Charisa turun dari taksi setelah sampai di gedung di mana perusahaan Vallarta berada. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai CEO di sana. Untungnya dia tidak datang terlambat. Di pintu lift menuju lantai kantor Vallarta dia menatap bayangan wajahnya yang terlihat sedikit lelah. Pengaruh sisa alkohol dan kejadian semalam tentu berpengaruh pada kondisi wajahnya sekarang. Sebelum itu menjadi bencana, Charisa kemudian melipir dulu ke arah toilet di lantai satu. Dia harus menata ulang riasannya.
Sampai di toilet dia kemudian mengeluarkan cushion miliknya. Ini masih pagi dan tentu belum banyak yang datang. Charisa sedikit leluasa untuk menata wajahnya agar terlihat lebih fresh dan cantik.
“Hei kau tidak tahu Jimmy yang bekerja di Vallarta lantai 20?” Seorang gadis muda datang dengan dua orang gadis lainnya ke toilet.
“Ya tahu dong. Emang kenapa sama dia?” tanya dua temannya itu.
Charisa mencoba menguping apa yang akan menjadi bahan pembicaraan para gadis itu tentang Jimmy. Kalau diperhatikan sepertinya mereka bukan karyawan atau staf Vallarta. Gedung ini memang terdiri dari beberapa kantor dan perusahaan. Vallarta sendiri berada di lantai dua puluh.
“Mantannya semalam bertemu denganku. Katanya sekarang Jimmy diturunkan jabatannya jadi asisten CEO yang baru!”
“Benarkah? Wah kasihan banget ya.”
“Ngapain kasihani playboy macam dia. Lagipula katanya CEO yang baru itu perempuan dan belum menikah. Bisa bahaya sih kalau dia bakal deketin CEO nya. Padahal mantannya masih satu kantor.”
“ Duh bagaimana ya perasaan Sinta?”
“Tapi baguslah Sinta lepasin laki-laki brengsek itu. Dia sudah sering diselingkuhi!”
Charisa yang mendengar itu menjadi sedikit menyesal dan kecewa. Jadi Jimmy ternyata orangnya seperti itu. Sebaiknya mungkin dia tidak terlalu dekat dengan Jimmy nanti ke depannya.Charisa kemudian keluar dari toilet dengan perasaan yang kecewa. Dia seharusnya tidak mengajaknya ke hotel. Gadis itu sangat menyesal.
Sampai di lantai dua puluh, Charisa bertemu dengan Lily manajer produksi. Dia sering bertemu lewat video conference dengan beberapa manajer dan CEO sebelumnya.
“Nona selamat datang di Jakarta. Tapi kenapa Anda datang sendiri? Apa Jimmy terlambat menjemputmu?” tanya Lily.
Charisa hanya bisa menjawab dengan senyuman pendek. Mana mungkin dia menjawab kalau Jimmy masih berada di hotel. Tanpa banyak berbasa basi Charisa langsung menuju kantor Vallarta dengan diikuti Lily.
“Aku sudah mengontak beberapa agen properti. Nanti sore Anda akan sudah mendapatkan apartemen yang dekat dengan kantor.”
“Baik terima kasih Lily bantuannya. Ngomong-ngomong bisakah kau ganti orang yang menjadi asistenku?” tanya Charisa to the point. Dia cukup terpengaruh dengan obrolan di toilet tadi. Jimmy itu adalah seorang playboy. Bahkan mantan pacarnya pun masih bekerja dan satu kantor di sini. Charisa harus hati-hati karena dia tidak mau merusak hubungan orang hanya karena kejadian semalam.
“Nona Charisa, maafkan aku. Dari kemarin saya berusaha menghubungi nomor Anda tapi nomor Anda tidak bisa dihubungi. Kemarin saya terlambat menjemput Anda.” Seorang pria berusia tiga puluh tahunan datang tergopoh-gopoh mencegat Charisa yang hendak masuk ke ruangannya.
“Jimmy! Jadi kau kemarin tidak menjemputnya?” tanya Lily dengan suara keras karena kaget. Tetapi lebih kaget lagi adalah Charisa. Dia berusaha mencerna ucapan pria itu. Jadi maksudnya kemarin dia tidak menjemputnya di bandara. Lalu, siapa pria itu yang semalam menemaninya mengarungi laut kenikmatan.
“Kemarin mobilku hendak menjemput Nona di bandara tapi malah mogok di jalan. Jadi aku menghubungi Nona untuk menunggu sampai mobil bisa jalan lagi. Masalahnya nomornya tidak bisa dihubungi dan waktu aku ke sana. Aku sudah tidak menemukan Anda di sana," lirih Jimmy dengan penuh rasa bersalah.
Charisa tiba-tiba merasa tubuhnya limbung. Dia memegang tembok untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.
“Jadi kau Jimmy asistenku?” tanya Charisa sambil menatap wajah pria itu. Dia sama sekali bukan Jimmy yang kemarin dia temui. Dan bukan Jimmy yang menemaninya di ranjang panas semalam.
“Iya Nona. Saya minta maaf dan mohon Anda mempertahankan posisi saya saat ini. Kalau tidak, saya tidak diterima di divisi lain pun di kantor ini!” ucap Jimmy dengan sorot mata memohon.
Charisa merasa kepalanya sangat berat. Jadi siapa pria itu. Kenapa dia berpura-pura mengenal dan menjadi Jimmy. Siapa yang salah? Apa mungkin dari awal dia yang sudah salah.
“Nona, Anda tidak apa-apa?” tanya Jimmy khawatir melihat Charisa yang tiba-tiba pucat.
“Aku sakit kepala melihatmu. Pergilah! Sementara ini jaga jarak denganku! Kalau tidak, aku bisa langsung mengganti posisimu dengan cepat!” titah Charisa dengan nada kejam.
Lily kemudian memberi kode agar Jimmy pergi. Charisa kemudian masuk ke dalam kantornya sambil memijit keningnya yang berkedut. Hari pertama dia di Jakarta sungguh di luar ekspektasinya.
*
Ada bagusnya jika pria itu adalah pria asing yang ia tak kenal. Kejadian semalam itu adalah kesalahan yang harus segera ia lupakan. Charisa pun tidak ingin pergi ke hotel itu lagi dan bertemu dengan pria itu. Lagipula dia tidak berhak meminta pertanggungjawaban pria itu. Dia sendiri yang meminta pria itu untuk menidurinya. Anggap saja dia memberikan kegadisannya dengan percuma pada pria asing yang baru ia kenal. Mungkin dia adalah gadis yang paling bodoh di dunia. Karena dia tidak hati-hati memeriksa identitas pria itu. Andai saja dia tidak sok akrab dengan pria itu mungkin kejadian semalam tidak akan pernah terjadi.
Charisa harus segera melupakan pria itu dan kejadian memalukan itu. Dia melihat dari kejauhan Jimmy yang duduk di mejanya. Jimmy asli tampaknya sangat bertolak belakang dengan pria itu. Jimmy terlihat lebih kekanak-kanakan dan ceroboh. Berbeda dengan pria itu yang terlihat sangat elegan dan dewasa.
“Gawat! Aku berikan dia uang untuk bayaran pelayanannya tapi apa itu kurang. Apa mungkin dia akan mencariku ke sini. Mustahil dia tahu aku bekerja di mana?” Charisa berusaha mengurangi rasa paniknya dengan berusaha mengingat-ingat apakah dia pernah mengatakan dimana dia bekerja.
“Kenapa waktu itu dia diam saja pas aku panggil Jimmy?” sungut Charisa heran.
“Sepertinya dia sengaja karena memang dia juga tertarik padaku,” pikirnya lagi.
“Jadi dia juga sebenarnya tidak perlu uang bayaran. Hahaha.” Charisa berusaha tertawa untuk menutupi kebodohannya.
“Nona kenapa Anda tertawa. Apa ada yang lucu?” Tiba-tiba Jimmy sudah berada di depannya.
Charisa menghentikan tawanya dan menatap Jimmy dengan tatapan aneh.
“Apa kau masih ingin menjadi asistenku?” tanya Charisa.
“Tentu saja Nona.” Jimmy tampak antusias.
“Kalau begitu, kau bisa menjadi asisten dengan syarat. Pertama kau jangan mencoba merayu dan menggodaku, kedua jangan malas saat bekerja denganku, ketiga tidak boleh berpacaran saat bekerja di kantor!”
“Ah tentu saja Nona. Saya ini sudah punya pacar. Dia bekerja di rumah sakit sebagai perawat, aku tidak akan malas bekerja karena aku ingin mendapatkan gaji dan bonus agar bisa cepat melamar pacarku,” jawab Jimmy.
“Benarkah itu. Jadi kau sudah punya pacar baru? Apa Sinta tahu kalau kau sudah punya pacar lagi?” tanya Charisa malah tertarik.
“Nona darimana Anda tahu Sinta. Setahuku Anda belum bertemu dengan karyawan lain?” tanya Jimmy yang heran karena Charisa mengenal Sinta yang merupakan mantannya di kantor ini.
“Aku ini punya banyak spy di sini. Jadi jangan banyak tingkah di kantor!” ucap Charisa dengan wajah yang serius.
“Ba-baik Nona. Saya akan ingat ucapan Anda," jawab Jimmy terbata-bata.
“Bagus ! Sudah waktunya kau serius dan mulai berpikiran untuk menikah. Sekarang ini kau sudah tobat menjadi seorang playboy!” seru Charisa menepuk bahu Jimmy.
Mendengar ucapan Charisa, wajah Jimmy terlihat sangat pucat. Dia mengira kalau Charisa sudah memeriksa latar belakangnya dengan detail. Bahkan privasinya Charisa sudah tahu kalau dia adalah seorang playboy.
Satu bulan lebih berlalu, tanpa halangan Charisa dapat bekerja dengan baik sebagai CEO di Vallarta cabang Jakarta. Tersisa dua bulan lagi untuk kembali ke Jepang. Dia tinggal menyelesaikan beberapa permasalahan intern di sini. Setelah itu dia akan kembali lagi ke Jepang sesuai arahan Tuan Juko.Kemampuannya dalam memimpin perusahaan memang tidak diragukan. Pantas saja jika karirnya cemerlang di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Padahal dia bekerja di Vallarta baru tiga tahun, tetapi pemilik Vallarta sangat mempercayainya. Selain cerdas, Charisa memang mampu bekerja keras dalam memecahkan masalah di perusahaan dibandingkan dengan pegawai lain. Vallarta adalah perusahaan furniture yang mencoba membuka cabang di Jakarta. Kota Jakarta sebagai kota metropolitan sangat menjanjikan menjadi target pemasaran desain-desain furniture yang dimiliki Vallarta. Hanya saja untuk saat ini Vallarta Jakarta belum dapat berjalan dengan lancar karena banyak masalah di produksi, pengiriman dan
Pertemuan tak sengaja itu akhirnya berujung dengan kopi darat di sebuah cafe dekat rumah sakit. Charisa baru mengetahui kalau ternyata Genta adalah seorang dokter umum di rumah sakit itu. Rasa kecewanya kemarin berubah kagum karena Genta berhasil menggapai cita-citanya sebagai seorang dokter.“Aku tidak mengira kalau kita bakal bertemu lagi.” Genta tidak bisa menutupi rasa senangnya bisa bertemu lagi dengan teman sekolah sekaligus tetangganya itu. Dia tidak berhenti tersenyum dan menatap wajah Charisa dengan intens.“Aku juga,” jawab Charisa datar. Dia kehilangan semangat gara-gara Genta sudah banyak pencapaian. Sedangkan dia, dia harus memikul nasib menjadi wanita hamil tanpa pasangan.“Oh ya, kau dari mana saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau sudah menikah?” tanya Genta dengan nada agak ragu karena banyak pertanyaan yang ia ingin lontarkan. Wajahnya terlihat sangat berhati-hati.Charisa menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia sama sekali tidak tertarik dengan topik seperti
Hari itu Charisa melamun di meja kerjanya. Setelah sadar kalau dia hamil, dia jadi lebih gampang mual dan porsi makannya menjadi bertambah. Hormonnya pun agak berbeda. Dia lebih sensitif dan cenderung persuasif. Dia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak ada dokter yang akan membantunya menghilangkan janin itu. Itu merupakan tindakan yang ilegal. Sementara dirinya sendiri ragu jika harus mempertahankannya di dalam kandungan. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu kalau dirinya hamil tanpa tahu siapa ayahnya.“Nona, ini aku bawakan salad buah pesananmu!” Jimmy sudah berada di depan mejanya dan memberinya sebuah paper bag berisi pesanannya.“Terima kasih Jim. Oh ya, apa ada dokumen yang masih harus aku tanda tangan?” tanya Charisa.“Tadi Lily bilang kalau ada beberapa dokumen dari sub kontraktor Surabaya baru selesai diperiksa timnya. Aku akan bawakan ke sini!” jawab Jimmy.“Hmm, oke. Bawakan cepat, aku harus pergi satu jam lagi.”“Baik Nona,” jawab Jimmy patuh.Setelah Jimmy pergi,
“Apa kau mau tidur menemaniku malam ini?” tanya Chaca sambil menatap wajah Genta dengan tatapan penuh arti.Genta terkejut mendengarnya. Dia mengusap-usap telinganya barangkali dia salah mendengar.“Tidak mau?” tanya Chaca dengan wajah kecewa.“Bukan seperti itu, Cha. Tapi — apa tidak salah?” Genta masih terlihat bingung dan tidak percaya.“Katanya kau mau merawat dan menjagaku. Jadi —” Chaca terdengar sangat provokatif.“Cha, ini bukan bercanda kan? Aku tahu kau sudah lama tinggal di Jepang dan yang kayak begini sudah tidak aneh. Tapi bagiku —- aku masih tidak terbiasa.” Genta menolak secara halus.Chaca tersenyum miring menatap raut wajah Genta yang gelisah. Genta masih seperti dulu, dia malu-malu kucing. Malu tapi sebenarnya dia mau.“Kau tidak serius kan?” tanya Genta dengan suara yang tercekat karena berusaha untuk tidak terpancing.“Tentu saja, kenapa kau anggap itu serius?” Chaca benar-benar puas mellihat wajah Genta yang sempat gelisah tadi. Sebenarnya dia juga serius ingin me
Seperti biasa, Charisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ini sudah sore, dan Genta sama sekali belum mengabarinya. Ada untungnya semalam dia memberi obat tidur pada Genta. Kalau tidak, Charisa mungkin akan lebih sakit hati jika Genta hanya ingin mencoba tidur dengannya saja.“Nyonya Charissa. Ini sudah waktunya pulang. Apa mungkin ada pekerjaan lain yang harus kita kerjakan malam ini?” tanya Jimmy menghampiri meja kerjanya.“Tidak ada. Kau pulang saja! Aku harus membereskan beberapa laporan ke Pusat,” jawab Charisa sambil menatap layar PC nya. Tetapi beberapa kali dia melirik ponselnya yang sedari tadi belum ada notif yang masuk.“Baiklah kalau begitu. Saya pulang duluan! Oh ya, saya sudah pesankan kue untuk menemani Anda bekerja!” Jimmy yang pengertian meletakkan satu kotak kue di atas meja Charisa.“Terima kasih untuk hari ini Jimmy!” ucap Charisa tersenyum.“Sama-sama!” Pria itu pun kemudian berpamitan dan pergi.Tinggallah Charisa sendiri di ruang kerjanya melamun dengan apa
Rasanya mendengar ucapan itu, Charisa gemetar meski sebenarnya dia tidak terlalu kaget. Dia langsung menebak kalau gadis itu adalah Sweet. Orang yang tidak pernah diceritakan Genta tapi dia pasti orang yang sangat spesial sehingga menamai nomornya dengan kata Sweet.“Maaf aku tidak mengenalmu, ada urusan apa ke sini?” jawab Charisa ketus.“Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini?” tanya Irene dengan nada sedikit tinggi.“Bukan urusanku. Aku tidak ada hubungan apapun dengan tunanganmu. Pergilah sebelum aku panggil security!” usir Charisa.“Aku mengecek riwayat GPS Genta, dan tanggal di mana dia tidak pulang ternyata dia pergi ke sini dan menginap di sini. Dasar lonte!” teriak Irene menghina.Charisa berusaha untuk tenang dan tidak tersulut emosi dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Irene.“Sudah berapa kali kau menggodanya untuk datang ke sini?” tanya Irene dengan nada provokasi.“Hati-hati bicara!Dia hanya bekas tetanggaku dulu. Aku tidak ada hubungan dengan Genta! Paham! Pergilah
Lima tahun berlalu.Waktu terasa cepat berlalu, hidup Charisa banyak berubah setelah itu. Selama itu juga dia tidak pernah kembali ke negara kelahirannya. Dia lebih memilih bekerja dan menghabiskan sebagian hidupnya di Jepang bersama keluarganya.Dia sudah cukup bahagia sekarang dan lebih tenang. Meski di awal-awal dia merasa menderita dan tersiksa.Kedua orang tuanya mengizinkannya hidup seperti apa yang ia pilih. Sampai sekarang pun Charisa enggan menceritakan apa yang ia alami lima tahun lalu. Tadinya Charisa hendak menggugurkan kandungannya saat kembali ke Jepang. Namun entah apa yang membuatnya memutuskan untuk mempertahankan kehamilannya dan melahirkan anak tanpa ayah itu.Saat di rumah sakit, ia melihat sepasang suami istri yang menangis saat mengetahui kalau anak mereka tidak bisa dipertahankan. Barulah Charisa menyadari kalau kehadiran anak adalah sebuah anugerah yang tidak semua orang mudah mendapatkannya. Mulai dari sanalah Charisa mengubah pola pikirnya. Mungkin Tuhan punya
“Nyonya! Ayo mulai!” bisik Kinara yang mendapati Charisa yang berdiri mematung sempurna selama sepuluh detik lebih karena shock melihat pria itu di depannya. Sama seperti dirinya pria itu terlihat tidak tenang dan seperti hendak menghampirinya saat itu juga.Charisa mengusap wajahnya dengan penuh rasa gugup. Tiba-tiba saja fokusnya berantakan karena kehadiran pria itu. “Nyonya, apa yang Anda lakukan?” tanya Kinara heran melihat Charisa yang malah kelihatan lebih bingung dibandingkan dengannya.“Golden Soul, apa bisa dimulai. Waktu kita tidak banyak!” seru seseorang yang bertindak sebagai moderator. Charisa mengepalkan kedua tangannya dan memejamkan kedua matanya berusaha untuk mengembalikan kekuatannya. Ini semua demi masa depan Darren, dia harus berhasil dan membuka kesempatan emas untuk perusahaan yang dirintisnya.Charisa menarik napas dan menghembuskan napasnya teratur untuk mengisi energi positifnya. Lalu dia angkat kepalanya dan mengumpulkan keberaniannya untuk menatap para man
“Arrrrrrgggh!” teriak Charisa. Tubuhnya mencoba meronta melepaskan diri dari Jean. Tiba-tiba tubuhnya terjatuh ke lantai. Kedua mata Charisa terbuka, seketika sekujur tubuhnya terasa nyeri. Dia berada di lantai dekat dengan tempat tidurnya. Wanita itu melihat sekelilingnya dan mulai menyatukan ingatan dan kesadarannya.Barulah sadar kalau ternyata dia baru saja bermimpi kalau Jean datang ke kamarnya. Charisa terdiam beberapa saat mencoba menenangkan dirinya setelah terbangun dari mimpinya.“Dasar bodoh Charisa, kenapa kau sampai membawa Jean ke dalam mimpi segala!” rutuk Charisa memijat keningnya yang berdenyut.“Apa gara-gara ciuman itu?” pikir Charisa. Ingatannya tentang kejadian itu sampai terbawa ke alam mimpi. Ini semua gara-gara Jean. Charisa bangun dari lantai dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Dia termenung menyesalkan semua yang sudah menganggu pikirannya.“Charisa!” “Charisa! Apa kau sudah bangun?” Terdengar suara ibunya memanggil.“Ya Bu!” jawab Charisa sembari bergega
Di dalam kamarnya Charisa terlihat uring-uringan, dia tidak berhenti bolak balik di depan tempat tidurnya. Pesan yang ia kirim untuk Jean dan terkirim pada Genta belum sempat dibaca Genta. Charisa dengan segera menarik pesan itu tadi sebelum Genta dapat membacanya. Dia hanya bisa berharap kalau Genta belum sempat melihat pesannya itu. Kalau dia sempat melihat, sepertinya masalah akan bertambah satu. Genta pasti merasa kalau dia sudah memberi jawaban secara tidak langsung. Ini akan menjadi sebuah kesalahpahaman yang berbuntut panjang.Charisa menyentuh kembali bibirnya yang tadi sempat dicium Jean. Hatinya kembali berdebar mengingat momen itu. “Jean apa yang sudah kau lakukan padaku?” gumam Charisa sambil mengusap bibirnya dengan penuh rasa frustasi.“Apa dia pikir aku terlalu mudah untuk dia sentuh,” lirih Charisa menyesal yang seharusnya tadi bisa untuk menghindar. Kenapa tubuhnya tidak bisa ia pertahankan.“Kau bodoh!” Charisa menyalahkan dirinya sendiri. “Kau sempat menikmatinya
Charisa terdiam dalam sentuhan bibir Jean, tubuhnya terasa seperti terbebani oleh banyak perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ketika bibir Jean menyentuhnya, ada kehangatan yang mengalir melalui tubuhnya, seakan-akan dunia di sekeliling mereka menghilang dan hanya ada keduanya. Charisa bisa merasakan detak jantung Jean yang berpadu dengan detak jantungnya, dan untuk sesaat, ia merasa seolah-olah mereka hanya dua jiwa yang saling terikat dalam kesunyian malam.Jean memegangnya dengan lembut, seolah-olah dia takut jika dia melepasnya, Charisa akan hilang begitu saja. Namun ketika kesadaran dan logikanya kembali, Charisa segera melepaskan dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, namun hatinya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Keputusan itu muncul begitu cepat, hampir tanpa pertimbangan. Perasaan yang tiba-tiba datang begitu kuat, namun juga penuh dengan kebingungan. Ia menatap Jean dengan mata yang sedikit teralihkan, bingung dengan perasaan yang mengaduk di d
Charisa mencoba mengatur napasnya, berusaha untuk tetap tenang meskipun tubuhnya terasa lemas. Kehadiran Genta dengan ekspresi penuh amarah jelas menunjukkan bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.“Aku pikir kita perlu bicara,” ujar Genta dengan nada dingin, meletakkan amplop cokelat itu ke atas meja Charisa.Charisa menatap amplop itu dengan tatapan bingung dan penuh waspada. “Apa ini?” tanyanya, suaranya nyaris bergetar.“Buka dan lihat sendiri,” balas Genta tanpa mengalihkan tatapannya.Dengan tangan gemetar, Charisa meraih amplop itu dan menarik keluar isinya. Sepasang mata cokelatnya membelalak saat melihat kertas hasil tes DNA di tangannya. Ia membaca isi dokumen itu dengan cepat, lalu mendongak menatap Genta.“Darimana kau mendapatkan ini?” tanya Charisa. Dia merasa kalau itu adalah perbuatan Jean.“Tidak penting bagaimana aku bisa mendapatkan ini,” jawab Genta dengan tegas, tapi dengan nada yang lebih mengarah ke perasaan kecewa. “Yang penting adalah, kenapa kau tidak pernah
“Nona Charisa ada paket datang. Sudah saya letakkan di atas meja Anda!” Kinara memberi tahu Charisa saat wanita itu datang.“Baik, terima kasih.” Charisa berjalan menuju ruangannya. Hatinya masih berada di dimensi lain. Perkataan Jean tadi berhasil membuatnya tidak fokus sepanjang perjalanan ke kantor. Charisa menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu ruangannya. Di atas meja kerjanya, sebuah kotak cokelat sederhana dengan pita biru tergeletak rapi. Ia menatapnya beberapa detik, lalu mengambil cutter untuk membukanya.Kotak itu berisi sebuah sepatu dengan desain mewah dari brand terkenal. Bersama dengan sepatu itu, terdapat selembar kartu kecil dengan tulisan tangan.“Waktunya melangkah dengan lembaran baru bersama orang yang benar-benar peduli denganmu. Charisa aku ingin berada di sampingmu dan melindungimu dan juga Darren”Charisa merasakan denyutan di dadanya. Ia tahu tulisan itu milik Jean. Kata-kata itu membuat pikirannya berputar. Apa yang sebenarnya diinginkan Jean darin
Charisa hampir tidak bisa tidur karena bingung mesti menjawab apa pesan yang dikirim Jean padanya. Dia tidak bisa menjawab dengan pasti. Haruskah dia langsung menolak mentah-mentah permintaannya itu. Keesokan harinya kepalanya terasa pusing karena kurang tidur. “Cha, kalau merasa tidak sehat sebaiknya kau tidak usah berangkat bekerja dulu. Darren biarkan Ibu saja yang mengantarnya ke sekolah.” Monika langsung menyadari begitu ia melihat Charisa yang hampir tidak memakan sarapannya.“Tidak Ibu, di kantor banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,” jawab Charisa menolak.“Wajahmu terlihat pucat. Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” tanya Monika perhatian.Hardian meletakkan koran di atas meja makan mendengar istri dan putrinya yang berbincang. Dia menatap wajah Charisa yang memang pagi itu terlihat sangat pucat.“Ibumu benar. Apa sebaiknya kau periksa ke dokter?” tanya Hardian yang ikut khawatir.“Tidak apa-apa Ayah. Aku kan baik-baik saja setelah minum vitamin,” jawab Charisa.“Monika d
Aku hanya ingin memastikan sesuatu, Jean," jawab Yuri dengan nada manis yang terdengar dibuat-buat. Matanya tajam, menatap lurus ke arah Jean seolah ingin menggali pikirannya.Jean bersandar di kursinya, menyembunyikan rasa gugupnya di balik sikap tenang. "Memastikan apa?" tanyanya sambil menyilangkan tangan di dada.Yuri mendekati meja Jean dengan langkah anggun, menyentuh pinggiran meja dengan jari-jarinya. "Kau kelihatan sibuk sekali. Apa ada sesuatu yang perlu kubantu? Atau... mungkin seseorang?"Jean menahan diri agar tidak menunjukkan reaksi berlebihan. "Aku hanya bekerja, seperti biasa. Kau seharusnya tahu aku tidak butuh bantuanmu."Yuri terkekeh kecil, nada tawanya membuat suasana semakin tegang. "Tentu saja. Tapi aku rasa kau terlalu meremehkanku. Kau tahu, Jean, aku selalu punya cara untuk tahu apa yang terjadi di sekitarku."Jean merasakan napasnya menahan. Ucapan Yuri terdengar seperti peringatan halus, namun ia tidak ingin terbawa emosi. "Jika kau punya sesuatu untuk dis
Jean mengemudikan mobilnya dengan cepat, meskipun pikirannya terpusat pada informasi yang baru saja diterimanya. Sebuah gambar dari Ryuga masih terbayang di matanya. Gambar Kazuto, wajahnya yang tak asing, dengan ekspresi yang sulit untuk dibaca. Ada sesuatu yang meresahkan dalam diri Jean, sesuatu yang mengingatkannya bahwa ancaman ini mungkin jauh lebih besar dari yang ia duga sebelumnya.Kazuto, dengan hubungan gelapnya dan catatan kriminal yang panjang, seharusnya sudah cukup untuk mengundang rasa curiga. Tapi yang paling mengejutkan baginya adalah catatan dari Ryuga yang menyebutkan bahwa Kazuto pernah terlibat dalam sebuah kasus kriminal dengan Yuri. Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka? Jean tidak tahu, tapi yang jelas, ia merasa bahwa Charisa sedang terjerat dalam sesuatu yang berbahaya, dan ia tidak bisa hanya duduk diam.Jean berusaha menenangkan dirinya saat mobilnya menyusuri jalan menuju hotel. Namun, hatinya tidak bisa tenang. Apa yang harus ia lakukan setelah ini?
Jean yang takut terjadi sesuatu pada Darren, akhirnya dia melajukan mobilnya ke rumah Charisa. Sampai di sana dia tidak berani keluar, dia hanya duduk di mobilnya yang terparkir tak jauh dari rumah Charisa. Dia menarik napas lega ketika melihat Charisa duduk di balkon. Dia juga sudah memastikan Darren baik-baik saja dijemput oleh Masaru. Baru saja ia hendak pergi meninggalkan lingkungan rumah Charisa. Dia melihat sebuah mobil berhenti tak jauh darinya. Jean mulai khawatir jika ada seseorang yang mengintai Charisa dan Darren, jadi dia memutuskan untuk mengawasi dan memastikan siapa orang itu.Betapa terkejutnya dia melihat siapa yang turun dari mobil. Genta, kekasih Charisa. Melihat pria itu di sini, berbicara dengan Charisa di tengah malam, membuat darahnya mendidih.Jean menggertakkan giginya. Perasaan cemburu merambat di hatinya, mencengkeram lebih keras dengan setiap gerakan yang dilihatnya. Apa yang mereka bicarakan? Kenapa pria itu ada di sini? pikirnya. Ia membenci betapa deka