“Kau bodoh sekali jika masih berharap dia belum menikah,” tutur Chaca sambil memegang gelas alkoholnya yang sudah kosong. Gadis itu sudah kehilangan setengah kesadarannya. Bahkan dia tidak segan untuk menangis dengan suara lumayan keras. Dia tidak habis-habisnya mengumpat. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri, kadang dia menyumpahi Genta.
Pria di sampingnya mengawasi sambil melihat keadaan sekitar. Dia hanya memberi kode pada orang yang memperhatikan Chaca untuk memakluminya. Chaca tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang. Yang dia tahu dia harus minum untuk meredakan semua emosi dalam tubuhnya.
“Nona, kau sudah minum cukup banyak dan sudah mabuk. Sebaiknya Anda istirahat di hotel!” tegur Jimmy.
“Tidak, aku masih kuat Jimmy. Aku belum mabuk,” jawab Chaca sambil tertawa mabuk.
“Mas, boleh minta satu lagi!” pinta Chaca dengan tubuh yang sudah sempoyongan.
“Nona! Kau sudah mabuk. Cukup. Ayo kita pergi dari sini!” bisik Jimmy sambil menopang tubuh Chaca yang sudah limbung.
“Jimmy, kau jangan membuat aku marah. Aku bisa pecat kau kalau tidak mengikuti perintahku! Chaca sudah di luar kontrol.
Pria itu hanya berdecak pelan mencoba menahan kesabarannya.
“Semua pria sama saja kecuali ayahku!” cemooh Chaca melampiaskan amarahnya dengan menepis lengan Jimmy.
“Nona! Cukup dan jangan buat keributan di sini!” protes Jimmy.
“Aku tidak membuat keributan. Aku juga tidak mau sedih gara-gara ini. Tapi —-” lirih Chaca dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kau baru datang ke Jakarta, tubuhmu perlu istirahat! Aku akan antar ke hotel!” ajak Jimmy kemudian berusaha menarik tangan Chaca.
“Hotel?” desis Chaca sambil menatap wajah Jimmy.
Gadis itu menjelajahi wajah pria yang kelihatan lebih muda darinya itu dengan tatapan sendunya. Jimmy cukup tampan dan menarik. Kedua matanya teduh menatapnya penuh heran. Rahangnya begitu tegas membuatnya terlihat sangat seksi.
Entah apa yang merasukinya saat ini. Rasanya ingin sekali dia melampiaskan kekecewaannya dengan melakukan sesuatu. Hal gila yang terlintas begitu saja di benak Chaca.
“Jim, berapa usiamu. Kau tampak lebih muda dariku?” tanya Chaca mulai tertarik dengan pria tampan yang duduk di sampingnya.
“Dua puluh empat tahun,” jawabnya dengan tatapan tegas.
“Kau lebih muda dariku rupanya,” cicit Chaca sambil tersenyum miring. Dia memang lebih muda dua tahun darinya. Tapi dia terlihat sangat matang dan sama sekali tidak canggung bersama dengan wanita lebih tua darinya.
“Apa kau bersedia menemaniku malam ini?” goda Chaca sambil tersenyum nakal. Dia mungkin sudah gila karena terluka menerima kenyataan kalau Genta sudah menikah dan memiliki seorang anak. Sementara dia adalah seorang gadis yang tidak pernah memiliki hubungan asmara dengan seorang laki-laki. Dia sudah tertinggal jauh oleh Genta.
“Nona? Apa yang kau pikirkan?” tanya Jimmy menatap wajah Chaca yang sudah dikendalikan alkohol.
“Kalau kau tidak mau. Aku akan mencari pria lain!” Chaca kemudian berbalik dan mencari pria tampan dan gagah di bar ini untuk dia ajak tidur.
“Tunggu!” cegah Jimmy sambil menahan pinggang Chaca agar tidak mencari pria lain. Dia menatap lekat wajah Chaca yang sudah memerah karena alkohol dan juga gairah lain. Dia memegang wajah Chaca yang sudah memerah dengan kedua tangannya. Jujur, dia juga sudah mulai merasakan mabuk. Reaksi tubuhnya pun sedikit tertantang dengan gerak gerik Chaca yang memancingnya untuk berbuat lebih dari sekedar memegang wajahnya.
“Akan lebih baik melakukannya denganmu. Kau bisa dipercaya kan?” desis Chaca dengan suara manja.
Mendengar suara manja Chaca yang menggairahkan. Jimmy pun segera merangkul Chaca dan membawanya pergi.
Chaca ingin membuang perasaannya pada Genta. Dia harus bisa melupakan Genta dengan cara ini. Meskipun dia juga tidak tahu apakah keputusannya ini benar atau tidak.
Pria itu benar-benar membawanya ke sebuah kamar hotel mewah. Chaca tidak banyak berkomentar sepanjang pria itu menggandeng tangannya menuju sebuah kamar. Sampai di dalam kamar, Chaca tanpa membuang waktu dia melepaskan kancing bajunya. Namun gerakannya segera dihentikan oleh tangan Jimmy.
“Nona, apa kau yakin mau melakukannya denganku?” tanya Jimmy dengan suara serak menahan godaan Chaca. Pria mana yang tidak tahan melihat perempuan cantik yang sukarela mengajaknya berhubungan intim.
“Kenapa? Kau tidak mau?” tantang Chaca sambil melipatkan kedua bibirnya dengan gerakan sensual.
“Aku akan membayarmu Jimmy! Aku akan memberikan bayaran yang tinggi. Tapi nanti di kantor kau jangan katakan pada siapa-siapa!” lirih Chaca memohon.
“Apa maksudmu dibayar?” tanya Jimmy. Chaca seolah sedang menego seorang pria penghibur.
“Aku punya banyak uang! Selama aku di Jakarta aku akan menjadi kartu ATM mu!” rayu Chaca sambil menyentuh dada bidang milik Jimmy. Sentuhan Chaca yang menggoda tentu sangat menggoda iman seorang pria normal.
“Kalau tidak mau, seharusnya tadi kau biarkan aku mencari pria lain di bar tadi!” lirih Chaca kecewa. Entah setan apa yang membuatnya saat ini tidak bisa mengendalikan gairahnya.
Pria itu sudah tidak bisa menahan lagi. Dipegangnya tangan Chaca yang menyentuh dadanya. Lalu perlahan dia mendekatkan wajahnya memberinya kecupan kecil. Tubuh Chaca langsung meremang. Baru kali ini dia merasakan kecupan dari seorang pria. Kedua matanya berkaca-kaca, seperti ada sebuah aliran listrik yang menyengat membuat reaksi tubuhnya bertindak mengikuti nalurinya sebagai wanita. Dia merangkul leher pria di depannya dengan kedua lengannya.
Kecupan kecil dari pria itu berubah menjadi ciuman yang melelehkan gunung es di tubuh mereka berdua yang kaku.
Pria yang sudah dipicu gairahnya kini mulai meraup bibir Chaca dan melumatnya dengan penuh gairah. Kedua tangannya pun segera membantu melepaskan satu persatu kancing kemejanya.
Beberapa saat kemudian tubuh mereka sudah tidak memakai satu lembar benang pun. Selanjutnya hal itu pun terjadi tanpa bisa dihentikan. Masing-masing menikmati pengalaman ranjang yang menjadi penutup hari pertama mereka bertemu.
Chaca menatap wajah Jimmy dengan pikiran campur aduk. Nikmat yang diberikan Jimmy membuatnya setengah sadar dan tidak sadar.
“Genta!” lirih Chaca menyebut nama itu. Dia memang membayangkan kalau sekarang dia bersama dengan Genta.
Jimmy yang mendengar jelas Chaca memanggil nama seorang pria lain berusaha untuk menahan rasa kecewanya. Dia menutup mulut Chaca agar tidak terus memanggil nama pria lain.
“Jim!” lirih Chaca saat menyadari kalau pria itu kesal kalau dia menyebut nama pria lain saat dia bercinta dengannya. Dua jam kemudian mereka kelelahan dan tidur.
*
Keesokan harinya Chaca bangun lebih dulu, kesadarannya mulai perlahan kembali dan mengingat apa yang sudah terjadi semalam. Dia menatap laki-laki di sebelahnya yang masih terlelap. Gadis itu menyadari kalau dia sudah melakukan hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dia bercinta dengan pria yang baru sehari ia temui.
Setelah memikirkan apa yang harus ia lakukan, bergegas gadis itu menggeser tubuhnya menjauh dari pria itu. Bagian intinya terasa sakit dan menyebar ke seluruh tubuh. Ini adalah pertama kalinya dia melakukan hubungan intim dengan seorang pria. Meski ada sedikit penyesalan, tapi Chaca mengakui kalau itu adalah pengalaman yang menyenangkan. Apalagi Jimmy sangat perkasa. Sayangnya pria itu adalah asistennya di perusahaan.
Satu jam lagi matahari akan terbit, rasanya Chaca tidak bisa tidur lagi. Dia harus segera siap-siap pergi ke kantor. Ini adalah hari pertamanya di Vallarta, jangan sampai dia mengecewakan para pegawai di sana.
Dengan perlahan bergerak Chaca turun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi. Dia tidak akan membangunkan Jimmy karena dia pasti kelelahan. Lebih baik membiarkannya beberapa jam lagi untuk tidur.
Setelah mandi dan berpakaian Chaca memeriksa Jimmy di tempat tidur. Rupanya pria itu juga sudah terbangun.
“Kau sudah bangun?” tanya Chaca santai. Nada bicaranya tidak selembut semalam. Tatapan wajahnya juga sudah kembali ke mode pertama kali bertemu di bandara.
“Nona sudah rapi, maafkan aku telat bangun!” ucap Jimmy sambil turun dari tempat tidur dalam keadaan masih polos.
Chaca segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia tidak ingin terjebak lagi dalam situasi semalam.
“Nona sudah melihat semuanya dari semalam, kenapa harus malu!” kekeh Jimmy sambil memakai celana dalamnya dan berjalan ke kamar mandi.
“Jimmy, aku akan pergi duluan! Untuk yang semalam kita lupakan saja!” teriak Chaca.
Dia buru-buru pergi menarik kopernya untuk menghindar dari Jimmy. Melihatnya polos seperti itu jantungnya tidak aman. Tapi sebelum pergi Chaca ingat sesuatu. Dia membuka tasnya dan mengambil dompetnya. Beberapa lembar dollar pecahan seratus ia keluarkan semuanya dan ia simpan di atas tempat tidur. Sebenarnya itu masih kurang, tapi Chaca tidak punya banyak uang cash.
Chaca kemudian mengambil kertas dan pulpen yang ada di nakas samping tempat tidur. Dia menulis memo untuk Jimmy agar nanti bertemu lagi di kantor.
[Jimmy, nanti aku kasih sisanya lewat transfer. Tapi aku tidak punya nomor rekeningmu. Uang cash ku cuma sedikit. Ingat jangan bocorkan tentang semalam di perusahaan! Kita pura-pura tidak terjadi apa-apa!]
Setelah menulis memo itu, buru-buru Chaca meninggalkan kamar itu. Dia tidak ingin terlambat. Kalau menunggu Jimmy selesai, rasanya juga tidak mungkin. Situasi nanti akan terasa canggung. Chaca butuh waktu untuk menata image-nya lagi di depan Jimmy.
Chaca turun dari taksi setelah sampai di gedung di mana perusahaan Vallarta berada. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai CEO di sana. Untungnya dia tidak datang terlambat. Di pintu lift menuju lantai kantor Vallarta dia menatap bayangan wajahnya yang terlihat sedikit lelah. Pengaruh sisa alkohol dan kejadian semalam tentu berpengaruh pada kondisi wajahnya sekarang. Sebelum itu menjadi bencana, Chaca kemudian melipir dulu ke arah toilet di lantai satu. Dia harus menata ulang riasannya. Sampai di toilet dia kemudian mengeluarkan cushion miliknya. Ini masih pagi dan tentu belum banyak yang datang. Chaca sedikit leluasa untuk menata wajahnya agar terlihat lebih fresh dan cantik.“Hei kau tidak tahu Jimmy yang bekerja di Vallarta lantai 20?” Seorang gadis muda datang dengan dua orang gadis lainnya ke toilet.“Ya tahu dong. Emang kenapa sama dia?” tanya dua temannya itu.Chaca mencoba menguping apa yang akan menjadi bahan pembicaraan para gadis itu tentang Jimmy. Kalau diperhatikan sepe
Satu bulan lebih berlalu, tanpa halangan Chaca dapat bekerja dengan baik sebagai CEO di Vallarta cabang Jakarta. Tersisa dua bulan lagi untuk kembali ke Jepang. Dia tinggal menyelesaikan beberapa permasalahan intern di sini. Setelah itu dia akan kembali lagi ke Jepang sesuai arahan Tuan Juko.Kemampuannya dalam memimpin perusahaan memang tidak diragukan. Pantas saja jika karirnya cemerlang di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Padahal dia bekerja di Vallarta baru tiga tahun, tetapi pemilik Vallarta sangat mempercayainya. Selain cerdas, Chaca memang mampu bekerja keras dalam memecahkan masalah di perusahaan dibandingkan dengan pegawai lain. Vallarta adalah perusahaan furniture yang mencoba membuka cabang di Jakarta. Kota Jakarta sebagai kota metropolitan sangat menjanjikan menjadi target pemasaran desain-desain furniture yang dimiliki Vallarta. Hanya saja untuk saat ini Vallarta Jakarta belum dapat berjalan dengan lancar karena banyak masalah di produksi, pengiriman dan jug
Pertemuan tak sengaja itu akhirnya berujung dengan kopi darat di sebuah cafe dekat rumah sakit. Chaca baru mengetahui kalau ternyata Genta adalah seorang dokter umum di rumah sakit itu. Rasa kecewanya kemarin berubah kagum karena Genta berhasil menggapai cita-citanya sebagai seorang dokter.“Aku tidak mengira kalau kita bakal bertemu lagi.” Genta tidak bisa menutupi rasa senangnya bisa bertemu lagi dengan teman sekolah sekaligus tetangganya itu. Dia tidak berhenti tersenyum dan menatap wajah Chaca dengan intens.“Aku juga,” jawab Chaca datar. Dia kehilangan semangat gara-gara Genta sudah banyak pencapaian. Sedangkan dia, dia harus memikul nasib menjadi wanita hamil tanpa pasangan.“Oh ya, kau dari mana saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau sudah menikah?” tanya Genta dengan nada agak ragu karena banyak pertanyaan yang ia ingin lontarkan. Wajahnya terlihat sangat berhati-hati.Chaca menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia sama sekali tidak tertarik dengan topik seperti ini. Di
Hari itu Chaca melamun di meja kerjanya. Setelah sadar kalau dia hamil, dia jadi lebih gampang mual dan porsi makannya menjadi bertambah. Hormonnya pun agak berbeda. Dia lebih sensitif dan cenderung persuasif. Dia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak ada dokter yang akan membantunya menghilangkan janin itu. Itu merupakan tindakan yang ilegal. Sementara dirinya sendiri ragu jika harus mempertahankannya di dalam kandungan. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu kalau dirinya hamil tanpa tahu siapa ayahnya.“Nona, ini aku bawakan salad buah pesananmu!” Jimmy sudah berada di depan mejanya dan memberinya sebuah paper bag berisi pesanannya.“Terima kasih Jim. Oh ya, apa ada dokumen yang masih harus aku tanda tangan?” tanya Chaca.“Tadi Lily bilang kalau ada beberapa dokumen dari sub kontraktor Surabaya baru selesai diperiksa timnya. Aku akan bawakan ke sini!” jawab Jimmy.“Hmm, oke. Bawakan cepat, aku harus pergi satu jam lagi.”“Baik Nona,” jawab Jimmy patuh.Setelah Jimmy pergi, Ch
“Apa kau mau tidur menemaniku malam ini?” tanya Chaca sambil menatap wajah Genta dengan tatapan penuh arti.Genta terkejut mendengarnya. Dia mengusap-usap telinganya barangkali dia salah mendengar.“Tidak mau?” tanya Chaca dengan wajah kecewa.“Bukan seperti itu, Cha. Tapi — apa tidak salah?” Genta masih terlihat bingung dan tidak percaya.“Katanya kau mau merawat dan menjagaku. Jadi —” Chaca terdengar sangat provokatif.“Cha, ini bukan bercanda kan? Aku tahu kau sudah lama tinggal di Jepang dan yang kayak begini sudah tidak aneh. Tapi bagiku —- aku masih tidak terbiasa.” Genta menolak secara halus.Chaca tersenyum miring menatap raut wajah Genta yang gelisah. Genta masih seperti dulu, dia malu-malu kucing. Malu tapi sebenarnya dia mau.“Kau tidak serius kan?” tanya Genta dengan suara yang tercekat karena berusaha untuk tidak terpancing.“Tentu saja, kenapa kau anggap itu serius?” Chaca benar-benar puas mellihat wajah Genta yang sempat gelisah tadi. Sebenarnya dia juga serius ingin me
Seperti biasa, Chaca menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ini sudah sore, dan Genta sama sekali belum mengabarinya. Ada untungnya semalam dia memberi obat tidur pada Genta. Kalau tidak, Chaca mungkin akan lebih sakit hati jika Genta hanya ingin mencoba tidur dengannya saja.“Nyonya Charissa. Ini sudah waktunya pulang. Apa mungkin ada pekerjaan lain yang harus kita kerjakan malam ini?” tanya Jimmy menghampiri meja kerjanya.“Tidak ada. Kau pulang saja! Aku harus membereskan beberapa laporan ke Pusat,” jawab Chaca sambil menatap layar PC nya. Tetapi beberapa kali dia melirik ponselnya yang sedari tadi belum ada notif yang masuk.“Baiklah kalau begitu. Saya pulang duluan! Oh ya, saya sudah pesankan kue untuk menemani Anda bekerja!” Jimmy yang pengertian meletakkan satu kotak kue di atas meja Chaca.“Terima kasih untuk hari ini Jimmy!” ucap Chaca tersenyum.“Sama-sama!” Pria itu pun kemudian berpamitan dan pergi.Tinggallah Chaca sendiri di ruang kerjanya melamun dengan apa yang sudah t
Rasanya mendengar ucapan itu, Chaca gemetar meski sebenarnya dia tidak terlalu kaget. Dia langsung menebak kalau gadis itu adalah Sweet. Orang yang tidak pernah diceritakan Genta tapi dia pasti orang yang sangat spesial sehingga menamai nomornya dengan kata Sweet.“Maaf aku tidak mengenalmu, ada urusan apa ke sini?” jawab Chaca ketus.“Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini?” tanya Irene dengan nada sedikit tinggi.“Bukan urusanku. Aku tidak ada hubungan apapun dengan tunanganmu. Pergilah sebelum aku panggil security!” usir Chaca.“Aku mengecek riwayat GPS Genta, dan tanggal di mana dia tidak pulang ternyata dia pergi ke sini dan menginap di sini. Dasar lonte!” teriak Irene menghina.Chaca berusaha untuk tenang dan tidak tersulut emosi dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Irene.“Sudah berapa kali kau menggodanya untuk datang ke sini?” tanya Irene dengan nada provokasi.“Hati-hati bicara!Dia hanya bekas tetanggaku dulu. Aku tidak ada hubungan dengan Genta! Paham! Pergilah sebelum
Lima tahun berlalu.Waktu terasa cepat berlalu, hidup Chaca banyak berubah setelah itu. Selama itu juga dia tidak pernah kembali ke negara kelahirannya. Dia lebih memilih bekerja dan menghabiskan sebagian hidupnya di Jepang bersama keluarganya.Dia sudah cukup bahagia sekarang dan lebih tenang. Meski di awal-awal dia merasa menderita dan tersiksa.Kedua orang tuanya mengizinkannya hidup seperti apa yang ia pilih. Sampai sekarang pun Chaca enggan menceritakan apa yang ia alami lima tahun lalu. Tadinya Chaca hendak menggugurkan kandungannya saat kembali ke Jepang. Namun entah apa yang membuatnya memutuskan untuk mempertahankan kehamilannya dan melahirkan anak tanpa ayah itu.Saat di rumah sakit, ia melihat sepasang suami istri yang menangis saat mengetahui kalau anak mereka tidak bisa dipertahankan. Barulah Chaca menyadari kalau kehadiran anak adalah sebuah anugerah yang tidak semua orang mudah mendapatkannya. Mulai dari sanalah Chaca mengubah pola pikirnya. Mungkin Tuhan punya rencana
Lima tahun berlalu.Waktu terasa cepat berlalu, hidup Chaca banyak berubah setelah itu. Selama itu juga dia tidak pernah kembali ke negara kelahirannya. Dia lebih memilih bekerja dan menghabiskan sebagian hidupnya di Jepang bersama keluarganya.Dia sudah cukup bahagia sekarang dan lebih tenang. Meski di awal-awal dia merasa menderita dan tersiksa.Kedua orang tuanya mengizinkannya hidup seperti apa yang ia pilih. Sampai sekarang pun Chaca enggan menceritakan apa yang ia alami lima tahun lalu. Tadinya Chaca hendak menggugurkan kandungannya saat kembali ke Jepang. Namun entah apa yang membuatnya memutuskan untuk mempertahankan kehamilannya dan melahirkan anak tanpa ayah itu.Saat di rumah sakit, ia melihat sepasang suami istri yang menangis saat mengetahui kalau anak mereka tidak bisa dipertahankan. Barulah Chaca menyadari kalau kehadiran anak adalah sebuah anugerah yang tidak semua orang mudah mendapatkannya. Mulai dari sanalah Chaca mengubah pola pikirnya. Mungkin Tuhan punya rencana
Rasanya mendengar ucapan itu, Chaca gemetar meski sebenarnya dia tidak terlalu kaget. Dia langsung menebak kalau gadis itu adalah Sweet. Orang yang tidak pernah diceritakan Genta tapi dia pasti orang yang sangat spesial sehingga menamai nomornya dengan kata Sweet.“Maaf aku tidak mengenalmu, ada urusan apa ke sini?” jawab Chaca ketus.“Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini?” tanya Irene dengan nada sedikit tinggi.“Bukan urusanku. Aku tidak ada hubungan apapun dengan tunanganmu. Pergilah sebelum aku panggil security!” usir Chaca.“Aku mengecek riwayat GPS Genta, dan tanggal di mana dia tidak pulang ternyata dia pergi ke sini dan menginap di sini. Dasar lonte!” teriak Irene menghina.Chaca berusaha untuk tenang dan tidak tersulut emosi dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Irene.“Sudah berapa kali kau menggodanya untuk datang ke sini?” tanya Irene dengan nada provokasi.“Hati-hati bicara!Dia hanya bekas tetanggaku dulu. Aku tidak ada hubungan dengan Genta! Paham! Pergilah sebelum
Seperti biasa, Chaca menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ini sudah sore, dan Genta sama sekali belum mengabarinya. Ada untungnya semalam dia memberi obat tidur pada Genta. Kalau tidak, Chaca mungkin akan lebih sakit hati jika Genta hanya ingin mencoba tidur dengannya saja.“Nyonya Charissa. Ini sudah waktunya pulang. Apa mungkin ada pekerjaan lain yang harus kita kerjakan malam ini?” tanya Jimmy menghampiri meja kerjanya.“Tidak ada. Kau pulang saja! Aku harus membereskan beberapa laporan ke Pusat,” jawab Chaca sambil menatap layar PC nya. Tetapi beberapa kali dia melirik ponselnya yang sedari tadi belum ada notif yang masuk.“Baiklah kalau begitu. Saya pulang duluan! Oh ya, saya sudah pesankan kue untuk menemani Anda bekerja!” Jimmy yang pengertian meletakkan satu kotak kue di atas meja Chaca.“Terima kasih untuk hari ini Jimmy!” ucap Chaca tersenyum.“Sama-sama!” Pria itu pun kemudian berpamitan dan pergi.Tinggallah Chaca sendiri di ruang kerjanya melamun dengan apa yang sudah t
“Apa kau mau tidur menemaniku malam ini?” tanya Chaca sambil menatap wajah Genta dengan tatapan penuh arti.Genta terkejut mendengarnya. Dia mengusap-usap telinganya barangkali dia salah mendengar.“Tidak mau?” tanya Chaca dengan wajah kecewa.“Bukan seperti itu, Cha. Tapi — apa tidak salah?” Genta masih terlihat bingung dan tidak percaya.“Katanya kau mau merawat dan menjagaku. Jadi —” Chaca terdengar sangat provokatif.“Cha, ini bukan bercanda kan? Aku tahu kau sudah lama tinggal di Jepang dan yang kayak begini sudah tidak aneh. Tapi bagiku —- aku masih tidak terbiasa.” Genta menolak secara halus.Chaca tersenyum miring menatap raut wajah Genta yang gelisah. Genta masih seperti dulu, dia malu-malu kucing. Malu tapi sebenarnya dia mau.“Kau tidak serius kan?” tanya Genta dengan suara yang tercekat karena berusaha untuk tidak terpancing.“Tentu saja, kenapa kau anggap itu serius?” Chaca benar-benar puas mellihat wajah Genta yang sempat gelisah tadi. Sebenarnya dia juga serius ingin me
Hari itu Chaca melamun di meja kerjanya. Setelah sadar kalau dia hamil, dia jadi lebih gampang mual dan porsi makannya menjadi bertambah. Hormonnya pun agak berbeda. Dia lebih sensitif dan cenderung persuasif. Dia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak ada dokter yang akan membantunya menghilangkan janin itu. Itu merupakan tindakan yang ilegal. Sementara dirinya sendiri ragu jika harus mempertahankannya di dalam kandungan. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu kalau dirinya hamil tanpa tahu siapa ayahnya.“Nona, ini aku bawakan salad buah pesananmu!” Jimmy sudah berada di depan mejanya dan memberinya sebuah paper bag berisi pesanannya.“Terima kasih Jim. Oh ya, apa ada dokumen yang masih harus aku tanda tangan?” tanya Chaca.“Tadi Lily bilang kalau ada beberapa dokumen dari sub kontraktor Surabaya baru selesai diperiksa timnya. Aku akan bawakan ke sini!” jawab Jimmy.“Hmm, oke. Bawakan cepat, aku harus pergi satu jam lagi.”“Baik Nona,” jawab Jimmy patuh.Setelah Jimmy pergi, Ch
Pertemuan tak sengaja itu akhirnya berujung dengan kopi darat di sebuah cafe dekat rumah sakit. Chaca baru mengetahui kalau ternyata Genta adalah seorang dokter umum di rumah sakit itu. Rasa kecewanya kemarin berubah kagum karena Genta berhasil menggapai cita-citanya sebagai seorang dokter.“Aku tidak mengira kalau kita bakal bertemu lagi.” Genta tidak bisa menutupi rasa senangnya bisa bertemu lagi dengan teman sekolah sekaligus tetangganya itu. Dia tidak berhenti tersenyum dan menatap wajah Chaca dengan intens.“Aku juga,” jawab Chaca datar. Dia kehilangan semangat gara-gara Genta sudah banyak pencapaian. Sedangkan dia, dia harus memikul nasib menjadi wanita hamil tanpa pasangan.“Oh ya, kau dari mana saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau sudah menikah?” tanya Genta dengan nada agak ragu karena banyak pertanyaan yang ia ingin lontarkan. Wajahnya terlihat sangat berhati-hati.Chaca menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia sama sekali tidak tertarik dengan topik seperti ini. Di
Satu bulan lebih berlalu, tanpa halangan Chaca dapat bekerja dengan baik sebagai CEO di Vallarta cabang Jakarta. Tersisa dua bulan lagi untuk kembali ke Jepang. Dia tinggal menyelesaikan beberapa permasalahan intern di sini. Setelah itu dia akan kembali lagi ke Jepang sesuai arahan Tuan Juko.Kemampuannya dalam memimpin perusahaan memang tidak diragukan. Pantas saja jika karirnya cemerlang di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Padahal dia bekerja di Vallarta baru tiga tahun, tetapi pemilik Vallarta sangat mempercayainya. Selain cerdas, Chaca memang mampu bekerja keras dalam memecahkan masalah di perusahaan dibandingkan dengan pegawai lain. Vallarta adalah perusahaan furniture yang mencoba membuka cabang di Jakarta. Kota Jakarta sebagai kota metropolitan sangat menjanjikan menjadi target pemasaran desain-desain furniture yang dimiliki Vallarta. Hanya saja untuk saat ini Vallarta Jakarta belum dapat berjalan dengan lancar karena banyak masalah di produksi, pengiriman dan jug
Chaca turun dari taksi setelah sampai di gedung di mana perusahaan Vallarta berada. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai CEO di sana. Untungnya dia tidak datang terlambat. Di pintu lift menuju lantai kantor Vallarta dia menatap bayangan wajahnya yang terlihat sedikit lelah. Pengaruh sisa alkohol dan kejadian semalam tentu berpengaruh pada kondisi wajahnya sekarang. Sebelum itu menjadi bencana, Chaca kemudian melipir dulu ke arah toilet di lantai satu. Dia harus menata ulang riasannya. Sampai di toilet dia kemudian mengeluarkan cushion miliknya. Ini masih pagi dan tentu belum banyak yang datang. Chaca sedikit leluasa untuk menata wajahnya agar terlihat lebih fresh dan cantik.“Hei kau tidak tahu Jimmy yang bekerja di Vallarta lantai 20?” Seorang gadis muda datang dengan dua orang gadis lainnya ke toilet.“Ya tahu dong. Emang kenapa sama dia?” tanya dua temannya itu.Chaca mencoba menguping apa yang akan menjadi bahan pembicaraan para gadis itu tentang Jimmy. Kalau diperhatikan sepe
“Kau bodoh sekali jika masih berharap dia belum menikah,” tutur Chaca sambil memegang gelas alkoholnya yang sudah kosong. Gadis itu sudah kehilangan setengah kesadarannya. Bahkan dia tidak segan untuk menangis dengan suara lumayan keras. Dia tidak habis-habisnya mengumpat. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri, kadang dia menyumpahi Genta.Pria di sampingnya mengawasi sambil melihat keadaan sekitar. Dia hanya memberi kode pada orang yang memperhatikan Chaca untuk memakluminya. Chaca tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang. Yang dia tahu dia harus minum untuk meredakan semua emosi dalam tubuhnya.“Nona, kau sudah minum cukup banyak dan sudah mabuk. Sebaiknya Anda istirahat di hotel!” tegur Jimmy.“Tidak, aku masih kuat Jimmy. Aku belum mabuk,” jawab Chaca sambil tertawa mabuk.“Mas, boleh minta satu lagi!” pinta Chaca dengan tubuh yang sudah sempoyongan.“Nona! Kau sudah mabuk. Cukup. Ayo kita pergi dari sini!” bisik Jimmy sambil menopang tubuh Chaca yang sudah limbung.“Jimmy,