Dengan langkah penuh percaya diri Charisa berjalan keluar dari gerbang kedatangan luar negeri di bandara Soekarno Hatta. Tangan kanannya menyeret koper dengan brand merk terkenal nan mewah sementara tangan kirinya merapikan rambut ombre ash brown-nya. Gadis cantik itu berjalan sambil melihat-lihat kerumunan orang yang menjemput penumpang pesawat yang baru datang.
Di antara banyak orang itu ia mencari orang yang akan menjemputnya. Charisa mengomel karena baterai ponselnya tidak sempat ia charge penuh dan sekarang sudah tidak bernyawa. Bagaimana caranya dia menemukan orang yang akan menjemputnya.
Sebelumnya di bandara Tokyo, Tuan Juko memberitahunya kalau yang akan menjemputnya bernama Jimmy. Katanya orang yang akan menjemputnya sudah mengenal wajahnya dan akan langsung menghampirinya.
“Bodoh! Bagaimana bisa aku memegang perkataan Tuan Juko. Darimana orang itu akan mengenaliku langsung,” gerutu Charisa kesal. Mau tidak mau dia harus mencari taksi dan pergi ke hotel sendiri.
Charisa berhenti sebentar dan melihat sekelilingnya. Dia melepas kacamatanya agar wajahnya terekspos dengan jelas. Menurut Tuan Juko, orang itu akan mengenalinya langsung.
“Maaf Nona permisi!” Seorang pria berjalan ke arahnya dengan wajah tersenyum sambil memegang ponselnya. Namun belum sempat pria itu mengutarakan maksudnya, Charisa langsung menyerahkan kopernya tanpa memberikan kesempatan pria itu bicara terlebih dulu.
“Sebelum ke hotel, antar aku dulu ke sebuah tempat!” titah Charisa.
Pria itu tampak terkejut karena tiba-tiba Charisa memberinya koper. Gadis itu berjalan mendahuluinya tanpa mengatakan hal lain.
“Nona —-”
“Kenapa lama sekali, kita tidak punya waktu!”
Pria itu tampak terdiam beberapa lama sambil menatap Charisa dengan ekspresi heran. Akhirnya dengan wajah kebingungan pria itu berjalan di depan Charisa sambil membawakan kopernya menuju tempat parkir. Charisa menghela napas dalam-dalam, merasakan aroma udara dari kota yang selama ini sudah lama ia tinggalkan. Rasanya menyenangkan bisa kembali ke kampung halamannya. Charisa masuk ke dalam mobil mengabaikan tatapan aneh dari pria yang duduk di belakang setir. Dia terlihat bersemangat dan sudah tidak sabar untuk melihat perubahan kota yang sudah ia tinggalkan selama dua belas tahun.
“Jimmy sebelum kau antarkan aku ke hotel, apa kau bisa mengantarkanku ke sebuah tempat?” tanya Charisa pada orang yang akan menjadi supirnya selama di Jakarta.
“Jimmy!” ucap pria itu sambil manggut-manggut. Dia menatap wajah Charisa dengan penuh minat.
“Tentu saja Nona. Mau ke mana saja saya akan antar,” jawab pria itu patuh. Beberapa kali dia berdecak kagum menatap wajah Charisa yang cantik.
Charisa tersenyum senang dengan sikap patuhnya. Dia baru pertama kalinya bertemu dengan Jimmy. Sebelum dia berangkat ke Jakarta dia memang diberitahu oleh perusahaannya di Jepang kalau selama dia bekerja di Jakarta, Jimmy akan menjadi supir pribadinya yang akan membantunya menyelesaikan pekerjaan selama di Jakarta.
“Nanti sebagai gantinya aku akan traktir kau kopi yang enak!”
“Hmm, saya tidak biasa minum kopi, Nona,” jawabnya dengan tawa renyah.
Charisa sempat melirik ke arahnya karena suara tawa pria itu yang terdengar hangat dan menyenangkan. Suara tawanya itu mengingatkannya pada seseorang.
“Bagaimana bisa anak muda sepertimu tidak suka kopi?” tanya Charisa heran.
“Saya punya penyakit lambung Nona. Jadi saya menghindari minuman yang berkafein.”
“Ooh, ya sudah akan mentraktirmu es krim,” sambung Charisa.
“Baik Nona. Haha. Tapi apa saya terlihat seperti anak kecil yang suka es krim,” cicit pria itu sambil menyetir.
“Bukan seperti itu. Setidaknya aku mentraktirmu karena ini hari pertama kita bertemu sebagai partner.”
Pria itu tertawa kecil menanggapinya. Dia hanya mengangguk-angguk kecil. Ekspresi wajahnya sangat menyenangkan. Charisa merasa kalau dia akan menjadi supir yang asyik. Sepertinya dia juga akan menjadi orang yang akan ia andalkan selama ia ditugaskan menjadi CEO di kantor Vallarta cabang Jakarta. Sebelumnya dia menjabat sebagai wakil direktur di Vallarta Jepang. Dia pergi ke Jakarta untuk menggantikan posisi CEO yang sebelumnya. Kenapa Charisa diutus ke sini, mungkin karena latar belakangnya sebagai warga negara Indonesia asli jadi bisa memudahkan Vallarta dalam masa transisi kepemimpinan.
Charisa juga tidak tahu apakah posisi itu untuk sementara apa untuk selanjutnya. Pemimpin perusahaan Vallarta belum secara resmi memberitahunya.
“Jadi, apakah sekarang Nona ingin mengunjungi salah satu kerabatmu?” tanyanya saat melihat lokasi GPS yang sudah Charisa atur di layar monitor mobilnya sebelumnya.
“Bukan kerabat. Aku tidak punya keluarga lain selain orangtuaku yang di Jepang. Aku hanya ingin mampir melihat tempat tinggalku dulu sebentar.”
“Oh di Jepang. Apa di sini tempatnya?” Dia menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah berlantai dua yang memiliki halaman depan yang luas.
Charisa tidak langsung menjawab. Tatapannya hanya tertuju ke depan. Sorot matanya berkaca-kaca. Tatapan haru sekaligus rindu yang menyeruak. Jimmy pun memutuskan untuk diam menunggu perintah Charisa.
Rumah yang dulu ia tinggali dengan orangtuanya dulu ternyata masih kosong. Tapi bukan itu tujuan gadis itu sebenarnya. Dia menatap dan mengawasi rumah sebelahnya. Tak lama kemudian terlihat gerbang rumah itu terbuka. Charisa menahan napasnya dengan mata yang sudah penuh dengan bulir bening.
Dua orang keluar dari rumah. Seorang pria sambil menuntun seorang gadis kecil berusia delapan tahun.
Charisa terisak dengan suara tertahan. Dia melihat pria itu tampak bahagia sambil menuntunnya masuk ke dalam mobil. Sementara pria itu memperhatikan raut wajah Charisa yang berubah sedih.
“Hah! Sudah dua belas tahun. Tidak mungkin dia belum menikah dan punya anak!” ucap Charisa dengan nada kesal.
“Siapa dia Nona?” tanyanya penasaran. Ada hubungan apa antara pria yang membawa anak itu dengan Charisa.
“Tetanggaku dulu,” jawab Charisa dengan wajah yang terlihat kecewa.
“Oh, terus apa yang akan kita lakukan sekarang. Apa Anda mau turun dan menyapanya?” tanyanya bingung.
“Tidak!” seru Charisa dengan ekspresi wajah yang marah dan kesal. Siapapun yang melihat pasti akan mengira kalau Charisa terkejut dan apa yang ia temukan sekarang ini tidak sesuai dengan ekspektasinya.
“Kita langsung ke hotel saja!” titah Charisa dengan wajah yang menahan marah.
Pria itu tidak banyak bertanya lagi karena berusaha memahami suasana hati gadis cantik itu. Dia segera menyalakan mesin mobil dan melajukannya menuju hotel.
Sepanjang perjalanan Charisa berusaha untuk tenang dan melupakan apa yang baru ia lihat tadi. Namun dalam hatinya penuh gejolak. Pria itu adalah Genta Dirmansyah, dia tetangganya waktu itu. Sebelum keluarganya pindah ke Jepang karena ayahnya dipindahkan ke sana, Charisa sempat bertetangga dengan Genta dari kecil. Tentu saja bisa ditebak, Genta adalah cinta pertamanya. Mereka sempat pacaran waktu SMA, mereka berdua terpaksa berpisah karena orang tua Charisa pindah bekerja ke Jepang. Setahun pertama berpisah, mereka masih berkomunikasi lewat email dan telepon. Tetapi setelah masuk masa ujian SMA mereka mulai menjauh dan hilang kontak sampai sekarang ini.
“Nona kita sudah sampai!” suara pria itu menghentikan lamunan Charisa.
Charisa melirik kanan kiri kalau dia sudah sampai di hotel.Tapi dia sedikit kebingungan.
“Ada apa?” tanya pria itu heran.
“Aku belum mau ke kamar hotel dulu. Pikiranku agak kacau. Antar aku ke bar hotel dulu dan temani aku minum di sana!” ajak Charisa dengan nada memaksa.
Pria itu terlihat kaget dengan permintaan Charisa yang tiba-tiba.
“Apa kau juga tidak bisa minum alkohol?” tanya Charisa dengan wajah menggoda. Melihat wajah Charisa yang terlihat seperti orang yang putus asa setelah melihat pria yang merupakan cinta pertamanya itu. Akhirnya dia pun mengangguk menyetujui keinginan gadis itu.
“Kau bodoh sekali jika masih berharap dia belum menikah,” tutur Charisa sambil memegang gelas alkoholnya yang sudah kosong. Gadis itu sudah kehilangan setengah kesadarannya. Bahkan dia tidak segan untuk menangis dengan suara lumayan keras. Dia tidak habis-habisnya mengumpat. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri, kadang dia menyumpahi Genta.Pria di sampingnya mengawasi sambil melihat keadaan sekitar. Dia hanya memberi kode pada orang yang memperhatikan Charisa untuk memakluminya. Charisa tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang. Yang dia tahu dia harus minum untuk meredakan semua emosi dalam tubuhnya.“Nona, kau sudah minum cukup banyak dan sudah mabuk. Sebaiknya Anda istirahat di hotel!” tegur Jimmy.“Tidak, aku masih kuat Jimmy. Aku belum mabuk,” jawab Charisa sambil tertawa mabuk.“Mas, boleh minta satu lagi!” pinta Charisa dengan tubuh yang sudah sempoyongan.“Nona! Kau sudah mabuk. Cukup. Ayo kita pergi dari sini!” bisik Jimmy sambil menopang tubuh Charisa yang sudah limbu
Charisa turun dari taksi setelah sampai di gedung di mana perusahaan Vallarta berada. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai CEO di sana. Untungnya dia tidak datang terlambat. Di pintu lift menuju lantai kantor Vallarta dia menatap bayangan wajahnya yang terlihat sedikit lelah. Pengaruh sisa alkohol dan kejadian semalam tentu berpengaruh pada kondisi wajahnya sekarang. Sebelum itu menjadi bencana, Charisa kemudian melipir dulu ke arah toilet di lantai satu. Dia harus menata ulang riasannya. Sampai di toilet dia kemudian mengeluarkan cushion miliknya. Ini masih pagi dan tentu belum banyak yang datang. Charisa sedikit leluasa untuk menata wajahnya agar terlihat lebih fresh dan cantik.“Hei kau tidak tahu Jimmy yang bekerja di Vallarta lantai 20?” Seorang gadis muda datang dengan dua orang gadis lainnya ke toilet.“Ya tahu dong. Emang kenapa sama dia?” tanya dua temannya itu.Charisa mencoba menguping apa yang akan menjadi bahan pembicaraan para gadis itu tentang Jimmy. Kalau diperhatik
Satu bulan lebih berlalu, tanpa halangan Charisa dapat bekerja dengan baik sebagai CEO di Vallarta cabang Jakarta. Tersisa dua bulan lagi untuk kembali ke Jepang. Dia tinggal menyelesaikan beberapa permasalahan intern di sini. Setelah itu dia akan kembali lagi ke Jepang sesuai arahan Tuan Juko.Kemampuannya dalam memimpin perusahaan memang tidak diragukan. Pantas saja jika karirnya cemerlang di usianya yang menginjak dua puluh tujuh tahun. Padahal dia bekerja di Vallarta baru tiga tahun, tetapi pemilik Vallarta sangat mempercayainya. Selain cerdas, Charisa memang mampu bekerja keras dalam memecahkan masalah di perusahaan dibandingkan dengan pegawai lain. Vallarta adalah perusahaan furniture yang mencoba membuka cabang di Jakarta. Kota Jakarta sebagai kota metropolitan sangat menjanjikan menjadi target pemasaran desain-desain furniture yang dimiliki Vallarta. Hanya saja untuk saat ini Vallarta Jakarta belum dapat berjalan dengan lancar karena banyak masalah di produksi, pengiriman dan
Pertemuan tak sengaja itu akhirnya berujung dengan kopi darat di sebuah cafe dekat rumah sakit. Charisa baru mengetahui kalau ternyata Genta adalah seorang dokter umum di rumah sakit itu. Rasa kecewanya kemarin berubah kagum karena Genta berhasil menggapai cita-citanya sebagai seorang dokter.“Aku tidak mengira kalau kita bakal bertemu lagi.” Genta tidak bisa menutupi rasa senangnya bisa bertemu lagi dengan teman sekolah sekaligus tetangganya itu. Dia tidak berhenti tersenyum dan menatap wajah Charisa dengan intens.“Aku juga,” jawab Charisa datar. Dia kehilangan semangat gara-gara Genta sudah banyak pencapaian. Sedangkan dia, dia harus memikul nasib menjadi wanita hamil tanpa pasangan.“Oh ya, kau dari mana saja. Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau sudah menikah?” tanya Genta dengan nada agak ragu karena banyak pertanyaan yang ia ingin lontarkan. Wajahnya terlihat sangat berhati-hati.Charisa menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia sama sekali tidak tertarik dengan topik seperti
Hari itu Charisa melamun di meja kerjanya. Setelah sadar kalau dia hamil, dia jadi lebih gampang mual dan porsi makannya menjadi bertambah. Hormonnya pun agak berbeda. Dia lebih sensitif dan cenderung persuasif. Dia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Tidak ada dokter yang akan membantunya menghilangkan janin itu. Itu merupakan tindakan yang ilegal. Sementara dirinya sendiri ragu jika harus mempertahankannya di dalam kandungan. Apa kata orang tuanya nanti jika tahu kalau dirinya hamil tanpa tahu siapa ayahnya.“Nona, ini aku bawakan salad buah pesananmu!” Jimmy sudah berada di depan mejanya dan memberinya sebuah paper bag berisi pesanannya.“Terima kasih Jim. Oh ya, apa ada dokumen yang masih harus aku tanda tangan?” tanya Charisa.“Tadi Lily bilang kalau ada beberapa dokumen dari sub kontraktor Surabaya baru selesai diperiksa timnya. Aku akan bawakan ke sini!” jawab Jimmy.“Hmm, oke. Bawakan cepat, aku harus pergi satu jam lagi.”“Baik Nona,” jawab Jimmy patuh.Setelah Jimmy pergi,
“Apa kau mau tidur menemaniku malam ini?” tanya Chaca sambil menatap wajah Genta dengan tatapan penuh arti.Genta terkejut mendengarnya. Dia mengusap-usap telinganya barangkali dia salah mendengar.“Tidak mau?” tanya Chaca dengan wajah kecewa.“Bukan seperti itu, Cha. Tapi — apa tidak salah?” Genta masih terlihat bingung dan tidak percaya.“Katanya kau mau merawat dan menjagaku. Jadi —” Chaca terdengar sangat provokatif.“Cha, ini bukan bercanda kan? Aku tahu kau sudah lama tinggal di Jepang dan yang kayak begini sudah tidak aneh. Tapi bagiku —- aku masih tidak terbiasa.” Genta menolak secara halus.Chaca tersenyum miring menatap raut wajah Genta yang gelisah. Genta masih seperti dulu, dia malu-malu kucing. Malu tapi sebenarnya dia mau.“Kau tidak serius kan?” tanya Genta dengan suara yang tercekat karena berusaha untuk tidak terpancing.“Tentu saja, kenapa kau anggap itu serius?” Chaca benar-benar puas mellihat wajah Genta yang sempat gelisah tadi. Sebenarnya dia juga serius ingin me
Seperti biasa, Charisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ini sudah sore, dan Genta sama sekali belum mengabarinya. Ada untungnya semalam dia memberi obat tidur pada Genta. Kalau tidak, Charisa mungkin akan lebih sakit hati jika Genta hanya ingin mencoba tidur dengannya saja.“Nyonya Charissa. Ini sudah waktunya pulang. Apa mungkin ada pekerjaan lain yang harus kita kerjakan malam ini?” tanya Jimmy menghampiri meja kerjanya.“Tidak ada. Kau pulang saja! Aku harus membereskan beberapa laporan ke Pusat,” jawab Charisa sambil menatap layar PC nya. Tetapi beberapa kali dia melirik ponselnya yang sedari tadi belum ada notif yang masuk.“Baiklah kalau begitu. Saya pulang duluan! Oh ya, saya sudah pesankan kue untuk menemani Anda bekerja!” Jimmy yang pengertian meletakkan satu kotak kue di atas meja Charisa.“Terima kasih untuk hari ini Jimmy!” ucap Charisa tersenyum.“Sama-sama!” Pria itu pun kemudian berpamitan dan pergi.Tinggallah Charisa sendiri di ruang kerjanya melamun dengan apa
Rasanya mendengar ucapan itu, Charisa gemetar meski sebenarnya dia tidak terlalu kaget. Dia langsung menebak kalau gadis itu adalah Sweet. Orang yang tidak pernah diceritakan Genta tapi dia pasti orang yang sangat spesial sehingga menamai nomornya dengan kata Sweet.“Maaf aku tidak mengenalmu, ada urusan apa ke sini?” jawab Charisa ketus.“Kau pasti tahu kenapa aku datang ke sini?” tanya Irene dengan nada sedikit tinggi.“Bukan urusanku. Aku tidak ada hubungan apapun dengan tunanganmu. Pergilah sebelum aku panggil security!” usir Charisa.“Aku mengecek riwayat GPS Genta, dan tanggal di mana dia tidak pulang ternyata dia pergi ke sini dan menginap di sini. Dasar lonte!” teriak Irene menghina.Charisa berusaha untuk tenang dan tidak tersulut emosi dengan kata-kata kasar yang dilontarkan Irene.“Sudah berapa kali kau menggodanya untuk datang ke sini?” tanya Irene dengan nada provokasi.“Hati-hati bicara!Dia hanya bekas tetanggaku dulu. Aku tidak ada hubungan dengan Genta! Paham! Pergilah
“Jean, bagaimana bisa kau ada di sini?” tanya Charisa ketika Jean mendekat.“Apa kau mengikutiku sampai ke sini?” tuduhnya lagi sebelum Jean bisa menjawab.“Tidak. Aku tidak mengikutimu. Aku kebetulan lewat sini,” jawab Jean. Namun dari raut wajahnya dia tidak bisa berbohong.Charisa tersenyum miring, seolah tidak percaya dengan jawaban Jean. “Kebetulan, ya?” gumamnya, menatap pria itu dengan pandangan penuh selidik.Jean tidak langsung menanggapi. Matanya menelisik sekitar, seolah mencari alasan lain yang lebih masuk akal, tetapi Charisa sudah menangkap kegugupannya.“Kalau memang hanya kebetulan, kenapa wajahmu terlihat bersalah?” lanjut Charisa, menyilangkan tangan di depan dada.Jean menghela napas, menyadari bahwa menyangkal pun tidak ada gunanya. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Mungkin aku memang ingin tahu apa yang kau lakukan di sini.”Charisa mengangkat alis, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Dan kenapa itu penting bagimu?”Jean terdiam sesaat. Ia bisa saja memberikan alasan y
Malam ini terasa berbeda bagi Charisa. Setelah bertahun-tahun menjaga jarak, menutup hati, dan berusaha melindungi dirinya sendiri dari luka yang pernah ada, ia akhirnya membiarkan seseorang masuk. Jean.Pria yang dulu hanya dia anggap sebagai pelarian. Sekarang Jean menjadi bagian dari hidupnya. Dia sudah memutuskan untuk menerima Jean sebagai kekasihnya. Perasaan hangat yang menyelimuti hatinya masih terasa asing, tetapi ia tidak ingin semuanya ini cepat berubah.Keesokan harinya, Charisa bangun lebih awal dari biasanya. Setelah kejadian tadi malam, ia tidak bisa tidur nyenyak—bukan karena gelisah, tetapi karena dadanya masih dipenuhi rasa berbunga yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia memandangi ponselnya, menunggu sesuatu. Lalu, sebuah notif masuk. Pesan dari Jean."Selamat pagi, Charisa. Tidurmu nyenyak?"Charisa tersenyum kecil sebelum mengetik balasan. "Tidak terlalu. Aku masih terkejut dengan semuanya."Balasannya hanya butuh beberapa detik untuk dibaca Jean sebelum pesa
Charisa berjalan cepat memasuki gedung kantornya, berusaha mengendalikan gejolak emosinya. Pipinya masih terasa panas akibat perkataan Jean barusan. Ia tidak menyangka pria itu akan mengungkapkan perasaannya sejujur itu—dan lebih dari itu, Jean ingin mengakui Darren sebagai anaknya.Setelah masuk ke dalam lift, Charisa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia harus fokus. Tidak boleh membiarkan kata-kata Jean mengganggu pikirannya saat bekerja. Namun, begitu pintu lift tertutup dan ia melihat pantulan dirinya di cermin lift, ia sadar bahwa ekspresinya masih kacau. Sorot matanya yang biasanya tajam tampak bimbang, dan bibirnya sedikit bergetar."Kenapa aku begini…?" gumamnya pelan.Dia mencoba menenangkan diri sebaik mungkin sebelum sampai di lantai kantornya. Hari ini entah kenapa beberapa hari ini dia merasa ada yang berbeda dengan hatinya. Entah kenapa setiap berada di dekat Jean, seperti ada kupu-kupu di atas perutnya. Ada rasa tergelitik tetapi rasa itu bercampu
Suara klakson yang saling bersahutan memecah keheningan, menyadarkan keduanya dari suasana yang membekukan itu. Jean tertegun sejenak, menyadari kalau mobilnya menghalangi kendaraan lain yang ingin parkir.Dengan cepat, dia menyalakan mesin mobilnya. "Kita pergi dulu dari sini," katanya, mencoba menyembunyikan ketegangan dalam suaranya. Charisa mengangguk tanpa sepatah kata pun, menyeka wajahnya yang basah oleh air mata.Pagi itu, udara masih sejuk, dengan matahari yang baru saja mulai naik ke langit. Jalanan tidak terlalu ramai, hanya beberapa kendaraan yang sesekali melintas. Angin semilir yang masuk melalui kaca jendela yang sedikit terbuka membawa aroma segar dedaunan basah, seolah mencoba menenangkan hati mereka yang bergolak.Namun, ketenangan itu segera terganggu saat mobil Jean mulai melambat. Charisa yang semula tenggelam dalam pemandangan luar langsung menoleh dengan kening berkerut. "Kenapa mobilnya melambat?" tanyanya, ada kekhawatiran yang muncul di suaranya.Jean melirik
“Charisa, apa sekarang kau masih menganggapku orang asing?” tanya Jean dengan tatapan intens padanya.Charisa menggigit bibirnya. Ada sesuatu dalam tatapan Jean yang berbeda kali ini. Tatapan yang seolah menembus ke dalam dirinya, menuntut jawaban yang tak bisa ia berikan. Ia ingin berpaling, ingin menghindari perasaan yang mulai menguasai hatinya, tetapi tubuhnya seakan terpaku di tempat.“Apalagi aku ini ayah kandungnya Darren. Apa kau tidak merasa kalau kita memang sudah ditakdirkan —”“Hentikan! Jangan lanjutkan!” Charisa buru-buru menutup telinganya. Ia tak ingin mendengar kata-kata Jean yang berbahaya itu. Kata-kata yang bisa meruntuhkan semua tembok yang susah payah ia bangun selama ini.Jean tak menyerah. Ia menepikan mobil dan mematikan mesinnya. Dalam keheningan yang tiba-tiba menguasai ruang sempit di antara mereka, tarikan napas berat Jean terdengar jelas. Charisa menelan ludah, dadanya berdebar tak menentu. Ia takut jika Jean bisa membaca kegugupannya.“Aku akan tetap ber
Charisa sudah cukup kesal dengan kedatangan Jean yang tiba-tiba di pagi hari. Namun, yang lebih mengejutkannya adalah ketika Jean dengan santai berkata, "Hari ini aku akan mengantar Darren ke sekolah."Charisa, yang sedang menyuapkan nasi, sontak tersedak. Dengan buru-buru ia meneguk air putih lalu menatap Jean tajam."Tidak perlu," ucapnya cepat sebelum siapapun sempat merespons.Jean mengangkat sebelah alisnya, tetap tenang seperti biasa. "Kenapa? Arah hotelku sejalan dengan sekolah Darren. Kita bisa sekalian berangkat bersama. Darren, kau tidak keberatan, kan?"Darren, yang asyik menikmati sarapannya, berkedip bingung. "Hmm, aku senang kalau Tuan Jean mengantarku. Kemarin saat diantar Mama dan Tuan Jean, teman-teman di sekolahku memuji."Charisa menoleh ke arah Darren, suaranya lebih lembut. "Masaru yang akan mengantarmu, Nak. Kita tidak bisa tiba-tiba mengubah rencana."Jean tersenyum tipis, meletakkan sendoknya dengan tenang. "Aku hanya menawarkan tumpangan, Charisa. Tidak perlu
“Arrrrrrgggh!” teriak Charisa. Tubuhnya mencoba meronta melepaskan diri dari Jean. Tiba-tiba tubuhnya terjatuh ke lantai. Kedua mata Charisa terbuka, seketika sekujur tubuhnya terasa nyeri. Dia berada di lantai dekat dengan tempat tidurnya. Wanita itu melihat sekelilingnya dan mulai menyatukan ingatan dan kesadarannya.Barulah sadar kalau ternyata dia baru saja bermimpi kalau Jean datang ke kamarnya. Charisa terdiam beberapa saat mencoba menenangkan dirinya setelah terbangun dari mimpinya.“Dasar bodoh Charisa, kenapa kau sampai membawa Jean ke dalam mimpi segala!” rutuk Charisa memijat keningnya yang berdenyut.“Apa gara-gara ciuman itu?” pikir Charisa. Ingatannya tentang kejadian itu sampai terbawa ke alam mimpi. Ini semua gara-gara Jean. Charisa bangun dari lantai dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Dia termenung menyesalkan semua yang sudah menganggu pikirannya.“Charisa!” “Charisa! Apa kau sudah bangun?” Terdengar suara ibunya memanggil.“Ya Bu!” jawab Charisa sembari bergega
Di dalam kamarnya Charisa terlihat uring-uringan, dia tidak berhenti bolak balik di depan tempat tidurnya. Pesan yang ia kirim untuk Jean dan terkirim pada Genta belum sempat dibaca Genta. Charisa dengan segera menarik pesan itu tadi sebelum Genta dapat membacanya. Dia hanya bisa berharap kalau Genta belum sempat melihat pesannya itu. Kalau dia sempat melihat, sepertinya masalah akan bertambah satu. Genta pasti merasa kalau dia sudah memberi jawaban secara tidak langsung. Ini akan menjadi sebuah kesalahpahaman yang berbuntut panjang.Charisa menyentuh kembali bibirnya yang tadi sempat dicium Jean. Hatinya kembali berdebar mengingat momen itu. “Jean apa yang sudah kau lakukan padaku?” gumam Charisa sambil mengusap bibirnya dengan penuh rasa frustasi.“Apa dia pikir aku terlalu mudah untuk dia sentuh,” lirih Charisa menyesal yang seharusnya tadi bisa untuk menghindar. Kenapa tubuhnya tidak bisa ia pertahankan.“Kau bodoh!” Charisa menyalahkan dirinya sendiri. “Kau sempat menikmatinya
Charisa terdiam dalam sentuhan bibir Jean, tubuhnya terasa seperti terbebani oleh banyak perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ketika bibir Jean menyentuhnya, ada kehangatan yang mengalir melalui tubuhnya, seakan-akan dunia di sekeliling mereka menghilang dan hanya ada keduanya. Charisa bisa merasakan detak jantung Jean yang berpadu dengan detak jantungnya, dan untuk sesaat, ia merasa seolah-olah mereka hanya dua jiwa yang saling terikat dalam kesunyian malam.Jean memegangnya dengan lembut, seolah-olah dia takut jika dia melepasnya, Charisa akan hilang begitu saja. Namun ketika kesadaran dan logikanya kembali, Charisa segera melepaskan dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, namun hatinya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Keputusan itu muncul begitu cepat, hampir tanpa pertimbangan. Perasaan yang tiba-tiba datang begitu kuat, namun juga penuh dengan kebingungan. Ia menatap Jean dengan mata yang sedikit teralihkan, bingung dengan perasaan yang mengaduk di d