Dengan langkah penuh percaya diri Chaca berjalan keluar dari gerbang kedatangan luar negeri di bandara Soekarno Hatta. Tangan kanannya menyeret koper dengan brand merk terkenal nan mewah sementara tangan kirinya merapikan rambut ombre ash brown-nya. Gadis cantik itu berjalan sambil melihat-lihat kerumunan orang yang menjemput penumpang pesawat yang baru datang.
Di antara banyak orang itu ia mencari orang yang akan menjemputnya. Chaca mengomel karena baterai ponselnya tidak sempat ia charge penuh dan sekarang sudah tidak bernyawa. Bagaimana caranya dia menemukan orang yang akan menjemputnya.
Sebelumnya di bandara Tokyo, Tuan Juko memberitahunya kalau yang akan menjemputnya bernama Jimmy. Katanya orang yang akan menjemputnya sudah mengenal wajahnya dan akan langsung menghampirinya.
“Bodoh! Bagaimana bisa aku memegang perkataan Tuan Juko. Darimana orang itu akan mengenaliku langsung,” gerutu Chaca kesal. Mau tidak mau dia harus mencari taksi dan pergi ke hotel sendiri.
Chaca berhenti sebentar dan melihat sekelilingnya. Dia melepas kacamatanya agar wajahnya terekspos dengan jelas. Menurut Tuan Juko, orang itu akan mengenalinya langsung.
“Maaf Nona permisi!” Seorang pria berjalan ke arahnya dengan wajah tersenyum sambil memegang ponselnya. Namun belum sempat pria itu mengutarakan maksudnya, Chaca langsung menyerahkan kopernya tanpa memberikan kesempatan pria itu bicara terlebih dulu.
“Sebelum ke hotel, antar aku dulu ke sebuah tempat!” titah Chaca.
Pria itu tampak terkejut karena tiba-tiba Chaca memberinya koper. Gadis itu berjalan mendahuluinya tanpa mengatakan hal lain.
“Nona —-”
“Kenapa lama sekali, kita tidak punya waktu!”
Pria itu tampak terdiam beberapa lama sambil menatap Chaca dengan ekspresi heran. Akhirnya dengan wajah kebingungan pria itu berjalan di depan Chaca sambil membawakan kopernya menuju tempat parkir. Chaca menghela napas dalam-dalam, merasakan aroma udara dari kota yang selama ini sudah lama ia tinggalkan. Rasanya menyenangkan bisa kembali ke kampung halamannya. Chaca masuk ke dalam mobil mengabaikan tatapan aneh dari pria yang duduk di belakang setir. Dia terlihat bersemangat dan sudah tidak sabar untuk melihat perubahan kota yang sudah ia tinggalkan selama dua belas tahun.
“Jimmy sebelum kau antarkan aku ke hotel, apa kau bisa mengantarkanku ke sebuah tempat?” tanya Chaca pada orang yang akan menjadi supirnya selama di Jakarta.
“Jimmy!” ucap pria itu sambil manggut-manggut. Dia menatap wajah Chaca dengan penuh minat.
“Tentu saja Nona. Mau ke mana saja saya akan antar,” jawab pria itu patuh. Beberapa kali dia berdecak kagum menatap wajah Chaca yang cantik.
Chaca tersenyum senang dengan sikap patuhnya. Dia baru pertama kalinya bertemu dengan Jimmy. Sebelum dia berangkat ke Jakarta dia memang diberitahu oleh perusahaannya di Jepang kalau selama dia bekerja di Jakarta, Jimmy akan menjadi supir pribadinya yang akan membantunya menyelesaikan pekerjaan selama di Jakarta.
“Nanti sebagai gantinya aku akan traktir kau kopi yang enak!”
“Hmm, saya tidak biasa minum kopi, Nona,” jawabnya dengan tawa renyah.
Chaca sempat melirik ke arahnya karena suara tawa pria itu yang terdengar hangat dan menyenangkan. Suara tawanya itu mengingatkannya pada seseorang.
“Bagaimana bisa anak muda sepertimu tidak suka kopi?” tanya Chaca heran.
“Saya punya penyakit lambung Nona. Jadi saya menghindari minuman yang berkafein.”
“Ooh, ya sudah akan mentraktirmu es krim,” sambung Chaca.
“Baik Nona. Haha. Tapi apa saya terlihat seperti anak kecil yang suka es krim,” cicit pria itu sambil menyetir.
“Bukan seperti itu. Setidaknya aku mentraktirmu karena ini hari pertama kita bertemu sebagai partner.”
Pria itu tertawa kecil menanggapinya. Dia hanya mengangguk-angguk kecil. Ekspresi wajahnya sangat menyenangkan. Chaca merasa kalau dia akan menjadi supir yang asyik. Sepertinya dia juga akan menjadi orang yang akan ia andalkan selama ia ditugaskan menjadi CEO di kantor Vallarta cabang Jakarta. Sebelumnya dia menjabat sebagai wakil direktur di Vallarta Jepang. Dia pergi ke Jakarta untuk menggantikan posisi CEO yang sebelumnya. Kenapa Chaca diutus ke sini, mungkin karena latar belakangnya sebagai warga negara Indonesia asli jadi bisa memudahkan Vallarta dalam masa transisi kepemimpinan.
Chaca juga tidak tahu apakah posisi itu untuk sementara apa untuk selanjutnya. Pemimpin perusahaan Vallarta belum secara resmi memberitahunya.
“Jadi, apakah sekarang Nona ingin mengunjungi salah satu kerabatmu?” tanyanya saat melihat lokasi GPS yang sudah Chaca atur di layar monitor mobilnya sebelumnya.
“Bukan kerabat. Aku tidak punya keluarga lain selain orangtuaku yang di Jepang. Aku hanya ingin mampir melihat tempat tinggalku dulu sebentar.”
“Oh di Jepang. Apa di sini tempatnya?” Dia menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah berlantai dua yang memiliki halaman depan yang luas.
Chaca tidak langsung menjawab. Tatapannya hanya tertuju ke depan. Sorot matanya berkaca-kaca. Tatapan haru sekaligus rindu yang menyeruak. Jimmy pun memutuskan untuk diam menunggu perintah Chaca.
Rumah yang dulu ia tinggali dengan orangtuanya dulu ternyata masih kosong. Tapi bukan itu tujuan gadis itu sebenarnya. Dia menatap dan mengawasi rumah sebelahnya. Tak lama kemudian terlihat gerbang rumah itu terbuka. Chaca menahan napasnya dengan mata yang sudah penuh dengan bulir bening.
Dua orang keluar dari rumah. Seorang pria sambil menuntun seorang gadis kecil berusia delapan tahun.
Chaca terisak dengan suara tertahan. Dia melihat pria itu tampak bahagia sambil menuntunnya masuk ke dalam mobil. Sementara pria itu memperhatikan raut wajah Chaca yang berubah sedih.
“Hah! Sudah dua belas tahun. Tidak mungkin dia belum menikah dan punya anak!” ucap Chaca dengan nada kesal.
“Siapa dia Nona?” tanyanya penasaran. Ada hubungan apa antara pria yang membawa anak itu dengan Chaca.
“Tetanggaku dulu,” jawab Chaca dengan wajah yang terlihat kecewa.
“Oh, terus apa yang akan kita lakukan sekarang. Apa Anda mau turun dan menyapanya?” tanyanya bingung.
“Tidak!” seru Chaca dengan ekspresi wajah yang marah dan kesal. Siapapun yang melihat pasti akan mengira kalau Chaca terkejut dan apa yang ia temukan sekarang ini tidak sesuai dengan ekspektasinya.
“Kita langsung ke hotel saja!” titah Chaca dengan wajah yang menahan marah.
Pria itu tidak banyak bertanya lagi karena berusaha memahami suasana hati gadis cantik itu. Dia segera menyalakan mesin mobil dan melajukannya menuju hotel.
Sepanjang perjalanan Chaca berusaha untuk tenang dan melupakan apa yang baru ia lihat tadi. Namun dalam hatinya penuh gejolak. Pria itu adalah Genta Dirmansyah, dia tetangganya waktu itu. Sebelum keluarganya pindah ke Jepang karena ayahnya dipindahkan ke sana, Chaca sempat bertetangga dengan Genta dari kecil. Tentu saja bisa ditebak, Genta adalah cinta pertamanya. Mereka sempat pacaran waktu SMA, mereka berdua terpaksa berpisah karena orang tua Chaca pindah bekerja ke Jepang. Setahun pertama berpisah, mereka masih berkomunikasi lewat email dan telepon. Tetapi setelah masuk masa ujian SMA mereka mulai menjauh dan hilang kontak sampai sekarang ini.
“Nona kita sudah sampai!” suara pria itu menghentikan lamunan Chaca.
Chaca melirik kanan kiri kalau dia sudah sampai di hotel.Tapi dia sedikit kebingungan.
“Ada apa?” tanya pria itu heran.
“Aku belum mau ke kamar hotel dulu. Pikiranku agak kacau. Antar aku ke bar hotel dulu dan temani aku minum di sana!” ajak Chaca dengan nada memaksa.
Pria itu terlihat kaget dengan permintaan Chaca yang tiba-tiba.
“Apa kau juga tidak bisa minum alkohol?” tanya Chaca dengan wajah menggoda. Melihat wajah Chaca yang terlihat seperti orang yang putus asa setelah melihat pria yang merupakan cinta pertamanya itu. Akhirnya dia pun mengangguk menyetujui keinginan gadis itu.
“Kau bodoh sekali jika masih berharap dia belum menikah,” tutur Chaca sambil memegang gelas alkoholnya yang sudah kosong. Gadis itu sudah kehilangan setengah kesadarannya. Bahkan dia tidak segan untuk menangis dengan suara lumayan keras. Dia tidak habis-habisnya mengumpat. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri, kadang dia menyumpahi Genta.Pria di sampingnya mengawasi sambil melihat keadaan sekitar. Dia hanya memberi kode pada orang yang memperhatikan Chaca untuk memakluminya. Chaca tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang. Yang dia tahu dia harus minum untuk meredakan semua emosi dalam tubuhnya.“Nona, kau sudah minum cukup banyak dan sudah mabuk. Sebaiknya Anda istirahat di hotel!” tegur Jimmy.“Tidak, aku masih kuat Jimmy. Aku belum mabuk,” jawab Chaca sambil tertawa mabuk.“Mas, boleh minta satu lagi!” pinta Chaca dengan tubuh yang sudah sempoyongan.“Nona! Kau sudah mabuk. Cukup. Ayo kita pergi dari sini!” bisik Jimmy sambil menopang tubuh Chaca yang sudah limbung.“Jimmy,
Chaca turun dari taksi setelah sampai di gedung di mana perusahaan Vallarta berada. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai CEO di sana. Untungnya dia tidak datang terlambat. Di pintu lift menuju lantai kantor Vallarta dia menatap bayangan wajahnya yang terlihat sedikit lelah. Pengaruh sisa alkohol dan kejadian semalam tentu berpengaruh pada kondisi wajahnya sekarang. Sebelum itu menjadi bencana, Chaca kemudian melipir dulu ke arah toilet di lantai satu. Dia harus menata ulang riasannya. Sampai di toilet dia kemudian mengeluarkan cushion miliknya. Ini masih pagi dan tentu belum banyak yang datang. Chaca sedikit leluasa untuk menata wajahnya agar terlihat lebih fresh dan cantik.“Hei kau tidak tahu Jimmy yang bekerja di Vallarta lantai 20?” Seorang gadis muda datang dengan dua orang gadis lainnya ke toilet.“Ya tahu dong. Emang kenapa sama dia?” tanya dua temannya itu.Chaca mencoba menguping apa yang akan menjadi bahan pembicaraan para gadis itu tentang Jimmy. Kalau diperhatikan sepe
Satu bulan lebih berlalu, tanpa halangan Chaca dapat bekerja dengan baik sebagai CEO di Vallarta cabang Jakarta. Tersisa dua bulan lagi untuk kembali ke Jepang. Dia tinggal menyelesaikan beberapa permasalahan intern di sini. Setelah itu dia akan kembali lagi ke Jepang sesuai arahan Tuan Juko.Kemampuannya dalam memimpin perusahaan memang tidak diragukan. Pantas saja jika karirnya cemerlang di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Padahal dia bekerja di Vallarta baru tiga tahun, tetapi pemilik Vallarta sangat mempercayainya. Selain cerdas, Chaca memang mampu bekerja keras dalam memecahkan masalah di perusahaan dibandingkan dengan pegawai lain. Vallarta adalah perusahaan furniture yang mencoba membuka cabang di Jakarta. Kota Jakarta sebagai kota metropolitan sangat menjanjikan menjadi target pemasaran desain-desain furniture yang dimiliki Vallarta. Hanya saja untuk saat ini Vallarta Jakarta belum dapat berjalan dengan lancar karena banyak masalah di produksi, pengiriman dan jug
Pertemuan tak sengaja itu akhirnya berujung dengan kopi darat di sebuah cafe dekat rumah sakit. Chaca baru mengetahui kalau ternyata Genta adalah seorang dokter umum di rumah sakit itu. Rasa kecewanya kemarin berubah kagum karena Genta berhasil menggapai cita-citanya sebagai seorang dokter.“Aku tidak mengira kalau kita bakal bertemu lagi.” Genta tidak bisa menutupi rasa senangnya bisa bertemu lagi dengan teman sekolah sekaligus tetangganya itu. Dia tidak berhenti tersenyum dan menatap wajah Chaca dengan intens.“Aku juga,” jawab Chaca datar. Dia kehilangan semangat gara-gara Genta sudah banyak pencapaian. Sedangkan dia, dia harus memikul nasib menjadi wanita hamil tanpa pasangan.“Oh ya, kau dari mana saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau sudah menikah?” tanya Genta dengan nada agak ragu karena banyak pertanyaan yang ia ingin lontarkan. Wajahnya terlihat sangat berhati-hati.Chaca menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia sama sekali tidak tertarik dengan topik seperti ini. Di
Hari itu Chaca melamun di meja kerjanya. Setelah sadar kalau dia hamil, dia jadi lebih gampang mual dan porsi makannya menjadi bertambah. Hormonnya pun agak berbeda. Dia lebih sensitif dan cenderung persuasif. Dia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak ada dokter yang akan membantunya menghilangkan janin itu. Itu merupakan tindakan yang ilegal. Sementara dirinya sendiri ragu jika harus mempertahankannya di dalam kandungan. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu kalau dirinya hamil tanpa tahu siapa ayahnya.“Nona, ini aku bawakan salad buah pesananmu!” Jimmy sudah berada di depan mejanya dan memberinya sebuah paper bag berisi pesanannya.“Terima kasih Jim. Oh ya, apa ada dokumen yang masih harus aku tanda tangan?” tanya Chaca.“Tadi Lily bilang kalau ada beberapa dokumen dari sub kontraktor Surabaya baru selesai diperiksa timnya. Aku akan bawakan ke sini!” jawab Jimmy.“Hmm, oke. Bawakan cepat, aku harus pergi satu jam lagi.”“Baik Nona,” jawab Jimmy patuh.Setelah Jimmy pergi, Ch
“Apa kau mau tidur menemaniku malam ini?” tanya Chaca sambil menatap wajah Genta dengan tatapan penuh arti.Genta terkejut mendengarnya. Dia mengusap-usap telinganya barangkali dia salah mendengar.“Tidak mau?” tanya Chaca dengan wajah kecewa.“Bukan seperti itu, Cha. Tapi — apa tidak salah?” Genta masih terlihat bingung dan tidak percaya.“Katanya kau mau merawat dan menjagaku. Jadi —” Chaca terdengar sangat provokatif.“Cha, ini bukan bercanda kan? Aku tahu kau sudah lama tinggal di Jepang dan yang kayak begini sudah tidak aneh. Tapi bagiku —- aku masih tidak terbiasa.” Genta menolak secara halus.Chaca tersenyum miring menatap raut wajah Genta yang gelisah. Genta masih seperti dulu, dia malu-malu kucing. Malu tapi sebenarnya dia mau.“Kau tidak serius kan?” tanya Genta dengan suara yang tercekat karena berusaha untuk tidak terpancing.“Tentu saja, kenapa kau anggap itu serius?” Chaca benar-benar puas mellihat wajah Genta yang sempat gelisah tadi. Sebenarnya dia juga serius ingin me
Seperti biasa, Chaca menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ini sudah sore, dan Genta sama sekali belum mengabarinya. Ada untungnya semalam dia memberi obat tidur pada Genta. Kalau tidak, Chaca mungkin akan lebih sakit hati jika Genta hanya ingin mencoba tidur dengannya saja.“Nyonya Charissa. Ini sudah waktunya pulang. Apa mungkin ada pekerjaan lain yang harus kita kerjakan malam ini?” tanya Jimmy menghampiri meja kerjanya.“Tidak ada. Kau pulang saja! Aku harus membereskan beberapa laporan ke Pusat,” jawab Chaca sambil menatap layar PC nya. Tetapi beberapa kali dia melirik ponselnya yang sedari tadi belum ada notif yang masuk.“Baiklah kalau begitu. Saya pulang duluan! Oh ya, saya sudah pesankan kue untuk menemani Anda bekerja!” Jimmy yang pengertian meletakkan satu kotak kue di atas meja Chaca.“Terima kasih untuk hari ini Jimmy!” ucap Chaca tersenyum.“Sama-sama!” Pria itu pun kemudian berpamitan dan pergi.Tinggallah Chaca sendiri di ruang kerjanya melamun dengan apa yang sudah t
Rasanya mendengar ucapan itu, Chaca gemetar meski sebenarnya dia tidak terlalu kaget. Dia langsung menebak kalau gadis itu adalah Sweet. Orang yang tidak pernah diceritakan Genta tapi dia pasti orang yang sangat spesial sehingga menamai nomornya dengan kata Sweet.“Maaf aku tidak mengenalmu, ada urusan apa ke sini?” jawab Chaca ketus.“Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini?” tanya Irene dengan nada sedikit tinggi.“Bukan urusanku. Aku tidak ada hubungan apapun dengan tunanganmu. Pergilah sebelum aku panggil security!” usir Chaca.“Aku mengecek riwayat GPS Genta, dan tanggal di mana dia tidak pulang ternyata dia pergi ke sini dan menginap di sini. Dasar lonte!” teriak Irene menghina.Chaca berusaha untuk tenang dan tidak tersulut emosi dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Irene.“Sudah berapa kali kau menggodanya untuk datang ke sini?” tanya Irene dengan nada provokasi.“Hati-hati bicara!Dia hanya bekas tetanggaku dulu. Aku tidak ada hubungan dengan Genta! Paham! Pergilah sebelum
“Nyonya! Ayo mulai!” bisik Kinara yang mendapati Chaca yang berdiri mematung sempurna selama sepuluh detik lebih karena shock melihat pria itu di depannya. Sama seperti dirinya pria itu terlihat tidak tenang dan seperti hendak menghampirinya saat itu juga.Chaca mengusap wajahnya dengan penuh rasa gugup. Tiba-tiba saja fokusnya berantakan karena kehadiran pria itu. “Nyonya, apa yang Anda lakukan?” tanya Kinara heran melihat Chaca yang malah kelihatan lebih bingung dibandingkan dengannya.“Golden Soul, apa bisa dimulai. Waktu kita tidak banyak!” seru seseorang yang bertindak sebagai moderator. Chaca mengepalkan kedua tangannya dan memejamkan kedua matanya berusaha untuk mengembalikan kekuatannya. Ini semua demi masa depan Darren, dia harus berhasil dan membuka kesempatan emas untuk perusahaan yang dirintisnya.Chaca menarik napas dan menghembuskan napasnya teratur untuk mengisi energi positifnya. Lalu dia angkat kepalanya dan mengumpulkan keberaniannya untuk menatap para manajer dan
Lima tahun berlalu.Waktu terasa cepat berlalu, hidup Chaca banyak berubah setelah itu. Selama itu juga dia tidak pernah kembali ke negara kelahirannya. Dia lebih memilih bekerja dan menghabiskan sebagian hidupnya di Jepang bersama keluarganya.Dia sudah cukup bahagia sekarang dan lebih tenang. Meski di awal-awal dia merasa menderita dan tersiksa.Kedua orang tuanya mengizinkannya hidup seperti apa yang ia pilih. Sampai sekarang pun Chaca enggan menceritakan apa yang ia alami lima tahun lalu. Tadinya Chaca hendak menggugurkan kandungannya saat kembali ke Jepang. Namun entah apa yang membuatnya memutuskan untuk mempertahankan kehamilannya dan melahirkan anak tanpa ayah itu.Saat di rumah sakit, ia melihat sepasang suami istri yang menangis saat mengetahui kalau anak mereka tidak bisa dipertahankan. Barulah Chaca menyadari kalau kehadiran anak adalah sebuah anugerah yang tidak semua orang mudah mendapatkannya. Mulai dari sanalah Chaca mengubah pola pikirnya. Mungkin Tuhan punya rencana
Rasanya mendengar ucapan itu, Chaca gemetar meski sebenarnya dia tidak terlalu kaget. Dia langsung menebak kalau gadis itu adalah Sweet. Orang yang tidak pernah diceritakan Genta tapi dia pasti orang yang sangat spesial sehingga menamai nomornya dengan kata Sweet.“Maaf aku tidak mengenalmu, ada urusan apa ke sini?” jawab Chaca ketus.“Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini?” tanya Irene dengan nada sedikit tinggi.“Bukan urusanku. Aku tidak ada hubungan apapun dengan tunanganmu. Pergilah sebelum aku panggil security!” usir Chaca.“Aku mengecek riwayat GPS Genta, dan tanggal di mana dia tidak pulang ternyata dia pergi ke sini dan menginap di sini. Dasar lonte!” teriak Irene menghina.Chaca berusaha untuk tenang dan tidak tersulut emosi dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Irene.“Sudah berapa kali kau menggodanya untuk datang ke sini?” tanya Irene dengan nada provokasi.“Hati-hati bicara!Dia hanya bekas tetanggaku dulu. Aku tidak ada hubungan dengan Genta! Paham! Pergilah sebelum
Seperti biasa, Chaca menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ini sudah sore, dan Genta sama sekali belum mengabarinya. Ada untungnya semalam dia memberi obat tidur pada Genta. Kalau tidak, Chaca mungkin akan lebih sakit hati jika Genta hanya ingin mencoba tidur dengannya saja.“Nyonya Charissa. Ini sudah waktunya pulang. Apa mungkin ada pekerjaan lain yang harus kita kerjakan malam ini?” tanya Jimmy menghampiri meja kerjanya.“Tidak ada. Kau pulang saja! Aku harus membereskan beberapa laporan ke Pusat,” jawab Chaca sambil menatap layar PC nya. Tetapi beberapa kali dia melirik ponselnya yang sedari tadi belum ada notif yang masuk.“Baiklah kalau begitu. Saya pulang duluan! Oh ya, saya sudah pesankan kue untuk menemani Anda bekerja!” Jimmy yang pengertian meletakkan satu kotak kue di atas meja Chaca.“Terima kasih untuk hari ini Jimmy!” ucap Chaca tersenyum.“Sama-sama!” Pria itu pun kemudian berpamitan dan pergi.Tinggallah Chaca sendiri di ruang kerjanya melamun dengan apa yang sudah t
“Apa kau mau tidur menemaniku malam ini?” tanya Chaca sambil menatap wajah Genta dengan tatapan penuh arti.Genta terkejut mendengarnya. Dia mengusap-usap telinganya barangkali dia salah mendengar.“Tidak mau?” tanya Chaca dengan wajah kecewa.“Bukan seperti itu, Cha. Tapi — apa tidak salah?” Genta masih terlihat bingung dan tidak percaya.“Katanya kau mau merawat dan menjagaku. Jadi —” Chaca terdengar sangat provokatif.“Cha, ini bukan bercanda kan? Aku tahu kau sudah lama tinggal di Jepang dan yang kayak begini sudah tidak aneh. Tapi bagiku —- aku masih tidak terbiasa.” Genta menolak secara halus.Chaca tersenyum miring menatap raut wajah Genta yang gelisah. Genta masih seperti dulu, dia malu-malu kucing. Malu tapi sebenarnya dia mau.“Kau tidak serius kan?” tanya Genta dengan suara yang tercekat karena berusaha untuk tidak terpancing.“Tentu saja, kenapa kau anggap itu serius?” Chaca benar-benar puas mellihat wajah Genta yang sempat gelisah tadi. Sebenarnya dia juga serius ingin me
Hari itu Chaca melamun di meja kerjanya. Setelah sadar kalau dia hamil, dia jadi lebih gampang mual dan porsi makannya menjadi bertambah. Hormonnya pun agak berbeda. Dia lebih sensitif dan cenderung persuasif. Dia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak ada dokter yang akan membantunya menghilangkan janin itu. Itu merupakan tindakan yang ilegal. Sementara dirinya sendiri ragu jika harus mempertahankannya di dalam kandungan. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu kalau dirinya hamil tanpa tahu siapa ayahnya.“Nona, ini aku bawakan salad buah pesananmu!” Jimmy sudah berada di depan mejanya dan memberinya sebuah paper bag berisi pesanannya.“Terima kasih Jim. Oh ya, apa ada dokumen yang masih harus aku tanda tangan?” tanya Chaca.“Tadi Lily bilang kalau ada beberapa dokumen dari sub kontraktor Surabaya baru selesai diperiksa timnya. Aku akan bawakan ke sini!” jawab Jimmy.“Hmm, oke. Bawakan cepat, aku harus pergi satu jam lagi.”“Baik Nona,” jawab Jimmy patuh.Setelah Jimmy pergi, Ch
Pertemuan tak sengaja itu akhirnya berujung dengan kopi darat di sebuah cafe dekat rumah sakit. Chaca baru mengetahui kalau ternyata Genta adalah seorang dokter umum di rumah sakit itu. Rasa kecewanya kemarin berubah kagum karena Genta berhasil menggapai cita-citanya sebagai seorang dokter.“Aku tidak mengira kalau kita bakal bertemu lagi.” Genta tidak bisa menutupi rasa senangnya bisa bertemu lagi dengan teman sekolah sekaligus tetangganya itu. Dia tidak berhenti tersenyum dan menatap wajah Chaca dengan intens.“Aku juga,” jawab Chaca datar. Dia kehilangan semangat gara-gara Genta sudah banyak pencapaian. Sedangkan dia, dia harus memikul nasib menjadi wanita hamil tanpa pasangan.“Oh ya, kau dari mana saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau sudah menikah?” tanya Genta dengan nada agak ragu karena banyak pertanyaan yang ia ingin lontarkan. Wajahnya terlihat sangat berhati-hati.Chaca menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia sama sekali tidak tertarik dengan topik seperti ini. Di
Satu bulan lebih berlalu, tanpa halangan Chaca dapat bekerja dengan baik sebagai CEO di Vallarta cabang Jakarta. Tersisa dua bulan lagi untuk kembali ke Jepang. Dia tinggal menyelesaikan beberapa permasalahan intern di sini. Setelah itu dia akan kembali lagi ke Jepang sesuai arahan Tuan Juko.Kemampuannya dalam memimpin perusahaan memang tidak diragukan. Pantas saja jika karirnya cemerlang di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Padahal dia bekerja di Vallarta baru tiga tahun, tetapi pemilik Vallarta sangat mempercayainya. Selain cerdas, Chaca memang mampu bekerja keras dalam memecahkan masalah di perusahaan dibandingkan dengan pegawai lain. Vallarta adalah perusahaan furniture yang mencoba membuka cabang di Jakarta. Kota Jakarta sebagai kota metropolitan sangat menjanjikan menjadi target pemasaran desain-desain furniture yang dimiliki Vallarta. Hanya saja untuk saat ini Vallarta Jakarta belum dapat berjalan dengan lancar karena banyak masalah di produksi, pengiriman dan jug
Chaca turun dari taksi setelah sampai di gedung di mana perusahaan Vallarta berada. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai CEO di sana. Untungnya dia tidak datang terlambat. Di pintu lift menuju lantai kantor Vallarta dia menatap bayangan wajahnya yang terlihat sedikit lelah. Pengaruh sisa alkohol dan kejadian semalam tentu berpengaruh pada kondisi wajahnya sekarang. Sebelum itu menjadi bencana, Chaca kemudian melipir dulu ke arah toilet di lantai satu. Dia harus menata ulang riasannya. Sampai di toilet dia kemudian mengeluarkan cushion miliknya. Ini masih pagi dan tentu belum banyak yang datang. Chaca sedikit leluasa untuk menata wajahnya agar terlihat lebih fresh dan cantik.“Hei kau tidak tahu Jimmy yang bekerja di Vallarta lantai 20?” Seorang gadis muda datang dengan dua orang gadis lainnya ke toilet.“Ya tahu dong. Emang kenapa sama dia?” tanya dua temannya itu.Chaca mencoba menguping apa yang akan menjadi bahan pembicaraan para gadis itu tentang Jimmy. Kalau diperhatikan sepe