Suara klakson yang saling bersahutan memecah keheningan, menyadarkan keduanya dari suasana yang membekukan itu. Jean tertegun sejenak, menyadari kalau mobilnya menghalangi kendaraan lain yang ingin parkir.Dengan cepat, dia menyalakan mesin mobilnya. "Kita pergi dulu dari sini," katanya, mencoba menyembunyikan ketegangan dalam suaranya. Charisa mengangguk tanpa sepatah kata pun, menyeka wajahnya yang basah oleh air mata.Pagi itu, udara masih sejuk, dengan matahari yang baru saja mulai naik ke langit. Jalanan tidak terlalu ramai, hanya beberapa kendaraan yang sesekali melintas. Angin semilir yang masuk melalui kaca jendela yang sedikit terbuka membawa aroma segar dedaunan basah, seolah mencoba menenangkan hati mereka yang bergolak.Namun, ketenangan itu segera terganggu saat mobil Jean mulai melambat. Charisa yang semula tenggelam dalam pemandangan luar langsung menoleh dengan kening berkerut. "Kenapa mobilnya melambat?" tanyanya, ada kekhawatiran yang muncul di suaranya.Jean melirik
Charisa berjalan cepat memasuki gedung kantornya, berusaha mengendalikan gejolak emosinya. Pipinya masih terasa panas akibat perkataan Jean barusan. Ia tidak menyangka pria itu akan mengungkapkan perasaannya sejujur itu—dan lebih dari itu, Jean ingin mengakui Darren sebagai anaknya.Setelah masuk ke dalam lift, Charisa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia harus fokus. Tidak boleh membiarkan kata-kata Jean mengganggu pikirannya saat bekerja. Namun, begitu pintu lift tertutup dan ia melihat pantulan dirinya di cermin lift, ia sadar bahwa ekspresinya masih kacau. Sorot matanya yang biasanya tajam tampak bimbang, dan bibirnya sedikit bergetar."Kenapa aku begini…?" gumamnya pelan.Dia mencoba menenangkan diri sebaik mungkin sebelum sampai di lantai kantornya. Hari ini entah kenapa beberapa hari ini dia merasa ada yang berbeda dengan hatinya. Entah kenapa setiap berada di dekat Jean, seperti ada kupu-kupu di atas perutnya. Ada rasa tergelitik tetapi rasa itu bercampu
Dengan langkah penuh percaya diri Charisa berjalan keluar dari gerbang kedatangan luar negeri di bandara Soekarno Hatta. Tangan kanannya menyeret koper dengan brand merk terkenal nan mewah sementara tangan kirinya merapikan rambut ombre ash brown-nya. Gadis cantik itu berjalan sambil melihat-lihat kerumunan orang yang menjemput penumpang pesawat yang baru datang.Di antara banyak orang itu ia mencari orang yang akan menjemputnya. Charisa mengomel karena baterai ponselnya tidak sempat ia charge penuh dan sekarang sudah tidak bernyawa. Bagaimana caranya dia menemukan orang yang akan menjemputnya.Sebelumnya di bandara Tokyo, Tuan Juko memberitahunya kalau yang akan menjemputnya bernama Jimmy. Katanya orang yang akan menjemputnya sudah mengenal wajahnya dan akan langsung menghampirinya.“Bodoh! Bagaimana bisa aku memegang perkataan Tuan Juko. Darimana orang itu akan mengenaliku langsung,” gerutu Charisa kesal. Mau tidak mau dia harus mencari taksi dan pergi ke hotel sendiri.Charisa berhe
“Kau bodoh sekali jika masih berharap dia belum menikah,” tutur Charisa sambil memegang gelas alkoholnya yang sudah kosong. Gadis itu sudah kehilangan setengah kesadarannya. Bahkan dia tidak segan untuk menangis dengan suara lumayan keras. Dia tidak habis-habisnya mengumpat. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri, kadang dia menyumpahi Genta.Pria di sampingnya mengawasi sambil melihat keadaan sekitar. Dia hanya memberi kode pada orang yang memperhatikan Charisa untuk memakluminya. Charisa tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang. Yang dia tahu dia harus minum untuk meredakan semua emosi dalam tubuhnya.“Nona, kau sudah minum cukup banyak dan sudah mabuk. Sebaiknya Anda istirahat di hotel!” tegur Jimmy.“Tidak, aku masih kuat Jimmy. Aku belum mabuk,” jawab Charisa sambil tertawa mabuk.“Mas, boleh minta satu lagi!” pinta Charisa dengan tubuh yang sudah sempoyongan.“Nona! Kau sudah mabuk. Cukup. Ayo kita pergi dari sini!” bisik Jimmy sambil menopang tubuh Charisa yang sudah limbu
Charisa turun dari taksi setelah sampai di gedung di mana perusahaan Vallarta berada. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai CEO di sana. Untungnya dia tidak datang terlambat. Di pintu lift menuju lantai kantor Vallarta dia menatap bayangan wajahnya yang terlihat sedikit lelah. Pengaruh sisa alkohol dan kejadian semalam tentu berpengaruh pada kondisi wajahnya sekarang. Sebelum itu menjadi bencana, Charisa kemudian melipir dulu ke arah toilet di lantai satu. Dia harus menata ulang riasannya. Sampai di toilet dia kemudian mengeluarkan cushion miliknya. Ini masih pagi dan tentu belum banyak yang datang. Charisa sedikit leluasa untuk menata wajahnya agar terlihat lebih fresh dan cantik.“Hei kau tidak tahu Jimmy yang bekerja di Vallarta lantai 20?” Seorang gadis muda datang dengan dua orang gadis lainnya ke toilet.“Ya tahu dong. Emang kenapa sama dia?” tanya dua temannya itu.Charisa mencoba menguping apa yang akan menjadi bahan pembicaraan para gadis itu tentang Jimmy. Kalau diperhatik
Satu bulan lebih berlalu, tanpa halangan Charisa dapat bekerja dengan baik sebagai CEO di Vallarta cabang Jakarta. Tersisa dua bulan lagi untuk kembali ke Jepang. Dia tinggal menyelesaikan beberapa permasalahan intern di sini. Setelah itu dia akan kembali lagi ke Jepang sesuai arahan Tuan Juko.Kemampuannya dalam memimpin perusahaan memang tidak diragukan. Pantas saja jika karirnya cemerlang di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Padahal dia bekerja di Vallarta baru tiga tahun, tetapi pemilik Vallarta sangat mempercayainya. Selain cerdas, Charisa memang mampu bekerja keras dalam memecahkan masalah di perusahaan dibandingkan dengan pegawai lain. Vallarta adalah perusahaan furniture yang mencoba membuka cabang di Jakarta. Kota Jakarta sebagai kota metropolitan sangat menjanjikan menjadi target pemasaran desain-desain furniture yang dimiliki Vallarta. Hanya saja untuk saat ini Vallarta Jakarta belum dapat berjalan dengan lancar karena banyak masalah di produksi, pengiriman dan
Pertemuan tak sengaja itu akhirnya berujung dengan kopi darat di sebuah cafe dekat rumah sakit. Charisa baru mengetahui kalau ternyata Genta adalah seorang dokter umum di rumah sakit itu. Rasa kecewanya kemarin berubah kagum karena Genta berhasil menggapai cita-citanya sebagai seorang dokter.“Aku tidak mengira kalau kita bakal bertemu lagi.” Genta tidak bisa menutupi rasa senangnya bisa bertemu lagi dengan teman sekolah sekaligus tetangganya itu. Dia tidak berhenti tersenyum dan menatap wajah Charisa dengan intens.“Aku juga,” jawab Charisa datar. Dia kehilangan semangat gara-gara Genta sudah banyak pencapaian. Sedangkan dia, dia harus memikul nasib menjadi wanita hamil tanpa pasangan.“Oh ya, kau dari mana saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau sudah menikah?” tanya Genta dengan nada agak ragu karena banyak pertanyaan yang ia ingin lontarkan. Wajahnya terlihat sangat berhati-hati.Charisa menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia sama sekali tidak tertarik dengan topik seperti
Hari itu Charisa melamun di meja kerjanya. Setelah sadar kalau dia hamil, dia jadi lebih gampang mual dan porsi makannya menjadi bertambah. Hormonnya pun agak berbeda. Dia lebih sensitif dan cenderung persuasif. Dia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak ada dokter yang akan membantunya menghilangkan janin itu. Itu merupakan tindakan yang ilegal. Sementara dirinya sendiri ragu jika harus mempertahankannya di dalam kandungan. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu kalau dirinya hamil tanpa tahu siapa ayahnya.“Nona, ini aku bawakan salad buah pesananmu!” Jimmy sudah berada di depan mejanya dan memberinya sebuah paper bag berisi pesanannya.“Terima kasih Jim. Oh ya, apa ada dokumen yang masih harus aku tanda tangan?” tanya Charisa.“Tadi Lily bilang kalau ada beberapa dokumen dari sub kontraktor Surabaya baru selesai diperiksa timnya. Aku akan bawakan ke sini!” jawab Jimmy.“Hmm, oke. Bawakan cepat, aku harus pergi satu jam lagi.”“Baik Nona,” jawab Jimmy patuh.Setelah Jimmy pergi,
Charisa berjalan cepat memasuki gedung kantornya, berusaha mengendalikan gejolak emosinya. Pipinya masih terasa panas akibat perkataan Jean barusan. Ia tidak menyangka pria itu akan mengungkapkan perasaannya sejujur itu—dan lebih dari itu, Jean ingin mengakui Darren sebagai anaknya.Setelah masuk ke dalam lift, Charisa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia harus fokus. Tidak boleh membiarkan kata-kata Jean mengganggu pikirannya saat bekerja. Namun, begitu pintu lift tertutup dan ia melihat pantulan dirinya di cermin lift, ia sadar bahwa ekspresinya masih kacau. Sorot matanya yang biasanya tajam tampak bimbang, dan bibirnya sedikit bergetar."Kenapa aku begini…?" gumamnya pelan.Dia mencoba menenangkan diri sebaik mungkin sebelum sampai di lantai kantornya. Hari ini entah kenapa beberapa hari ini dia merasa ada yang berbeda dengan hatinya. Entah kenapa setiap berada di dekat Jean, seperti ada kupu-kupu di atas perutnya. Ada rasa tergelitik tetapi rasa itu bercampu
Suara klakson yang saling bersahutan memecah keheningan, menyadarkan keduanya dari suasana yang membekukan itu. Jean tertegun sejenak, menyadari kalau mobilnya menghalangi kendaraan lain yang ingin parkir.Dengan cepat, dia menyalakan mesin mobilnya. "Kita pergi dulu dari sini," katanya, mencoba menyembunyikan ketegangan dalam suaranya. Charisa mengangguk tanpa sepatah kata pun, menyeka wajahnya yang basah oleh air mata.Pagi itu, udara masih sejuk, dengan matahari yang baru saja mulai naik ke langit. Jalanan tidak terlalu ramai, hanya beberapa kendaraan yang sesekali melintas. Angin semilir yang masuk melalui kaca jendela yang sedikit terbuka membawa aroma segar dedaunan basah, seolah mencoba menenangkan hati mereka yang bergolak.Namun, ketenangan itu segera terganggu saat mobil Jean mulai melambat. Charisa yang semula tenggelam dalam pemandangan luar langsung menoleh dengan kening berkerut. "Kenapa mobilnya melambat?" tanyanya, ada kekhawatiran yang muncul di suaranya.Jean melirik
“Charisa, apa sekarang kau masih menganggapku orang asing?” tanya Jean dengan tatapan intens padanya.Charisa menggigit bibirnya. Ada sesuatu dalam tatapan Jean yang berbeda kali ini. Tatapan yang seolah menembus ke dalam dirinya, menuntut jawaban yang tak bisa ia berikan. Ia ingin berpaling, ingin menghindari perasaan yang mulai menguasai hatinya, tetapi tubuhnya seakan terpaku di tempat.“Apalagi aku ini ayah kandungnya Darren. Apa kau tidak merasa kalau kita memang sudah ditakdirkan —”“Hentikan! Jangan lanjutkan!” Charisa buru-buru menutup telinganya. Ia tak ingin mendengar kata-kata Jean yang berbahaya itu. Kata-kata yang bisa meruntuhkan semua tembok yang susah payah ia bangun selama ini.Jean tak menyerah. Ia menepikan mobil dan mematikan mesinnya. Dalam keheningan yang tiba-tiba menguasai ruang sempit di antara mereka, tarikan napas berat Jean terdengar jelas. Charisa menelan ludah, dadanya berdebar tak menentu. Ia takut jika Jean bisa membaca kegugupannya.“Aku akan tetap ber
Charisa sudah cukup kesal dengan kedatangan Jean yang tiba-tiba di pagi hari. Namun, yang lebih mengejutkannya adalah ketika Jean dengan santai berkata, "Hari ini aku akan mengantar Darren ke sekolah."Charisa, yang sedang menyuapkan nasi, sontak tersedak. Dengan buru-buru ia meneguk air putih lalu menatap Jean tajam."Tidak perlu," ucapnya cepat sebelum siapapun sempat merespons.Jean mengangkat sebelah alisnya, tetap tenang seperti biasa. "Kenapa? Arah hotelku sejalan dengan sekolah Darren. Kita bisa sekalian berangkat bersama. Darren, kau tidak keberatan, kan?"Darren, yang asyik menikmati sarapannya, berkedip bingung. "Hmm, aku senang kalau Tuan Jean mengantarku. Kemarin saat diantar Mama dan Tuan Jean, teman-teman di sekolahku memuji."Charisa menoleh ke arah Darren, suaranya lebih lembut. "Masaru yang akan mengantarmu, Nak. Kita tidak bisa tiba-tiba mengubah rencana."Jean tersenyum tipis, meletakkan sendoknya dengan tenang. "Aku hanya menawarkan tumpangan, Charisa. Tidak perlu
“Arrrrrrgggh!” teriak Charisa. Tubuhnya mencoba meronta melepaskan diri dari Jean. Tiba-tiba tubuhnya terjatuh ke lantai. Kedua mata Charisa terbuka, seketika sekujur tubuhnya terasa nyeri. Dia berada di lantai dekat dengan tempat tidurnya. Wanita itu melihat sekelilingnya dan mulai menyatukan ingatan dan kesadarannya.Barulah sadar kalau ternyata dia baru saja bermimpi kalau Jean datang ke kamarnya. Charisa terdiam beberapa saat mencoba menenangkan dirinya setelah terbangun dari mimpinya.“Dasar bodoh Charisa, kenapa kau sampai membawa Jean ke dalam mimpi segala!” rutuk Charisa memijat keningnya yang berdenyut.“Apa gara-gara ciuman itu?” pikir Charisa. Ingatannya tentang kejadian itu sampai terbawa ke alam mimpi. Ini semua gara-gara Jean. Charisa bangun dari lantai dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Dia termenung menyesalkan semua yang sudah menganggu pikirannya.“Charisa!” “Charisa! Apa kau sudah bangun?” Terdengar suara ibunya memanggil.“Ya Bu!” jawab Charisa sembari bergega
Di dalam kamarnya Charisa terlihat uring-uringan, dia tidak berhenti bolak balik di depan tempat tidurnya. Pesan yang ia kirim untuk Jean dan terkirim pada Genta belum sempat dibaca Genta. Charisa dengan segera menarik pesan itu tadi sebelum Genta dapat membacanya. Dia hanya bisa berharap kalau Genta belum sempat melihat pesannya itu. Kalau dia sempat melihat, sepertinya masalah akan bertambah satu. Genta pasti merasa kalau dia sudah memberi jawaban secara tidak langsung. Ini akan menjadi sebuah kesalahpahaman yang berbuntut panjang.Charisa menyentuh kembali bibirnya yang tadi sempat dicium Jean. Hatinya kembali berdebar mengingat momen itu. “Jean apa yang sudah kau lakukan padaku?” gumam Charisa sambil mengusap bibirnya dengan penuh rasa frustasi.“Apa dia pikir aku terlalu mudah untuk dia sentuh,” lirih Charisa menyesal yang seharusnya tadi bisa untuk menghindar. Kenapa tubuhnya tidak bisa ia pertahankan.“Kau bodoh!” Charisa menyalahkan dirinya sendiri. “Kau sempat menikmatinya
Charisa terdiam dalam sentuhan bibir Jean, tubuhnya terasa seperti terbebani oleh banyak perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ketika bibir Jean menyentuhnya, ada kehangatan yang mengalir melalui tubuhnya, seakan-akan dunia di sekeliling mereka menghilang dan hanya ada keduanya. Charisa bisa merasakan detak jantung Jean yang berpadu dengan detak jantungnya, dan untuk sesaat, ia merasa seolah-olah mereka hanya dua jiwa yang saling terikat dalam kesunyian malam.Jean memegangnya dengan lembut, seolah-olah dia takut jika dia melepasnya, Charisa akan hilang begitu saja. Namun ketika kesadaran dan logikanya kembali, Charisa segera melepaskan dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, namun hatinya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Keputusan itu muncul begitu cepat, hampir tanpa pertimbangan. Perasaan yang tiba-tiba datang begitu kuat, namun juga penuh dengan kebingungan. Ia menatap Jean dengan mata yang sedikit teralihkan, bingung dengan perasaan yang mengaduk di d
Charisa mencoba mengatur napasnya, berusaha untuk tetap tenang meskipun tubuhnya terasa lemas. Kehadiran Genta dengan ekspresi penuh amarah jelas menunjukkan bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.“Aku pikir kita perlu bicara,” ujar Genta dengan nada dingin, meletakkan amplop cokelat itu ke atas meja Charisa.Charisa menatap amplop itu dengan tatapan bingung dan penuh waspada. “Apa ini?” tanyanya, suaranya nyaris bergetar.“Buka dan lihat sendiri,” balas Genta tanpa mengalihkan tatapannya.Dengan tangan gemetar, Charisa meraih amplop itu dan menarik keluar isinya. Sepasang mata cokelatnya membelalak saat melihat kertas hasil tes DNA di tangannya. Ia membaca isi dokumen itu dengan cepat, lalu mendongak menatap Genta.“Darimana kau mendapatkan ini?” tanya Charisa. Dia merasa kalau itu adalah perbuatan Jean.“Tidak penting bagaimana aku bisa mendapatkan ini,” jawab Genta dengan tegas, tapi dengan nada yang lebih mengarah ke perasaan kecewa. “Yang penting adalah, kenapa kau tidak pernah
“Nona Charisa ada paket datang. Sudah saya letakkan di atas meja Anda!” Kinara memberi tahu Charisa saat wanita itu datang.“Baik, terima kasih.” Charisa berjalan menuju ruangannya. Hatinya masih berada di dimensi lain. Perkataan Jean tadi berhasil membuatnya tidak fokus sepanjang perjalanan ke kantor. Charisa menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu ruangannya. Di atas meja kerjanya, sebuah kotak cokelat sederhana dengan pita biru tergeletak rapi. Ia menatapnya beberapa detik, lalu mengambil cutter untuk membukanya.Kotak itu berisi sebuah sepatu dengan desain mewah dari brand terkenal. Bersama dengan sepatu itu, terdapat selembar kartu kecil dengan tulisan tangan.“Waktunya melangkah dengan lembaran baru bersama orang yang benar-benar peduli denganmu. Charisa aku ingin berada di sampingmu dan melindungimu dan juga Darren”Charisa merasakan denyutan di dadanya. Ia tahu tulisan itu milik Jean. Kata-kata itu membuat pikirannya berputar. Apa yang sebenarnya diinginkan Jean darin