil berteriak.“Aku tidak rela jika uangmu dinikmati anak kamu, Mas!” Sudah bisa ku pastikan jika akhirnya Mas Bagas pun diam.“Heh, bocil! Jangan pernah minta uang pada suamiku!” Ara tertawa keras membuatku terkejut. Begitu pula dengan Dara, merasa dipermainkan seorang anak SMP.“Tante, usaha Mamaku hasilnya melimpah ruah! Ara tidak butuh uang dari ayah. Kalau mau ambil ayah, Ara ijinkan!” Aku tidak menyangka dengan jawaban Ara. Anakku ternyata sudah bisa membela diri jika dihina orang dewasa seperti Dara.Wajah Ara kini menatap Mas Bagas yang berdiri tidak jauh darinya dengan membawa dua hadiah yang diberikan Mas Bagas tadi.“Ayah! Ini hadiahnya Ara kembalikan. Ara tidak butuh apapun dari Ayah. Ara sudah cukup bahagia bersama Mama jadi jangan pernah lagi memberikan apapun untuk Ara!” Tatapan Mas Bagas terlihat kecewa ketika Ara mengembalikan dua hadiahnya.“Sudah, Mas. Kita pergi!” Dara menarik lengan Mas Bagas mengajaknya pergi. Sesekali Maa Bagas menoleh ke belakang melihat kami berdua.Dara dan Mas Bagas saat itu juga pergi meninggalkan komplek Asrama. Kini tinggal aku dan Ara duduk berdua di bawah pohon menikmati kue yang aku beli di toko kue.“Ma, Ara sebel sama Ayah dan Tante Dara!” “Sudah, Sayang! Biarkan mereka, yang penting kita berdua tetap bersama dan bahagia bersama!” Aku menghibur kekecewaan Ara. Aku paham jika anak beranjak remaja ini sudah bisa memilih mana yang salah dan benar.Usai mengunjungi Ara, aku gegas pulang ke rumah. Aku sudah panas usai melihat Dara dan juga Mas Bagas. Mood Ku benar-benar berantakan karena ulah mereka di depan Ara. Andai Ara tidak di antara kami, mungkin aku sudah menendang wajahnya yang tidak tahu malu.Sesampai di pos satpam, aku melihat mantan mertuaku dan juga Lala. Lala sudah sadar dan masih mengenakan pakaian semalam. Apa mungkin Lala baru sadar siang ini? Aku melajukan mobilku menuju ke rumahku.“Assalamu alaikum!” Aku mencium punggung telapak tangan Ibuku.“Waalaikum salam!” “Bagaimana Ara? Apa dia baik-baik saja?” Tanya Ibu kepada cucu kesayangannya.“Alhamdulillah, Bu. Ara ternyata lebih nyaman di asrama! Badannya juga terlihat lebih berisi,” aku sengaja menyembunyikan kejadian memalukan di asrama tadi daripada membuat beban pikiran Ibuku.Aku duduk bersama Ibu menikmati sejuknya angin siang hari. Apalagi di teras rumah terdapat pohon mangga yang cukup rindang. Sekotak buah potong yang aku beli sebelum pulang menjadi cam
Satu bulan berlalu dan tepat hari ini adalah acara reuni dilaksanakan. Aku menggunakan gamis berwarna senada. Sebuah cincin berlian tidak lupa kusematkan di jari manisku. Cincin berlian hasil kerja kerasku usai bercerai dengan Mas Bagas.“Kamu cantik sekali, Nak. Ibu hanya bisa mendoakan, semoga kamu diberikan kebahagiaan!” Ibu mengusap kepalaku yang tertutup hijab lebar yang menjuntai. Penampilanku ini mungkin akan dianggap memalukan oleh sebagian orang. Apalagi saat masih sekolah, aku selalu berpenampilan modis tanpa hijab. Aku berhijab ketika menikah dengan Mas Bagas sebagai baktiku menjadi seorang istri yang harus menjaga kehormatannya.“Rista sudah cukup bahagia bersama Ibu dan Ara. Untuk saat ini, belum ada kebahagiaan lain selain Ibu dan Ara!” Aku mencium punggung telapak tangan Ibuku saat akan pergi menghadiri acara reuni. Sebenarnya aku juga sudah tidak sabar bertemu teman-teman paling gokil.Mobil yang kukendarai sudah mulai memasuki area parkir. Samar-samar aku melihat Dara
Aku merasa sangat jengah melihat penampilan Dara seperti bulan lalu saat ke asrama. Aku sendiri bahkan ikut malu dengan penampilan Dara yang tidak lain adalah ibu tiri Ara.“Mama!” Ara menghamburkan pelukannya padaku, begitulah jika lama tidak bertemu. Kemudian dia mencium punggung telapak tangan Maya dan Angga. “Hai gadis cantik!” Sapa Angga pada Ara. “Hai, Om. Bagaimana kabarnya?” “Alhamdulillah. Om selalu baik! Ara nyaman tinggal di Asrama?”“Nyaman dong, Om. Kalau pun rindu, pasti hanya rindu pada Mamaku yang sangat baik dan cantik!” “Nona kecil, kapan liburan? Tante mau ajak jalan-jalan ke Malang!” Wajah Ara seketika terlihat begitu ceria usai mendengar ajakan Maya berlibur ke luar kota. Apalagi kota yang terkenal dengan buah apelnya itu.“Tiga bulan lagi Ara udah libur sekolah, Te. Sepertinya rencana Tante sangat bagus. Ara ingin sekali jalan-jalan ke tempat yang sejuk!” “May, Ara saja yang kamu ajak! Aku juga ikut dong!” Angga ternyata tidak mau ketinggalan. Pria berusia k
Wajah Mas Bagas kali ini cukup berbeda ketika tiba-tiba mendatangi meja makan kami. Aku lihat Ara begitu asyik menikmati ikan bakar bersama kedua temanku.“Ara, Ayah ingin bicara padamu. Ayah rindu padamu!” Ara menghentikan aktivitas makannya sejenak dan menatap sang ayah yang sudah lima tahun menelantarkannya.“Untuk apa?” Suara Ara terlihat cukup singkat dan lebih mengarah ke sikap judes.“Ayah rindu!” Sahut Mas Bagas. Aku mengamati sikap Mas Bagas memang cukup berbeda. Keangkuhannya seakan sirna saat bertemu Ara.“Sebaiknya ayah fokus sama istri ayah saja. Kalau ayah rindu pada Ara, nanti istri ayah marah sama Ara!” Ara kembali melanjutkan makanannya tanpa ada beban sama sekali.“Kenapa kamu begitu pada ayah?” Mas Bagas masih berharap Ara bersikap baik padanya.“Kenapa ya? Karena Ara sudah tidak berharap punya ayah seperti anda. Sepertinya Ara lebih menyukai seorang Ayah yang sikapnya seperti Om Angga!” Uhuk uhukAku melihat Angga terbatuk karena ucapan Ara yang mungkin ini sangat
“Aldo!” Dia akhirnya bergabung dengan kami. Kami saling bertukar kabar karena hampir setahun tidak bertemu. Dia juga bisnis kuliner sama denganku.“Ma, Ara balik ke asrama dulu sama Om Angga dan Tante Maya!” Setelah berpamitan denganku, mereka bertiga ke asrama mengantar Ara. Entah kenapa sikap mereka bertiga berubah. Tadinya mereka begitu senang saat kami bersama. Tapi setelah kedatangan Aldo, wajah mereka bertiga berubah. Aku ingin ikut dengan mereka tapi aku tidak enak sama Aldo.“Ris. Bagaimana bisnis kuliner kamu?”“Alhamdulillah, sudah ada tiga cabang. Rencana mau nambah lagi, Do. Semoga saja rencananya lancar!” Aku tidak bisa tenang ternyata tanpa mereka. Wajah Angga, Maya dan Ara terlihat berbeda sekali.“Oh ya, Ris. Sebenarnya aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Ya meskipun nggak jauh. Cukup menikmati waktu senggang di tengah bisnis kita yang mulai meroket!” Dia bahkan ingin mengajakku jalan-jalan. Aku akui, parasnya tidak kalah tampan dengan Angga, tapi untuk keputusan pergi
“Bu, kenalkan dia Aldo!” Aku memperkenalkan Aldo pada Ibu, namun Ibu menatap Aldo dengan tatapan cukup aneh.“Bu, kami sudah saling mengenal lama dan kami sekarang sedang sama-sama dekat!” Ibu masih diam saja. Tiba-tiba saja Ibu berdiri dan beranjak masuk ke dalam. Aku tidak enak dengan Aldo akan sikap yang Ibu tunjukkan. Aku ikut masuk ke dalam dan melihat Ibu di belakang rumah.“Bu,” Ibu sama sekali tidak menatap wajahku. Ibu menatap kolam ikan seperti aku biasanya jika sedang bosan.“Bu, restui hubungan kami!” Ibu sama sekali mengabaikan aku saat ini.“Rista sudah mengenal lama dan dia lelaki baik!” Ibu tetap diam meski aku menjelaskan sosok Aldo.“Pergilah!” Satu kata yang keluar dari mulut Ibuku. Ibu membiarkan aku pergi bersama dengan Aldo meski tatapan Ibu seakan tidak rela. Mungkin karena sebelum pergi, aku telah meyakinkan Ibu jika Aldo adalah lelaki baik. Semoga saja Ibu akan memberikan restu padaku.Kini aku dan Aldo menikmati indahnya wisata taman yang penuh dengan aneka
Aku berjalan kesana kemari memikirkan Ibuku dan juga Angga. Entah bagaimana mereka berdua bisa akrab ditambah lagi sikap Ibu dna cueknya Angga padaku. Hingga menjelang magrib, Ibu dan Angga tidak kunjung pulang. Aku memutuskan melakukan shalat maghrib sendirian dan berharap tidak ada masalah apapun pada ibuku.Aku menunggu kedatangan Ibu di teras rumah ditemani Aldo meski hanya sekedar berkirim pesan. Suara adzan isya bahkan mulai terdengar namun belum ada tanda-tanda kedatangan Ibu. Aku coba menghubungi ponsel Angga namun tetap saja tidak diangkat. Begitupun dengan ponsel Ibuku.Semua masih menjadi sebuah rahasia akan diamnya sang Ibu ditambah kedekatannya dengan Angga. Padahal Angga baru sekali bertemu dengan Ibuku.Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan Ibu belum juga datang. Aku menguap berkali-kali, rasa kantuk mulai menyerang. Kedua mataku sudah tidak bisa diajak kompromi. Maklum saja, seharian tadi aku jalan-jalan bersama kekasihku.Aku masuk ke dalam dan mereba
Aku sudah tidak sabar lagi menanyakan hal ini semua pada Ibu dan Angga. Pertama, aku harus bertanya pada Ibu mengenai foto yang dikirim Aldo. Kedua, sepertinya aku harus menguntit Angga dan Ibu jika mereka pergi berdua.Aku tidak bisa tidur memikirkan Angga dan juga Ibu. Hal ini membuat hubungan kami semakin renggang. Aku mengirim beberapa pesan pada Angga, namun tetap saja tidak dibaca olehnya. Termasuk pertanyaan sebuah foto yang dikirim Aldo padaku. Kedua mataku akhirnya mulai bisa terlelap meski aku merasa sangat singkat.Jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Saatnya bangun dan memulai aktivitasku dengan shalat malam. Aku minta semua petunjuk yang terjadi padaku. Kuluapkan semua keluh kesah serta rasa syukurku kepada Allah.Aku hendak ke dapur usai menjalankan shalat malamku. Aku bersiap memasak untuk sarapan kami berdua. Tidak lupa aku juga akan membawakan bekal untuk Aldo. Kebetulan sekali restoran Aldo juga tidak terlalu jauh dari restoran milik ayahku.CeklekSuara p