Aku berjalan kesana kemari memikirkan Ibuku dan juga Angga. Entah bagaimana mereka berdua bisa akrab ditambah lagi sikap Ibu dna cueknya Angga padaku. Hingga menjelang magrib, Ibu dan Angga tidak kunjung pulang. Aku memutuskan melakukan shalat maghrib sendirian dan berharap tidak ada masalah apapun pada ibuku.Aku menunggu kedatangan Ibu di teras rumah ditemani Aldo meski hanya sekedar berkirim pesan. Suara adzan isya bahkan mulai terdengar namun belum ada tanda-tanda kedatangan Ibu. Aku coba menghubungi ponsel Angga namun tetap saja tidak diangkat. Begitupun dengan ponsel Ibuku.Semua masih menjadi sebuah rahasia akan diamnya sang Ibu ditambah kedekatannya dengan Angga. Padahal Angga baru sekali bertemu dengan Ibuku.Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan Ibu belum juga datang. Aku menguap berkali-kali, rasa kantuk mulai menyerang. Kedua mataku sudah tidak bisa diajak kompromi. Maklum saja, seharian tadi aku jalan-jalan bersama kekasihku.Aku masuk ke dalam dan mereba
Aku sudah tidak sabar lagi menanyakan hal ini semua pada Ibu dan Angga. Pertama, aku harus bertanya pada Ibu mengenai foto yang dikirim Aldo. Kedua, sepertinya aku harus menguntit Angga dan Ibu jika mereka pergi berdua.Aku tidak bisa tidur memikirkan Angga dan juga Ibu. Hal ini membuat hubungan kami semakin renggang. Aku mengirim beberapa pesan pada Angga, namun tetap saja tidak dibaca olehnya. Termasuk pertanyaan sebuah foto yang dikirim Aldo padaku. Kedua mataku akhirnya mulai bisa terlelap meski aku merasa sangat singkat.Jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Saatnya bangun dan memulai aktivitasku dengan shalat malam. Aku minta semua petunjuk yang terjadi padaku. Kuluapkan semua keluh kesah serta rasa syukurku kepada Allah.Aku hendak ke dapur usai menjalankan shalat malamku. Aku bersiap memasak untuk sarapan kami berdua. Tidak lupa aku juga akan membawakan bekal untuk Aldo. Kebetulan sekali restoran Aldo juga tidak terlalu jauh dari restoran milik ayahku.CeklekSuara p
Satu bulan sudah aku menjalin hubungan dengan Aldo meski tanpa restu Ibu. Ibu tidak merespon apapun jika berhubungan dengan Aldo. “Bu, Minggu keluarga Aldo akan kemari. Mereka datang untuk melamar Rista!” Ibu yang tadinya tengah membaca koran, seketika diletakkan koran itu. Aku senang Ibu mau mendengar ucapanku.“Bu, Rista mohon. Berikanlah restu untuk Rista. Rista pasti akan bahagia bersama Aldo!” Wajah Ibu kini menatapku lekat-lekat.“Baiklah. Tapi setelah menikah dengannya, lepaskan semua aset milik ayahmu!” Ini sungguh di luar dugaan. Aku harus melepas semua jerih payahku begitu saja.“Kenapa harus ada syarat seperti itu, Bu?” Sungguh ini terasa berat sekali. Itu artinya aku akan menjadi istri yang harus diam di rumah karena tidak ada aktivitas seperti biasanya.“Itu keputusan Ibu. Dan juga ada syarat lagi yang harus kamu turuti!” Tidak masalah jika harus mendapatkan syarat lain. Asalkan aku bisa menikah dengan Aldo.“Rista akan penuhi, Bu!” “Biarkan Ara tetap di rumah ini. Jang
Aku tetap belum puas dengan keputusan Ibu meski aku terpaksa harus menerimanya. Pikiranku masih melayang-layang soal Angga yang kini menggantikanku mengelola usaha keluarga kami.“Aku harus mencari bukti jika Angga telah memperdaya Ibuku! Tapi bagaimana caranya?” Aku menggigit jari telunjuk sambil mencari ide supaya dugaanku mengenai Angga benar.DrttPonselku berdering panggilan dari Mas Bagas. Entah kenapa lagi dengannya, selalu menghubungiku disaat yang tidak tepat. Aku tolak saja panggilan darinya. Lebih baik aku menghubungi Aldo.Aneh sekali, panggilanku tidak terjawab olehnya. Bahkan pesan yang aku kirim juga tidak dibaca. Ah, mungkin dia sedang sibuk atau sedang di jalan.Jenuh juga di rumah tanpa aktivitas apapun mulai hari ini. Biasanya aku akan memantau semua perkembangan dari manajer yang aku tugaskan di setiap cabang.Berguling di ranjang sebentar membuat badanku sakit semua. Sebenarnya ini kesempatanku untuk berkunjung ke asrama, namun saat ini tidak tepat untuk berkunjun
(Author)Di sisi lain, sepulang dari acara lamaran, mobil yang dikendarai Aldo menuju ke sebuah hotel usai mengantar sepasang lelaki dan perempuan berusia paruh baya ke sebuah rumah sederhana. Rumah yang berada di sebuah komplek perumahan biasa. Rumah tidak terlalu besar namun cukup nyaman dijadikan tempat tinggal. Di halaman rumah yang tidak terlalu luas ini terdapat sebuah pohon mangga yang berbuah lebat. Sepasang suami istri itu keluar dari mobil sambil berjabat tangan dengan Aldo.“Terima kasih kerjasamanya, Pak. Ini ada sedikit rejeki sebagai tanda terima kasih saya!” Aldo memberikan amplop berisi uang kepada lelaki yang dijadikan ayahnya. “Terima kasih, Nak Aldo. Bapak dan Ibu akan membantu nanti di acara pernikahan. Alhamdulillah, Bapak bisa membawa si bungsu ke rumah sakit untuk berobat!” Pria paruh baya tersebut menerima dengan rasa bahagia karena bisa mengurangi beban hidupnya. Anak bungsunya sudah lama mengidap kanker dan sudah cukup parah. Akan tetapi biaya yang dibutuhka
Pagi ini aku dikejutkan beberapa panggilan dari Angga. Ternyata semalam Angga menghubungiku namun sepertinya saat aku tidak sengaja terlelap. Ternyata menunggu kabar dari Aldo membuatku tertidur. Kemana juga dia, baru selesai lamaran tidak memberiku kabar. Biasanya dia akan menemaniku sampai aku kedua mata terasa mengantuk.Ting. Malas sekali saat melihat pesan dari Angga pagi ini. [Ris, aku ingin bicara mengenai Aldo] Pesan Angga pasti membuatku naik darah. Apapun yang berhubungan dengan Angga pasti membuatku emosi seketika. Apalagi yang ucapkan akan selalu sama.[Tidak perlu bicarakan Aldo. Bicarakan dirimu sendiri, Dasar penipu!] Balasku diikuti emoji marah. DrrtAku harap ini panggilan dari Aldo, ternyata setelah aku lihat ternyata bukan. Angga ternyata masih berusaha membujukku. Aku tolak saja panggilannya daripada aku kesal karenanya.Pagi ini aku harus mengantar Ara kembali ke asrama karena jadwal cuti sudah selesai. Tidak lupa aku ke minimarket terlebih dahulu untuk menyiapk
Kedua mataku membulat sempurna melihat sosok gadis tersebut. Gadis yang memanggil Aldo ternyata mantan iparku. Lala, tiba-tiba saja datang memeluk Aldo. Candaan macam apa ini? Sontak emosiku meledak, kedua tanganku mengepal kuat melihat mantan adik iparku memeluk calon suamiku. Dia memang gadis tidak berakhlak.Lala mencium pipi kanan dan kiri Aldo seperti pasangan kekasih. Hatiku hancur, pikiranku kacau melihat kenyataan di depanku. “Kak Aldo. Lala rindu berat! Kak Aldo lama sekali tidak menghubungi Lala!” Aldo menoleh ke kiri dan ke kanan entah memastikan keberadaan siapa. Aku bersembunyi di balik daftar menu yang aku gunakan menutupi wajahku. “Kenapa kesini, La? Bisa bahaya!” Terdengar sekali suara Aldo yang begitu khawatir. Aku kembali mengintip di balik menu, mengamati pergerakan mereka.“Lala rindu, Kak Aldo sih, selalu bikin Lala seperti ini!” Bibir Lala mengerucut layaknya anak kecil yang sedang cemberut.Tidak jauh dari mereka, wanita paruh baya berjalan anggun ke arah mere
Hari ini setidaknya aku sedikit lebih tenang bisa bercanda bersama Ara. Meski aku cukup malu pada Angga. Aku malu dengannya yang ternyata pemikirannya lebih dewasa daripada aku. Tanpa usaha dia menunjukkan sebuah bukti tentang Aldo, pasti aku sudah jatuh ke orang yang salah lagi.“Apa kamu masih sedih karena Aldo?” Tanya Angga saat dia mengantarkan aku pulang ke rumah.“Sedih itu pasti, Ngga. Tapi aku akan berusaha melupakannya!” Sahutku sambil melihat hiruk pikuknya kota melalui kaca mobil.“Obati dulu hatimu, Ris!” Aku mengangguk pelan akan nasehat Angga. Tidak berapa lama mobil Angga sudah sampai di halaman rumah. Ibu menyambut kedatangan kami.“Ibu!” Aku menghamburkan pelukanku pada Ibu. Tangisku pun pecah kala teringat aku membenci Ibu demi Aldo. Ibu, yang tidak pernah merestui kami karena ternyata ada sesuatu di belakang Aldo.“Sudahlah, Ris. Semua sudah selesai!” Ibu menepuk pundakku yang tergugu di pelukannya.“Ibu, Rista minta maaf. Rista khilaf!” Aku menyesal sudah pernah me
Singkat cerita, setelah kepergian Mas Bagas pergi merantau, kami pun memberi tahu kabar ini kepada Ara termasuk bebasnya Mas Bagas. “Terima kasih, Ma. Terima kasih ayah! Ara bangga sama kalian!” Aku memeluk Ara dengan suka cita. Kabar baik ini telah memberikan semangat untuknya.“Sama-sama, Ara. Ayah dan Mama sudah janji padamu!” Sungguh, kebahagiaan yang luar biasa setelah melihat semua kembali baik-baik saja. Ara yang mulai menerima sang ayah, ditambah Mas Bagas yang sudah kembali ke jalan yang benar.Sejak menikah dengan Angga, hidupku dipenuhi kebahagiaan. Usaha yang kami jalankan berdua berjalan lancar, usaha toko agen sembako miliknya juga berjalan lancar. Semua tidak lepas dari dukungan serta doa Ibu dan Ibu mertuaku.Untuk masalah mantan Ibu mertuaku, aku tidak tahu kabarnya sampai saat ini. Dimanapun keberadaannya semoga diberikan kesehatan dan kembali ke jalan yang benar. Angga menggandeng tanganku berjalan di tepi pantai menikmati senja. Sepulang dari asrama, Angga menga
Aku melihat gadis mirip Dara itu bersikap layaknya Dara yang aku kenal. Hanya saja Dara sesekali mengarahkan rambutnya di sekitar wajahnya. Mungkin saja dirinya tidak mau dikenali. “Lihat apa, Sayang?” Angga menggenggam tanganku yang tengah asik mengamati sosok Dara.“Tidak lihat apa-apa!” Sahutku kemudian melanjutkan menikmati es krim terkenal ini. Sementara aku buang dulu pikiran soal kemunculan wanita yang mirip sekali dengan Dara. “Haruskan aku meminta Mas Bagas menceritakan kronologinya? Tapi kapan bisa kesana?” Aku berbicara pada diriku sendiri. Jika aku bicara pada Angga, aku tidak enak. Karena dia sekarang sudah resmi menjadi suamiku.Aku melihat wanita mirip Dara itu pergi dengan seorang pria paruh baya atau jauh lebih tua dari usia Dara. Aku menghubungi salah satu temanku yang turut hadir saat takziah.[Kami datang, hanya saja peti jenazah tidak dibuka karena alasan wasiat dari jenazah] Sahut Rosma, yang saat itu dia hadir takziah.Tidak hanya Rosma, aku juga mencari jawab
Hari ini acara pernikahan digelar. Tidak banyak tamu undangan karena aku ingin digelar secara sederhana. Hanya beberapa saksi dan teman dekat Ibu saja ditambah pihak keluarga Angga. Gamis berwarna putih ditambah sedikit sentuhan aksesoris membuatku terlihat cantik. Ara pun memakai gamis berwarna senada sepertiku. “Anakku, cantik sekali!” Ibu membingkai wajahku dengan kedua tangannya.“Ibu, Rista akan menikah. Doakan Rista ya, Bu!” Tangisku kembali pecah di pelukan Ibu saat acara akad sebentar lagi digelar.Terdengar suara Ibu-ibu yang mengatakan jika pengantin lelaki datang. Itu artinya Angga sudah datang bersama Tante Mira. Degup jantung berdetak begitu kencang karena sebentar lagi dia akan mengucapkan janji suci di depan penghulu dan saksi.“Ayo kita keluar, Bu!” Ara dan Ibu mengantarku ke ruang tamu yang dijadikan tempat akad nikah. Semua bernuansa putih, Tante Mira dengan gaya khasnya terlihat sangat cantik. Aku duduk di kursi berada di samping Angga. Sesekali dia mencuri pandan
Dikeluarkannya sebuah kotak kecil berwarna biru beludru terlihat sangat indah sekali. Sebuah cincin bertahtakan berlian di atasnya begitu indah. Berlian itu terlihat berkilau terkena sinar lampu.“Asal kamu tahu, selama berbulan-bulan aku mencari siapakah sosok dirimu yang selalu hadir dalam setiap mimpi. Atas doa yang kulantunkan, akhirnya aku kembali menemukanmu dan sekarang aku melamarmu. Aku tidak ingin lagi jauh darimu!” Bibir bergetar, aku terharu melihat keseriusannya di depanku. “Ris. Kenapa diam?” Aku sempat terdiam sejenak karena aku merasa ini hanya sebuah mimpi. Lelaki pernah lupa ingatan ternyata bisa kembali pulih dengan beberapa bantuan dari Ibunya.“Bismillahirrahmanirrahim. Aku menerima lamaranmu, Angga!” Aku tidak tahu jika Ibu ternyata berdiri tidak jauh dariku, turut menyaksikan Angga melamarku.“Alhamdulillah, terima kasih, Rista. Terima kasih sudah mau menerimaku.” Tante Mira dan Ibu terlihat menitikkan air mata ketika aku menerima lamaran Angga.Angga memakaika
Dua hari kemudian, keadaan Ibu sudah membaik dan diperbolehkan pulang. Melihat Ibuku sehat kembali membuat semangatku kembali muncul. Aku lajukan mobil hitamku menuju ke rumah masa kecil kami. Aku tidak heran dengan kondisi halaman rumah yang penuh dengan dedaunan kering. Ini sangat terlihat kotor sekali dan tidak enak dipandang.Aku membantu Ibu masuk ke dalam rumah, urusan halaman rumah yang kotor biar nanti saja aku urus.“Zainab!” Teriak Bu Fatma, tetangga depan rumah. Wanita paruh baya itu datang bersama bu Yuni menghampiri kami berdua.“Bu Fatma, Bu Yuni. Mari masuk!” Aku mempersilahkan kedua tetangga yang begitu baik pada kami.“Zainab, bagaimana keadaanmu?” kedua teman Ibu menyalami Ibuku yang baru pulang dari rumah sakit.“Alhamdulillah. Saya sudah sehat!” “Ini tadi aku masak soto. Dimakan ya!” Bu Fatma yang sedari kemarin bertanya kapan ibu pulang kini datang membawa rantang berisi soto ayam.“Ini, aku bawakan tumis daun pepaya sama ayam goreng. Dimakan ya, Nab?” Bu Yuni me
Aku berbalik dan dia tepat berada di hadapanku. Detak jantung kembali berdegup begitu kencang. Tidak ada lagi alasan aku menghindar darinya.“Siapa anda dan kenapa kedua mata anda mengingatkanku pada seseorang?” Bibir terasa kelu, suara seakan tidak bisa aku keluarkan.“Nona, kenapa anda hanya diam?” Aku bingung harus menjawab apa padanya.“Sepertinya anda salah orang. Saya tidak kenal dengan anda!” Sahutku padanya. Wajahnya berubah sayu seolah kecewa karena tidak mendapatkan jawaban. Mungkin ini yang dikatakan Tante Mira. Angga tengah merindukanku namun lupa denganku.“Anda berbohong. Tatapan anda terlihat jika anda sedang berbohong!” Dia tidak percaya padaku. Aku harus pergi darinya sebelum Tante Mira menemukan kami.“Saya tidak berbohong, Tuan. Permisi!” Aku berlalu begitu saja meninggalkannya seorang diri. Aku berjalan cepat menuju ke ruang rawat inap Ibuku. Ternyata Tante Mira sudah bersiap untuk pulang. Aku tenang bisa sendirian lagi tanpa ada yang mengganggu saat menjaga Ibu.C
Keesokan harinya, aku dikejutkan dengan keadaan ibu yang mendadak demam. Tidak ada kata lain selain membawa Ibu ke klinik terdekat. Aku harap hanya demam biasa. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju ke sebuah klinik yang tidak terlalu besar. Klinik sebagai andalan warga untuk berobat selain puskesmas.Sesampai disana, perawat dengan sigap membawakan kursi roda untuk Ibu. Wajah Ibu bahkan terlihat pucat sekali. Melihat keadaan seperti ini membuatku takut. Takut kehilangan seseorang yang harusnya mendampingiku merawat Ara. Ibu dibawa ke IGD. Sedari tadi Ibu merintih menahan sakit di bagian perutnya. Bibir tidak bisa berhenti melafalkan istighfar melihat Ibu yang tengah merintih. Seorang Ibu yang tidak pernah mengeluh sakit, kini harus terbaring lemas di ranjang.Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata Ibu harus opname karena setelah diperiksa, ternyata asam lambung Ibu sedang naik. Rencana melanjutkan berkebun pun aku batalkan demi menjaga Ibuku.Jarum infus pun mulai dipasang di
Aku benar-benar tidak mau ambil pusing lagi dengan semua orang di kota. Aku tetap pada pendirianku, menghilang sejenak dari hiruk pikuknya kota.[Bilang saja, urusan saya sedang tidak bisa diganggu] Aku tambahkan pesan untuk karyawanku. Sebenarnya aku ingin bertemu Tante Mira, hanya saja aku tidak ingin mendapat luka dari Angga. Sudah cukup semua yang aku rasakan, kini aku ingin membuka lembaran baru di kampung.[Baiklah, orangnya sudah kembali setelah memesan kue kering] Cukup lega setelah mendapat kabar dari karyawanku. Bersyukur sekali memiliki rekan kerja yang bisa dipercaya serta bisa diandalkan.Terlihat sosok lelaki berjalan cepat ke arahku yang tengah menikmati bakwan sayur di belakang rumah.“Mbak Rista, ini ada pisang goreng dari Ibu. Semoga suka ya!” Belum juga habis gorengan buatan Ibu, kini ustadz Fahri datang membawa sepiring pisang goreng.“Terima kasih, Ustadz. Sepertinya enak sekali!” Aku memuji penampilan pisang goreng yang diberikan padaku.“Alhamdulillah jika suka.
Pagi ini aku sudah disibukkan dengan proses pindah ke rumah lama. Rumah penuh kenangan di masa lalu. Ara juga sudah tahu semua alasanku untuk pindah. Rumah belum lama aku tinggali telah menorehkan banyak kenangan buruk.Sebuah truk sudah bersiap melaju ke rumah lama dengan jarak lebih lama. Hati terasa tenang, menjauh dari semua yang pernah mengenalku. Mungkin aku akan dianggap seperti anak kecil yang akan pergi ketika ada masalah. Tapi ini pilihan, aku ingin lepas dari belenggu luka yang pernah mereka torehkan.Untuk pekerjaan hari ini, aku menyerahkan semuanya pada karyawanku. Aku hanya ingin fokus pindah rumah dan menikmati masa berjayanya usahaku saat ini. Usaha kue kering berjalan lancar seperti usaha restoran.Bibirku tersenyum ketika mobil yang aku kendarai sudah memasuki halaman rumah. Hatiku begitu gembira ketika melihat pohon mangga yang ada di depan rumah berbuah lebat. Dulu, Ayah akan mencari buah mangga yang sudah tua kemudian memeramnya di dalam beras. Hanya dalam waktu