Pertemuan tak sengaja itu akhirnya berujung dengan kopi darat di sebuah cafe dekat rumah sakit. Chaca baru mengetahui kalau ternyata Genta adalah seorang dokter umum di rumah sakit itu. Rasa kecewanya kemarin berubah kagum karena Genta berhasil menggapai cita-citanya sebagai seorang dokter.
“Aku tidak mengira kalau kita bakal bertemu lagi.” Genta tidak bisa menutupi rasa senangnya bisa bertemu lagi dengan teman sekolah sekaligus tetangganya itu. Dia tidak berhenti tersenyum dan menatap wajah Chaca dengan intens.
“Aku juga,” jawab Chaca datar. Dia kehilangan semangat gara-gara Genta sudah banyak pencapaian. Sedangkan dia, dia harus memikul nasib menjadi wanita hamil tanpa pasangan.
“Oh ya, kau dari mana saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau sudah menikah?” tanya Genta dengan nada agak ragu karena banyak pertanyaan yang ia ingin lontarkan. Wajahnya terlihat sangat berhati-hati.
Chaca menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia sama sekali tidak tertarik dengan topik seperti ini. Dia malu kalau dia belum menikah sedangkan Genta sudah sukses menjadi dokter dan memiliki keluarga yang bahagia.
“Sama dong. Aku juga belum menikah,” jawab Genta dengan tarikan napas lega.
“Hah?” Chaca mendongakkan kepalanya menatap Genta. Dari sejak tadi dia memang tidak berani menatap wajah mantan kekasihnya itu.
“Kenapa kaget? Wajar lah seusia kita masih belum menikah. Aku baru saja berhasil menjadi dokter penuh waktu di rumah sakit. Masa mudaku habis di kampus, di rumah sakit dan di forum penelitian dokter.”
“Ta-tapi —” Chaca tidak percaya kalau Genta belum menikah. Lantas anak yang dituntun Genta waktu itu siapa. Apa dia salah mengira? Atau memang dia memiliki anak tapi di luar nikah. Itu bisa jadi.“Kenapa ekspresi wajahmu seperti itu? Apa kau tidak percaya aku belum menikah?” tanya Genta sambil tertawa lepas karena melihat mimik wajah Chaca yang seperti kebingungan. Chaca benar-benar shock. Apa mungkin selama ini dia salah mengira.
“Mana mungkin kau belum menikah. Sejak sekolah saja banyak sekali gadis yang mengejar-ngejarmu,” cibir Chaca.
“Aku memang belum menikah Cha. Belum nemu yang cocok. Sejak putus hubungan denganmu aku tidak menemukan gadis yang sepertimu,” jawabnya dengan nada berkelakar.
“Barangkali kau sudah punya anak Ta!” sahut Chaca dengan nada bercanda.
“Anak!? Mana mungkin. Menikah saja belum apalagi punya anak,” timpal Genta dengan mimik wajah lucu.
“Kan zaman sekarang sudah banyak begitu,” ucap Chaca. Pertanyaan konyol. Bukankah sekarang dia sendiri yang berada di posisi itu. Punya anak tanpa suami.
“Jangan bicara sembarangan Cha! Aku ini belum menikah dan tidak punya anak.” Genta meyakinkan Chaca dengan wajah yang serius.
“Tapi waktu itu aku jelas melihat kau –” Chaca tanpa sadar memberitahu Genta.
“Apa maksudmu. Kau melihat aku apa?” Genta menatapnya dengan serius. Dia menangkap ekspresi wajah Chaca yang terlihat gugup dan mencurigakan.
“Aku pernah melihatmu menuntun seorang anak.” Chaca akhirnya mengaku.
“Kapan? Di mana? Lalu kenapa kau tidak menyapaku jika kau melihatku?” tanya Genta bertubi-tubi. Dia merasa kalau Chaca sengaja melakukannya.
“Sebulan yang lalu.”
“Apa sebulan lalu. Di mana? Jadi sudah berapa lama kau di Jakarta? Cha — apa kalau kita tidak sengaja bertemu di rumah sakit, kau tidak akan menemuiku?” Genta benar-benar memberinya dengan banyak pertanyaan.
Chaca terdiam. Entah kenapa dia merasa bersalah pada Genta. Dia sudah salah karena tidak menemuinya terlebih dahulu. Mungkin kesalahpahaman ini tidak akan terjadi.“Aku masih tinggal di sana. Bahkan ketika ayahku sudah meninggal aku tetap tinggal di sana.”
“Apa? Ayahmu sudah meninggal?” tanya Chaca kaget. Dia tidak tahu kabar kalau ayahnya Genta meninggal.
“Kita sudah lama hilang kontak. Bagaimana aku memberi kabar kalau ayahku sudah meninggal,” timpal Genta dengan wajah sedih.
“Sebelumnya aku minta maaf. Dan aku turut berbelasungkawa atas ayahmu yang sudah meninggal,” jawab Chaca pelan sambil menunduk. Dia merasa kalau dia sudah salah mengira pada Genta. Kecemburuannya tidak beralasan dan membuatnya menjadi gila dalam semalam.
“Sudah lupakan saja itu. Yang penting kau sudah kembali ke sini dan aku bisa bertemu lagi denganmu,” tegas Genta.
“Jadi, kau tidak punya anak?” tanya Chaca lagi memastikan.
“Tidak Cha. Mungkin anak yang pernah kau lihat itu adalah Nura. Dia anak teman dokterku di rumah sakit. Terkadang dia menitipkan anaknya jika anaknya belum bisa dijemput.”
Mendengar penjelasan Genta, Chaca jadi tercengang. Jadi benar itu sebuah kesalahpahaman. Genta belum menikah dan punya anak. Sebuah penyesalan besar baru saja dirasakan Chaca. Dia harus melepaskan kegadisannya karena hati dan pikirannya dikuasai dengan nafsu dan emosi.
“Tapi Cha! Kenapa saat itu kau tidak menemuiku. Apa memang kau sengaja menghindariku?” tanya Genta berubah raut wajahnya menjadi sedih.
“Aku bukan menghindarimu.”
“Apa ada sesuatu yang terjadi? Selama ini aku berpikir apa aku melakukan kesalahan padamu dua belas tahun lalu?” tanya Genta dengan tatapan serius.
“Tidak Ta. Itu sudah lama berlalu.Maafkan aku jika aku terlambat menemuimu setelah pulang dari Jakarta.”
“Baiklah. Aku tidak mau membuatmu tidak nyaman. Hanya saja karena sudah lama tidak bertemu. Banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan.”
“Aku tidak berpamitan karena ayahku harus segera berangkat. Kalau tidak salah waktu itu kau sedang pergi ke luar kota untuk olimpiade MIPA. Aku juga kehilangan nomor telepon rumahmu.”
“Aku seperti orang gila waktu itu.”
“Jangan berlebihan!” sahut Chaca menutupi rasa penyesalannya.
““Aku serius Cha! Waktu itu tidak terima kalau hubungan kita berakhir begitu saja. Padahal banyak rencana dan impian yang aku ingin wujudkan satu persatu denganmu.”
Chaca merasa kepalanya diputar-putar saking terguncangnya. Kenapa Tuhan memberinya nasib dan takdir seperti ini. Di saat semuanya jelas, kenapa dia harus hamil oleh pria yang bahkan ia tidak tahu asal usulnya.
Setelah mendapatkan pengakuan dari Genta, Chaca tidak banyak berbicara. Dia terlalu bingung dengan situasi yang ia hadapi sekarang. Genta mengantarkannya sampai ke mobil karena dia harus kembali ke rumah sakit.
“Cha, aku akan menghubungimu lagi!” seru Genta setelah mendapatkan nomor ponselnya.
Chaca hanya tersenyum tipis. Dia melambaikan tangannya pada Genta sebelum dia melajukan mobilnya.
Di perjalanan tidak henti-hentinya Chaca mengutuk dirinya sendiri. Apa yang harus ia lakukan sekarang. Masalah dia hamil saja belum ketemu solusinya, sekarang ditambah kalau ternyata Genta sudah menyukainya dari dulu. Bodohnya mereka berdua sama-sama memendam perasaan karena ketakutan kalau persahabatan mereka rusak.
“Untungnya dia tidak bertanya urusan apa yang aku lakukan di rumah sakit,” gumam Chaca agak lega. Mungkin Genta tidak sempat melihatnya keluar dari poli kandungan. Kalau dia melihatnya pasti tadi dia menanyakan hal itu.
“Toh seorang wanita ke poli kandungan bukan hanya periksa kehamilan saja kan. Banyak penyakit dan masalah tentang kewanitaan. Jadi aku tidak akan bingung menjawabnya nanti,” pikir Chaca.
Hari itu Chaca melamun di meja kerjanya. Setelah sadar kalau dia hamil, dia jadi lebih gampang mual dan porsi makannya menjadi bertambah. Hormonnya pun agak berbeda. Dia lebih sensitif dan cenderung persuasif. Dia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak ada dokter yang akan membantunya menghilangkan janin itu. Itu merupakan tindakan yang ilegal. Sementara dirinya sendiri ragu jika harus mempertahankannya di dalam kandungan. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu kalau dirinya hamil tanpa tahu siapa ayahnya.“Nona, ini aku bawakan salad buah pesananmu!” Jimmy sudah berada di depan mejanya dan memberinya sebuah paper bag berisi pesanannya.“Terima kasih Jim. Oh ya, apa ada dokumen yang masih harus aku tanda tangan?” tanya Chaca.“Tadi Lily bilang kalau ada beberapa dokumen dari sub kontraktor Surabaya baru selesai diperiksa timnya. Aku akan bawakan ke sini!” jawab Jimmy.“Hmm, oke. Bawakan cepat, aku harus pergi satu jam lagi.”“Baik Nona,” jawab Jimmy patuh.Setelah Jimmy pergi, Ch
“Apa kau mau tidur menemaniku malam ini?” tanya Chaca sambil menatap wajah Genta dengan tatapan penuh arti.Genta terkejut mendengarnya. Dia mengusap-usap telinganya barangkali dia salah mendengar.“Tidak mau?” tanya Chaca dengan wajah kecewa.“Bukan seperti itu, Cha. Tapi — apa tidak salah?” Genta masih terlihat bingung dan tidak percaya.“Katanya kau mau merawat dan menjagaku. Jadi —” Chaca terdengar sangat provokatif.“Cha, ini bukan bercanda kan? Aku tahu kau sudah lama tinggal di Jepang dan yang kayak begini sudah tidak aneh. Tapi bagiku —- aku masih tidak terbiasa.” Genta menolak secara halus.Chaca tersenyum miring menatap raut wajah Genta yang gelisah. Genta masih seperti dulu, dia malu-malu kucing. Malu tapi sebenarnya dia mau.“Kau tidak serius kan?” tanya Genta dengan suara yang tercekat karena berusaha untuk tidak terpancing.“Tentu saja, kenapa kau anggap itu serius?” Chaca benar-benar puas mellihat wajah Genta yang sempat gelisah tadi. Sebenarnya dia juga serius ingin me
Seperti biasa, Chaca menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ini sudah sore, dan Genta sama sekali belum mengabarinya. Ada untungnya semalam dia memberi obat tidur pada Genta. Kalau tidak, Chaca mungkin akan lebih sakit hati jika Genta hanya ingin mencoba tidur dengannya saja.“Nyonya Charissa. Ini sudah waktunya pulang. Apa mungkin ada pekerjaan lain yang harus kita kerjakan malam ini?” tanya Jimmy menghampiri meja kerjanya.“Tidak ada. Kau pulang saja! Aku harus membereskan beberapa laporan ke Pusat,” jawab Chaca sambil menatap layar PC nya. Tetapi beberapa kali dia melirik ponselnya yang sedari tadi belum ada notif yang masuk.“Baiklah kalau begitu. Saya pulang duluan! Oh ya, saya sudah pesankan kue untuk menemani Anda bekerja!” Jimmy yang pengertian meletakkan satu kotak kue di atas meja Chaca.“Terima kasih untuk hari ini Jimmy!” ucap Chaca tersenyum.“Sama-sama!” Pria itu pun kemudian berpamitan dan pergi.Tinggallah Chaca sendiri di ruang kerjanya melamun dengan apa yang sudah t
Rasanya mendengar ucapan itu, Chaca gemetar meski sebenarnya dia tidak terlalu kaget. Dia langsung menebak kalau gadis itu adalah Sweet. Orang yang tidak pernah diceritakan Genta tapi dia pasti orang yang sangat spesial sehingga menamai nomornya dengan kata Sweet.“Maaf aku tidak mengenalmu, ada urusan apa ke sini?” jawab Chaca ketus.“Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini?” tanya Irene dengan nada sedikit tinggi.“Bukan urusanku. Aku tidak ada hubungan apapun dengan tunanganmu. Pergilah sebelum aku panggil security!” usir Chaca.“Aku mengecek riwayat GPS Genta, dan tanggal di mana dia tidak pulang ternyata dia pergi ke sini dan menginap di sini. Dasar lonte!” teriak Irene menghina.Chaca berusaha untuk tenang dan tidak tersulut emosi dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Irene.“Sudah berapa kali kau menggodanya untuk datang ke sini?” tanya Irene dengan nada provokasi.“Hati-hati bicara!Dia hanya bekas tetanggaku dulu. Aku tidak ada hubungan dengan Genta! Paham! Pergilah sebelum
Lima tahun berlalu.Waktu terasa cepat berlalu, hidup Chaca banyak berubah setelah itu. Selama itu juga dia tidak pernah kembali ke negara kelahirannya. Dia lebih memilih bekerja dan menghabiskan sebagian hidupnya di Jepang bersama keluarganya.Dia sudah cukup bahagia sekarang dan lebih tenang. Meski di awal-awal dia merasa menderita dan tersiksa.Kedua orang tuanya mengizinkannya hidup seperti apa yang ia pilih. Sampai sekarang pun Chaca enggan menceritakan apa yang ia alami lima tahun lalu. Tadinya Chaca hendak menggugurkan kandungannya saat kembali ke Jepang. Namun entah apa yang membuatnya memutuskan untuk mempertahankan kehamilannya dan melahirkan anak tanpa ayah itu.Saat di rumah sakit, ia melihat sepasang suami istri yang menangis saat mengetahui kalau anak mereka tidak bisa dipertahankan. Barulah Chaca menyadari kalau kehadiran anak adalah sebuah anugerah yang tidak semua orang mudah mendapatkannya. Mulai dari sanalah Chaca mengubah pola pikirnya. Mungkin Tuhan punya rencana
Dengan langkah penuh percaya diri Chaca berjalan keluar dari gerbang kedatangan luar negeri di bandara Soekarno Hatta. Tangan kanannya menyeret koper dengan brand merk terkenal nan mewah sementara tangan kirinya merapikan rambut ombre ash brown-nya. Gadis cantik itu berjalan sambil melihat-lihat kerumunan orang yang menjemput penumpang pesawat yang baru datang.Di antara banyak orang itu ia mencari orang yang akan menjemputnya. Chaca mengomel karena baterai ponselnya tidak sempat ia charge penuh dan sekarang sudah tidak bernyawa. Bagaimana caranya dia menemukan orang yang akan menjemputnya.Sebelumnya di bandara Tokyo, Tuan Juko memberitahunya kalau yang akan menjemputnya bernama Jimmy. Katanya orang yang akan menjemputnya sudah mengenal wajahnya dan akan langsung menghampirinya.“Bodoh! Bagaimana bisa aku memegang perkataan Tuan Juko. Darimana orang itu akan mengenaliku langsung,” gerutu Chaca kesal. Mau tidak mau dia harus mencari taksi dan pergi ke hotel sendiri.Chaca berhenti seb
“Kau bodoh sekali jika masih berharap dia belum menikah,” tutur Chaca sambil memegang gelas alkoholnya yang sudah kosong. Gadis itu sudah kehilangan setengah kesadarannya. Bahkan dia tidak segan untuk menangis dengan suara lumayan keras. Dia tidak habis-habisnya mengumpat. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri, kadang dia menyumpahi Genta.Pria di sampingnya mengawasi sambil melihat keadaan sekitar. Dia hanya memberi kode pada orang yang memperhatikan Chaca untuk memakluminya. Chaca tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang. Yang dia tahu dia harus minum untuk meredakan semua emosi dalam tubuhnya.“Nona, kau sudah minum cukup banyak dan sudah mabuk. Sebaiknya Anda istirahat di hotel!” tegur Jimmy.“Tidak, aku masih kuat Jimmy. Aku belum mabuk,” jawab Chaca sambil tertawa mabuk.“Mas, boleh minta satu lagi!” pinta Chaca dengan tubuh yang sudah sempoyongan.“Nona! Kau sudah mabuk. Cukup. Ayo kita pergi dari sini!” bisik Jimmy sambil menopang tubuh Chaca yang sudah limbung.“Jimmy,
Chaca turun dari taksi setelah sampai di gedung di mana perusahaan Vallarta berada. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai CEO di sana. Untungnya dia tidak datang terlambat. Di pintu lift menuju lantai kantor Vallarta dia menatap bayangan wajahnya yang terlihat sedikit lelah. Pengaruh sisa alkohol dan kejadian semalam tentu berpengaruh pada kondisi wajahnya sekarang. Sebelum itu menjadi bencana, Chaca kemudian melipir dulu ke arah toilet di lantai satu. Dia harus menata ulang riasannya. Sampai di toilet dia kemudian mengeluarkan cushion miliknya. Ini masih pagi dan tentu belum banyak yang datang. Chaca sedikit leluasa untuk menata wajahnya agar terlihat lebih fresh dan cantik.“Hei kau tidak tahu Jimmy yang bekerja di Vallarta lantai 20?” Seorang gadis muda datang dengan dua orang gadis lainnya ke toilet.“Ya tahu dong. Emang kenapa sama dia?” tanya dua temannya itu.Chaca mencoba menguping apa yang akan menjadi bahan pembicaraan para gadis itu tentang Jimmy. Kalau diperhatikan sepe
Lima tahun berlalu.Waktu terasa cepat berlalu, hidup Chaca banyak berubah setelah itu. Selama itu juga dia tidak pernah kembali ke negara kelahirannya. Dia lebih memilih bekerja dan menghabiskan sebagian hidupnya di Jepang bersama keluarganya.Dia sudah cukup bahagia sekarang dan lebih tenang. Meski di awal-awal dia merasa menderita dan tersiksa.Kedua orang tuanya mengizinkannya hidup seperti apa yang ia pilih. Sampai sekarang pun Chaca enggan menceritakan apa yang ia alami lima tahun lalu. Tadinya Chaca hendak menggugurkan kandungannya saat kembali ke Jepang. Namun entah apa yang membuatnya memutuskan untuk mempertahankan kehamilannya dan melahirkan anak tanpa ayah itu.Saat di rumah sakit, ia melihat sepasang suami istri yang menangis saat mengetahui kalau anak mereka tidak bisa dipertahankan. Barulah Chaca menyadari kalau kehadiran anak adalah sebuah anugerah yang tidak semua orang mudah mendapatkannya. Mulai dari sanalah Chaca mengubah pola pikirnya. Mungkin Tuhan punya rencana
Rasanya mendengar ucapan itu, Chaca gemetar meski sebenarnya dia tidak terlalu kaget. Dia langsung menebak kalau gadis itu adalah Sweet. Orang yang tidak pernah diceritakan Genta tapi dia pasti orang yang sangat spesial sehingga menamai nomornya dengan kata Sweet.“Maaf aku tidak mengenalmu, ada urusan apa ke sini?” jawab Chaca ketus.“Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini?” tanya Irene dengan nada sedikit tinggi.“Bukan urusanku. Aku tidak ada hubungan apapun dengan tunanganmu. Pergilah sebelum aku panggil security!” usir Chaca.“Aku mengecek riwayat GPS Genta, dan tanggal di mana dia tidak pulang ternyata dia pergi ke sini dan menginap di sini. Dasar lonte!” teriak Irene menghina.Chaca berusaha untuk tenang dan tidak tersulut emosi dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Irene.“Sudah berapa kali kau menggodanya untuk datang ke sini?” tanya Irene dengan nada provokasi.“Hati-hati bicara!Dia hanya bekas tetanggaku dulu. Aku tidak ada hubungan dengan Genta! Paham! Pergilah sebelum
Seperti biasa, Chaca menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ini sudah sore, dan Genta sama sekali belum mengabarinya. Ada untungnya semalam dia memberi obat tidur pada Genta. Kalau tidak, Chaca mungkin akan lebih sakit hati jika Genta hanya ingin mencoba tidur dengannya saja.“Nyonya Charissa. Ini sudah waktunya pulang. Apa mungkin ada pekerjaan lain yang harus kita kerjakan malam ini?” tanya Jimmy menghampiri meja kerjanya.“Tidak ada. Kau pulang saja! Aku harus membereskan beberapa laporan ke Pusat,” jawab Chaca sambil menatap layar PC nya. Tetapi beberapa kali dia melirik ponselnya yang sedari tadi belum ada notif yang masuk.“Baiklah kalau begitu. Saya pulang duluan! Oh ya, saya sudah pesankan kue untuk menemani Anda bekerja!” Jimmy yang pengertian meletakkan satu kotak kue di atas meja Chaca.“Terima kasih untuk hari ini Jimmy!” ucap Chaca tersenyum.“Sama-sama!” Pria itu pun kemudian berpamitan dan pergi.Tinggallah Chaca sendiri di ruang kerjanya melamun dengan apa yang sudah t
“Apa kau mau tidur menemaniku malam ini?” tanya Chaca sambil menatap wajah Genta dengan tatapan penuh arti.Genta terkejut mendengarnya. Dia mengusap-usap telinganya barangkali dia salah mendengar.“Tidak mau?” tanya Chaca dengan wajah kecewa.“Bukan seperti itu, Cha. Tapi — apa tidak salah?” Genta masih terlihat bingung dan tidak percaya.“Katanya kau mau merawat dan menjagaku. Jadi —” Chaca terdengar sangat provokatif.“Cha, ini bukan bercanda kan? Aku tahu kau sudah lama tinggal di Jepang dan yang kayak begini sudah tidak aneh. Tapi bagiku —- aku masih tidak terbiasa.” Genta menolak secara halus.Chaca tersenyum miring menatap raut wajah Genta yang gelisah. Genta masih seperti dulu, dia malu-malu kucing. Malu tapi sebenarnya dia mau.“Kau tidak serius kan?” tanya Genta dengan suara yang tercekat karena berusaha untuk tidak terpancing.“Tentu saja, kenapa kau anggap itu serius?” Chaca benar-benar puas mellihat wajah Genta yang sempat gelisah tadi. Sebenarnya dia juga serius ingin me
Hari itu Chaca melamun di meja kerjanya. Setelah sadar kalau dia hamil, dia jadi lebih gampang mual dan porsi makannya menjadi bertambah. Hormonnya pun agak berbeda. Dia lebih sensitif dan cenderung persuasif. Dia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak ada dokter yang akan membantunya menghilangkan janin itu. Itu merupakan tindakan yang ilegal. Sementara dirinya sendiri ragu jika harus mempertahankannya di dalam kandungan. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu kalau dirinya hamil tanpa tahu siapa ayahnya.“Nona, ini aku bawakan salad buah pesananmu!” Jimmy sudah berada di depan mejanya dan memberinya sebuah paper bag berisi pesanannya.“Terima kasih Jim. Oh ya, apa ada dokumen yang masih harus aku tanda tangan?” tanya Chaca.“Tadi Lily bilang kalau ada beberapa dokumen dari sub kontraktor Surabaya baru selesai diperiksa timnya. Aku akan bawakan ke sini!” jawab Jimmy.“Hmm, oke. Bawakan cepat, aku harus pergi satu jam lagi.”“Baik Nona,” jawab Jimmy patuh.Setelah Jimmy pergi, Ch
Pertemuan tak sengaja itu akhirnya berujung dengan kopi darat di sebuah cafe dekat rumah sakit. Chaca baru mengetahui kalau ternyata Genta adalah seorang dokter umum di rumah sakit itu. Rasa kecewanya kemarin berubah kagum karena Genta berhasil menggapai cita-citanya sebagai seorang dokter.“Aku tidak mengira kalau kita bakal bertemu lagi.” Genta tidak bisa menutupi rasa senangnya bisa bertemu lagi dengan teman sekolah sekaligus tetangganya itu. Dia tidak berhenti tersenyum dan menatap wajah Chaca dengan intens.“Aku juga,” jawab Chaca datar. Dia kehilangan semangat gara-gara Genta sudah banyak pencapaian. Sedangkan dia, dia harus memikul nasib menjadi wanita hamil tanpa pasangan.“Oh ya, kau dari mana saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau sudah menikah?” tanya Genta dengan nada agak ragu karena banyak pertanyaan yang ia ingin lontarkan. Wajahnya terlihat sangat berhati-hati.Chaca menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia sama sekali tidak tertarik dengan topik seperti ini. Di
Satu bulan lebih berlalu, tanpa halangan Chaca dapat bekerja dengan baik sebagai CEO di Vallarta cabang Jakarta. Tersisa dua bulan lagi untuk kembali ke Jepang. Dia tinggal menyelesaikan beberapa permasalahan intern di sini. Setelah itu dia akan kembali lagi ke Jepang sesuai arahan Tuan Juko.Kemampuannya dalam memimpin perusahaan memang tidak diragukan. Pantas saja jika karirnya cemerlang di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Padahal dia bekerja di Vallarta baru tiga tahun, tetapi pemilik Vallarta sangat mempercayainya. Selain cerdas, Chaca memang mampu bekerja keras dalam memecahkan masalah di perusahaan dibandingkan dengan pegawai lain. Vallarta adalah perusahaan furniture yang mencoba membuka cabang di Jakarta. Kota Jakarta sebagai kota metropolitan sangat menjanjikan menjadi target pemasaran desain-desain furniture yang dimiliki Vallarta. Hanya saja untuk saat ini Vallarta Jakarta belum dapat berjalan dengan lancar karena banyak masalah di produksi, pengiriman dan jug
Chaca turun dari taksi setelah sampai di gedung di mana perusahaan Vallarta berada. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai CEO di sana. Untungnya dia tidak datang terlambat. Di pintu lift menuju lantai kantor Vallarta dia menatap bayangan wajahnya yang terlihat sedikit lelah. Pengaruh sisa alkohol dan kejadian semalam tentu berpengaruh pada kondisi wajahnya sekarang. Sebelum itu menjadi bencana, Chaca kemudian melipir dulu ke arah toilet di lantai satu. Dia harus menata ulang riasannya. Sampai di toilet dia kemudian mengeluarkan cushion miliknya. Ini masih pagi dan tentu belum banyak yang datang. Chaca sedikit leluasa untuk menata wajahnya agar terlihat lebih fresh dan cantik.“Hei kau tidak tahu Jimmy yang bekerja di Vallarta lantai 20?” Seorang gadis muda datang dengan dua orang gadis lainnya ke toilet.“Ya tahu dong. Emang kenapa sama dia?” tanya dua temannya itu.Chaca mencoba menguping apa yang akan menjadi bahan pembicaraan para gadis itu tentang Jimmy. Kalau diperhatikan sepe
“Kau bodoh sekali jika masih berharap dia belum menikah,” tutur Chaca sambil memegang gelas alkoholnya yang sudah kosong. Gadis itu sudah kehilangan setengah kesadarannya. Bahkan dia tidak segan untuk menangis dengan suara lumayan keras. Dia tidak habis-habisnya mengumpat. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri, kadang dia menyumpahi Genta.Pria di sampingnya mengawasi sambil melihat keadaan sekitar. Dia hanya memberi kode pada orang yang memperhatikan Chaca untuk memakluminya. Chaca tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang. Yang dia tahu dia harus minum untuk meredakan semua emosi dalam tubuhnya.“Nona, kau sudah minum cukup banyak dan sudah mabuk. Sebaiknya Anda istirahat di hotel!” tegur Jimmy.“Tidak, aku masih kuat Jimmy. Aku belum mabuk,” jawab Chaca sambil tertawa mabuk.“Mas, boleh minta satu lagi!” pinta Chaca dengan tubuh yang sudah sempoyongan.“Nona! Kau sudah mabuk. Cukup. Ayo kita pergi dari sini!” bisik Jimmy sambil menopang tubuh Chaca yang sudah limbung.“Jimmy,