"Mefi, perasaanku benar-benar tidak enak, Mefi! Aku takut terjadi sesuatu pada Miriam, anakku! Dan juga Edgard, cucuku! Mengapa keluargaku harus menjadi seperti ini ...." Elizabeth sudah meneteskan air matanya karena begitu gelisah sejak tadi. Sejak mendengar rencana Edgard yang akan menangkap Miriam, Elizabeth sama sekali tidak bisa tenang. Elizabeth terus berjalan mondar mandir sampai ia tidak berselera makan, sampai akhirnya saat ini ia hanya bisa duduk di ranjangnya dengan lemas. Mefi sendiri pun terus setia menenangkan Elizabeth dan memegangi tangan atasannya yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri itu. "Tenang, Bu Elizabeth! Tenang! Semuanya akan baik-baik saja." "Tapi perasaanku tidak enak, Mefi.""Aku tahu, Bu. Tapi kita sama-sama berdoa dan menunggu. Pak Edgard juga tidak sendiri karena ada polisi bersamanya, aku yakin semua akan baik-baik saja." Elizabeth menelan salivanya dengan air mata yang terus menetes. Jantungnya berdebar begitu kencang dan hatinya seperti t
"Edgard, bagaimana Miriam? Bagaimana Devan?" Elizabeth dan Mefi tiba di rumah sakit dengan air mata yang bercucuran. Begitu menerima telepon dari Edgard, Elizabeth langsung pingsan sampai Mefi begitu panik. Mefi pun memanggil dokter keluarga untuk memeriksa Elizabeth dan butuh waktu hampir satu jam, sebelum akhirnya Elizabeth kembali sadar dengan keadaan yang sangat lemas. Dokter meminta Elizabeth beristirahat, namun Elizabeth tidak bisa beristirahat sama sekali saat anak dan cucunya sedang meregang nyawa di rumah sakit. Dan di sinilah Elizabeth dengan langkah gontai dan wajah pucatnya menghampiri Edgard dan langsung memeluk cucunya itu. "Grandma, Grandma sudah baik-baik saja? Grandma sudah tidak apa?" tanya Edgard yang juga begitu cemas mendengar Elizabeth pingsan tadi. "Grandma tidak apa, Edgard! Grandma tidak akan mengalami apa pun sebelum Grandma mengetahui kondisi anak dan cucu Grandma ...," lirih Elizabeth sambil terus menangis. Edgard sendiri terus memeluk Elizabeth sam
Beberapa hari kembali berlalu dan kondisi Miriam bukannya membaik malah makin memburuk. Awalnya Miriam dinyatakan koma namun secara mengejutkan, kondisinya menurun dengan sendirinya sampai semua anggota keluarga pun makin sedih melihatnya. "Kita harus ikhlas. Kita harus ikhlas, Devina..Grandma juga sudah ikhlas. Grandma sudah ikhlas," seru Elizabeth yang terus memeluk Devina. Mereka diijinkan untuk terus ada di dalam ruangan Miriam karena Miriam bisa pergi sewaktu-waktu dan mereka pun tidak mau kehilangan satu detik pun bersama Miriam. Charles yang melihatnya lebih banyak diam dan hanya terus duduk di samping Miriam sambil memegangi tangan istrinya itu, sedangkan Devan juga terus bersama ayahnya dan mencoba untuk tegar, walaupun tidak dengan Devina yang masih begitu berat melepaskan Miriam. "Aku masih butuh Ibu! Aku masih butuh Ibu ...," seru Devina tanpa henti. "Aku mau Ibu kembali, Grandma! Aku mau Ibu kembali! Aku belum sempat mengucapkan apa pun padanya ...," lirih Devina yan
"Ayah, Ibu, bagaimana kabar kalian di sana?"Edgard berjongkok di sebuah jembatan yang menjorok ke laut dan menabur bunga di sana. Abu kremasi kedua orang tuanya memang dilarung ke laut dan sewaktu-waktu kalau Edgard merindukan mereka, Edgard hanya tinggal menabur bunga di laut, seperti yang ia lakukan saat ini. Air mata Edgard pun menetes karena sisa kesedihan yang masih terasa menyesakkan di hatinya, walau rasa lega juga sudah membanjiri hatinya setelah semua proses penghormatan terakhir untuk Miriam akhirnya selesai dilakukan. Harlan, pengawal Miriam yang setia akhirnya menyusul Miriam tidak lama setelah Miriam meninggal. Harlan meninggal dengan tubuh yang membiru karena kekurangan oksigen dan matanya terbuka melotot seolah ia benar-benar tersiksa dan ketakutan. Tentu saja itu cukup menakutkan untuk dilihat tapi setidaknya, Harlan sudah terbebas dari siksaan dunia. Dan Harlan pun menunjukkan kesetiaannya dengan menemani Miriam menuju ke penghakiman terakhir. Inilah karma yan
Collin dan Calista terus berlarian di tempat liburan mereka, sebuah taman satwa yang sangat luas. Mereka pun sempat berkeliling dengan mobil dan melihat aneka satwa, sebelum akhirnya Jefry memarkir mobilnya dan mereka berjalan kaki menikmati indahnya taman itu. "Di sana ada burung putih, Uncle Jefry! Collin mau foto sama burung." Collin berlari dan langsung meminta burung cantik itu pada petugasnya. Jefry yang terus mengikuti Collin pun membantu anak itu untuk foto dan Collin pun bergaya bersama burung berwarna putih itu. Calista sendiri yang sedang digandeng oleh Edgard pun langsung menarik tangan Edgard dengan antusias. "Papa, Calista juga mau, Papa! Ayo, kita ke sana!" Calista pun juga meminta burung itu pada petugas, namun burung putih itu sempat kabur dengan mengepakkan sayapnya sampai Calista kaget. "Ah, burungnya marah, Papa!" pekik Calista yang langsung dibantu oleh petugas di sana sampai akhirnya Calista pun bisa berfoto dengan burung itu dan anak-anak pun tidak berhe
"Terima kasih kalian sudah datang kemari, Edgard, Janice, Bu Nara!" Charles menyambut semua orang untuk makan malam di rumahnya malam itu sekaligus untuk berkumpul bersama, sebelum Charles dan Devina akan kembali ke Amerika besok. "Kami pasti datang, Om," sahut Edgard sambil memeluk Charles. Devina pun ikut menyambut mereka dan langsung menyapa si kembar Collin dan Calista yang begitu menggemaskan. Collin dan Calista sendiri begitu cepat akrab dengan Devina dan membuat Devina begitu menyukai keduanya, begitu juga dengan Devan. Dita sendiri, baby sitter baru Collin dan Calista juga begitu setia menjaga dan mengikuti si kembar ke mana-mana sampai Edgard dan Janice pun merasa begitu puas dengan baby sitter kecil mereka itu. Tidak lama kemudian, Elizabeth dan Mefi ikut datang untuk makan malam di sana dan semua orang pun berbaur dengan bahagia. Ini adalah pertama kalinya mereka berkumpul bersama lagi sejak terakhir melarung abu Miriam ke laut. "Aku senang sekali keluarga kita bisa
"Apa yang kau bicarakan dengan Anneth tadi?" Janice mendadak begitu kepo saat ia dan Edgard sudah duduk berdua di ranjang mereka malam itu. Edgard yang mendengar pertanyaan Janice hanya menaikkan alisnya sambil tersenyum. "Mengapa mendadak kau begitu penasaran, Janice? Apa kau cemburu?" "Tentu saja tidak! Siapa juga yang cemburu pada wanita barbar itu!" elak Janice. "Haha, hari ini dia sama sekali tidak barbar, Janice." "Oh, jadi karena dia tidak barbar lalu mendadak kau menyukainya? Kalau begitu tidur saja dengannya, jangan minta aku menemanimu di sini!" Mendadak rasa cemburu membuat Janice kesal dan memalingkan wajahnya sampai Edgard mendadak gemas sendiri. "Haha, aku tidak bilang aku menyukainya kan? Hmm, kami berbicara banyak. Intinya dia bilang dia akan mundur dan tidak akan mengejarku lagi dan dia juga akan pulang ke London. Jadi masalah selesai, tidak ada yang harus membuatmu cemburu lagi." Janice langsung mengerjapkan mata mendengarnya. "Eh, benarkah itu? Dia ... tida
Janice melangkah dengan percaya diri memasuki gedung perusahaan pagi itu. Senyuman pun tidak berhenti mengembang di bibirnya saat ia menyapa para karyawan yang ia temui. Walaupun seisi perusahaan juga sempat berkabung untuk Miriam, tapi semua sudah kembali normal sekarang. Di belakang Janice pun, Edgard dan Jefry juga melangkah dengan percaya diri seperti biasanya. Kehidupan dan keseharian mereka sudah kembali normal beberapa waktu terakhir, anak-anak pun sudah kembali ke sekolah dan Edgard serta Janice juga sudah kembali bekerja. Edgard dan Janice sudah resmi berpacaran, bahkan Edgard sudah memesan cincin untuk melamar Janice. Namun, Janice yang ingin menikmati harinya dengan tenang pun meminta pada Edgard agar jangan mempublikasikan hubungan mereka dulu karena rasanya akan tidak nyaman bagi Janice. "Entah mereka pernah mendengar desas-desus tentang kita atau apa pun, tapi kurasa lebih baik kita menyembunyikannya dulu. Kau juga harus fokus mengejar ketinggalan karena masalah k
"Daphne Sayang, jangan lari!"Nara begitu gemas memanggil Daphne yang sedang asik merangkak kesana kemari bersama Denzel di sekeliling rumah. Semakin Nara mau menangkapnya, semakin Daphne merangkak kabur sambil terkikik dan berteriak. Collin dan Calista yang melihatnya sampai tertawa begitu senang melihat tingkah adik-adiknya. Nara sendiri pun akhirnya ikut tertawa dan tidak memanggil lagi. Hari ini genap satu tahun umur Daphne dan Denzel. Kedua anak kembar itu sudah begitu gemuk dan makin menggemaskan. Mereka juga sudah pintar merangkak kesana kemari, walaupun mereka belum mulai berjalan. Tingkah kedua anak itu begitu menggemaskan sampai gelak tawa pun tidak berhenti memenuhi rumah keluarga mereka setiap harinya. "Astaga, Sayang, mengapa kau bisa merangkak sampai ke sini!" pekik Janice yang baru saja keluar dari dapur. "Ah, Ibu sudah tidak kuat mengejarnya lagi, Janice! Daphne terlalu lincah!" protes Nara. Janice pun langsung terkekeh sambil mengangkat anaknya yang sudah ber
"Semuanya perkenalkan, ini Viola, calon istriku!" Keluarga Edgard mengadakan makan malam bersama hari itu. Sejak anak Edgard lahir, Edgard memang lebih sering melakukan open house mengundang keluarganya agar rumah selalu ramai. Semua orang akan saling membantu menjaga si kembar Denzel dan Daphne sampai Janice benar-benar terbebas dari yang namanya stres dan baby blues. Sungguh, kali ini Janice memiliki support system terbaik dan Janice sangat bahagia dengan banyak berkat berlimpah dalam hidupnya. Devan pun datang malam itu sambil membawa seorang wanita yang sangat cantik, seorang wanita yang awalnya adalah asisten Devan, tapi benih-benih cinta muncul di sana dan dengan bangga, Devan memperkenalkannya pada semua. Elizabeth yang mendengarnya pun langsung memekik kegirangan. "Wah, selamat, Devan! Selamat! Setelah Edgard, akhirnya sebentar lagi kau akan menyusul, lalu Devina juga menyusul. Semua cucu Grandma akan menikah dan memberikan Grandma banyak cicit! Ini kabar bahagia, sangat
Spanduk bertuliskan "One Month Celebration of Denzel and Daphne" terbentang di pinggir kolam renang rumah Edgard dan Janice hari itu. Hiasan balon-balon yang didominasi warna biru dan merah itu pun memenuhi dinding dan sepanjang jalan di sekitar kolam renang itu. Selain itu banyak hiasan lain yang menambah meriah suasana pagi itu. Hari ini tepat satu bulan bayi kembar Janice lahir ke dunia. Bayi kembar laki-laki dan perempuan itu diberi nama Denzel William dan Daphne William. Bayi kembar yang membawa kebahagiaan bagi keluarga Edgard dan menyempurnakan keluarga mereka yang tidak lagi kecil karena keluarga inti mereka berjumlah enam orang sekarang. Edgard pun akhirnya merasakan bagaimana lelahnya menjadi orang tua baru yang mengurusi dua bayi sekaligus. Walaupun mereka memakai dua orang baby sitter baru untuk bayi kembar mereka, tapi Edgard tetap ingin tidur dengan bayi mereka. Edgard ingin menemani Janice mengurus bayi kembar mereka sekaligus menebus rasa bersalah karena dulu J
Janice terus merasa gelisah dalam tidurnya menjelang subuh hari itu. Saat melahirkan sudah tinggal menghitung hari dan Janice tidak berhenti berdebar sampai membuatnya insomnia beberapa hari ini. Janice pun masih terus gelisah sendiri sampai ia merasakan rasa aneh di bawah tubuhnya. "Apa yang lembab ini? Mengapa perutku juga terasa melilit?" gumam Janice sambil perlahan Janice bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Janice memeriksa dan ternyata ada darah di sana, tanda bahwa ia sudah waktunya melahirkan. Jantung Janice langsung memacu kencang, apalagi rasa sakit di perutnya mulai makin kencang seperti meremat perutnya. "Edgard! Edgard!" panggil Janice sambil melangkah keluar dari kamar mandi. Edgard yang tadinya masih tertidur lelap di samping Janice pun seketika langsung membuka matanya waspada. Sejak Janice hamil, Edgard selalu waspada kapan pun istrinya itu membutuhkannya sehingga hanya perlu sedikit suara untuk membuat Edgard langsung membuka matanya. "Janice, ada
When I was just a little girl ....I asked my mother, what will I be ....Will I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me ....Que sera, sera ....Whatever will be, will be ....The future's not ours to see ....Que sera, sera ....What will be, will be ....Suara Calista bernyanyi terdengar begitu merdu memenuhi ruangan serbaguna yang digunakan untuk acara pementasan sekolah hari itu. Semua orang pun langsung bertepuk tangan begitu acara selesai. Termasuk Edgard, Janice, Nara, dan Grandma Elizabeth yang ikut hadir sebagai penonton. Mereka bertepuk tangan sambil meneteskan air mata begitu bangga melihat Collin dan Calista bersama teman-teman mereka yang menampilkan pertunjukkan drama musical yang begitu indah.Para anak-anak itu berdialog dalam bahasa Inggris, mereka berinteraksi bersama, melangkah kesana kemari, menari, dan diakhiri dengan nyanyian yang begitu merdu dari Calista. Sungguh semua orang tua yang melihatnya begitu bangga pada anak-anak mereka. Nara dan El
Di umur kehamilan Janice yang memasuki lima bulan, Edgard mengajak Janice melakukan babymoon sekaligus berlibur bersama keluarga mereka. Edgard membawa serta Nara, Collin, Calista, dan pengasuh kecil mereka, berlibur ke Bali. "Karena aku tidak mau mengambil resiko, jadi kita akan pergi ke tempat yang dekat saja ya, Sayang. Aku sudah menyuruh Jefry menyiapkan semuanya dan kita tinggal menyusun barang pribadi kita saja," kata Edgard malam itu saat mereka sudah berdua di kamar. "Ya ampun, Edgard, aku sungguh tidak perlu babymoon seperti ini." Edgard tersenyum lalu menangkup kedua tangan istrinya itu. "Janice, Sayang, babymoon memang bukan merupakan keharusan, bahkan honeymoon juga bukan merupakan keharusan." "Semua pasangan akan tetap baik-baik saja tanpa honeymoon maupun babymoon." "Hanya saja bedanya, ada pasangan yang memang menginginkannya dan kalau mereka mampu, mereka akan melakukannya." "Begitu juga dengan aku, Sayang. Aku menginginkannya, menyenangkanmu dan anak-anak kita
"Kembar lagi? Grandma akan punya cicit kembar lagi?" Elizabeth memekik senang saat Edgard memberitahunya tentang kehamilan Janice. "Benar, Grandma akan punya cicit lagi dan bukan hanya satu bayi tapi dua sekaligus," tegas Edgard. "Oh, Mefi, kau dengar itu? Oh, Grandma senang sekali! Grandma senang sekali! Janice ... oh, cucu Grandma ...." Elizabeth merentangkan kedua tangannya dan Janice pun langsung masuk ke dalam pelukan wanita tua itu. "Oh, cucu Grandma! Dengar ya, mulai hari ini Grandma akan selalu menyiapkan makanan sehat untukmu, Janice. Kau harus punya tenaga untuk menjaga dan melahirkan bayi kembar yang lucu itu. Haha ...." Janice hanya tertawa senang di pelukan Elizabeth dan Janice mengangguk bersemangat. Memang Janice belum sepenuhnya segar karena kehamilan kembar membuatnya begitu mudah lelah dan mengalami morning sickness parah, tapi ia begitu antusias melihat kebahagiaan semua orang. Elizabeth dan Nara pun langsung asik sendiri membayangkan anggota keluarga baru
Beberapa waktu berlalu dan Janice serta Edgard sudah kembali disibukkan dengan banyaknya kegiatan serta pekerjaan mereka. Pekerjaan Edgard makin sibuk dan makin berkembang, sedangkan Janice membantu suaminya dengan sepenuh hati sambil mengurus kedua anaknya. Namun, padatnya kegiatan mereka akhirnya membuat Janice tumbang juga. "Kau yakin tidak perlu ke dokter, Sayang? Aku tidak tega melihatmu seperti ini, apalagi aku harus ke luar kota besok," seru Edgard cemas. "Aku hanya kelelahan. Aku hanya butuh istirahat, Edgard! Sudahlah, tidak usah cemas!" Janice terus menenangkan Edgard sampai Edgard pun akhirnya pasrah. Namun, saat Edgard ke luar kota, Janice mulai mengalami mual-mual dan gejala yang mencurigakan bagi Nara. "Cobalah melakukan tespek, Janice! Ibu rasa kau sedang hamil." "Ah, tidak, Ibu. Aku hanya kelelahan, tidak apa." Janice berdebar mendengar kemungkinan ia hamil, tapi rasa trauma kehilangan janinnya masih membuatnya takut kecewa kalau ternyata ia tidak hamil. Jani
"Cheers!" Edgard dan Janice bersulang malam itu setelah menikmati makan malam romantis di restoran resort. Mereka pun tidak berhenti saling menatap dan melemparkan senyum. Setelah sepanjang sore berjalan bergandengan tangan menyusuri resort, mereka pun begitu kelaparan sampai Janice makan begitu banyak. "Bagaimana rasa winenya, Sayang?" "Hmm, ada rasa manis tapi ada pahitnya juga." "Kau menyukainya?" "Hmm, tidak. Tapi aku mau meminumnya sedikit lagi. Apa ini tidak membuat mabuk?" "Tidak, Sayang. Kecuali kau minum satu botol. Haha!" Edgard hanya tertawa mendengarnya. "Lagipula kalau kau mabuk, kau aman bersamaku, Sayang."Janice pun tertawa lebar mendengarnya dan terus meneguk winenya sambil memejamkan matanya. "Hmm, apa acara kita setelah ini, Edgard?" Edgard menaikkan alis mendengarnya. "Acara kita? Apa yang bisa kita lakukan di malam hari, Sayang? Haha, tentu saja berdua di kamar, bahkan mungkin kita tidak akan keluar sampai besok siang." "Astaga, Edgard! Kau membuatku me