Hari itu Chaca melamun di meja kerjanya. Setelah sadar kalau dia hamil, dia jadi lebih gampang mual dan porsi makannya menjadi bertambah. Hormonnya pun agak berbeda. Dia lebih sensitif dan cenderung persuasif. Dia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak ada dokter yang akan membantunya menghilangkan janin itu. Itu merupakan tindakan yang ilegal. Sementara dirinya sendiri ragu jika harus mempertahankannya di dalam kandungan. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu kalau dirinya hamil tanpa tahu siapa ayahnya.
“Nona, ini aku bawakan salad buah pesananmu!” Jimmy sudah berada di depan mejanya dan memberinya sebuah paper bag berisi pesanannya.
“Terima kasih Jim. Oh ya, apa ada dokumen yang masih harus aku tanda tangan?” tanya Chaca.
“Tadi Lily bilang kalau ada beberapa dokumen dari sub kontraktor Surabaya baru selesai diperiksa timnya. Aku akan bawakan ke sini!” jawab Jimmy.
“Hmm, oke. Bawakan cepat, aku harus pergi satu jam lagi.”
“Baik Nona,” jawab Jimmy patuh.
Setelah Jimmy pergi, Chaca segera melahap salad buahnya. Dia benar-benar seperti wanita hamil pada umumnya. Merasakan mual yang tiba-tiba, nafsu makannya pun bertambah. Selama ini dia berusaha mempertahankan berat badannya karena tidak mau menjadi gadis gemuk lagi. Tapi kali ini dia tidak bisa berkompromi dengan hormonnya.
Sudah beberapa kemungkinan yang dia pikirkan. Rasanya tidak mungkin menggugurkan kandungannya dengan resiko yang tinggi. Kalau dia pertahankan kehamilannya dia harus siap menjadi orang tua tunggal dengan konsekuensi lainnya. Membesarkan seorang anak tanpa menikah tentu akan banyak mendapatkan cibiran dari orang lain.
Setelah pekerjaannya selesai, Chaca pun meninggalkan kantornya dan pergi menuju sebuah tempat dengan menaiki taksi. Seminggu yang lalu Genta menghubunginya dan membuat janji dengannya untuk bertemu lagi di sebuah restoran sekalian makan malam.
Chaca tidak bisa seterusnya menghindari Genta, karena memang dari hati yang paling dalam Chaca masih ingin bertemu dengannya.
Sampai di lahan parkir restoran, Chaca merapikan penampilannya terlebih dahulu. Dia menatap wajahnya di cermin mobil. Dia tahu kalau sekarang sudah menjadi gadis yang cantik dan menarik. Tetapi entah kenapa gara-gara kejadian bersama pria di hotel waktu itu, dia tidak memiliki kepercayaan diri lagi di depan Genta. Sekarang situasinya sudah berbeda. Dia sudah berbadan dua dan bukan tidak mungkin Genta akan berbalik jijik padanya.
Cukup lama Chaca di dalam mobil dan tidak segera turun. Perasaannya menjadi ragu untuk bisa berhubungan lagi dengan Genta.
Beep. Ponselnya bergetar, Chaca mengangkat telepon yang masuk itu. Ternyata Genta yang meneleponnya.
“Kau sudah sampai di mana?” tanya Genta.
“Aku sudah ada di parkiran. Sebentar lagi aku masuk,” jawab Chaca.
“Hmm aku tunggu di lantai dua nomor 18 ya!”
“Ya.”
Chaca kemudian segera turun dari mobil dan melangkah ke dalam restoran setelah membayar argo taksi. Dia memegang dada sebelah kirinya berusaha mencari detak jantungnya. Entah kenapa dia merasa kalau debaran jantung itu sudah tidak ada. Gadis itu tidak merasa bahagia dan tidak seantusias dulu ketika akan menemui Genta. Apa mungkin karena ini faktor kehamilannya sehingga dia merasa beban bertemu dengan Genta.
Sampai di lantai dua, Chaca mencari meja yang sudah dipesan Genta.
“Cha, aku di sini!” Genta melambaikan tangannya memberi tahu posisinya berada.
Chaca berjalan dengan wajah yang sedikit ia paksakan untuk tersenyum. Dia tidak mau menunjukkan wajah galaunya.
Dengan sikap gentlemen Genta menarik kursi untuk Chaca. Malam ini Genta tampak gagah dan tampan dengan setelan semi formalnya. Harusnya Chaca bahagia karena Genta sudah jujur padanya.
“Ayo kita pesan makanannya dulu!” Genta mempersilakan Chaca melihat buku menu untuk menentukan apa yang akan ia makan.
Sambil melihat menu, Chaca mencuri pandang pada Genta. Laki-laki itu juga sedang melihat buku menu. Tidak ada yang berubah dengan Genta. Dia masih menawan seperti dulu. Sekarang dia jauh lebih dewasa dan tampak bisa diandalkan.
Setelah memesan makanan dan menunggu pesanan datang. Genta mengawali percakapan dengan pertanyaan.
“Bagaimana kabar Om dan Tante?” tanya Genta menanyakan kabar orang tua Chaca.
“Mereka baik-baik saja. Ayahku sudah pensiun bekerja, dan sekarang tinggal dengan Ibu di Jepang.”
“Oh begitu, kenapa tidak kembali ke Jakarta?” tanya Genta menanyakan alasan karena sudah dua belas tahun mereka tidak kembali ke Jakarta.
“Mereka lebih tenang hidup di sana. Meski berbeda dengan kampung halaman. Itu sudah menjadi keputusan mereka.”
“Bagaimana denganmu. Apa kau akan tinggal di sini?” tanya Genta.
“Aku bekerja di sini.”
“Benarkah? Baguslah. Kita akan sering bertemu,” sahut Genta dengan wajah yang berseri-seri.
Chaca tidak tahan dengan sikap Genta yang menurutnya itu sangat membebaninya sekarang. Perasaan bersalah terus menghantuinya saat ini.
“Ta, apa kau benar tidak bertemu dengan gadis lain? Bukan aku tidak percaya sih – tapi ini sudah dua belas tahun lebih.”
Genta terdiam sesaat mendengar pertanyaan Chaca. Dia berusaha untuk menangkap makna dalam dari pertanyaan itu.
“Cha, memang benar ini sudah dua belas tahun lalu. Ada banyak hal yang sudah berubah dan ada juga yang masih sama seperti dulu.”
Chaca tidak berani menatap wajah Genta yang selalu melelehkan hatinya setiap dia memandangnya. Tapi kali ini Chaca gelisah karena merasa sudah mengkhianati Genta. Apa dia harus berterus terang kalau dia sudah melakukan kesalahan besar.
“Kau jangan terbebani dengan pembicaraanku yang kemarin. Aku tahu waktu sudah banyak berlalu. Aku juga tahu dalam waktu dua belas tahun itu – mungkin kau sudah bertemu dengan pria yang kau cintai,” tambah Genta dengan senyum berat.
“Ya kau benar. Sudah dua belas tahun, tidak mungkin kita tidak bertemu dengan seseorang.” Chaca mengiyakan. Dia tidak memiliki pilihan jawaban yang bisa menyelamatkan situasinya sekarang.
Pesanan mereka datang. Setelah percakapan itu, Genta jauh lebih diam. Mereka berusaha untuk bersikap normal dan sopan supaya makan malam mereka tidak terganggu dengan sikap dingin mereka berdua.
Setelah mencicipi makanan penutup mereka, Chaca berusaha mencari topik pembicaraan agar suasananya lebih mencair.
“Bagaimana pekerjaanmu? Apa itu menyenangkan? Dari dulu itu kau ingin sekali menjadi dokter,” ucap Chaca dengan senyuman untuk mencairkan suasana beku di antara mereka.
“Menyenangkan. Dan aku merasa bangga padaku sendiri karena bisa mencapai tahap ini. Ini semua karena dirimu.”
“Maksudnya?” tanya Cacha tidak mengerti.
“Aku ingin jadi dokter karena ingin merawatmu yang sering sakit sejak kecil,” sahut Genta.
Deg. Jantung Chaca serasa berhenti berdetak. Bagaimana bisa Genta memiliki pikiran seperti itu. Jadi selama ini dialah yang menjadi motivasinya menjadi dokter.
“Kau sering pingsan waktu SD. Aku selalu khawatir jika kau sakit. Waktu SMP kau sudah jarang pingsan tapi kau jadi lebih banyak makan dan sering kecapean kalau olahraga. Pas SMA pun kau masih sering sakit gara-gara salah makan.”
Chaca mengusap air matanya yang tiba-tiba terjatuh. Dia merasa menjadi orang yang paling hina di muka bumi. Bagaimana dia menjelaskan semuanya pada Genta. Kalau sebenarnya dia juga masih mencintainya. Tapi, dengan keadaannya seperti ini apa mungkin keduanya bisa bersama.
“Cha, kau adalah alasanku ingin menjadi dokter.” Genta memandangnya dengan tatapan yang mendalam.
“Ta, aku —” Dada Chaca terasa sesak karena penyesalan. Bagaimana dia bisa menjelaskan keadaannya sekarang ini.
“Kalau bisa aku akan merawat dan menjagamu sepanjang hidupku,” lirih Genta.
Chaca sudah jatuh terperangkap dengan kebodohannya sendiri. Bagaimana caranya dia memperbaiki semuanya. Apakah semuanya akan baik-baik saja jika dia menceritakan kebenarannya pada Genta.
“Apa kau serius Genta?” tanya Chaca dengan suara serak. Dia tidak kuasa menahan gejolak yang ada di jiwanya.
“Demi apapun aku serius Cha.”
Chaca mau menangis sekencang-kencangnya. Andai saja waktu itu dia tidak minum di bar dan mengajak pria itu untuk tidur dengannya. Mungkin saat ini dia sudah jatuh ke pelukan Genta sekarang juga.
“Ini terlalu mengejutkan. Aku tidak tahu harus menjawab apa,” jawab Chaca gugup.
“Tidak perlu menjawab apapun saat ini. Maafkan aku jika ini mengejutkanmu. Aku cuma tidak mau kehilanganmu kedua kalinya,” ungkap Genta.
Chaca mengangguk, “Aku ingin segera pulang.”
“Baiklah, aku akan mengantarmu pulang.”
Chaca tidak bisa menolak untuk tidak diantar pulang oleh Genta. Sepanjang perjalanan keduanya menjadi salah tingkah.
Sampai di parkiran gedung apartemen Chaca. Genta terdiam dengan wajah yang terlihat tegang. Sementara Chaca, dia tidak segera turun. Ada sesuatu yang sedang ia pikirkan. Mungkin ini adalah jalan satu-satunya agar bisa kembali memulai dengan Genta tanpa hambatan.
“Ta, aku cape dan tidak kuat berjalan. Bisa kau antar aku sampai ke kamar?” pinta Chaca dengan suara parau. Genta menelan salivanya ketika mendengar ajakan Chaca yang begitu provokatif.
“Apa kau mau tidur menemaniku malam ini?” tanya Chaca sambil menatap wajah Genta dengan tatapan penuh arti.Genta terkejut mendengarnya. Dia mengusap-usap telinganya barangkali dia salah mendengar.“Tidak mau?” tanya Chaca dengan wajah kecewa.“Bukan seperti itu, Cha. Tapi — apa tidak salah?” Genta masih terlihat bingung dan tidak percaya.“Katanya kau mau merawat dan menjagaku. Jadi —” Chaca terdengar sangat provokatif.“Cha, ini bukan bercanda kan? Aku tahu kau sudah lama tinggal di Jepang dan yang kayak begini sudah tidak aneh. Tapi bagiku —- aku masih tidak terbiasa.” Genta menolak secara halus.Chaca tersenyum miring menatap raut wajah Genta yang gelisah. Genta masih seperti dulu, dia malu-malu kucing. Malu tapi sebenarnya dia mau.“Kau tidak serius kan?” tanya Genta dengan suara yang tercekat karena berusaha untuk tidak terpancing.“Tentu saja, kenapa kau anggap itu serius?” Chaca benar-benar puas mellihat wajah Genta yang sempat gelisah tadi. Sebenarnya dia juga serius ingin me
Seperti biasa, Chaca menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ini sudah sore, dan Genta sama sekali belum mengabarinya. Ada untungnya semalam dia memberi obat tidur pada Genta. Kalau tidak, Chaca mungkin akan lebih sakit hati jika Genta hanya ingin mencoba tidur dengannya saja.“Nyonya Charissa. Ini sudah waktunya pulang. Apa mungkin ada pekerjaan lain yang harus kita kerjakan malam ini?” tanya Jimmy menghampiri meja kerjanya.“Tidak ada. Kau pulang saja! Aku harus membereskan beberapa laporan ke Pusat,” jawab Chaca sambil menatap layar PC nya. Tetapi beberapa kali dia melirik ponselnya yang sedari tadi belum ada notif yang masuk.“Baiklah kalau begitu. Saya pulang duluan! Oh ya, saya sudah pesankan kue untuk menemani Anda bekerja!” Jimmy yang pengertian meletakkan satu kotak kue di atas meja Chaca.“Terima kasih untuk hari ini Jimmy!” ucap Chaca tersenyum.“Sama-sama!” Pria itu pun kemudian berpamitan dan pergi.Tinggallah Chaca sendiri di ruang kerjanya melamun dengan apa yang sudah t
Rasanya mendengar ucapan itu, Chaca gemetar meski sebenarnya dia tidak terlalu kaget. Dia langsung menebak kalau gadis itu adalah Sweet. Orang yang tidak pernah diceritakan Genta tapi dia pasti orang yang sangat spesial sehingga menamai nomornya dengan kata Sweet.“Maaf aku tidak mengenalmu, ada urusan apa ke sini?” jawab Chaca ketus.“Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini?” tanya Irene dengan nada sedikit tinggi.“Bukan urusanku. Aku tidak ada hubungan apapun dengan tunanganmu. Pergilah sebelum aku panggil security!” usir Chaca.“Aku mengecek riwayat GPS Genta, dan tanggal di mana dia tidak pulang ternyata dia pergi ke sini dan menginap di sini. Dasar lonte!” teriak Irene menghina.Chaca berusaha untuk tenang dan tidak tersulut emosi dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Irene.“Sudah berapa kali kau menggodanya untuk datang ke sini?” tanya Irene dengan nada provokasi.“Hati-hati bicara!Dia hanya bekas tetanggaku dulu. Aku tidak ada hubungan dengan Genta! Paham! Pergilah sebelum
Lima tahun berlalu.Waktu terasa cepat berlalu, hidup Chaca banyak berubah setelah itu. Selama itu juga dia tidak pernah kembali ke negara kelahirannya. Dia lebih memilih bekerja dan menghabiskan sebagian hidupnya di Jepang bersama keluarganya.Dia sudah cukup bahagia sekarang dan lebih tenang. Meski di awal-awal dia merasa menderita dan tersiksa.Kedua orang tuanya mengizinkannya hidup seperti apa yang ia pilih. Sampai sekarang pun Chaca enggan menceritakan apa yang ia alami lima tahun lalu. Tadinya Chaca hendak menggugurkan kandungannya saat kembali ke Jepang. Namun entah apa yang membuatnya memutuskan untuk mempertahankan kehamilannya dan melahirkan anak tanpa ayah itu.Saat di rumah sakit, ia melihat sepasang suami istri yang menangis saat mengetahui kalau anak mereka tidak bisa dipertahankan. Barulah Chaca menyadari kalau kehadiran anak adalah sebuah anugerah yang tidak semua orang mudah mendapatkannya. Mulai dari sanalah Chaca mengubah pola pikirnya. Mungkin Tuhan punya rencana
Dengan langkah penuh percaya diri Chaca berjalan keluar dari gerbang kedatangan luar negeri di bandara Soekarno Hatta. Tangan kanannya menyeret koper dengan brand merk terkenal nan mewah sementara tangan kirinya merapikan rambut ombre ash brown-nya. Gadis cantik itu berjalan sambil melihat-lihat kerumunan orang yang menjemput penumpang pesawat yang baru datang.Di antara banyak orang itu ia mencari orang yang akan menjemputnya. Chaca mengomel karena baterai ponselnya tidak sempat ia charge penuh dan sekarang sudah tidak bernyawa. Bagaimana caranya dia menemukan orang yang akan menjemputnya.Sebelumnya di bandara Tokyo, Tuan Juko memberitahunya kalau yang akan menjemputnya bernama Jimmy. Katanya orang yang akan menjemputnya sudah mengenal wajahnya dan akan langsung menghampirinya.“Bodoh! Bagaimana bisa aku memegang perkataan Tuan Juko. Darimana orang itu akan mengenaliku langsung,” gerutu Chaca kesal. Mau tidak mau dia harus mencari taksi dan pergi ke hotel sendiri.Chaca berhenti seb
“Kau bodoh sekali jika masih berharap dia belum menikah,” tutur Chaca sambil memegang gelas alkoholnya yang sudah kosong. Gadis itu sudah kehilangan setengah kesadarannya. Bahkan dia tidak segan untuk menangis dengan suara lumayan keras. Dia tidak habis-habisnya mengumpat. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri, kadang dia menyumpahi Genta.Pria di sampingnya mengawasi sambil melihat keadaan sekitar. Dia hanya memberi kode pada orang yang memperhatikan Chaca untuk memakluminya. Chaca tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang. Yang dia tahu dia harus minum untuk meredakan semua emosi dalam tubuhnya.“Nona, kau sudah minum cukup banyak dan sudah mabuk. Sebaiknya Anda istirahat di hotel!” tegur Jimmy.“Tidak, aku masih kuat Jimmy. Aku belum mabuk,” jawab Chaca sambil tertawa mabuk.“Mas, boleh minta satu lagi!” pinta Chaca dengan tubuh yang sudah sempoyongan.“Nona! Kau sudah mabuk. Cukup. Ayo kita pergi dari sini!” bisik Jimmy sambil menopang tubuh Chaca yang sudah limbung.“Jimmy,
Chaca turun dari taksi setelah sampai di gedung di mana perusahaan Vallarta berada. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai CEO di sana. Untungnya dia tidak datang terlambat. Di pintu lift menuju lantai kantor Vallarta dia menatap bayangan wajahnya yang terlihat sedikit lelah. Pengaruh sisa alkohol dan kejadian semalam tentu berpengaruh pada kondisi wajahnya sekarang. Sebelum itu menjadi bencana, Chaca kemudian melipir dulu ke arah toilet di lantai satu. Dia harus menata ulang riasannya. Sampai di toilet dia kemudian mengeluarkan cushion miliknya. Ini masih pagi dan tentu belum banyak yang datang. Chaca sedikit leluasa untuk menata wajahnya agar terlihat lebih fresh dan cantik.“Hei kau tidak tahu Jimmy yang bekerja di Vallarta lantai 20?” Seorang gadis muda datang dengan dua orang gadis lainnya ke toilet.“Ya tahu dong. Emang kenapa sama dia?” tanya dua temannya itu.Chaca mencoba menguping apa yang akan menjadi bahan pembicaraan para gadis itu tentang Jimmy. Kalau diperhatikan sepe
Satu bulan lebih berlalu, tanpa halangan Chaca dapat bekerja dengan baik sebagai CEO di Vallarta cabang Jakarta. Tersisa dua bulan lagi untuk kembali ke Jepang. Dia tinggal menyelesaikan beberapa permasalahan intern di sini. Setelah itu dia akan kembali lagi ke Jepang sesuai arahan Tuan Juko.Kemampuannya dalam memimpin perusahaan memang tidak diragukan. Pantas saja jika karirnya cemerlang di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Padahal dia bekerja di Vallarta baru tiga tahun, tetapi pemilik Vallarta sangat mempercayainya. Selain cerdas, Chaca memang mampu bekerja keras dalam memecahkan masalah di perusahaan dibandingkan dengan pegawai lain. Vallarta adalah perusahaan furniture yang mencoba membuka cabang di Jakarta. Kota Jakarta sebagai kota metropolitan sangat menjanjikan menjadi target pemasaran desain-desain furniture yang dimiliki Vallarta. Hanya saja untuk saat ini Vallarta Jakarta belum dapat berjalan dengan lancar karena banyak masalah di produksi, pengiriman dan jug
Lima tahun berlalu.Waktu terasa cepat berlalu, hidup Chaca banyak berubah setelah itu. Selama itu juga dia tidak pernah kembali ke negara kelahirannya. Dia lebih memilih bekerja dan menghabiskan sebagian hidupnya di Jepang bersama keluarganya.Dia sudah cukup bahagia sekarang dan lebih tenang. Meski di awal-awal dia merasa menderita dan tersiksa.Kedua orang tuanya mengizinkannya hidup seperti apa yang ia pilih. Sampai sekarang pun Chaca enggan menceritakan apa yang ia alami lima tahun lalu. Tadinya Chaca hendak menggugurkan kandungannya saat kembali ke Jepang. Namun entah apa yang membuatnya memutuskan untuk mempertahankan kehamilannya dan melahirkan anak tanpa ayah itu.Saat di rumah sakit, ia melihat sepasang suami istri yang menangis saat mengetahui kalau anak mereka tidak bisa dipertahankan. Barulah Chaca menyadari kalau kehadiran anak adalah sebuah anugerah yang tidak semua orang mudah mendapatkannya. Mulai dari sanalah Chaca mengubah pola pikirnya. Mungkin Tuhan punya rencana
Rasanya mendengar ucapan itu, Chaca gemetar meski sebenarnya dia tidak terlalu kaget. Dia langsung menebak kalau gadis itu adalah Sweet. Orang yang tidak pernah diceritakan Genta tapi dia pasti orang yang sangat spesial sehingga menamai nomornya dengan kata Sweet.“Maaf aku tidak mengenalmu, ada urusan apa ke sini?” jawab Chaca ketus.“Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini?” tanya Irene dengan nada sedikit tinggi.“Bukan urusanku. Aku tidak ada hubungan apapun dengan tunanganmu. Pergilah sebelum aku panggil security!” usir Chaca.“Aku mengecek riwayat GPS Genta, dan tanggal di mana dia tidak pulang ternyata dia pergi ke sini dan menginap di sini. Dasar lonte!” teriak Irene menghina.Chaca berusaha untuk tenang dan tidak tersulut emosi dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Irene.“Sudah berapa kali kau menggodanya untuk datang ke sini?” tanya Irene dengan nada provokasi.“Hati-hati bicara!Dia hanya bekas tetanggaku dulu. Aku tidak ada hubungan dengan Genta! Paham! Pergilah sebelum
Seperti biasa, Chaca menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ini sudah sore, dan Genta sama sekali belum mengabarinya. Ada untungnya semalam dia memberi obat tidur pada Genta. Kalau tidak, Chaca mungkin akan lebih sakit hati jika Genta hanya ingin mencoba tidur dengannya saja.“Nyonya Charissa. Ini sudah waktunya pulang. Apa mungkin ada pekerjaan lain yang harus kita kerjakan malam ini?” tanya Jimmy menghampiri meja kerjanya.“Tidak ada. Kau pulang saja! Aku harus membereskan beberapa laporan ke Pusat,” jawab Chaca sambil menatap layar PC nya. Tetapi beberapa kali dia melirik ponselnya yang sedari tadi belum ada notif yang masuk.“Baiklah kalau begitu. Saya pulang duluan! Oh ya, saya sudah pesankan kue untuk menemani Anda bekerja!” Jimmy yang pengertian meletakkan satu kotak kue di atas meja Chaca.“Terima kasih untuk hari ini Jimmy!” ucap Chaca tersenyum.“Sama-sama!” Pria itu pun kemudian berpamitan dan pergi.Tinggallah Chaca sendiri di ruang kerjanya melamun dengan apa yang sudah t
“Apa kau mau tidur menemaniku malam ini?” tanya Chaca sambil menatap wajah Genta dengan tatapan penuh arti.Genta terkejut mendengarnya. Dia mengusap-usap telinganya barangkali dia salah mendengar.“Tidak mau?” tanya Chaca dengan wajah kecewa.“Bukan seperti itu, Cha. Tapi — apa tidak salah?” Genta masih terlihat bingung dan tidak percaya.“Katanya kau mau merawat dan menjagaku. Jadi —” Chaca terdengar sangat provokatif.“Cha, ini bukan bercanda kan? Aku tahu kau sudah lama tinggal di Jepang dan yang kayak begini sudah tidak aneh. Tapi bagiku —- aku masih tidak terbiasa.” Genta menolak secara halus.Chaca tersenyum miring menatap raut wajah Genta yang gelisah. Genta masih seperti dulu, dia malu-malu kucing. Malu tapi sebenarnya dia mau.“Kau tidak serius kan?” tanya Genta dengan suara yang tercekat karena berusaha untuk tidak terpancing.“Tentu saja, kenapa kau anggap itu serius?” Chaca benar-benar puas mellihat wajah Genta yang sempat gelisah tadi. Sebenarnya dia juga serius ingin me
Hari itu Chaca melamun di meja kerjanya. Setelah sadar kalau dia hamil, dia jadi lebih gampang mual dan porsi makannya menjadi bertambah. Hormonnya pun agak berbeda. Dia lebih sensitif dan cenderung persuasif. Dia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak ada dokter yang akan membantunya menghilangkan janin itu. Itu merupakan tindakan yang ilegal. Sementara dirinya sendiri ragu jika harus mempertahankannya di dalam kandungan. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu kalau dirinya hamil tanpa tahu siapa ayahnya.“Nona, ini aku bawakan salad buah pesananmu!” Jimmy sudah berada di depan mejanya dan memberinya sebuah paper bag berisi pesanannya.“Terima kasih Jim. Oh ya, apa ada dokumen yang masih harus aku tanda tangan?” tanya Chaca.“Tadi Lily bilang kalau ada beberapa dokumen dari sub kontraktor Surabaya baru selesai diperiksa timnya. Aku akan bawakan ke sini!” jawab Jimmy.“Hmm, oke. Bawakan cepat, aku harus pergi satu jam lagi.”“Baik Nona,” jawab Jimmy patuh.Setelah Jimmy pergi, Ch
Pertemuan tak sengaja itu akhirnya berujung dengan kopi darat di sebuah cafe dekat rumah sakit. Chaca baru mengetahui kalau ternyata Genta adalah seorang dokter umum di rumah sakit itu. Rasa kecewanya kemarin berubah kagum karena Genta berhasil menggapai cita-citanya sebagai seorang dokter.“Aku tidak mengira kalau kita bakal bertemu lagi.” Genta tidak bisa menutupi rasa senangnya bisa bertemu lagi dengan teman sekolah sekaligus tetangganya itu. Dia tidak berhenti tersenyum dan menatap wajah Chaca dengan intens.“Aku juga,” jawab Chaca datar. Dia kehilangan semangat gara-gara Genta sudah banyak pencapaian. Sedangkan dia, dia harus memikul nasib menjadi wanita hamil tanpa pasangan.“Oh ya, kau dari mana saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau sudah menikah?” tanya Genta dengan nada agak ragu karena banyak pertanyaan yang ia ingin lontarkan. Wajahnya terlihat sangat berhati-hati.Chaca menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia sama sekali tidak tertarik dengan topik seperti ini. Di
Satu bulan lebih berlalu, tanpa halangan Chaca dapat bekerja dengan baik sebagai CEO di Vallarta cabang Jakarta. Tersisa dua bulan lagi untuk kembali ke Jepang. Dia tinggal menyelesaikan beberapa permasalahan intern di sini. Setelah itu dia akan kembali lagi ke Jepang sesuai arahan Tuan Juko.Kemampuannya dalam memimpin perusahaan memang tidak diragukan. Pantas saja jika karirnya cemerlang di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Padahal dia bekerja di Vallarta baru tiga tahun, tetapi pemilik Vallarta sangat mempercayainya. Selain cerdas, Chaca memang mampu bekerja keras dalam memecahkan masalah di perusahaan dibandingkan dengan pegawai lain. Vallarta adalah perusahaan furniture yang mencoba membuka cabang di Jakarta. Kota Jakarta sebagai kota metropolitan sangat menjanjikan menjadi target pemasaran desain-desain furniture yang dimiliki Vallarta. Hanya saja untuk saat ini Vallarta Jakarta belum dapat berjalan dengan lancar karena banyak masalah di produksi, pengiriman dan jug
Chaca turun dari taksi setelah sampai di gedung di mana perusahaan Vallarta berada. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai CEO di sana. Untungnya dia tidak datang terlambat. Di pintu lift menuju lantai kantor Vallarta dia menatap bayangan wajahnya yang terlihat sedikit lelah. Pengaruh sisa alkohol dan kejadian semalam tentu berpengaruh pada kondisi wajahnya sekarang. Sebelum itu menjadi bencana, Chaca kemudian melipir dulu ke arah toilet di lantai satu. Dia harus menata ulang riasannya. Sampai di toilet dia kemudian mengeluarkan cushion miliknya. Ini masih pagi dan tentu belum banyak yang datang. Chaca sedikit leluasa untuk menata wajahnya agar terlihat lebih fresh dan cantik.“Hei kau tidak tahu Jimmy yang bekerja di Vallarta lantai 20?” Seorang gadis muda datang dengan dua orang gadis lainnya ke toilet.“Ya tahu dong. Emang kenapa sama dia?” tanya dua temannya itu.Chaca mencoba menguping apa yang akan menjadi bahan pembicaraan para gadis itu tentang Jimmy. Kalau diperhatikan sepe
“Kau bodoh sekali jika masih berharap dia belum menikah,” tutur Chaca sambil memegang gelas alkoholnya yang sudah kosong. Gadis itu sudah kehilangan setengah kesadarannya. Bahkan dia tidak segan untuk menangis dengan suara lumayan keras. Dia tidak habis-habisnya mengumpat. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri, kadang dia menyumpahi Genta.Pria di sampingnya mengawasi sambil melihat keadaan sekitar. Dia hanya memberi kode pada orang yang memperhatikan Chaca untuk memakluminya. Chaca tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang. Yang dia tahu dia harus minum untuk meredakan semua emosi dalam tubuhnya.“Nona, kau sudah minum cukup banyak dan sudah mabuk. Sebaiknya Anda istirahat di hotel!” tegur Jimmy.“Tidak, aku masih kuat Jimmy. Aku belum mabuk,” jawab Chaca sambil tertawa mabuk.“Mas, boleh minta satu lagi!” pinta Chaca dengan tubuh yang sudah sempoyongan.“Nona! Kau sudah mabuk. Cukup. Ayo kita pergi dari sini!” bisik Jimmy sambil menopang tubuh Chaca yang sudah limbung.“Jimmy,