"Anda tidak diizinkan masuk, nona. Pelayan harus datang bersama tuannya," seorang ksatria penjaga pintu menggeleng menyesal menolak Ashley masuk.
Dia berada di sebuah bangunan besar, pusat komunitas kelas atas negara bagian Kailon. Dia bisa mendengar musik mengalun merdu dengan irama bersemangat dari beberapa daun jendela yang setengah terbuka. Selain itu ada para pelayan berpakaian formal yang mondar-mandir membawa nampan berisi minuman. Monalisa memang berpesta setiap Minggu. Tapi sepertinya level pesta hari ini sedikit lebih spesial dari hari lainnya. Karena biasanya penjagaannya tidak terlalu ketat. Ashley menggigit bibirnya ragu. Apakah itu artinya ada pangeran di sana? Dia tidak ingin ada kericuhan yang tidak perlu. Bukan berarti dia merasa percaya diri atau apa. Masalahnya adalah kutukan yang dibawanya—selalu berusaha membuatnya bertemu dengan pangeran. Tapi Ashley sudah dua puluh dua tahun hidup dengan kutukan itu dan terbiasa mengatasinya. Dia cukup menghindar dan tidak membiarkan para pangeran bertemu mata dengannya. Seharusnya dia akan baik-baik saja. Dia harus memikirkan tantangan terbesarnya saat ini—sebagai pelayan andalan Monalisa. Surat itu harus dibaca olehnya. Apapun caranya. Ashley pun kembali ke kereta kudanya. Di sana sudah menunggu Bob si kusir yang berdiri sambil mengisap cerutunya bosan. Dia bukan kusir yang biasa membawa kereta kuda mewah milik keluarga Marquis. Biasanya dia bertugas mengantar para pelayan ke pasar untuk berbelanja atau keperluan remeh lainnya. Walaupun kereta kuda itu sedikit reyot dan rodanya berbunyi ketika berjalan terlalu cepat—Ashley membawa senjata rahasia di dalamnya. Seperangkat gaun pemberian Monalisa dan peralatan rias. Ashley bukan ingin bermain drama Cinderella. Dia hanya ingin menyelesaikan pekerjaannya. Ashley mengganti pakaiannya di dalam kereta kuda setelah memastikan menutup lubang kecil di kereta itu dengan kertas buram. Dia juga membawa cermin dan mendandani dirinya sendiri. Tidak perlu diakui oleh siapapun. Ashley tidak naif atau pura-pura tidak tahu kalau dia cantik. Dia mungkin lebih cantik dari perempuan manapun yang berada di sekitarnya. Aslinya dia memang berdarah bangsawan. 'Berkat' alias kutukan dari peri juga memberinya fisik luar biasa menawan. Namun Ashley berusaha keras menyembunyikannya. Alih-alih menggunakan skill make upnya untuk berias — dia malah membuat tahi lalat serta jerawat palsu di wajahnya. Dia tidak ingin tampil mencolok. Dia tidak mau dibenci karena kecantikannya atau memikat pangeran manapun dengan itu. Dia sudah kenyang dihujat dan memilih hidup sederhana tidak terlihat sampai saat ini. Namun hari ini beda urusan. Dia pelayan profesional yang harus menyelesaikan tugasnya. Atau Marquis akan kecewa dan membubuhkan nilai buruk di resumenya. Ketika Ashley keluar dari kereta kuda dengan baju dan riasan baru— Bob tercengang seakan-akan ada pencuri baru saja mengintip keretanya. "Maaf, salah kereta kuda." Ashley menyeringai pada Bob. Pria paruh baya itu tampak bingung. "Bukankah tadi Ashley—" "Saya salah masuk kereta, maafkan saya," Ashley membungkuk sebelum pergi. "Apa? Ya, baiklah mau bagaimana lagi—" Bob menyembunyikan cerutunya dan tersenyum padanya. Ashley tersenyum. Bahkan Bob pun tidak mengenalinya. Kali ini penjaga pintu tidak punya alasan apapun untuk menolaknya masuk. Dia seperti gadis bangsawan yang memegang sepucuk surat Marquis di tangannya. Ashley tidak mau berlama-lama. Dia berhasil masuk ke acara pesta kaum ningrat. Kini dia hanya harus menemukan Monalisa. Namun Ashley tidak bisa menahan dirinya untuk berdiam sejenak di tengah ruangan yang penuh orang. Bau parfum terasa menyengat di sana. Bukan berarti para pelayan menyemprotkan pewangi ke seluruh ruangan. Para ningrat itu—memercikkan parfum mahal ke seluruh sudut tubuh mereka. Tapi itu tidak terlalu mengalihkannya. Dia terpaku pada lampu hias besar yang tergantung di tengah ruangan. Bentuknya seperti matahari yang terang dengan desain abstrak namun tidak terlalu sulit dimengerti. Tirainya, seperti dilukis oleh tangan dengan ornamen rumit bernuansa negeri timur. Ashley berpikir tidak ada salahnya sedikit bersenang-senang. Dia mencicipi wine yang ditawarkan oleh pelayan. Menjadi ningrat, memang menyenangkan. Sayang, layaknya Cinderella, semua harus berakhir sebelum tengah malam. Dia memergoki sosok bertubuh sedikit subur yang memakai Tiara dan bergaun oranye terang di sana. Dia monalisa yang tampak masih bersemangat walaupun hari makin larut. "Milady," Ashley berbisik. "Apa? Aku?" Monalisa sedikit bingung. Kemudian matanya membulat dan bibirnya membuka lebar. "Oh? Ashley?!" Serunya tidak percaya. "Tunggu, apa aku salah?" Dia sendiri tidak yakin. Karena Ashley yang ada di hadapannya sekarang sangat berbeda. "Anda tahu kan kalau saya ahli merias. Ini semua hanya make up." Dia menjelaskan. "Masa sih? Lalu bulu mata ini? Dan rambut itu?" "Palsu, ini bohongan. Aku harus berdandan seperti ini agar aku bisa masuk. Marquis memaksa anda membaca ini sebelum tengah malam katanya," Ashley menjelaskan. Mereka berdua menjauh dari kerumunan dan membuka suratnya. "Astaga! Aku lupa tengah malam nanti ibu berulang tahun. Aku merencanakan pesta kejutan bersama ayah. Dia bilang aku harus pulang sebelum tengah malam. Oh ya ampun bagaimana aku bisa lupa, tapi—" Monalisa tampak ragu. "Kenapa milady?" Monalisa melirik ke arah teman-temannya yang saling berbisik antusias. "Kau tahu, ada para werewolf di pesta ini," gadis bangsawan itu berbisik. "Oh? Yang benar?" Ashley tidak terlalu tertarik. "Dan mereka sangat—tampan. Kau tahu, para pria kita tidak bisa dibandingkan dengan mereka!" Monalisa menegaskan dengan nafas memburu. "Aku ingin mencoba bicara sekali saja dengan mereka, mungkin saja salah satu dari mereka menganggapku matenya," Monalisa tertawa. "Marquis tidak akan mengizinkan anda berkencan dengan bangsa werewolf, milady," Ashley menyesal harus membangunkan Monalisa dari mimpinya. Tapi dia veteran untuk hal itu. Tuannya bisa kecewa kalau tahu kenyataan bahwa cinta tidak selalu berakhir bahagia. "Monalisa, siapa lady itu?" Seseorang bertanya. "Dia pelayan ku, sepertinya aku harus pulang lebih cepat tapi—" Monalisa tiba-tiba seperti baru mengingat sesuatu. "Oh Ashley! Bukankah kamu berasal dari Utara?" "Umm, iya milady," "Itu artinya, kamu bisa bahasa mereka. Bahasa kaum werewolf. Astaga, kau harus ikut denganku, Ashley. Bicara pada mereka sekarang." Monalisa merengek. "Itu tidak mungkin! Maksudnya aku—" "Kau mau membantahku?" Monalisa terlihat lebih seperti merajuk ketimbang menyebalkan. Sebagai nona besar dia tidak terlalu banyak menyuruh. Ashley tidak tega menolaknya. Ashley melihat ke arah yang ditunjuk oleh Monalisa. Ada sekumpulan pria yang duduk di sofa dan terlihat ekslusif. Ashley tidak melihat bedanya mereka dengan manusia lain. Hanya saja tidak banyak yang berusaha mendekati mereka. Tidak ada yang tahu identitas mereka. Kecuali beberapa pria yang tampaknya manusia normal dan diajak bicara serius dengan seperempat lusin werewolf atraktif dengan pakaian hitam formal yang menawan. "Aku sudah bilang kalau kau mau membantu," Ashley terkejut dengan betapa cepatnya Monalisa bertindak. "Dengarkan aku, Ashley, kami punya rencana." Kata Monalisa lagi serius, seakan sedang mempertaruhkan hidup dan matinya untuk ini.Lawrence mengetukkan jarinya setengah sabar sambil memegang gelas bergagang tingginya gelisah. Sepertinya rekan-rekan werewolfnya juga merasakan hal yang serupa. Terlalu banyak manusia, dia mungkin tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Tapi dia tahu kalau harus beradaptasi dan merelakan beberapa hal demi kepentingan negaranya. Di hadapannya ada beberapa orang manusia yang masih berbincang dengannya. Dia salah satu orang penting di Kailon yang punya kuasa untuk menentukan apakah mereka bersedia atau tidak bersumbangsih untuk kerajaan para werewolf. Cakar dan pedang sudah jarang digunakan. Itu hanya akan membuat para manusia takut dan balik melawan mereka. Bangsa werewolf mungkin kuat dan cukup cerdas tapi tidak cukup banyak untuk mengontrol manusia. Mereka pun mencoba mengalah dan mendekati para manusia dengan cara yang mereka sukai: bernegosiasi. Sudah berabad-abad bangsa werewolf hidup dalam keterasingan di pegunungan dan menghindari manusia. Akibatnya tidak banyak pencapaian y
Pangeran Edward dari Kailon, kini bersimpuh di hadapan si pelayan sambil memegang tangannya. Tatapannya memuja seolah tidak ada gadis lain di sana. Edward menanggalkan segala harga diri, gelar dan keangkuhannya saat ini. Ashley tersenyum pucat. Dia berada dalam masalah lagi. Kali ini, dia dikerumuni banyak orang. Lebih buruk lagi — mereka adalah para ningrat yang biasanya kerap memandang rendah pelayan sepertinya.Ashley melihat ke arah Monalisa Winthrop yang juga balas menatapnya bingung. Dia merasa iri sekaligus dikhianati tapi Ashley merasakan simpati darinya.Walaupun badannya kurus karena tidak pernah olahraga—pangeran Edward punya paras tampan. Statusnya sebagai putra mahkota Kailon juga adalah magnet ribuan gadis di negara kecil yang bersahaja itu.Padahal Ashley sudah merasa betah bekerja pada keluarga Winthrop. Tapi kenapa kutukan itu sekali lagi memaksanya terlibat dalam situasi canggung ini?"Mona, bukankah dia pelayanmu?" Salah seorang
"Aku tidak bisa mengatakannya, seperti yang tadi kubilang. Tidak akan ada yang mempercayainya," Ashley tampak lebih santai. Dia sudah diculik, apa yang bisa lebih buruk dari itu? Pria di hadapannya saat ini— mungkin benar seorang werewolf. Tapi dia tidak akan melukainya di istana raja Kailon. Walaupun mereka werewolf yang sudah menjajah setengah benua—bukan berarti mereka bebas berbuat onar di kerajaan manusia.Lawrence menjaga jaraknya. Dia berdiri sambil menggaruk dagunya dan menatap gadis itu tajam. Ashley memiliki rambut pirang keperakan yang indah dengan kulit putih yang tidak terlalu pucat.Garis wajahnya jelita, mungkin melebihi manusia lain yang pernah lawrence temui dalam hidupnya. Dia mengenakan gaun yang sedikit kebesaran yang mungkin diberikan oleh seseorang. Dia tidak terlihat seperti gadis bangsawan, walau aura dan kecantikannya mengalahkan perempuan lain di pesta tadi.Tetap saja, pangeran yang jatuh cinta pada pandangan pertama dan melamar
"Law membawa perempuan!""Benarkah? Dari klan mana?""Bukan, dia-manusia!"Lawrence tidak bisa menutup kupingnya dari obrolan antusias para werewolf. Bahkan walaupun dia tidak menggunakan kemampuan membaca pikiran-dia sudah paham akan apa yang mereka pikirkan tentang dirinya. Tapi dia tidak punya waktu untuk marah. Dia sedang sibuk mengurusi mate yang baru ditemukannya.Ashley kini duduk di hadapannya membuang wajahnya ke kiri dengan sedikit menunduk. Dia membiarkan beberapa helai rambutnya jatuh untuk menutupi wajah cantiknya yang riasannya mulai luntur. Dia berantakan saat ini serta tidak berdaya.Lawrence, menggendongnya sambil berlari. Ya, berlari. Ashley tidak salah. Kaum werewolf dibenci oleh para herbivora, mereka tidak bisa menunggang kuda dengan gagah layaknya bangsa vampir. Pria di hadapannya membawanya seakan dia seringan kapas di lengannya tanpa bicara apapun selama beberapa jam.Dia tidak menanggapi apapun protes dan pertanyaan yang Ashley lontarkan. Sesekali gadis itu me
Dragomir adalah Alpha di klannya, namun dalam tatanan kekaisaran Drakela-negara yang dibentuk oleh kaum werewolf-dia adalah seorang Beta yang selalu berada di sisi Lawrence sang raja. Sistem pemerintahan Drakela saat ini belum terlalu berbeda dengan lima puluh tahun lalu - yaitu ketika kaum werewolf masih tersebar di banyak negara dan cenderung enggan berbaur.Revolusi yang dilakukan Seorang Alpha yang memimpin Crimson Claw Pack-kelompok serigala terbesar kala itu-telah memaksa para werewolf untuk meninggalkan kenyamanan mereka dan bersatu. Tidak ada lagi pertempuran antar pack, atau perselisihan perebutan wilayah.Bangsa werewolf yang dikenal buas dan tidak suka diatur kini mulai bergerak dan membuat takut setiap negara. Namun mereka masih pemula dan menjalankan kerajaan dengan amatir. Tidak butuh waktu lama-sejak revolusi kaum werewolf-bangsa mereka menguasai hampir setengah benua. Kebanyakan adalah negara yang sengaja menentang mereka.Werewolf mahir berkelahi dan memiliki kekuatan
Ashley merasa ingin segera merendam tubuhnya dalam bak mandi air hangat untuk merontokkan segala debu yang menempel, keringat yang mengering serta tubuh yang pegal. Dia merasa kalau dia lebih lama lagi seperti ini—dia akan berubah selezat dendeng daging rusa yang diawetkan oleh garam.Ditambah lagi, mereka berada di dermaga saat ini dimana angin kencang membawa garam dan membuat seluruh tubuhnya semakin lengket. Dia tidak tahu, apakah dia bisa mendapatkan kemewahan itu. Karena di kediaman Winthrop — asal mereka menyiapkannya sendiri— pelayan sepertinya pun bisa mandi air hangat.Tapi ini adalah sebuah kapal. Kapal yang sangat besar dan masih baru, karena Ashley melihat catnya belum terkelupas dan tidak ada lumut terlihat menempel memakan kayunya secara perlahan. Rasa risihnya bertambah karena pada akhirnya Dragomir terpaksa harus menggendongnya karena hari mulai gelap.Ashley memeluk lehernya dari belakang dan Dragomir membawanya seakan dia seringan bantal bulu angsa. Dia berlari sang
Rambutnya kusut dan lembab. Noda bekas makanan dan air mata juga mengotori gaun putihnya, membuatnya lusuh dan sedikit kecokelatan. Dia tidak berpikir untuk menyisiri rambutnya atau mengganti pakaiannya. Ashley berada di titik terburuk dalam hidupnya. Dia akan diadili untuk sesuatu yang tidak dia lakukan. Matanya nanar, bibirnya kering dan gemetar. Hidungnya merah dengan pipi yang sedikit cekung karena terlalu banyak menangis. Dia kini berlutut di hadapan Lawrence suaminya yang duduk di atas singgasananya yang terhormat.Dia merasa tidak berharga dan dipermalukan. Padahal sebelumnya dia dielu-elukan sebagai Luna yang dicintai oleh rakyatnya. Ashley memberanikan diri menatap wajah suaminya yang tidak kalah berduka darinya. Dia marah, sangat marah. Namun kemarahan itu tidak membuatnya bertransformasi menjadi wujud setengah serigalanya. Dia menelan semua kesedihan itu sampai membuat tubuhnya kian melemah.Ashley menangis memandangnya tanpa bicara apapun. Sementara Lawrence memandangnya
"Apakah kamu tahu dimana tiaraku?" Itu suara Monalisa yang kini seperti biasa sedang membuka lemari luasnya lebar-lebar dan menggeledahnya panik. Dia selalu melakukannya setiap Jumat malam karena itu jadwalnya berpesta dengan para gadis bangsawan. "Apa anda tidak ingat milady? Kau menggantungnya di sini kemarin malam, anda bilang takut lupa jadi menaruhnya di sana," Ashley memberitahu sambil menyibak tirai jendela kamar luas sang putri Marquis itu- menunjukkan sebuah Tiara digantung di dekat teralisnya. "Oh ya ampun, kukira aku menghilangkannya. Pagi tadi hawanya cukup dingin jadi aku tidak membuka jendela. Kau tahu kan aku takut melihat pemandangan gelap. Seakan-akan monster atau mimpi buruk apapun bisa keluar dari sana dan menyergapku," Monalisa tampak bersyukur. "Milady, tidak ada monster di sana." Ashley menggeleng. "Ah iya, maksudnya hantu. Atau arwah gentayangan. Kalau monster sih, jika dia seorang werewolf aku bersedia saja diculik," Monalisa tertawa nakal. "Milady, hati-h