Hari ini setidaknya aku sedikit lebih tenang bisa bercanda bersama Ara. Meski aku cukup malu pada Angga. Aku malu dengannya yang ternyata pemikirannya lebih dewasa daripada aku. Tanpa usaha dia menunjukkan sebuah bukti tentang Aldo, pasti aku sudah jatuh ke orang yang salah lagi.“Apa kamu masih sedih karena Aldo?” Tanya Angga saat dia mengantarkan aku pulang ke rumah.“Sedih itu pasti, Ngga. Tapi aku akan berusaha melupakannya!” Sahutku sambil melihat hiruk pikuknya kota melalui kaca mobil.“Obati dulu hatimu, Ris!” Aku mengangguk pelan akan nasehat Angga. Tidak berapa lama mobil Angga sudah sampai di halaman rumah. Ibu menyambut kedatangan kami.“Ibu!” Aku menghamburkan pelukanku pada Ibu. Tangisku pun pecah kala teringat aku membenci Ibu demi Aldo. Ibu, yang tidak pernah merestui kami karena ternyata ada sesuatu di belakang Aldo.“Sudahlah, Ris. Semua sudah selesai!” Ibu menepuk pundakku yang tergugu di pelukannya.“Ibu, Rista minta maaf. Rista khilaf!” Aku menyesal sudah pernah me
Aku membunyikan jam tangan yang aku ketahui milik Aldo di saku gamis yang aku kenakan. Aku ingin sekali memasang CCTV, namun apa daya, tabunganku sudah cukup minim sekali. Semua sudah terlanjur dan aku kini menjadi pengangguran tanpa pekerjaan. Apa yang harus aku lakukan untuk menyambung hidupku nanti. “Aku harus mencari pekerjaan, entah apapun itu. Asalkan aku bisa menghasilkan lagi!” Gumamku saat ini. Aku harus melupakan semuanya yang sudah menyakiti aku dan kembali bangkit untuk yang lebih baik lagi. “Jika aku membuat kue bagaimana ya?” Terlintas ide membuat usaha kue kering rumahan. Dulu aku sering membuatnya menjelang hari raya meski saat itu permintaan belum banyak.“Baiklah, aku harus memulai membuat kue kering untuk dijual. Masih ada beberapa bahan di rumah untuk percobaan dulu!” Aku masuk ke dapur dan memeriksa bahan-bahan yang aku ingat masih ada.“Cari apa, Ris?” Ternyata aku tidak memperhatikan Ibu dan Angga yang sedang mengobrol dekat dapur.“Cari sesuatu yang aku cari.
Akhirnya aku bisa menghela nafas kasar usai Mas Bagas pergi dari rumahku. Cukup lelah hari ini, padahal aku hanya membuat beberapa toples kue saja. Mungkin saja ini permulaan, nanti juga akan terbiasa dengan pekerjaan baru ini.Aku segera membersihkan diri sebelum memulai memasak untuk makan malam. Guyuran air dingin turut menyegarkan badanku dari penatnya seharian ini. Masalah serta usaha baru yang mulai aku rintis. “Aku harus pasang CCTV, tidak apa aku harus mengurangi tabunganku lagi demi keamanan!” CCTV menurutku sangat penting semenjak ada teror di rumah. Usai membersihkan diri, disela-sela memasak, aku menyempatkan diri mencari CCTV yang mudah dijangkau oleh harga. Aku urutkan mulai harga serta spesifikasi terendah.“Bagusnya yang empat titik, sayangnya harga belum termasuk ongkos pasang!” Aku mengeluhkan pemasangan harga CCTV. “Tidak apa, demi keamanan!” Akhirnya aku memutuskan hendak membeli CCTV empat titik meski harus dengan harga yang cukup mahal.“Sibuk amat, Ris!” Aku t
Keputusan Ibu tidak bisa diganggu gugat. Mau tidak mau, aku besok harus dibantu oleh dia. Aku kira aku bisa menghindar beberapa waktu dan tidak bertemu dengannya. Ternyata Ibu malah memintanya menemaniku membuat kue.DrrtKedua mataku membulat sempurna ketika melihat panggilan di ponselku ternyata dari Dara. Malas sekali aku menerima panggilannya. DrrtMeski sudah aku abaikan ternyata dia kembali menghubungiku lagi. Selalu saja dia begitu.“Angkat saja, Ris!” Ibu ternyata juga memperhatikan pemilik nomor ponsel yang menelponku.“Baiklah!”Aku terpaksa menekan tombol hijau dan bersiap berbicara dengan Dara.“Halo!” Aku menyapa bernada santai. Namun terdengar di seberang sana, sepasang lelaki tengah bertengkar.“Heh, pelakor!” Aku mengernyitkan dahiku mendengar Dara menyebutku seorang pelakor.“Pelakor? Bukannya itu kamu?” Dia diam sejenak, nafasnya terdengar memburu karena emosi yang memuncak.“Kenapa kamu menyuruh Mas Bagas rujuk denganmu?” Apa aku tidak salah dengar dengan pertanyaa
Pagi ini sesuai perintah Ibu, Angga datang pagi-pagi saat aku sedang bersiap mengaduk adonan kue. “Sini, biar aku yang ngaduk!” Dia mengambil baskom berisi bahan yang sudah siap diaduk. Dia begitu lihai mengaduk adonan kue kering. “Jangan menatapku terus, nanti jatuh cinta!” Sikapnya tetap sama sejak dulu, kepedean dj jika di depanku.“Ish! Ngapain juga aku cinta sama kamu?” Aku beralih membuat adonan kue lain untuk Ara. Kue lidah kucing dan nastar adalah kesukaan Ara. Tidak sabar melihat senyum Ara nanti saat melihatku datang membawa kue kesukaannya.Ternyata peran Angga membuat pekerjaan menjadi ringan. Kue sebanyak ini bisa menghabiskan waktu seharian, tetapi karena bantuan Angga, kue bisa selesai sampai siang hari termasuk pengemasan.“Ada aku jadi cepat selesai, bukan?” Sahutnya sambil memasukkan beberapa toples ke dalam kardus. “Iya, iya. Terima kasih!” Sahutku sambil mencebik ke arahnya.Usai mengemas semua pesanan, kami segera menghubungi ojek online untuk mengantar pesana
Semua berjalan lancar termasuk kembali ke restoran seperti semula. Semua sudah kembali seperti semula. Aku sebagai pemilik sekaligus pengelola restoran. Begitu pula dengan Angga, dia yang mengelola cabang baru.Seperti rencana kemarin, sepulang dari restoran aku mampir ke asrama sebelum nanti main ke rumah Maya mengantar kue. Hal yang paling membahagiakan saat Ara menyambutku dengan suka cita.“Kue kesukaan Ara, terima kasih, Ma!” Dua kue kesukaan Ara sejak dulu.“Iya dong! Oh ya, bagaimana belajarnya?”“Aman terkendali dong, Ma!” Senang bisa bercengkrama bersama anak semata wayangku. Kami berbagi cerita layaknya seorang sahabat. Memang dekat dengan anak berusia remaja sangat dibutuhkan. Kita akan tahu apa kendala ataupun kesulitan yang dihadapi seorang anak. Bahkan tanpa ditanya pun, seorang anak akan bicara dengan sendirinya.“Om Angga mana, Ma?” Selalu dia mencari sosok Angga.“Sudah ada Mama disini, untuk apa cari Om Angga?” “Om Angga menyenangkan sekali, Ma. Andai punya Ayah ka
Perasaanku masih bercampur aduk, belum lama aku tengah tersakiti mantan tunanganku dan Angga mau memasuki hatiku di saat yang belum tepat. Aldo pun masih tetap mengirim pesan padaku dengan nomor baru. Ingin sekali aku pindah ke tempat yang jauh supaya tidak ada orang yang mengenalku. Aku lelah dipermainkan perasaan.Aku sengaja tidur lebih awal untuk menyambut pesanan kue lagi. Tubuhku benar-benar lelah, harus mengerjakan dua pekerjaan dalam sehari.Tok tokBaru juga kedua mata hendak terpejam, terdengar suara ketukan dari arah jendela kamar. Jendela yang mengarah langsung ke halaman.Aku penasaran, namun aku juga tidak mau membahayakan diriku dengan menyibak tirai kamarku. Selimut kubentangkan dan aku bersembunyi di balik selimut tebalku.Ketukan semakin kencang, aku mulai.merasa risih. Terpaksa aku meraih ponsel dan menghubungi satpam. Aku bersyukur sekali satpam merespon dengan cepat. Tidak berapa lama, ketukan misterius itupun selesai. Terdengar suara sedikit gaduh dari luar. Bah
Perlahan aku mulai sadar meski begitu berat untuk membuka mata. Aku merasa tubuhku berada di sebuah kasur yang cukup lumayan nyaman meski tidak senyaman ranjang yang ada di kamarku.Aku memaksa membuka kedua mataku meski terasa berat. Hanya tertidur begini saja membuatku sudah cukup nyaman. Beberapa hari aku merasa lelah badan ditambah lelah pikiran. Maklum saja, aku masih terbayang penghianatan Aldo berujung batal nikah.Kedua mataku perlahan mengerjap dan kini aku berada di sebuah ruangan bernuansa hijau muda ala rumah sakit. Di sampingku ada Ibu yang tengah tertidur di sofa dan di samping brankar ternyata ada sosok yang sepertinya tertidur bersandar di brankar.“Kenapa aku disini?” Aku membatin akan keberadaanku di rumah sakit. Bahkan jarum infus terpasang di tangan kananku.“Apa yang terjadi?” Aku berusaha memutar ulang kejadian sebelumnya dan yang aku ingat hanya tertidur tiba-tiba.“Masya Allah, bukankah aku waktunya membuat pesanan kue? Aku belum menyiapkan bahan!” Aku berusaha
Singkat cerita, setelah kepergian Mas Bagas pergi merantau, kami pun memberi tahu kabar ini kepada Ara termasuk bebasnya Mas Bagas. “Terima kasih, Ma. Terima kasih ayah! Ara bangga sama kalian!” Aku memeluk Ara dengan suka cita. Kabar baik ini telah memberikan semangat untuknya.“Sama-sama, Ara. Ayah dan Mama sudah janji padamu!” Sungguh, kebahagiaan yang luar biasa setelah melihat semua kembali baik-baik saja. Ara yang mulai menerima sang ayah, ditambah Mas Bagas yang sudah kembali ke jalan yang benar.Sejak menikah dengan Angga, hidupku dipenuhi kebahagiaan. Usaha yang kami jalankan berdua berjalan lancar, usaha toko agen sembako miliknya juga berjalan lancar. Semua tidak lepas dari dukungan serta doa Ibu dan Ibu mertuaku.Untuk masalah mantan Ibu mertuaku, aku tidak tahu kabarnya sampai saat ini. Dimanapun keberadaannya semoga diberikan kesehatan dan kembali ke jalan yang benar. Angga menggandeng tanganku berjalan di tepi pantai menikmati senja. Sepulang dari asrama, Angga menga
Aku melihat gadis mirip Dara itu bersikap layaknya Dara yang aku kenal. Hanya saja Dara sesekali mengarahkan rambutnya di sekitar wajahnya. Mungkin saja dirinya tidak mau dikenali. “Lihat apa, Sayang?” Angga menggenggam tanganku yang tengah asik mengamati sosok Dara.“Tidak lihat apa-apa!” Sahutku kemudian melanjutkan menikmati es krim terkenal ini. Sementara aku buang dulu pikiran soal kemunculan wanita yang mirip sekali dengan Dara. “Haruskan aku meminta Mas Bagas menceritakan kronologinya? Tapi kapan bisa kesana?” Aku berbicara pada diriku sendiri. Jika aku bicara pada Angga, aku tidak enak. Karena dia sekarang sudah resmi menjadi suamiku.Aku melihat wanita mirip Dara itu pergi dengan seorang pria paruh baya atau jauh lebih tua dari usia Dara. Aku menghubungi salah satu temanku yang turut hadir saat takziah.[Kami datang, hanya saja peti jenazah tidak dibuka karena alasan wasiat dari jenazah] Sahut Rosma, yang saat itu dia hadir takziah.Tidak hanya Rosma, aku juga mencari jawab
Hari ini acara pernikahan digelar. Tidak banyak tamu undangan karena aku ingin digelar secara sederhana. Hanya beberapa saksi dan teman dekat Ibu saja ditambah pihak keluarga Angga. Gamis berwarna putih ditambah sedikit sentuhan aksesoris membuatku terlihat cantik. Ara pun memakai gamis berwarna senada sepertiku. “Anakku, cantik sekali!” Ibu membingkai wajahku dengan kedua tangannya.“Ibu, Rista akan menikah. Doakan Rista ya, Bu!” Tangisku kembali pecah di pelukan Ibu saat acara akad sebentar lagi digelar.Terdengar suara Ibu-ibu yang mengatakan jika pengantin lelaki datang. Itu artinya Angga sudah datang bersama Tante Mira. Degup jantung berdetak begitu kencang karena sebentar lagi dia akan mengucapkan janji suci di depan penghulu dan saksi.“Ayo kita keluar, Bu!” Ara dan Ibu mengantarku ke ruang tamu yang dijadikan tempat akad nikah. Semua bernuansa putih, Tante Mira dengan gaya khasnya terlihat sangat cantik. Aku duduk di kursi berada di samping Angga. Sesekali dia mencuri pandan
Dikeluarkannya sebuah kotak kecil berwarna biru beludru terlihat sangat indah sekali. Sebuah cincin bertahtakan berlian di atasnya begitu indah. Berlian itu terlihat berkilau terkena sinar lampu.“Asal kamu tahu, selama berbulan-bulan aku mencari siapakah sosok dirimu yang selalu hadir dalam setiap mimpi. Atas doa yang kulantunkan, akhirnya aku kembali menemukanmu dan sekarang aku melamarmu. Aku tidak ingin lagi jauh darimu!” Bibir bergetar, aku terharu melihat keseriusannya di depanku. “Ris. Kenapa diam?” Aku sempat terdiam sejenak karena aku merasa ini hanya sebuah mimpi. Lelaki pernah lupa ingatan ternyata bisa kembali pulih dengan beberapa bantuan dari Ibunya.“Bismillahirrahmanirrahim. Aku menerima lamaranmu, Angga!” Aku tidak tahu jika Ibu ternyata berdiri tidak jauh dariku, turut menyaksikan Angga melamarku.“Alhamdulillah, terima kasih, Rista. Terima kasih sudah mau menerimaku.” Tante Mira dan Ibu terlihat menitikkan air mata ketika aku menerima lamaran Angga.Angga memakaika
Dua hari kemudian, keadaan Ibu sudah membaik dan diperbolehkan pulang. Melihat Ibuku sehat kembali membuat semangatku kembali muncul. Aku lajukan mobil hitamku menuju ke rumah masa kecil kami. Aku tidak heran dengan kondisi halaman rumah yang penuh dengan dedaunan kering. Ini sangat terlihat kotor sekali dan tidak enak dipandang.Aku membantu Ibu masuk ke dalam rumah, urusan halaman rumah yang kotor biar nanti saja aku urus.“Zainab!” Teriak Bu Fatma, tetangga depan rumah. Wanita paruh baya itu datang bersama bu Yuni menghampiri kami berdua.“Bu Fatma, Bu Yuni. Mari masuk!” Aku mempersilahkan kedua tetangga yang begitu baik pada kami.“Zainab, bagaimana keadaanmu?” kedua teman Ibu menyalami Ibuku yang baru pulang dari rumah sakit.“Alhamdulillah. Saya sudah sehat!” “Ini tadi aku masak soto. Dimakan ya!” Bu Fatma yang sedari kemarin bertanya kapan ibu pulang kini datang membawa rantang berisi soto ayam.“Ini, aku bawakan tumis daun pepaya sama ayam goreng. Dimakan ya, Nab?” Bu Yuni me
Aku berbalik dan dia tepat berada di hadapanku. Detak jantung kembali berdegup begitu kencang. Tidak ada lagi alasan aku menghindar darinya.“Siapa anda dan kenapa kedua mata anda mengingatkanku pada seseorang?” Bibir terasa kelu, suara seakan tidak bisa aku keluarkan.“Nona, kenapa anda hanya diam?” Aku bingung harus menjawab apa padanya.“Sepertinya anda salah orang. Saya tidak kenal dengan anda!” Sahutku padanya. Wajahnya berubah sayu seolah kecewa karena tidak mendapatkan jawaban. Mungkin ini yang dikatakan Tante Mira. Angga tengah merindukanku namun lupa denganku.“Anda berbohong. Tatapan anda terlihat jika anda sedang berbohong!” Dia tidak percaya padaku. Aku harus pergi darinya sebelum Tante Mira menemukan kami.“Saya tidak berbohong, Tuan. Permisi!” Aku berlalu begitu saja meninggalkannya seorang diri. Aku berjalan cepat menuju ke ruang rawat inap Ibuku. Ternyata Tante Mira sudah bersiap untuk pulang. Aku tenang bisa sendirian lagi tanpa ada yang mengganggu saat menjaga Ibu.C
Keesokan harinya, aku dikejutkan dengan keadaan ibu yang mendadak demam. Tidak ada kata lain selain membawa Ibu ke klinik terdekat. Aku harap hanya demam biasa. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju ke sebuah klinik yang tidak terlalu besar. Klinik sebagai andalan warga untuk berobat selain puskesmas.Sesampai disana, perawat dengan sigap membawakan kursi roda untuk Ibu. Wajah Ibu bahkan terlihat pucat sekali. Melihat keadaan seperti ini membuatku takut. Takut kehilangan seseorang yang harusnya mendampingiku merawat Ara. Ibu dibawa ke IGD. Sedari tadi Ibu merintih menahan sakit di bagian perutnya. Bibir tidak bisa berhenti melafalkan istighfar melihat Ibu yang tengah merintih. Seorang Ibu yang tidak pernah mengeluh sakit, kini harus terbaring lemas di ranjang.Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata Ibu harus opname karena setelah diperiksa, ternyata asam lambung Ibu sedang naik. Rencana melanjutkan berkebun pun aku batalkan demi menjaga Ibuku.Jarum infus pun mulai dipasang di
Aku benar-benar tidak mau ambil pusing lagi dengan semua orang di kota. Aku tetap pada pendirianku, menghilang sejenak dari hiruk pikuknya kota.[Bilang saja, urusan saya sedang tidak bisa diganggu] Aku tambahkan pesan untuk karyawanku. Sebenarnya aku ingin bertemu Tante Mira, hanya saja aku tidak ingin mendapat luka dari Angga. Sudah cukup semua yang aku rasakan, kini aku ingin membuka lembaran baru di kampung.[Baiklah, orangnya sudah kembali setelah memesan kue kering] Cukup lega setelah mendapat kabar dari karyawanku. Bersyukur sekali memiliki rekan kerja yang bisa dipercaya serta bisa diandalkan.Terlihat sosok lelaki berjalan cepat ke arahku yang tengah menikmati bakwan sayur di belakang rumah.“Mbak Rista, ini ada pisang goreng dari Ibu. Semoga suka ya!” Belum juga habis gorengan buatan Ibu, kini ustadz Fahri datang membawa sepiring pisang goreng.“Terima kasih, Ustadz. Sepertinya enak sekali!” Aku memuji penampilan pisang goreng yang diberikan padaku.“Alhamdulillah jika suka.
Pagi ini aku sudah disibukkan dengan proses pindah ke rumah lama. Rumah penuh kenangan di masa lalu. Ara juga sudah tahu semua alasanku untuk pindah. Rumah belum lama aku tinggali telah menorehkan banyak kenangan buruk.Sebuah truk sudah bersiap melaju ke rumah lama dengan jarak lebih lama. Hati terasa tenang, menjauh dari semua yang pernah mengenalku. Mungkin aku akan dianggap seperti anak kecil yang akan pergi ketika ada masalah. Tapi ini pilihan, aku ingin lepas dari belenggu luka yang pernah mereka torehkan.Untuk pekerjaan hari ini, aku menyerahkan semuanya pada karyawanku. Aku hanya ingin fokus pindah rumah dan menikmati masa berjayanya usahaku saat ini. Usaha kue kering berjalan lancar seperti usaha restoran.Bibirku tersenyum ketika mobil yang aku kendarai sudah memasuki halaman rumah. Hatiku begitu gembira ketika melihat pohon mangga yang ada di depan rumah berbuah lebat. Dulu, Ayah akan mencari buah mangga yang sudah tua kemudian memeramnya di dalam beras. Hanya dalam waktu