"Sial, ke mana Devan membawa Tante Miriam?" Edgard masih melajukan mobilnya mengikuti mobil Devan yang sudah melaju jauh di depan, namun Edgard mengernyit saat ia merasa mengenali jalan yang ia lewati. Untuk sesaat, Edgard berpikir keras, ke mana Devan akan membawa Miriam? Apa ke kantor polisi? Atau ke mana? Edgard tahu Devan adalah pria yang bijak dan ia selalu memutuskan semuanya dengan dewasa. Edgard pun berharap dugaannya ini tidak salah dan Devan benar-benar membawa Miriam ke kantor polisi. Namun, Edgard tetap tidak bisa melepaskan mobil Devan begitu saja sampai ia memastikan kalau Devan benar-benar membawa Miriam ke sana. Edgard pun menginjak gasnya makin kencang dan makin fokus mengejar mobil Devan saat tiba-tiba sebuah mobil menabrak mobilnya dari belakang. Brak!"Akkhh!" pekik Edgard saat tubuhnya tersentak ke depan. Edgard pun segera melihat lewat kaca spionnya dan ternyata mobil Emir kembali mengikutinya dari belakang. "Sialan! Emir lagi! Apa dia berhasil mengalahk
Beberapa polisi nampak keluar dari kantor polisi karena menerima telepon dari Edgard yang akhirnya melihat mobil Devan menuju ke kantor polisi. Namun, sialnya Edgard masih belum bisa mengejar Miriam karena Emir terus menabrak mobilnya. Bahkan Edgard harus berteriak di telepon dengan suara yang terputus-putus sampai akhirnya ponselnya malah terjatuh entah ke mana. Edgard yang akhirnya tiba di depan kantor polisi pun melihat orang-orang berlari dan langsung melajukan mobilnya ke sana. Suasana malam itu langsung begitu riuh saat para polisi mengejar Miriam sambil menodongkan senjatanya. "Berhenti, Bu Miriam! Berhenti!" "Jangan tembak! Jangan tembak! Ibu, berhenti!" teriak Devan yang masih berlari sekuat tenaga mengejar Miriam sampai begitu jauh. Air mata Devan sudah kembali berderai, begitu juga dengan air mata Miriam. Kakinya juga kembali lemas kali ini dan ia merasakan lecet serta basah di kakinya namun Miriam terus berlari dan ia tidak boleh berhenti. Devan terus memohon agar
Dor!Suara tembakan dilepaskan kembali terdengar begitu keras sampai semua polisi yang membawa senjata pun menjadi waspada. Beberapa anak buah pun kembali menghentikan aktivitasnya sejenak saat mendengar pekikan Miriam di sana dan mereka pun menoleh ke arah sumber suara. Untuk sesaat, suasana nampak begitu hening saat akhirnya timah panas itu melesat dan menembus tubuh seseorang di sana.Edgard sendiri pun membelalak saat menerima pelukan dari Devan yang sudah lemas di hadapannya. "Devan ... Devan ...," panggil Edgard dengan mata yang membelalak dan jantung yang berdebar kencang. "Kak Edgard ... Kak Edgard ...," lirih Devan yang kakinya sudah tidak sanggup berdiri tegak. Devan begitu panik melihat Miriam menodongkan senjata dan akan menembak Edgard. Tanpa pikir panjang, Devan pun segera berbalik dan berlari ke arah Edgard yang masih berdiri tidak jauh di belakangnya. Devan pun segera menghambur ke pelukan Edgard sampai akhirnya timah panas itu menembus punggungnya dan Miriam pu
"Mefi, perasaanku benar-benar tidak enak, Mefi! Aku takut terjadi sesuatu pada Miriam, anakku! Dan juga Edgard, cucuku! Mengapa keluargaku harus menjadi seperti ini ...." Elizabeth sudah meneteskan air matanya karena begitu gelisah sejak tadi. Sejak mendengar rencana Edgard yang akan menangkap Miriam, Elizabeth sama sekali tidak bisa tenang. Elizabeth terus berjalan mondar mandir sampai ia tidak berselera makan, sampai akhirnya saat ini ia hanya bisa duduk di ranjangnya dengan lemas. Mefi sendiri pun terus setia menenangkan Elizabeth dan memegangi tangan atasannya yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri itu. "Tenang, Bu Elizabeth! Tenang! Semuanya akan baik-baik saja." "Tapi perasaanku tidak enak, Mefi.""Aku tahu, Bu. Tapi kita sama-sama berdoa dan menunggu. Pak Edgard juga tidak sendiri karena ada polisi bersamanya, aku yakin semua akan baik-baik saja." Elizabeth menelan salivanya dengan air mata yang terus menetes. Jantungnya berdebar begitu kencang dan hatinya seperti t
"Edgard, bagaimana Miriam? Bagaimana Devan?" Elizabeth dan Mefi tiba di rumah sakit dengan air mata yang bercucuran. Begitu menerima telepon dari Edgard, Elizabeth langsung pingsan sampai Mefi begitu panik. Mefi pun memanggil dokter keluarga untuk memeriksa Elizabeth dan butuh waktu hampir satu jam, sebelum akhirnya Elizabeth kembali sadar dengan keadaan yang sangat lemas. Dokter meminta Elizabeth beristirahat, namun Elizabeth tidak bisa beristirahat sama sekali saat anak dan cucunya sedang meregang nyawa di rumah sakit. Dan di sinilah Elizabeth dengan langkah gontai dan wajah pucatnya menghampiri Edgard dan langsung memeluk cucunya itu. "Grandma, Grandma sudah baik-baik saja? Grandma sudah tidak apa?" tanya Edgard yang juga begitu cemas mendengar Elizabeth pingsan tadi. "Grandma tidak apa, Edgard! Grandma tidak akan mengalami apa pun sebelum Grandma mengetahui kondisi anak dan cucu Grandma ...," lirih Elizabeth sambil terus menangis. Edgard sendiri terus memeluk Elizabeth sam
Beberapa hari kembali berlalu dan kondisi Miriam bukannya membaik malah makin memburuk. Awalnya Miriam dinyatakan koma namun secara mengejutkan, kondisinya menurun dengan sendirinya sampai semua anggota keluarga pun makin sedih melihatnya. "Kita harus ikhlas. Kita harus ikhlas, Devina..Grandma juga sudah ikhlas. Grandma sudah ikhlas," seru Elizabeth yang terus memeluk Devina. Mereka diijinkan untuk terus ada di dalam ruangan Miriam karena Miriam bisa pergi sewaktu-waktu dan mereka pun tidak mau kehilangan satu detik pun bersama Miriam. Charles yang melihatnya lebih banyak diam dan hanya terus duduk di samping Miriam sambil memegangi tangan istrinya itu, sedangkan Devan juga terus bersama ayahnya dan mencoba untuk tegar, walaupun tidak dengan Devina yang masih begitu berat melepaskan Miriam. "Aku masih butuh Ibu! Aku masih butuh Ibu ...," seru Devina tanpa henti. "Aku mau Ibu kembali, Grandma! Aku mau Ibu kembali! Aku belum sempat mengucapkan apa pun padanya ...," lirih Devina yan
"Ayah, Ibu, bagaimana kabar kalian di sana?"Edgard berjongkok di sebuah jembatan yang menjorok ke laut dan menabur bunga di sana. Abu kremasi kedua orang tuanya memang dilarung ke laut dan sewaktu-waktu kalau Edgard merindukan mereka, Edgard hanya tinggal menabur bunga di laut, seperti yang ia lakukan saat ini. Air mata Edgard pun menetes karena sisa kesedihan yang masih terasa menyesakkan di hatinya, walau rasa lega juga sudah membanjiri hatinya setelah semua proses penghormatan terakhir untuk Miriam akhirnya selesai dilakukan. Harlan, pengawal Miriam yang setia akhirnya menyusul Miriam tidak lama setelah Miriam meninggal. Harlan meninggal dengan tubuh yang membiru karena kekurangan oksigen dan matanya terbuka melotot seolah ia benar-benar tersiksa dan ketakutan. Tentu saja itu cukup menakutkan untuk dilihat tapi setidaknya, Harlan sudah terbebas dari siksaan dunia. Dan Harlan pun menunjukkan kesetiaannya dengan menemani Miriam menuju ke penghakiman terakhir. Inilah karma yan
Collin dan Calista terus berlarian di tempat liburan mereka, sebuah taman satwa yang sangat luas. Mereka pun sempat berkeliling dengan mobil dan melihat aneka satwa, sebelum akhirnya Jefry memarkir mobilnya dan mereka berjalan kaki menikmati indahnya taman itu. "Di sana ada burung putih, Uncle Jefry! Collin mau foto sama burung." Collin berlari dan langsung meminta burung cantik itu pada petugasnya. Jefry yang terus mengikuti Collin pun membantu anak itu untuk foto dan Collin pun bergaya bersama burung berwarna putih itu. Calista sendiri yang sedang digandeng oleh Edgard pun langsung menarik tangan Edgard dengan antusias. "Papa, Calista juga mau, Papa! Ayo, kita ke sana!" Calista pun juga meminta burung itu pada petugas, namun burung putih itu sempat kabur dengan mengepakkan sayapnya sampai Calista kaget. "Ah, burungnya marah, Papa!" pekik Calista yang langsung dibantu oleh petugas di sana sampai akhirnya Calista pun bisa berfoto dengan burung itu dan anak-anak pun tidak berhe