Share

Bab 2 - Pesta kerajaan

"Anda tidak diizinkan masuk, nona. Pelayan harus datang bersama tuannya," seorang ksatria penjaga pintu menggeleng menyesal menolak Ashley masuk.

Dia berada di sebuah bangunan besar, pusat komunitas kelas atas negara bagian Kailon. Dia bisa mendengar musik mengalun merdu dengan irama bersemangat dari beberapa daun jendela yang setengah terbuka. Selain itu ada para pelayan berpakaian formal yang mondar-mandir membawa nampan berisi minuman.

Monalisa memang berpesta setiap Minggu. Tapi sepertinya level pesta hari ini sedikit lebih spesial dari hari lainnya. Karena biasanya penjagaannya tidak terlalu ketat.

Ashley menggigit bibirnya ragu. Apakah itu artinya ada pangeran di sana? Dia tidak ingin ada kericuhan yang tidak perlu. Bukan berarti dia merasa percaya diri atau apa. Masalahnya adalah kutukan yang dibawanya—selalu berusaha membuatnya bertemu dengan pangeran.

Tapi Ashley sudah dua puluh dua tahun hidup dengan kutukan itu dan terbiasa mengatasinya. Dia cukup menghindar dan tidak membiarkan para pangeran bertemu mata dengannya. Seharusnya dia akan baik-baik saja.

Dia harus memikirkan tantangan terbesarnya saat ini—sebagai pelayan andalan Monalisa. Surat itu harus dibaca olehnya. Apapun caranya. Ashley pun kembali ke kereta kudanya. Di sana sudah menunggu Bob si kusir yang berdiri sambil mengisap cerutunya bosan. Dia bukan kusir yang biasa membawa kereta kuda mewah milik keluarga Marquis. Biasanya dia bertugas mengantar para pelayan ke pasar untuk berbelanja atau keperluan remeh lainnya.

Walaupun kereta kuda itu sedikit reyot dan rodanya berbunyi ketika berjalan terlalu cepat—Ashley membawa senjata rahasia di dalamnya. Seperangkat gaun pemberian Monalisa dan peralatan rias.

Ashley bukan ingin bermain drama Cinderella. Dia hanya ingin menyelesaikan pekerjaannya. Ashley mengganti pakaiannya di dalam kereta kuda setelah memastikan menutup lubang kecil di kereta itu dengan kertas buram. Dia juga membawa cermin dan mendandani dirinya sendiri.

Tidak perlu diakui oleh siapapun. Ashley tidak naif atau pura-pura tidak tahu kalau dia cantik. Dia mungkin lebih cantik dari perempuan manapun yang berada di sekitarnya. Aslinya dia memang berdarah bangsawan. 'Berkat' alias kutukan dari peri juga memberinya fisik luar biasa menawan.

Namun Ashley berusaha keras menyembunyikannya. Alih-alih menggunakan skill make upnya untuk berias — dia malah membuat tahi lalat serta jerawat palsu di wajahnya. Dia tidak ingin tampil mencolok. Dia tidak mau dibenci karena kecantikannya atau memikat pangeran manapun dengan itu. Dia sudah kenyang dihujat dan memilih hidup sederhana tidak terlihat sampai saat ini.

Namun hari ini beda urusan. Dia pelayan profesional yang harus menyelesaikan tugasnya. Atau Marquis akan kecewa dan membubuhkan nilai buruk di resumenya.

Ketika Ashley keluar dari kereta kuda dengan baju dan riasan baru— Bob tercengang seakan-akan ada pencuri baru saja mengintip keretanya.

"Maaf, salah kereta kuda." Ashley menyeringai pada Bob. Pria paruh baya itu tampak bingung.

"Bukankah tadi Ashley—"

"Saya salah masuk kereta, maafkan saya," Ashley membungkuk sebelum pergi.

"Apa? Ya, baiklah mau bagaimana lagi—" Bob menyembunyikan cerutunya dan tersenyum padanya.

Ashley tersenyum. Bahkan Bob pun tidak mengenalinya.

Kali ini penjaga pintu tidak punya alasan apapun untuk menolaknya masuk. Dia seperti gadis bangsawan yang memegang sepucuk surat Marquis di tangannya.

Ashley tidak mau berlama-lama. Dia berhasil masuk ke acara pesta kaum ningrat. Kini dia hanya harus menemukan Monalisa.

Namun Ashley tidak bisa menahan dirinya untuk berdiam sejenak di tengah ruangan yang penuh orang. Bau parfum terasa menyengat di sana. Bukan berarti para pelayan menyemprotkan pewangi ke seluruh ruangan. Para ningrat itu—memercikkan parfum mahal ke seluruh sudut tubuh mereka.

Tapi itu tidak terlalu mengalihkannya. Dia terpaku pada lampu hias besar yang tergantung di tengah ruangan. Bentuknya seperti matahari yang terang dengan desain abstrak namun tidak terlalu sulit dimengerti. Tirainya, seperti dilukis oleh tangan dengan ornamen rumit bernuansa negeri timur.

Ashley berpikir tidak ada salahnya sedikit bersenang-senang. Dia mencicipi wine yang ditawarkan oleh pelayan. Menjadi ningrat, memang menyenangkan. Sayang, layaknya Cinderella, semua harus berakhir sebelum tengah malam.

Dia memergoki sosok bertubuh sedikit subur yang memakai Tiara dan bergaun oranye terang di sana. Dia monalisa yang tampak masih bersemangat walaupun hari makin larut.

"Milady," Ashley berbisik.

"Apa? Aku?" Monalisa sedikit bingung. Kemudian matanya membulat dan bibirnya membuka lebar.

"Oh? Ashley?!" Serunya tidak percaya.

"Tunggu, apa aku salah?" Dia sendiri tidak yakin. Karena Ashley yang ada di hadapannya sekarang sangat berbeda.

"Anda tahu kan kalau saya ahli merias. Ini semua hanya make up." Dia menjelaskan.

"Masa sih? Lalu bulu mata ini? Dan rambut itu?"

"Palsu, ini bohongan. Aku harus berdandan seperti ini agar aku bisa masuk. Marquis memaksa anda membaca ini sebelum tengah malam katanya," Ashley menjelaskan.

Mereka berdua menjauh dari kerumunan dan membuka suratnya.

"Astaga! Aku lupa tengah malam nanti ibu berulang tahun. Aku merencanakan pesta kejutan bersama ayah. Dia bilang aku harus pulang sebelum tengah malam. Oh ya ampun bagaimana aku bisa lupa, tapi—" Monalisa tampak ragu.

"Kenapa milady?"

Monalisa melirik ke arah teman-temannya yang saling berbisik antusias.

"Kau tahu, ada para werewolf di pesta ini," gadis bangsawan itu berbisik.

"Oh? Yang benar?" Ashley tidak terlalu tertarik.

"Dan mereka sangat—tampan. Kau tahu, para pria kita tidak bisa dibandingkan dengan mereka!" Monalisa menegaskan dengan nafas memburu.

"Aku ingin mencoba bicara sekali saja dengan mereka, mungkin saja salah satu dari mereka menganggapku matenya," Monalisa tertawa.

"Marquis tidak akan mengizinkan anda berkencan dengan bangsa werewolf, milady," Ashley menyesal harus membangunkan Monalisa dari mimpinya. Tapi dia veteran untuk hal itu. Tuannya bisa kecewa kalau tahu kenyataan bahwa cinta tidak selalu berakhir bahagia.

"Monalisa, siapa lady itu?" Seseorang bertanya.

"Dia pelayan ku, sepertinya aku harus pulang lebih cepat tapi—" Monalisa tiba-tiba seperti baru mengingat sesuatu.

"Oh Ashley! Bukankah kamu berasal dari Utara?"

"Umm, iya milady,"

"Itu artinya, kamu bisa bahasa mereka. Bahasa kaum werewolf. Astaga, kau harus ikut denganku, Ashley. Bicara pada mereka sekarang." Monalisa merengek.

"Itu tidak mungkin! Maksudnya aku—"

"Kau mau membantahku?" Monalisa terlihat lebih seperti merajuk ketimbang menyebalkan. Sebagai nona besar dia tidak terlalu banyak menyuruh. Ashley tidak tega menolaknya.

Ashley melihat ke arah yang ditunjuk oleh Monalisa. Ada sekumpulan pria yang duduk di sofa dan terlihat ekslusif. Ashley tidak melihat bedanya mereka dengan manusia lain. Hanya saja tidak banyak yang berusaha mendekati mereka. Tidak ada yang tahu identitas mereka. Kecuali beberapa pria yang tampaknya manusia normal dan diajak bicara serius dengan seperempat lusin werewolf atraktif dengan pakaian hitam formal yang menawan.

"Aku sudah bilang kalau kau mau membantu," Ashley terkejut dengan betapa cepatnya Monalisa bertindak.

"Dengarkan aku, Ashley, kami punya rencana." Kata Monalisa lagi serius, seakan sedang mempertaruhkan hidup dan matinya untuk ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status