“Kau bodoh sekali jika masih berharap dia belum menikah,” tutur Charisa sambil memegang gelas alkoholnya yang sudah kosong. Gadis itu sudah kehilangan setengah kesadarannya. Bahkan dia tidak segan untuk menangis dengan suara lumayan keras. Dia tidak habis-habisnya mengumpat. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri, kadang dia menyumpahi Genta.
Pria di sampingnya mengawasi sambil melihat keadaan sekitar. Dia hanya memberi kode pada orang yang memperhatikan Charisa untuk memakluminya. Charisa tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang. Yang dia tahu dia harus minum untuk meredakan semua emosi dalam tubuhnya.
“Nona, kau sudah minum cukup banyak dan sudah mabuk. Sebaiknya Anda istirahat di hotel!” tegur Jimmy.
“Tidak, aku masih kuat Jimmy. Aku belum mabuk,” jawab Charisa sambil tertawa mabuk.
“Mas, boleh minta satu lagi!” pinta Charisa dengan tubuh yang sudah sempoyongan.
“Nona! Kau sudah mabuk. Cukup. Ayo kita pergi dari sini!” bisik Jimmy sambil menopang tubuh Charisa yang sudah limbung.
“Jimmy, kau jangan membuat aku marah. Aku bisa pecat kau kalau tidak mengikuti perintahku! Charisa sudah di luar kontrol.
Pria itu hanya berdecak pelan mencoba menahan kesabarannya.
“Semua pria sama saja kecuali ayahku!” cemooh Charisa melampiaskan amarahnya dengan menepis lengan Jimmy.
“Nona! Cukup dan jangan buat keributan di sini!” protes Jimmy.
“Aku tidak membuat keributan. Aku juga tidak mau sedih gara-gara ini. Tapi —-” lirih Charisa dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kau baru datang ke Jakarta, tubuhmu perlu istirahat! Aku akan antar ke hotel!” ajak Jimmy kemudian berusaha menarik tangan Charisa.
“Hotel?” desis Charisa sambil menatap wajah Jimmy.
Gadis itu menjelajahi wajah pria yang kelihatan lebih muda darinya itu dengan tatapan sendunya. Jimmy cukup tampan dan menarik. Kedua matanya teduh menatapnya penuh heran. Rahangnya begitu tegas membuatnya terlihat sangat seksi.
Entah apa yang merasukinya saat ini. Rasanya ingin sekali dia melampiaskan kekecewaannya dengan melakukan sesuatu. Hal gila yang terlintas begitu saja di benak Charisa.
“Jim, berapa usiamu. Kau tampak lebih muda dariku?” tanya Charisa mulai tertarik dengan pria tampan yang duduk di sampingnya.
“Dua puluh empat tahun,” jawabnya dengan tatapan tegas.
“Kau lebih muda dariku rupanya,” cicit Charisa sambil tersenyum miring. Dia memang lebih muda dua tahun darinya. Tapi dia terlihat sangat matang dan sama sekali tidak canggung bersama dengan wanita lebih tua darinya.
“Apa kau bersedia menemaniku malam ini?” goda Charisa sambil tersenyum nakal. Dia mungkin sudah gila karena terluka menerima kenyataan kalau Genta sudah menikah dan memiliki seorang anak. Sementara dia adalah seorang gadis yang tidak pernah memiliki hubungan asmara dengan seorang laki-laki. Dia sudah tertinggal jauh oleh Genta.
“Nona? Apa yang kau pikirkan?” tanya Jimmy menatap wajah Charisa yang sudah dikendalikan alkohol.
“Kalau kau tidak mau. Aku akan mencari pria lain!” Charisa kemudian berbalik dan mencari pria tampan dan gagah di bar ini untuk dia ajak tidur.
“Tunggu!” cegah Jimmy sambil menahan pinggang Charisa agar tidak mencari pria lain. Dia menatap lekat wajah Charisa yang sudah memerah karena alkohol dan juga gairah lain. Dia memegang wajah Charisa yang sudah memerah dengan kedua tangannya. Jujur, dia juga sudah mulai merasakan mabuk. Reaksi tubuhnya pun sedikit tertantang dengan gerak gerik Charisa yang memancingnya untuk berbuat lebih dari sekedar memegang wajahnya.
“Akan lebih baik melakukannya denganmu. Kau bisa dipercaya kan?” desis Charisa dengan suara manja.
Mendengar suara manja Charisa yang menggairahkan. Jimmy pun segera merangkul Charisa dan membawanya pergi.
Charisa ingin membuang perasaannya pada Genta. Dia harus bisa melupakan Genta dengan cara ini. Meskipun dia juga tidak tahu apakah keputusannya ini benar atau tidak.
Pria itu benar-benar membawanya ke sebuah kamar hotel mewah. Charisa tidak banyak berkomentar sepanjang pria itu menggandeng tangannya menuju sebuah kamar. Sampai di dalam kamar, Charisa tanpa membuang waktu dia melepaskan kancing bajunya. Namun gerakannya segera dihentikan oleh tangan Jimmy.
“Nona, apa kau yakin mau melakukannya denganku?” tanya Jimmy dengan suara serak menahan godaan Charisa. Pria mana yang tidak tahan melihat perempuan cantik yang sukarela mengajaknya berhubungan intim.
“Kenapa? Kau tidak mau?” tantang Charisa sambil melipatkan kedua bibirnya dengan gerakan sensual.
“Aku akan membayarmu Jimmy! Aku akan memberikan bayaran yang tinggi. Tapi nanti di kantor kau jangan katakan pada siapa-siapa!” lirih Charisa memohon.
“Apa maksudmu dibayar?” tanya Jimmy. Charisa seolah sedang menego seorang pria penghibur.
“Aku punya banyak uang! Selama aku di Jakarta aku akan menjadi kartu ATM mu!” rayu Charisa sambil menyentuh dada bidang milik Jimmy. Sentuhan Charisa yang menggoda tentu sangat menggoda iman seorang pria normal.
“Kalau tidak mau, seharusnya tadi kau biarkan aku mencari pria lain di bar tadi!” lirih Charisa kecewa. Entah setan apa yang membuatnya saat ini tidak bisa mengendalikan gairahnya.
Pria itu sudah tidak bisa menahan lagi. Dipegangnya tangan Charisa yang menyentuh dadanya. Lalu perlahan dia mendekatkan wajahnya memberinya kecupan kecil. Tubuh Charisa langsung meremang. Baru kali ini dia merasakan kecupan dari seorang pria. Kedua matanya berkaca-kaca, seperti ada sebuah aliran listrik yang menyengat membuat reaksi tubuhnya bertindak mengikuti nalurinya sebagai wanita. Dia merangkul leher pria di depannya dengan kedua lengannya.
Kecupan kecil dari pria itu berubah menjadi ciuman yang melelehkan gunung es di tubuh mereka berdua yang kaku.
Pria yang sudah dipicu gairahnya kini mulai meraup bibir Charisa dan melumatnya dengan penuh gairah. Kedua tangannya pun segera membantu melepaskan satu persatu kancing kemejanya.
Beberapa saat kemudian tubuh mereka sudah tidak memakai satu lembar benang pun. Selanjutnya hal itu pun terjadi tanpa bisa dihentikan. Masing-masing menikmati pengalaman ranjang yang menjadi penutup hari pertama mereka bertemu.
Charisa menatap wajah Jimmy dengan pikiran campur aduk. Nikmat yang diberikan Jimmy membuatnya setengah sadar dan tidak sadar.
“Genta!” lirih Charisa menyebut nama itu. Dia memang membayangkan kalau sekarang dia bersama dengan Genta.
Jimmy yang mendengar jelas Charisa memanggil nama seorang pria lain berusaha untuk menahan rasa kecewanya. Dia menutup mulut Charisa agar tidak terus memanggil nama pria lain.
“Jim!” lirih Charisa saat menyadari kalau pria itu kesal kalau dia menyebut nama pria lain saat dia bercinta dengannya. Dua jam kemudian mereka kelelahan dan tidur.
*
Keesokan harinya Charisa bangun lebih dulu, kesadarannya mulai perlahan kembali dan mengingat apa yang sudah terjadi semalam. Dia menatap laki-laki di sebelahnya yang masih terlelap. Gadis itu menyadari kalau dia sudah melakukan hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dia bercinta dengan pria yang baru sehari ia temui.
Setelah memikirkan apa yang harus ia lakukan, bergegas gadis itu menggeser tubuhnya menjauh dari pria itu. Bagian intinya terasa sakit dan menyebar ke seluruh tubuh. Ini adalah pertama kalinya dia melakukan hubungan intim dengan seorang pria. Meski ada sedikit penyesalan, tapi Charisa mengakui kalau itu adalah pengalaman yang menyenangkan. Apalagi Jimmy sangat perkasa. Sayangnya pria itu adalah asistennya di perusahaan.
Satu jam lagi matahari akan terbit, rasanya Charisa tidak bisa tidur lagi. Dia harus segera siap-siap pergi ke kantor. Ini adalah hari pertamanya di Vallarta, jangan sampai dia mengecewakan para pegawai di sana.
Dengan perlahan bergerak Charisa turun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi. Dia tidak akan membangunkan Jimmy karena dia pasti kelelahan. Lebih baik membiarkannya beberapa jam lagi untuk tidur.
Setelah mandi dan berpakaian Charisa memeriksa Jimmy di tempat tidur. Rupanya pria itu juga sudah terbangun.
“Kau sudah bangun?” tanya Charisa santai. Nada bicaranya tidak selembut semalam. Tatapan wajahnya juga sudah kembali ke mode pertama kali bertemu di bandara.
“Nona sudah rapi, maafkan aku telat bangun!” ucap Jimmy sambil turun dari tempat tidur dalam keadaan masih polos.
Charisa segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia tidak ingin terjebak lagi dalam situasi semalam.
“Nona sudah melihat semuanya dari semalam, kenapa harus malu!” kekeh Jimmy sambil memakai celana dalamnya dan berjalan ke kamar mandi.
“Jimmy, aku akan pergi duluan! Untuk yang semalam kita lupakan saja!” teriak Charisa.
Dia buru-buru pergi menarik kopernya untuk menghindar dari Jimmy. Melihatnya polos seperti itu jantungnya tidak aman. Tapi sebelum pergi Charisa ingat sesuatu. Dia membuka tasnya dan mengambil dompetnya. Beberapa lembar dollar pecahan seratus ia keluarkan semuanya dan ia simpan di atas tempat tidur. Sebenarnya itu masih kurang, tapi Charisa tidak punya banyak uang cash.
Charisa kemudian mengambil kertas dan pulpen yang ada di nakas samping tempat tidur. Dia menulis memo untuk Jimmy agar nanti bertemu lagi di kantor.
[Jimmy, nanti aku kasih sisanya lewat transfer. Tapi aku tidak punya nomor rekeningmu. Uang cash ku cuma sedikit. Ingat jangan bocorkan tentang semalam di perusahaan! Kita pura-pura tidak terjadi apa-apa!]
Setelah menulis memo itu, buru-buru Charisa meninggalkan kamar itu. Dia tidak ingin terlambat. Kalau menunggu Jimmy selesai, rasanya juga tidak mungkin. Situasi nanti akan terasa canggung. Charisa butuh waktu untuk menata image-nya lagi di depan Jimmy.
Charisa turun dari taksi setelah sampai di gedung di mana perusahaan Vallarta berada. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai CEO di sana. Untungnya dia tidak datang terlambat. Di pintu lift menuju lantai kantor Vallarta dia menatap bayangan wajahnya yang terlihat sedikit lelah. Pengaruh sisa alkohol dan kejadian semalam tentu berpengaruh pada kondisi wajahnya sekarang. Sebelum itu menjadi bencana, Charisa kemudian melipir dulu ke arah toilet di lantai satu. Dia harus menata ulang riasannya. Sampai di toilet dia kemudian mengeluarkan cushion miliknya. Ini masih pagi dan tentu belum banyak yang datang. Charisa sedikit leluasa untuk menata wajahnya agar terlihat lebih fresh dan cantik.“Hei kau tidak tahu Jimmy yang bekerja di Vallarta lantai 20?” Seorang gadis muda datang dengan dua orang gadis lainnya ke toilet.“Ya tahu dong. Emang kenapa sama dia?” tanya dua temannya itu.Charisa mencoba menguping apa yang akan menjadi bahan pembicaraan para gadis itu tentang Jimmy. Kalau diperhatik
Satu bulan lebih berlalu, tanpa halangan Charisa dapat bekerja dengan baik sebagai CEO di Vallarta cabang Jakarta. Tersisa dua bulan lagi untuk kembali ke Jepang. Dia tinggal menyelesaikan beberapa permasalahan intern di sini. Setelah itu dia akan kembali lagi ke Jepang sesuai arahan Tuan Juko.Kemampuannya dalam memimpin perusahaan memang tidak diragukan. Pantas saja jika karirnya cemerlang di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Padahal dia bekerja di Vallarta baru tiga tahun, tetapi pemilik Vallarta sangat mempercayainya. Selain cerdas, Charisa memang mampu bekerja keras dalam memecahkan masalah di perusahaan dibandingkan dengan pegawai lain. Vallarta adalah perusahaan furniture yang mencoba membuka cabang di Jakarta. Kota Jakarta sebagai kota metropolitan sangat menjanjikan menjadi target pemasaran desain-desain furniture yang dimiliki Vallarta. Hanya saja untuk saat ini Vallarta Jakarta belum dapat berjalan dengan lancar karena banyak masalah di produksi, pengiriman dan
Pertemuan tak sengaja itu akhirnya berujung dengan kopi darat di sebuah cafe dekat rumah sakit. Charisa baru mengetahui kalau ternyata Genta adalah seorang dokter umum di rumah sakit itu. Rasa kecewanya kemarin berubah kagum karena Genta berhasil menggapai cita-citanya sebagai seorang dokter.“Aku tidak mengira kalau kita bakal bertemu lagi.” Genta tidak bisa menutupi rasa senangnya bisa bertemu lagi dengan teman sekolah sekaligus tetangganya itu. Dia tidak berhenti tersenyum dan menatap wajah Charisa dengan intens.“Aku juga,” jawab Charisa datar. Dia kehilangan semangat gara-gara Genta sudah banyak pencapaian. Sedangkan dia, dia harus memikul nasib menjadi wanita hamil tanpa pasangan.“Oh ya, kau dari mana saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau sudah menikah?” tanya Genta dengan nada agak ragu karena banyak pertanyaan yang ia ingin lontarkan. Wajahnya terlihat sangat berhati-hati.Charisa menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia sama sekali tidak tertarik dengan topik seperti
Hari itu Charisa melamun di meja kerjanya. Setelah sadar kalau dia hamil, dia jadi lebih gampang mual dan porsi makannya menjadi bertambah. Hormonnya pun agak berbeda. Dia lebih sensitif dan cenderung persuasif. Dia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak ada dokter yang akan membantunya menghilangkan janin itu. Itu merupakan tindakan yang ilegal. Sementara dirinya sendiri ragu jika harus mempertahankannya di dalam kandungan. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu kalau dirinya hamil tanpa tahu siapa ayahnya.“Nona, ini aku bawakan salad buah pesananmu!” Jimmy sudah berada di depan mejanya dan memberinya sebuah paper bag berisi pesanannya.“Terima kasih Jim. Oh ya, apa ada dokumen yang masih harus aku tanda tangan?” tanya Charisa.“Tadi Lily bilang kalau ada beberapa dokumen dari sub kontraktor Surabaya baru selesai diperiksa timnya. Aku akan bawakan ke sini!” jawab Jimmy.“Hmm, oke. Bawakan cepat, aku harus pergi satu jam lagi.”“Baik Nona,” jawab Jimmy patuh.Setelah Jimmy pergi,
“Apa kau mau tidur menemaniku malam ini?” tanya Chaca sambil menatap wajah Genta dengan tatapan penuh arti.Genta terkejut mendengarnya. Dia mengusap-usap telinganya barangkali dia salah mendengar.“Tidak mau?” tanya Chaca dengan wajah kecewa.“Bukan seperti itu, Cha. Tapi — apa tidak salah?” Genta masih terlihat bingung dan tidak percaya.“Katanya kau mau merawat dan menjagaku. Jadi —” Chaca terdengar sangat provokatif.“Cha, ini bukan bercanda kan? Aku tahu kau sudah lama tinggal di Jepang dan yang kayak begini sudah tidak aneh. Tapi bagiku —- aku masih tidak terbiasa.” Genta menolak secara halus.Chaca tersenyum miring menatap raut wajah Genta yang gelisah. Genta masih seperti dulu, dia malu-malu kucing. Malu tapi sebenarnya dia mau.“Kau tidak serius kan?” tanya Genta dengan suara yang tercekat karena berusaha untuk tidak terpancing.“Tentu saja, kenapa kau anggap itu serius?” Chaca benar-benar puas mellihat wajah Genta yang sempat gelisah tadi. Sebenarnya dia juga serius ingin me
Seperti biasa, Charisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ini sudah sore, dan Genta sama sekali belum mengabarinya. Ada untungnya semalam dia memberi obat tidur pada Genta. Kalau tidak, Charisa mungkin akan lebih sakit hati jika Genta hanya ingin mencoba tidur dengannya saja.“Nyonya Charissa. Ini sudah waktunya pulang. Apa mungkin ada pekerjaan lain yang harus kita kerjakan malam ini?” tanya Jimmy menghampiri meja kerjanya.“Tidak ada. Kau pulang saja! Aku harus membereskan beberapa laporan ke Pusat,” jawab Charisa sambil menatap layar PC nya. Tetapi beberapa kali dia melirik ponselnya yang sedari tadi belum ada notif yang masuk.“Baiklah kalau begitu. Saya pulang duluan! Oh ya, saya sudah pesankan kue untuk menemani Anda bekerja!” Jimmy yang pengertian meletakkan satu kotak kue di atas meja Charisa.“Terima kasih untuk hari ini Jimmy!” ucap Charisa tersenyum.“Sama-sama!” Pria itu pun kemudian berpamitan dan pergi.Tinggallah Charisa sendiri di ruang kerjanya melamun dengan apa
Rasanya mendengar ucapan itu, Charisa gemetar meski sebenarnya dia tidak terlalu kaget. Dia langsung menebak kalau gadis itu adalah Sweet. Orang yang tidak pernah diceritakan Genta tapi dia pasti orang yang sangat spesial sehingga menamai nomornya dengan kata Sweet.“Maaf aku tidak mengenalmu, ada urusan apa ke sini?” jawab Charisa ketus.“Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini?” tanya Irene dengan nada sedikit tinggi.“Bukan urusanku. Aku tidak ada hubungan apapun dengan tunanganmu. Pergilah sebelum aku panggil security!” usir Charisa.“Aku mengecek riwayat GPS Genta, dan tanggal di mana dia tidak pulang ternyata dia pergi ke sini dan menginap di sini. Dasar lonte!” teriak Irene menghina.Charisa berusaha untuk tenang dan tidak tersulut emosi dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Irene.“Sudah berapa kali kau menggodanya untuk datang ke sini?” tanya Irene dengan nada provokasi.“Hati-hati bicara!Dia hanya bekas tetanggaku dulu. Aku tidak ada hubungan dengan Genta! Paham! Pergilah
Lima tahun berlalu.Waktu terasa cepat berlalu, hidup Charisa banyak berubah setelah itu. Selama itu juga dia tidak pernah kembali ke negara kelahirannya. Dia lebih memilih bekerja dan menghabiskan sebagian hidupnya di Jepang bersama keluarganya.Dia sudah cukup bahagia sekarang dan lebih tenang. Meski di awal-awal dia merasa menderita dan tersiksa.Kedua orang tuanya mengizinkannya hidup seperti apa yang ia pilih. Sampai sekarang pun Charisa enggan menceritakan apa yang ia alami lima tahun lalu. Tadinya Charisa hendak menggugurkan kandungannya saat kembali ke Jepang. Namun entah apa yang membuatnya memutuskan untuk mempertahankan kehamilannya dan melahirkan anak tanpa ayah itu.Saat di rumah sakit, ia melihat sepasang suami istri yang menangis saat mengetahui kalau anak mereka tidak bisa dipertahankan. Barulah Charisa menyadari kalau kehadiran anak adalah sebuah anugerah yang tidak semua orang mudah mendapatkannya. Mulai dari sanalah Charisa mengubah pola pikirnya. Mungkin Tuhan punya
“Arrrrrrgggh!” teriak Charisa. Tubuhnya mencoba meronta melepaskan diri dari Jean. Tiba-tiba tubuhnya terjatuh ke lantai. Kedua mata Charisa terbuka, seketika sekujur tubuhnya terasa nyeri. Dia berada di lantai dekat dengan tempat tidurnya. Wanita itu melihat sekelilingnya dan mulai menyatukan ingatan dan kesadarannya.Barulah sadar kalau ternyata dia baru saja bermimpi kalau Jean datang ke kamarnya. Charisa terdiam beberapa saat mencoba menenangkan dirinya setelah terbangun dari mimpinya.“Dasar bodoh Charisa, kenapa kau sampai membawa Jean ke dalam mimpi segala!” rutuk Charisa memijat keningnya yang berdenyut.“Apa gara-gara ciuman itu?” pikir Charisa. Ingatannya tentang kejadian itu sampai terbawa ke alam mimpi. Ini semua gara-gara Jean. Charisa bangun dari lantai dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Dia termenung menyesalkan semua yang sudah menganggu pikirannya.“Charisa!” “Charisa! Apa kau sudah bangun?” Terdengar suara ibunya memanggil.“Ya Bu!” jawab Charisa sembari bergega
Di dalam kamarnya Charisa terlihat uring-uringan, dia tidak berhenti bolak balik di depan tempat tidurnya. Pesan yang ia kirim untuk Jean dan terkirim pada Genta belum sempat dibaca Genta. Charisa dengan segera menarik pesan itu tadi sebelum Genta dapat membacanya. Dia hanya bisa berharap kalau Genta belum sempat melihat pesannya itu. Kalau dia sempat melihat, sepertinya masalah akan bertambah satu. Genta pasti merasa kalau dia sudah memberi jawaban secara tidak langsung. Ini akan menjadi sebuah kesalahpahaman yang berbuntut panjang.Charisa menyentuh kembali bibirnya yang tadi sempat dicium Jean. Hatinya kembali berdebar mengingat momen itu. “Jean apa yang sudah kau lakukan padaku?” gumam Charisa sambil mengusap bibirnya dengan penuh rasa frustasi.“Apa dia pikir aku terlalu mudah untuk dia sentuh,” lirih Charisa menyesal yang seharusnya tadi bisa untuk menghindar. Kenapa tubuhnya tidak bisa ia pertahankan.“Kau bodoh!” Charisa menyalahkan dirinya sendiri. “Kau sempat menikmatinya
Charisa terdiam dalam sentuhan bibir Jean, tubuhnya terasa seperti terbebani oleh banyak perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ketika bibir Jean menyentuhnya, ada kehangatan yang mengalir melalui tubuhnya, seakan-akan dunia di sekeliling mereka menghilang dan hanya ada keduanya. Charisa bisa merasakan detak jantung Jean yang berpadu dengan detak jantungnya, dan untuk sesaat, ia merasa seolah-olah mereka hanya dua jiwa yang saling terikat dalam kesunyian malam.Jean memegangnya dengan lembut, seolah-olah dia takut jika dia melepasnya, Charisa akan hilang begitu saja. Namun ketika kesadaran dan logikanya kembali, Charisa segera melepaskan dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, namun hatinya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Keputusan itu muncul begitu cepat, hampir tanpa pertimbangan. Perasaan yang tiba-tiba datang begitu kuat, namun juga penuh dengan kebingungan. Ia menatap Jean dengan mata yang sedikit teralihkan, bingung dengan perasaan yang mengaduk di d
Charisa mencoba mengatur napasnya, berusaha untuk tetap tenang meskipun tubuhnya terasa lemas. Kehadiran Genta dengan ekspresi penuh amarah jelas menunjukkan bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.“Aku pikir kita perlu bicara,” ujar Genta dengan nada dingin, meletakkan amplop cokelat itu ke atas meja Charisa.Charisa menatap amplop itu dengan tatapan bingung dan penuh waspada. “Apa ini?” tanyanya, suaranya nyaris bergetar.“Buka dan lihat sendiri,” balas Genta tanpa mengalihkan tatapannya.Dengan tangan gemetar, Charisa meraih amplop itu dan menarik keluar isinya. Sepasang mata cokelatnya membelalak saat melihat kertas hasil tes DNA di tangannya. Ia membaca isi dokumen itu dengan cepat, lalu mendongak menatap Genta.“Darimana kau mendapatkan ini?” tanya Charisa. Dia merasa kalau itu adalah perbuatan Jean.“Tidak penting bagaimana aku bisa mendapatkan ini,” jawab Genta dengan tegas, tapi dengan nada yang lebih mengarah ke perasaan kecewa. “Yang penting adalah, kenapa kau tidak pernah
“Nona Charisa ada paket datang. Sudah saya letakkan di atas meja Anda!” Kinara memberi tahu Charisa saat wanita itu datang.“Baik, terima kasih.” Charisa berjalan menuju ruangannya. Hatinya masih berada di dimensi lain. Perkataan Jean tadi berhasil membuatnya tidak fokus sepanjang perjalanan ke kantor. Charisa menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu ruangannya. Di atas meja kerjanya, sebuah kotak cokelat sederhana dengan pita biru tergeletak rapi. Ia menatapnya beberapa detik, lalu mengambil cutter untuk membukanya.Kotak itu berisi sebuah sepatu dengan desain mewah dari brand terkenal. Bersama dengan sepatu itu, terdapat selembar kartu kecil dengan tulisan tangan.“Waktunya melangkah dengan lembaran baru bersama orang yang benar-benar peduli denganmu. Charisa aku ingin berada di sampingmu dan melindungimu dan juga Darren”Charisa merasakan denyutan di dadanya. Ia tahu tulisan itu milik Jean. Kata-kata itu membuat pikirannya berputar. Apa yang sebenarnya diinginkan Jean darin
Charisa hampir tidak bisa tidur karena bingung mesti menjawab apa pesan yang dikirim Jean padanya. Dia tidak bisa menjawab dengan pasti. Haruskah dia langsung menolak mentah-mentah permintaannya itu. Keesokan harinya kepalanya terasa pusing karena kurang tidur. “Cha, kalau merasa tidak sehat sebaiknya kau tidak usah berangkat bekerja dulu. Darren biarkan Ibu saja yang mengantarnya ke sekolah.” Monika langsung menyadari begitu ia melihat Charisa yang hampir tidak memakan sarapannya.“Tidak Ibu, di kantor banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,” jawab Charisa menolak.“Wajahmu terlihat pucat. Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” tanya Monika perhatian.Hardian meletakkan koran di atas meja makan mendengar istri dan putrinya yang berbincang. Dia menatap wajah Charisa yang memang pagi itu terlihat sangat pucat.“Ibumu benar. Apa sebaiknya kau periksa ke dokter?” tanya Hardian yang ikut khawatir.“Tidak apa-apa Ayah. Aku kan baik-baik saja setelah minum vitamin,” jawab Charisa.“Monika d
Aku hanya ingin memastikan sesuatu, Jean," jawab Yuri dengan nada manis yang terdengar dibuat-buat. Matanya tajam, menatap lurus ke arah Jean seolah ingin menggali pikirannya.Jean bersandar di kursinya, menyembunyikan rasa gugupnya di balik sikap tenang. "Memastikan apa?" tanyanya sambil menyilangkan tangan di dada.Yuri mendekati meja Jean dengan langkah anggun, menyentuh pinggiran meja dengan jari-jarinya. "Kau kelihatan sibuk sekali. Apa ada sesuatu yang perlu kubantu? Atau... mungkin seseorang?"Jean menahan diri agar tidak menunjukkan reaksi berlebihan. "Aku hanya bekerja, seperti biasa. Kau seharusnya tahu aku tidak butuh bantuanmu."Yuri terkekeh kecil, nada tawanya membuat suasana semakin tegang. "Tentu saja. Tapi aku rasa kau terlalu meremehkanku. Kau tahu, Jean, aku selalu punya cara untuk tahu apa yang terjadi di sekitarku."Jean merasakan napasnya menahan. Ucapan Yuri terdengar seperti peringatan halus, namun ia tidak ingin terbawa emosi. "Jika kau punya sesuatu untuk dis
Jean mengemudikan mobilnya dengan cepat, meskipun pikirannya terpusat pada informasi yang baru saja diterimanya. Sebuah gambar dari Ryuga masih terbayang di matanya. Gambar Kazuto, wajahnya yang tak asing, dengan ekspresi yang sulit untuk dibaca. Ada sesuatu yang meresahkan dalam diri Jean, sesuatu yang mengingatkannya bahwa ancaman ini mungkin jauh lebih besar dari yang ia duga sebelumnya.Kazuto, dengan hubungan gelapnya dan catatan kriminal yang panjang, seharusnya sudah cukup untuk mengundang rasa curiga. Tapi yang paling mengejutkan baginya adalah catatan dari Ryuga yang menyebutkan bahwa Kazuto pernah terlibat dalam sebuah kasus kriminal dengan Yuri. Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka? Jean tidak tahu, tapi yang jelas, ia merasa bahwa Charisa sedang terjerat dalam sesuatu yang berbahaya, dan ia tidak bisa hanya duduk diam.Jean berusaha menenangkan dirinya saat mobilnya menyusuri jalan menuju hotel. Namun, hatinya tidak bisa tenang. Apa yang harus ia lakukan setelah ini?
Jean yang takut terjadi sesuatu pada Darren, akhirnya dia melajukan mobilnya ke rumah Charisa. Sampai di sana dia tidak berani keluar, dia hanya duduk di mobilnya yang terparkir tak jauh dari rumah Charisa. Dia menarik napas lega ketika melihat Charisa duduk di balkon. Dia juga sudah memastikan Darren baik-baik saja dijemput oleh Masaru. Baru saja ia hendak pergi meninggalkan lingkungan rumah Charisa. Dia melihat sebuah mobil berhenti tak jauh darinya. Jean mulai khawatir jika ada seseorang yang mengintai Charisa dan Darren, jadi dia memutuskan untuk mengawasi dan memastikan siapa orang itu.Betapa terkejutnya dia melihat siapa yang turun dari mobil. Genta, kekasih Charisa. Melihat pria itu di sini, berbicara dengan Charisa di tengah malam, membuat darahnya mendidih.Jean menggertakkan giginya. Perasaan cemburu merambat di hatinya, mencengkeram lebih keras dengan setiap gerakan yang dilihatnya. Apa yang mereka bicarakan? Kenapa pria itu ada di sini? pikirnya. Ia membenci betapa deka