Jantung Miriam masih memacu kencang saat ia berlari begitu cepat dengan sepatu hak tingginya. Suara para polisi terus berteriak memanggilnya, namun Miriam mengabaikannya dan terus berlari.Hingga tidak lama kemudian, sebuah mobil itu tiba di sampingnya dan kaca mobil itu terbuka. Miriam pun menahan napasnya sejenak melihat seorang pria yang menyetir di sana. "Masuklah ke mobil!" titah pria itu sambil membuka pintu mobilnya. Untuk sesaat, Miriam masih mematung sampai akhirnya suara itu terdengar lagi. "Masuk kubilang, Ibu! Ibu mau dipermalukan seperti ini, hah? Ibu mau tertangkap oleh Kak Edgard dan para polisi itu?"Dan Miriam pun langsung gemetar sambil menelan salivanya. "D-Devan?" "Masuk, Ibu!" geram Devan. Dua polisi yang tadinya di belakang pun sudah kembali berlari mengejar Miriam. "Berhenti di sana!" teriak polisi itu. Miriam pun begitu panik sampai akhirnya ia pun masuk ke mobil dengan cepat dan Devan pun langsung melajukan mobilnya dengan cepat juga pergi dari sana.
"Sial, ke mana Devan membawa Tante Miriam?" Edgard masih melajukan mobilnya mengikuti mobil Devan yang sudah melaju jauh di depan, namun Edgard mengernyit saat ia merasa mengenali jalan yang ia lewati. Untuk sesaat, Edgard berpikir keras, ke mana Devan akan membawa Miriam? Apa ke kantor polisi? Atau ke mana? Edgard tahu Devan adalah pria yang bijak dan ia selalu memutuskan semuanya dengan dewasa. Edgard pun berharap dugaannya ini tidak salah dan Devan benar-benar membawa Miriam ke kantor polisi. Namun, Edgard tetap tidak bisa melepaskan mobil Devan begitu saja sampai ia memastikan kalau Devan benar-benar membawa Miriam ke sana. Edgard pun menginjak gasnya makin kencang dan makin fokus mengejar mobil Devan saat tiba-tiba sebuah mobil menabrak mobilnya dari belakang. Brak!"Akkhh!" pekik Edgard saat tubuhnya tersentak ke depan. Edgard pun segera melihat lewat kaca spionnya dan ternyata mobil Emir kembali mengikutinya dari belakang. "Sialan! Emir lagi! Apa dia berhasil mengalahk
Beberapa polisi nampak keluar dari kantor polisi karena menerima telepon dari Edgard yang akhirnya melihat mobil Devan menuju ke kantor polisi. Namun, sialnya Edgard masih belum bisa mengejar Miriam karena Emir terus menabrak mobilnya. Bahkan Edgard harus berteriak di telepon dengan suara yang terputus-putus sampai akhirnya ponselnya malah terjatuh entah ke mana. Edgard yang akhirnya tiba di depan kantor polisi pun melihat orang-orang berlari dan langsung melajukan mobilnya ke sana. Suasana malam itu langsung begitu riuh saat para polisi mengejar Miriam sambil menodongkan senjatanya. "Berhenti, Bu Miriam! Berhenti!" "Jangan tembak! Jangan tembak! Ibu, berhenti!" teriak Devan yang masih berlari sekuat tenaga mengejar Miriam sampai begitu jauh. Air mata Devan sudah kembali berderai, begitu juga dengan air mata Miriam. Kakinya juga kembali lemas kali ini dan ia merasakan lecet serta basah di kakinya namun Miriam terus berlari dan ia tidak boleh berhenti. Devan terus memohon agar
Dor!Suara tembakan dilepaskan kembali terdengar begitu keras sampai semua polisi yang membawa senjata pun menjadi waspada. Beberapa anak buah pun kembali menghentikan aktivitasnya sejenak saat mendengar pekikan Miriam di sana dan mereka pun menoleh ke arah sumber suara. Untuk sesaat, suasana nampak begitu hening saat akhirnya timah panas itu melesat dan menembus tubuh seseorang di sana.Edgard sendiri pun membelalak saat menerima pelukan dari Devan yang sudah lemas di hadapannya. "Devan ... Devan ...," panggil Edgard dengan mata yang membelalak dan jantung yang berdebar kencang. "Kak Edgard ... Kak Edgard ...," lirih Devan yang kakinya sudah tidak sanggup berdiri tegak. Devan begitu panik melihat Miriam menodongkan senjata dan akan menembak Edgard. Tanpa pikir panjang, Devan pun segera berbalik dan berlari ke arah Edgard yang masih berdiri tidak jauh di belakangnya. Devan pun segera menghambur ke pelukan Edgard sampai akhirnya timah panas itu menembus punggungnya dan Miriam pu
"Mefi, perasaanku benar-benar tidak enak, Mefi! Aku takut terjadi sesuatu pada Miriam, anakku! Dan juga Edgard, cucuku! Mengapa keluargaku harus menjadi seperti ini ...." Elizabeth sudah meneteskan air matanya karena begitu gelisah sejak tadi. Sejak mendengar rencana Edgard yang akan menangkap Miriam, Elizabeth sama sekali tidak bisa tenang. Elizabeth terus berjalan mondar mandir sampai ia tidak berselera makan, sampai akhirnya saat ini ia hanya bisa duduk di ranjangnya dengan lemas. Mefi sendiri pun terus setia menenangkan Elizabeth dan memegangi tangan atasannya yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri itu. "Tenang, Bu Elizabeth! Tenang! Semuanya akan baik-baik saja." "Tapi perasaanku tidak enak, Mefi.""Aku tahu, Bu. Tapi kita sama-sama berdoa dan menunggu. Pak Edgard juga tidak sendiri karena ada polisi bersamanya, aku yakin semua akan baik-baik saja." Elizabeth menelan salivanya dengan air mata yang terus menetes. Jantungnya berdebar begitu kencang dan hatinya seperti t
"Edgard, bagaimana Miriam? Bagaimana Devan?" Elizabeth dan Mefi tiba di rumah sakit dengan air mata yang bercucuran. Begitu menerima telepon dari Edgard, Elizabeth langsung pingsan sampai Mefi begitu panik. Mefi pun memanggil dokter keluarga untuk memeriksa Elizabeth dan butuh waktu hampir satu jam, sebelum akhirnya Elizabeth kembali sadar dengan keadaan yang sangat lemas. Dokter meminta Elizabeth beristirahat, namun Elizabeth tidak bisa beristirahat sama sekali saat anak dan cucunya sedang meregang nyawa di rumah sakit. Dan di sinilah Elizabeth dengan langkah gontai dan wajah pucatnya menghampiri Edgard dan langsung memeluk cucunya itu. "Grandma, Grandma sudah baik-baik saja? Grandma sudah tidak apa?" tanya Edgard yang juga begitu cemas mendengar Elizabeth pingsan tadi. "Grandma tidak apa, Edgard! Grandma tidak akan mengalami apa pun sebelum Grandma mengetahui kondisi anak dan cucu Grandma ...," lirih Elizabeth sambil terus menangis. Edgard sendiri terus memeluk Elizabeth sam
Beberapa hari kembali berlalu dan kondisi Miriam bukannya membaik malah makin memburuk. Awalnya Miriam dinyatakan koma namun secara mengejutkan, kondisinya menurun dengan sendirinya sampai semua anggota keluarga pun makin sedih melihatnya. "Kita harus ikhlas. Kita harus ikhlas, Devina..Grandma juga sudah ikhlas. Grandma sudah ikhlas," seru Elizabeth yang terus memeluk Devina. Mereka diijinkan untuk terus ada di dalam ruangan Miriam karena Miriam bisa pergi sewaktu-waktu dan mereka pun tidak mau kehilangan satu detik pun bersama Miriam. Charles yang melihatnya lebih banyak diam dan hanya terus duduk di samping Miriam sambil memegangi tangan istrinya itu, sedangkan Devan juga terus bersama ayahnya dan mencoba untuk tegar, walaupun tidak dengan Devina yang masih begitu berat melepaskan Miriam. "Aku masih butuh Ibu! Aku masih butuh Ibu ...," seru Devina tanpa henti. "Aku mau Ibu kembali, Grandma! Aku mau Ibu kembali! Aku belum sempat mengucapkan apa pun padanya ...," lirih Devina yan
"Ayah, Ibu, bagaimana kabar kalian di sana?"Edgard berjongkok di sebuah jembatan yang menjorok ke laut dan menabur bunga di sana. Abu kremasi kedua orang tuanya memang dilarung ke laut dan sewaktu-waktu kalau Edgard merindukan mereka, Edgard hanya tinggal menabur bunga di laut, seperti yang ia lakukan saat ini. Air mata Edgard pun menetes karena sisa kesedihan yang masih terasa menyesakkan di hatinya, walau rasa lega juga sudah membanjiri hatinya setelah semua proses penghormatan terakhir untuk Miriam akhirnya selesai dilakukan. Harlan, pengawal Miriam yang setia akhirnya menyusul Miriam tidak lama setelah Miriam meninggal. Harlan meninggal dengan tubuh yang membiru karena kekurangan oksigen dan matanya terbuka melotot seolah ia benar-benar tersiksa dan ketakutan. Tentu saja itu cukup menakutkan untuk dilihat tapi setidaknya, Harlan sudah terbebas dari siksaan dunia. Dan Harlan pun menunjukkan kesetiaannya dengan menemani Miriam menuju ke penghakiman terakhir. Inilah karma yan
"Daphne Sayang, jangan lari!"Nara begitu gemas memanggil Daphne yang sedang asik merangkak kesana kemari bersama Denzel di sekeliling rumah. Semakin Nara mau menangkapnya, semakin Daphne merangkak kabur sambil terkikik dan berteriak. Collin dan Calista yang melihatnya sampai tertawa begitu senang melihat tingkah adik-adiknya. Nara sendiri pun akhirnya ikut tertawa dan tidak memanggil lagi. Hari ini genap satu tahun umur Daphne dan Denzel. Kedua anak kembar itu sudah begitu gemuk dan makin menggemaskan. Mereka juga sudah pintar merangkak kesana kemari, walaupun mereka belum mulai berjalan. Tingkah kedua anak itu begitu menggemaskan sampai gelak tawa pun tidak berhenti memenuhi rumah keluarga mereka setiap harinya. "Astaga, Sayang, mengapa kau bisa merangkak sampai ke sini!" pekik Janice yang baru saja keluar dari dapur. "Ah, Ibu sudah tidak kuat mengejarnya lagi, Janice! Daphne terlalu lincah!" protes Nara. Janice pun langsung terkekeh sambil mengangkat anaknya yang sudah ber
"Semuanya perkenalkan, ini Viola, calon istriku!" Keluarga Edgard mengadakan makan malam bersama hari itu. Sejak anak Edgard lahir, Edgard memang lebih sering melakukan open house mengundang keluarganya agar rumah selalu ramai. Semua orang akan saling membantu menjaga si kembar Denzel dan Daphne sampai Janice benar-benar terbebas dari yang namanya stres dan baby blues. Sungguh, kali ini Janice memiliki support system terbaik dan Janice sangat bahagia dengan banyak berkat berlimpah dalam hidupnya. Devan pun datang malam itu sambil membawa seorang wanita yang sangat cantik, seorang wanita yang awalnya adalah asisten Devan, tapi benih-benih cinta muncul di sana dan dengan bangga, Devan memperkenalkannya pada semua. Elizabeth yang mendengarnya pun langsung memekik kegirangan. "Wah, selamat, Devan! Selamat! Setelah Edgard, akhirnya sebentar lagi kau akan menyusul, lalu Devina juga menyusul. Semua cucu Grandma akan menikah dan memberikan Grandma banyak cicit! Ini kabar bahagia, sangat
Spanduk bertuliskan "One Month Celebration of Denzel and Daphne" terbentang di pinggir kolam renang rumah Edgard dan Janice hari itu. Hiasan balon-balon yang didominasi warna biru dan merah itu pun memenuhi dinding dan sepanjang jalan di sekitar kolam renang itu. Selain itu banyak hiasan lain yang menambah meriah suasana pagi itu. Hari ini tepat satu bulan bayi kembar Janice lahir ke dunia. Bayi kembar laki-laki dan perempuan itu diberi nama Denzel William dan Daphne William. Bayi kembar yang membawa kebahagiaan bagi keluarga Edgard dan menyempurnakan keluarga mereka yang tidak lagi kecil karena keluarga inti mereka berjumlah enam orang sekarang. Edgard pun akhirnya merasakan bagaimana lelahnya menjadi orang tua baru yang mengurusi dua bayi sekaligus. Walaupun mereka memakai dua orang baby sitter baru untuk bayi kembar mereka, tapi Edgard tetap ingin tidur dengan bayi mereka. Edgard ingin menemani Janice mengurus bayi kembar mereka sekaligus menebus rasa bersalah karena dulu J
Janice terus merasa gelisah dalam tidurnya menjelang subuh hari itu. Saat melahirkan sudah tinggal menghitung hari dan Janice tidak berhenti berdebar sampai membuatnya insomnia beberapa hari ini. Janice pun masih terus gelisah sendiri sampai ia merasakan rasa aneh di bawah tubuhnya. "Apa yang lembab ini? Mengapa perutku juga terasa melilit?" gumam Janice sambil perlahan Janice bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Janice memeriksa dan ternyata ada darah di sana, tanda bahwa ia sudah waktunya melahirkan. Jantung Janice langsung memacu kencang, apalagi rasa sakit di perutnya mulai makin kencang seperti meremat perutnya. "Edgard! Edgard!" panggil Janice sambil melangkah keluar dari kamar mandi. Edgard yang tadinya masih tertidur lelap di samping Janice pun seketika langsung membuka matanya waspada. Sejak Janice hamil, Edgard selalu waspada kapan pun istrinya itu membutuhkannya sehingga hanya perlu sedikit suara untuk membuat Edgard langsung membuka matanya. "Janice, ada
When I was just a little girl ....I asked my mother, what will I be ....Will I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me ....Que sera, sera ....Whatever will be, will be ....The future's not ours to see ....Que sera, sera ....What will be, will be ....Suara Calista bernyanyi terdengar begitu merdu memenuhi ruangan serbaguna yang digunakan untuk acara pementasan sekolah hari itu. Semua orang pun langsung bertepuk tangan begitu acara selesai. Termasuk Edgard, Janice, Nara, dan Grandma Elizabeth yang ikut hadir sebagai penonton. Mereka bertepuk tangan sambil meneteskan air mata begitu bangga melihat Collin dan Calista bersama teman-teman mereka yang menampilkan pertunjukkan drama musical yang begitu indah.Para anak-anak itu berdialog dalam bahasa Inggris, mereka berinteraksi bersama, melangkah kesana kemari, menari, dan diakhiri dengan nyanyian yang begitu merdu dari Calista. Sungguh semua orang tua yang melihatnya begitu bangga pada anak-anak mereka. Nara dan El
Di umur kehamilan Janice yang memasuki lima bulan, Edgard mengajak Janice melakukan babymoon sekaligus berlibur bersama keluarga mereka. Edgard membawa serta Nara, Collin, Calista, dan pengasuh kecil mereka, berlibur ke Bali. "Karena aku tidak mau mengambil resiko, jadi kita akan pergi ke tempat yang dekat saja ya, Sayang. Aku sudah menyuruh Jefry menyiapkan semuanya dan kita tinggal menyusun barang pribadi kita saja," kata Edgard malam itu saat mereka sudah berdua di kamar. "Ya ampun, Edgard, aku sungguh tidak perlu babymoon seperti ini." Edgard tersenyum lalu menangkup kedua tangan istrinya itu. "Janice, Sayang, babymoon memang bukan merupakan keharusan, bahkan honeymoon juga bukan merupakan keharusan." "Semua pasangan akan tetap baik-baik saja tanpa honeymoon maupun babymoon." "Hanya saja bedanya, ada pasangan yang memang menginginkannya dan kalau mereka mampu, mereka akan melakukannya." "Begitu juga dengan aku, Sayang. Aku menginginkannya, menyenangkanmu dan anak-anak kita
"Kembar lagi? Grandma akan punya cicit kembar lagi?" Elizabeth memekik senang saat Edgard memberitahunya tentang kehamilan Janice. "Benar, Grandma akan punya cicit lagi dan bukan hanya satu bayi tapi dua sekaligus," tegas Edgard. "Oh, Mefi, kau dengar itu? Oh, Grandma senang sekali! Grandma senang sekali! Janice ... oh, cucu Grandma ...." Elizabeth merentangkan kedua tangannya dan Janice pun langsung masuk ke dalam pelukan wanita tua itu. "Oh, cucu Grandma! Dengar ya, mulai hari ini Grandma akan selalu menyiapkan makanan sehat untukmu, Janice. Kau harus punya tenaga untuk menjaga dan melahirkan bayi kembar yang lucu itu. Haha ...." Janice hanya tertawa senang di pelukan Elizabeth dan Janice mengangguk bersemangat. Memang Janice belum sepenuhnya segar karena kehamilan kembar membuatnya begitu mudah lelah dan mengalami morning sickness parah, tapi ia begitu antusias melihat kebahagiaan semua orang. Elizabeth dan Nara pun langsung asik sendiri membayangkan anggota keluarga baru
Beberapa waktu berlalu dan Janice serta Edgard sudah kembali disibukkan dengan banyaknya kegiatan serta pekerjaan mereka. Pekerjaan Edgard makin sibuk dan makin berkembang, sedangkan Janice membantu suaminya dengan sepenuh hati sambil mengurus kedua anaknya. Namun, padatnya kegiatan mereka akhirnya membuat Janice tumbang juga. "Kau yakin tidak perlu ke dokter, Sayang? Aku tidak tega melihatmu seperti ini, apalagi aku harus ke luar kota besok," seru Edgard cemas. "Aku hanya kelelahan. Aku hanya butuh istirahat, Edgard! Sudahlah, tidak usah cemas!" Janice terus menenangkan Edgard sampai Edgard pun akhirnya pasrah. Namun, saat Edgard ke luar kota, Janice mulai mengalami mual-mual dan gejala yang mencurigakan bagi Nara. "Cobalah melakukan tespek, Janice! Ibu rasa kau sedang hamil." "Ah, tidak, Ibu. Aku hanya kelelahan, tidak apa." Janice berdebar mendengar kemungkinan ia hamil, tapi rasa trauma kehilangan janinnya masih membuatnya takut kecewa kalau ternyata ia tidak hamil. Jani
"Cheers!" Edgard dan Janice bersulang malam itu setelah menikmati makan malam romantis di restoran resort. Mereka pun tidak berhenti saling menatap dan melemparkan senyum. Setelah sepanjang sore berjalan bergandengan tangan menyusuri resort, mereka pun begitu kelaparan sampai Janice makan begitu banyak. "Bagaimana rasa winenya, Sayang?" "Hmm, ada rasa manis tapi ada pahitnya juga." "Kau menyukainya?" "Hmm, tidak. Tapi aku mau meminumnya sedikit lagi. Apa ini tidak membuat mabuk?" "Tidak, Sayang. Kecuali kau minum satu botol. Haha!" Edgard hanya tertawa mendengarnya. "Lagipula kalau kau mabuk, kau aman bersamaku, Sayang."Janice pun tertawa lebar mendengarnya dan terus meneguk winenya sambil memejamkan matanya. "Hmm, apa acara kita setelah ini, Edgard?" Edgard menaikkan alis mendengarnya. "Acara kita? Apa yang bisa kita lakukan di malam hari, Sayang? Haha, tentu saja berdua di kamar, bahkan mungkin kita tidak akan keluar sampai besok siang." "Astaga, Edgard! Kau membuatku me