Pertemuan tak sengaja itu akhirnya berujung dengan kopi darat di sebuah cafe dekat rumah sakit. Charisa baru mengetahui kalau ternyata Genta adalah seorang dokter umum di rumah sakit itu. Rasa kecewanya kemarin berubah kagum karena Genta berhasil menggapai cita-citanya sebagai seorang dokter.
“Aku tidak mengira kalau kita bakal bertemu lagi.” Genta tidak bisa menutupi rasa senangnya bisa bertemu lagi dengan teman sekolah sekaligus tetangganya itu. Dia tidak berhenti tersenyum dan menatap wajah Charisa dengan intens.
“Aku juga,” jawab Charisa datar. Dia kehilangan semangat gara-gara Genta sudah banyak pencapaian. Sedangkan dia, dia harus memikul nasib menjadi wanita hamil tanpa pasangan.
“Oh ya, kau dari mana saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau sudah menikah?” tanya Genta dengan nada agak ragu karena banyak pertanyaan yang ia ingin lontarkan. Wajahnya terlihat sangat berhati-hati.
Charisa menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia sama sekali tidak tertarik dengan topik seperti ini. Dia malu kalau dia belum menikah sedangkan Genta sudah sukses menjadi dokter dan memiliki keluarga yang bahagia.
“Sama dong. Aku juga belum menikah,” jawab Genta dengan tarikan napas lega.
“Hah?” Charisa mendongakkan kepalanya menatap Genta. Dari sejak tadi dia memang tidak berani menatap wajah mantan kekasihnya itu.
“Kenapa kaget? Wajar lah seusia kita masih belum menikah. Aku baru saja berhasil menjadi dokter penuh waktu di rumah sakit. Masa mudaku habis di kampus, di rumah sakit dan di forum penelitian dokter.”
“Ta-tapi —” Charisa tidak percaya kalau Genta belum menikah. Lantas anak yang dituntun Genta waktu itu siapa. Apa dia salah mengira? Atau memang dia memiliki anak tapi di luar nikah. Itu bisa jadi.“Kenapa ekspresi wajahmu seperti itu? Apa kau tidak percaya aku belum menikah?” tanya Genta sambil tertawa lepas karena melihat mimik wajah Charisa yang seperti kebingungan. Charisa benar-benar shock. Apa mungkin selama ini dia salah mengira.
“Mana mungkin kau belum menikah. Sejak sekolah saja banyak sekali gadis yang mengejar-ngejarmu,” cibir Charisa.
“Aku memang belum menikah Cha. Belum nemu yang cocok. Sejak putus hubungan denganmu aku tidak menemukan gadis yang sepertimu,” jawabnya dengan nada berkelakar.
“Barangkali kau sudah punya anak Ta!” sahut Charisa dengan nada bercanda.
“Anak!? Mana mungkin. Menikah saja belum apalagi punya anak,” timpal Genta dengan mimik wajah lucu.
“Kan zaman sekarang sudah banyak begitu,” ucap Charisa. Pertanyaan konyol. Bukankah sekarang dia sendiri yang berada di posisi itu. Punya anak tanpa suami.
“Jangan bicara sembarangan Cha! Aku ini belum menikah dan tidak punya anak.” Genta meyakinkan Charisa dengan wajah yang serius.
“Tapi waktu itu aku jelas melihat kau –” Charisa tanpa sadar memberitahu Genta.
“Apa maksudmu. Kau melihat aku apa?” Genta menatapnya dengan serius. Dia menangkap ekspresi wajah Charisa yang terlihat gugup dan mencurigakan.
“Aku pernah melihatmu menuntun seorang anak.” Charisa akhirnya mengaku.
“Kapan? Di mana? Lalu kenapa kau tidak menyapaku jika kau melihatku?” tanya Genta bertubi-tubi. Dia merasa kalau Charisa sengaja melakukannya.
“Sebulan yang lalu.”
“Apa sebulan lalu. Di mana? Jadi sudah berapa lama kau di Jakarta? Cha — apa kalau kita tidak sengaja bertemu di rumah sakit, kau tidak akan menemuiku?” Genta benar-benar memberinya dengan banyak pertanyaan.
Charisa terdiam. Entah kenapa dia merasa bersalah pada Genta. Dia sudah salah karena tidak menemuinya terlebih dahulu. Mungkin kesalahpahaman ini tidak akan terjadi.“Aku masih tinggal di sana. Bahkan ketika ayahku sudah meninggal aku tetap tinggal di sana.”
“Apa? Ayahmu sudah meninggal?” tanya Charisa kaget. Dia tidak tahu kabar kalau ayahnya Genta meninggal.
“Kita sudah lama hilang kontak. Bagaimana aku memberi kabar kalau ayahku sudah meninggal,” timpal Genta dengan wajah sedih.
“Sebelumnya aku minta maaf. Dan aku turut berbelasungkawa atas ayahmu yang sudah meninggal,” jawab Charisa pelan sambil menunduk. Dia merasa kalau dia sudah salah mengira pada Genta. Kecemburuannya tidak beralasan dan membuatnya menjadi gila dalam semalam.
“Sudah lupakan saja itu. Yang penting kau sudah kembali ke sini dan aku bisa bertemu lagi denganmu,” tegas Genta.
“Jadi, kau tidak punya anak?” tanya Charisa lagi memastikan.
“Tidak Cha. Mungkin anak yang pernah kau lihat itu adalah Nura. Dia anak teman dokterku di rumah sakit. Terkadang dia menitipkan anaknya jika anaknya belum bisa dijemput.”
Mendengar penjelasan Genta, Charisa jadi tercengang. Jadi benar itu sebuah kesalahpahaman. Genta belum menikah dan punya anak. Sebuah penyesalan besar baru saja dirasakan Charisa. Dia harus melepaskan kegadisannya karena hati dan pikirannya dikuasai dengan nafsu dan emosi.
“Tapi Cha! Kenapa saat itu kau tidak menemuiku. Apa memang kau sengaja menghindariku?” tanya Genta berubah raut wajahnya menjadi sedih.
“Aku bukan menghindarimu.”
“Apa ada sesuatu yang terjadi? Selama ini aku berpikir apa aku melakukan kesalahan padamu dua belas tahun lalu?” tanya Genta dengan tatapan serius.
“Tidak Ta. Itu sudah lama berlalu.Maafkan aku jika aku terlambat menemuimu setelah pulang dari Jakarta.”
“Baiklah. Aku tidak mau membuatmu tidak nyaman. Hanya saja karena sudah lama tidak bertemu. Banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan.”
“Aku tidak berpamitan karena ayahku harus segera berangkat. Kalau tidak salah waktu itu kau sedang pergi ke luar kota untuk olimpiade MIPA. Aku juga kehilangan nomor telepon rumahmu.”
“Aku seperti orang gila waktu itu.”
“Jangan berlebihan!” sahut Charisa menutupi rasa penyesalannya.
““Aku serius Cha! Waktu itu tidak terima kalau hubungan kita berakhir begitu saja. Padahal banyak rencana dan impian yang aku ingin wujudkan satu persatu denganmu.”
Charisa merasa kepalanya diputar-putar saking terguncangnya. Kenapa Tuhan memberinya nasib dan takdir seperti ini. Di saat semuanya jelas, kenapa dia harus hamil oleh pria yang bahkan ia tidak tahu asal usulnya.
Setelah mendapatkan pengakuan dari Genta, Charisa tidak banyak berbicara. Dia terlalu bingung dengan situasi yang ia hadapi sekarang. Genta mengantarkannya sampai ke mobil karena dia harus kembali ke rumah sakit.
“Cha, aku akan menghubungimu lagi!” seru Genta setelah mendapatkan nomor ponselnya.
Charisa hanya tersenyum tipis. Dia melambaikan tangannya pada Genta sebelum dia melajukan mobilnya.
Di perjalanan tidak henti-hentinya Charisa mengutuk dirinya sendiri. Apa yang harus ia lakukan sekarang. Masalah dia hamil saja belum ketemu solusinya, sekarang ditambah kalau ternyata Genta sudah menyukainya dari dulu. Bodohnya mereka berdua sama-sama memendam perasaan karena ketakutan kalau persahabatan mereka rusak.
“Untungnya dia tidak bertanya urusan apa yang aku lakukan di rumah sakit,” gumam Charisa agak lega. Mungkin Genta tidak sempat melihatnya keluar dari poli kandungan. Kalau dia melihatnya pasti tadi dia menanyakan hal itu.
“Toh seorang wanita ke poli kandungan bukan hanya periksa kehamilan saja kan. Banyak penyakit dan masalah tentang kewanitaan. Jadi aku tidak akan bingung menjawabnya nanti,” pikir Charisa.
Hari itu Charisa melamun di meja kerjanya. Setelah sadar kalau dia hamil, dia jadi lebih gampang mual dan porsi makannya menjadi bertambah. Hormonnya pun agak berbeda. Dia lebih sensitif dan cenderung persuasif. Dia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak ada dokter yang akan membantunya menghilangkan janin itu. Itu merupakan tindakan yang ilegal. Sementara dirinya sendiri ragu jika harus mempertahankannya di dalam kandungan. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu kalau dirinya hamil tanpa tahu siapa ayahnya.“Nona, ini aku bawakan salad buah pesananmu!” Jimmy sudah berada di depan mejanya dan memberinya sebuah paper bag berisi pesanannya.“Terima kasih Jim. Oh ya, apa ada dokumen yang masih harus aku tanda tangan?” tanya Charisa.“Tadi Lily bilang kalau ada beberapa dokumen dari sub kontraktor Surabaya baru selesai diperiksa timnya. Aku akan bawakan ke sini!” jawab Jimmy.“Hmm, oke. Bawakan cepat, aku harus pergi satu jam lagi.”“Baik Nona,” jawab Jimmy patuh.Setelah Jimmy pergi,
“Apa kau mau tidur menemaniku malam ini?” tanya Chaca sambil menatap wajah Genta dengan tatapan penuh arti.Genta terkejut mendengarnya. Dia mengusap-usap telinganya barangkali dia salah mendengar.“Tidak mau?” tanya Chaca dengan wajah kecewa.“Bukan seperti itu, Cha. Tapi — apa tidak salah?” Genta masih terlihat bingung dan tidak percaya.“Katanya kau mau merawat dan menjagaku. Jadi —” Chaca terdengar sangat provokatif.“Cha, ini bukan bercanda kan? Aku tahu kau sudah lama tinggal di Jepang dan yang kayak begini sudah tidak aneh. Tapi bagiku —- aku masih tidak terbiasa.” Genta menolak secara halus.Chaca tersenyum miring menatap raut wajah Genta yang gelisah. Genta masih seperti dulu, dia malu-malu kucing. Malu tapi sebenarnya dia mau.“Kau tidak serius kan?” tanya Genta dengan suara yang tercekat karena berusaha untuk tidak terpancing.“Tentu saja, kenapa kau anggap itu serius?” Chaca benar-benar puas mellihat wajah Genta yang sempat gelisah tadi. Sebenarnya dia juga serius ingin me
Seperti biasa, Charisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ini sudah sore, dan Genta sama sekali belum mengabarinya. Ada untungnya semalam dia memberi obat tidur pada Genta. Kalau tidak, Charisa mungkin akan lebih sakit hati jika Genta hanya ingin mencoba tidur dengannya saja.“Nyonya Charissa. Ini sudah waktunya pulang. Apa mungkin ada pekerjaan lain yang harus kita kerjakan malam ini?” tanya Jimmy menghampiri meja kerjanya.“Tidak ada. Kau pulang saja! Aku harus membereskan beberapa laporan ke Pusat,” jawab Charisa sambil menatap layar PC nya. Tetapi beberapa kali dia melirik ponselnya yang sedari tadi belum ada notif yang masuk.“Baiklah kalau begitu. Saya pulang duluan! Oh ya, saya sudah pesankan kue untuk menemani Anda bekerja!” Jimmy yang pengertian meletakkan satu kotak kue di atas meja Charisa.“Terima kasih untuk hari ini Jimmy!” ucap Charisa tersenyum.“Sama-sama!” Pria itu pun kemudian berpamitan dan pergi.Tinggallah Charisa sendiri di ruang kerjanya melamun dengan apa
Rasanya mendengar ucapan itu, Charisa gemetar meski sebenarnya dia tidak terlalu kaget. Dia langsung menebak kalau gadis itu adalah Sweet. Orang yang tidak pernah diceritakan Genta tapi dia pasti orang yang sangat spesial sehingga menamai nomornya dengan kata Sweet.“Maaf aku tidak mengenalmu, ada urusan apa ke sini?” jawab Charisa ketus.“Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini?” tanya Irene dengan nada sedikit tinggi.“Bukan urusanku. Aku tidak ada hubungan apapun dengan tunanganmu. Pergilah sebelum aku panggil security!” usir Charisa.“Aku mengecek riwayat GPS Genta, dan tanggal di mana dia tidak pulang ternyata dia pergi ke sini dan menginap di sini. Dasar lonte!” teriak Irene menghina.Charisa berusaha untuk tenang dan tidak tersulut emosi dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Irene.“Sudah berapa kali kau menggodanya untuk datang ke sini?” tanya Irene dengan nada provokasi.“Hati-hati bicara!Dia hanya bekas tetanggaku dulu. Aku tidak ada hubungan dengan Genta! Paham! Pergilah
Lima tahun berlalu.Waktu terasa cepat berlalu, hidup Charisa banyak berubah setelah itu. Selama itu juga dia tidak pernah kembali ke negara kelahirannya. Dia lebih memilih bekerja dan menghabiskan sebagian hidupnya di Jepang bersama keluarganya.Dia sudah cukup bahagia sekarang dan lebih tenang. Meski di awal-awal dia merasa menderita dan tersiksa.Kedua orang tuanya mengizinkannya hidup seperti apa yang ia pilih. Sampai sekarang pun Charisa enggan menceritakan apa yang ia alami lima tahun lalu. Tadinya Charisa hendak menggugurkan kandungannya saat kembali ke Jepang. Namun entah apa yang membuatnya memutuskan untuk mempertahankan kehamilannya dan melahirkan anak tanpa ayah itu.Saat di rumah sakit, ia melihat sepasang suami istri yang menangis saat mengetahui kalau anak mereka tidak bisa dipertahankan. Barulah Charisa menyadari kalau kehadiran anak adalah sebuah anugerah yang tidak semua orang mudah mendapatkannya. Mulai dari sanalah Charisa mengubah pola pikirnya. Mungkin Tuhan punya
“Nyonya! Ayo mulai!” bisik Kinara yang mendapati Charisa yang berdiri mematung sempurna selama sepuluh detik lebih karena shock melihat pria itu di depannya. Sama seperti dirinya pria itu terlihat tidak tenang dan seperti hendak menghampirinya saat itu juga.Charisa mengusap wajahnya dengan penuh rasa gugup. Tiba-tiba saja fokusnya berantakan karena kehadiran pria itu. “Nyonya, apa yang Anda lakukan?” tanya Kinara heran melihat Charisa yang malah kelihatan lebih bingung dibandingkan dengannya.“Golden Soul, apa bisa dimulai. Waktu kita tidak banyak!” seru seseorang yang bertindak sebagai moderator. Charisa mengepalkan kedua tangannya dan memejamkan kedua matanya berusaha untuk mengembalikan kekuatannya. Ini semua demi masa depan Darren, dia harus berhasil dan membuka kesempatan emas untuk perusahaan yang dirintisnya.Charisa menarik napas dan menghembuskan napasnya teratur untuk mengisi energi positifnya. Lalu dia angkat kepalanya dan mengumpulkan keberaniannya untuk menatap para man
Lima tahun lalu di Hotel Orbite Jakarta.“Nona!” Jean mencoba memanggil gadis yang sudah bersamanya semalam mengarungi lautan kenikmatan. Tetapi tidak ada jawaban. Kemudian dia melihat memo yang ditinggal dan membacanya.Wajahnya berubah suram seketika. Dia duduk dengan menghela napas panjang.[Jimmy, nanti aku kasih sisanya lewat transfer. Tapi aku tidak punya nomor rekeningmu. Uang cash ku cuma sedikit. Ingat jangan bocorkan tentang semalam di perusahaan! Kita pura-pura tidak terjadi apa-apa!]“Aku bukan Jimmy! Dan aku bahkan tidak tahu namamu!” gumam Jean dengan penuh penyesalan. Dia melihat tempat tidur yang berantakan dengan noda merah di atas sprei. “Siapa kau sebenarnya Nona? Kenapa kau begitu menarik perhatianku sejak aku melihatmu di bandara?” lirih Jean penasaran. Dia lupa hal yang paling utama dalam sebuah pertemuan yaitu menanyakan nama.“Bagaimana kita bisa bertemu lagi?” gumam pria itu terdengar frustasi.Seketika suara ponselnya berdering. Pria itu segera mengambil jasn
Charisa sedang mengerjakan desainnya di ruang kerjanya tanpa seorangpun di sana. Ini juga sudah malam, para pegawainya sudah pulang dari jam empat sore tadi. Ada beberapa pesanan desain yang harus ia selesaikan malam ini juga. Kebetulan Darren sudah ia titipkan di rumah orangtuanya. Jadi dia bisa lembur dengan tenang.Tidak terasa sudah hampir tiga jam dia bekerja dan akhirnya dia bisa merampungkan semuanya. Tanpa berlama-lama dia mengirimkan hasil desainnya itu ke bagian produksi yang sudah menunggunya dari tadi.Begitu selesai terkirim Charisa meregangkan tubuhnya yang sedikit kaku. Dia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan tujuh malam. Kantornya juga sudah sepi dan tidak ada pegawai di kantor. Yang tersisa mungkin hanya security di pos jaganya di lantai satu. Charisa kemudian merapikan meja kerjanya, mematikan layar komputernya lalu mematikan lampu ruangannya.Sebelum meninggalkan gedung dua lantai itu dia berinisiatif mampir ke pos security untuk memberikan kunci kantornya.
“Jean, bagaimana bisa kau ada di sini?” tanya Charisa ketika Jean mendekat.“Apa kau mengikutiku sampai ke sini?” tuduhnya lagi sebelum Jean bisa menjawab.“Tidak. Aku tidak mengikutimu. Aku kebetulan lewat sini,” jawab Jean. Namun dari raut wajahnya dia tidak bisa berbohong.Charisa tersenyum miring, seolah tidak percaya dengan jawaban Jean. “Kebetulan, ya?” gumamnya, menatap pria itu dengan pandangan penuh selidik.Jean tidak langsung menanggapi. Matanya menelisik sekitar, seolah mencari alasan lain yang lebih masuk akal, tetapi Charisa sudah menangkap kegugupannya.“Kalau memang hanya kebetulan, kenapa wajahmu terlihat bersalah?” lanjut Charisa, menyilangkan tangan di depan dada.Jean menghela napas, menyadari bahwa menyangkal pun tidak ada gunanya. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Mungkin aku memang ingin tahu apa yang kau lakukan di sini.”Charisa mengangkat alis, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Dan kenapa itu penting bagimu?”Jean terdiam sesaat. Ia bisa saja memberikan alasan y
Malam ini terasa berbeda bagi Charisa. Setelah bertahun-tahun menjaga jarak, menutup hati, dan berusaha melindungi dirinya sendiri dari luka yang pernah ada, ia akhirnya membiarkan seseorang masuk. Jean.Pria yang dulu hanya dia anggap sebagai pelarian. Sekarang Jean menjadi bagian dari hidupnya. Dia sudah memutuskan untuk menerima Jean sebagai kekasihnya. Perasaan hangat yang menyelimuti hatinya masih terasa asing, tetapi ia tidak ingin semuanya ini cepat berubah.Keesokan harinya, Charisa bangun lebih awal dari biasanya. Setelah kejadian tadi malam, ia tidak bisa tidur nyenyak—bukan karena gelisah, tetapi karena dadanya masih dipenuhi rasa berbunga yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia memandangi ponselnya, menunggu sesuatu. Lalu, sebuah notif masuk. Pesan dari Jean."Selamat pagi, Charisa. Tidurmu nyenyak?"Charisa tersenyum kecil sebelum mengetik balasan. "Tidak terlalu. Aku masih terkejut dengan semuanya."Balasannya hanya butuh beberapa detik untuk dibaca Jean sebelum pesa
Charisa berjalan cepat memasuki gedung kantornya, berusaha mengendalikan gejolak emosinya. Pipinya masih terasa panas akibat perkataan Jean barusan. Ia tidak menyangka pria itu akan mengungkapkan perasaannya sejujur itu—dan lebih dari itu, Jean ingin mengakui Darren sebagai anaknya.Setelah masuk ke dalam lift, Charisa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia harus fokus. Tidak boleh membiarkan kata-kata Jean mengganggu pikirannya saat bekerja. Namun, begitu pintu lift tertutup dan ia melihat pantulan dirinya di cermin lift, ia sadar bahwa ekspresinya masih kacau. Sorot matanya yang biasanya tajam tampak bimbang, dan bibirnya sedikit bergetar."Kenapa aku begini…?" gumamnya pelan.Dia mencoba menenangkan diri sebaik mungkin sebelum sampai di lantai kantornya. Hari ini entah kenapa beberapa hari ini dia merasa ada yang berbeda dengan hatinya. Entah kenapa setiap berada di dekat Jean, seperti ada kupu-kupu di atas perutnya. Ada rasa tergelitik tetapi rasa itu bercampu
Suara klakson yang saling bersahutan memecah keheningan, menyadarkan keduanya dari suasana yang membekukan itu. Jean tertegun sejenak, menyadari kalau mobilnya menghalangi kendaraan lain yang ingin parkir.Dengan cepat, dia menyalakan mesin mobilnya. "Kita pergi dulu dari sini," katanya, mencoba menyembunyikan ketegangan dalam suaranya. Charisa mengangguk tanpa sepatah kata pun, menyeka wajahnya yang basah oleh air mata.Pagi itu, udara masih sejuk, dengan matahari yang baru saja mulai naik ke langit. Jalanan tidak terlalu ramai, hanya beberapa kendaraan yang sesekali melintas. Angin semilir yang masuk melalui kaca jendela yang sedikit terbuka membawa aroma segar dedaunan basah, seolah mencoba menenangkan hati mereka yang bergolak.Namun, ketenangan itu segera terganggu saat mobil Jean mulai melambat. Charisa yang semula tenggelam dalam pemandangan luar langsung menoleh dengan kening berkerut. "Kenapa mobilnya melambat?" tanyanya, ada kekhawatiran yang muncul di suaranya.Jean melirik
“Charisa, apa sekarang kau masih menganggapku orang asing?” tanya Jean dengan tatapan intens padanya.Charisa menggigit bibirnya. Ada sesuatu dalam tatapan Jean yang berbeda kali ini. Tatapan yang seolah menembus ke dalam dirinya, menuntut jawaban yang tak bisa ia berikan. Ia ingin berpaling, ingin menghindari perasaan yang mulai menguasai hatinya, tetapi tubuhnya seakan terpaku di tempat.“Apalagi aku ini ayah kandungnya Darren. Apa kau tidak merasa kalau kita memang sudah ditakdirkan —”“Hentikan! Jangan lanjutkan!” Charisa buru-buru menutup telinganya. Ia tak ingin mendengar kata-kata Jean yang berbahaya itu. Kata-kata yang bisa meruntuhkan semua tembok yang susah payah ia bangun selama ini.Jean tak menyerah. Ia menepikan mobil dan mematikan mesinnya. Dalam keheningan yang tiba-tiba menguasai ruang sempit di antara mereka, tarikan napas berat Jean terdengar jelas. Charisa menelan ludah, dadanya berdebar tak menentu. Ia takut jika Jean bisa membaca kegugupannya.“Aku akan tetap ber
Charisa sudah cukup kesal dengan kedatangan Jean yang tiba-tiba di pagi hari. Namun, yang lebih mengejutkannya adalah ketika Jean dengan santai berkata, "Hari ini aku akan mengantar Darren ke sekolah."Charisa, yang sedang menyuapkan nasi, sontak tersedak. Dengan buru-buru ia meneguk air putih lalu menatap Jean tajam."Tidak perlu," ucapnya cepat sebelum siapapun sempat merespons.Jean mengangkat sebelah alisnya, tetap tenang seperti biasa. "Kenapa? Arah hotelku sejalan dengan sekolah Darren. Kita bisa sekalian berangkat bersama. Darren, kau tidak keberatan, kan?"Darren, yang asyik menikmati sarapannya, berkedip bingung. "Hmm, aku senang kalau Tuan Jean mengantarku. Kemarin saat diantar Mama dan Tuan Jean, teman-teman di sekolahku memuji."Charisa menoleh ke arah Darren, suaranya lebih lembut. "Masaru yang akan mengantarmu, Nak. Kita tidak bisa tiba-tiba mengubah rencana."Jean tersenyum tipis, meletakkan sendoknya dengan tenang. "Aku hanya menawarkan tumpangan, Charisa. Tidak perlu
“Arrrrrrgggh!” teriak Charisa. Tubuhnya mencoba meronta melepaskan diri dari Jean. Tiba-tiba tubuhnya terjatuh ke lantai. Kedua mata Charisa terbuka, seketika sekujur tubuhnya terasa nyeri. Dia berada di lantai dekat dengan tempat tidurnya. Wanita itu melihat sekelilingnya dan mulai menyatukan ingatan dan kesadarannya.Barulah sadar kalau ternyata dia baru saja bermimpi kalau Jean datang ke kamarnya. Charisa terdiam beberapa saat mencoba menenangkan dirinya setelah terbangun dari mimpinya.“Dasar bodoh Charisa, kenapa kau sampai membawa Jean ke dalam mimpi segala!” rutuk Charisa memijat keningnya yang berdenyut.“Apa gara-gara ciuman itu?” pikir Charisa. Ingatannya tentang kejadian itu sampai terbawa ke alam mimpi. Ini semua gara-gara Jean. Charisa bangun dari lantai dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Dia termenung menyesalkan semua yang sudah menganggu pikirannya.“Charisa!” “Charisa! Apa kau sudah bangun?” Terdengar suara ibunya memanggil.“Ya Bu!” jawab Charisa sembari bergega
Di dalam kamarnya Charisa terlihat uring-uringan, dia tidak berhenti bolak balik di depan tempat tidurnya. Pesan yang ia kirim untuk Jean dan terkirim pada Genta belum sempat dibaca Genta. Charisa dengan segera menarik pesan itu tadi sebelum Genta dapat membacanya. Dia hanya bisa berharap kalau Genta belum sempat melihat pesannya itu. Kalau dia sempat melihat, sepertinya masalah akan bertambah satu. Genta pasti merasa kalau dia sudah memberi jawaban secara tidak langsung. Ini akan menjadi sebuah kesalahpahaman yang berbuntut panjang.Charisa menyentuh kembali bibirnya yang tadi sempat dicium Jean. Hatinya kembali berdebar mengingat momen itu. “Jean apa yang sudah kau lakukan padaku?” gumam Charisa sambil mengusap bibirnya dengan penuh rasa frustasi.“Apa dia pikir aku terlalu mudah untuk dia sentuh,” lirih Charisa menyesal yang seharusnya tadi bisa untuk menghindar. Kenapa tubuhnya tidak bisa ia pertahankan.“Kau bodoh!” Charisa menyalahkan dirinya sendiri. “Kau sempat menikmatinya
Charisa terdiam dalam sentuhan bibir Jean, tubuhnya terasa seperti terbebani oleh banyak perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ketika bibir Jean menyentuhnya, ada kehangatan yang mengalir melalui tubuhnya, seakan-akan dunia di sekeliling mereka menghilang dan hanya ada keduanya. Charisa bisa merasakan detak jantung Jean yang berpadu dengan detak jantungnya, dan untuk sesaat, ia merasa seolah-olah mereka hanya dua jiwa yang saling terikat dalam kesunyian malam.Jean memegangnya dengan lembut, seolah-olah dia takut jika dia melepasnya, Charisa akan hilang begitu saja. Namun ketika kesadaran dan logikanya kembali, Charisa segera melepaskan dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, namun hatinya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Keputusan itu muncul begitu cepat, hampir tanpa pertimbangan. Perasaan yang tiba-tiba datang begitu kuat, namun juga penuh dengan kebingungan. Ia menatap Jean dengan mata yang sedikit teralihkan, bingung dengan perasaan yang mengaduk di d