Singapura.
Untuk orang yang baru dirawat selama dua bulan—turun dari pesawat di terminal JetQuay CIP—terminal khusus pesawat pribadi di Bandara Changi Singapura, Attar tampak begitu sehat menjinjing tas kecilnya, berjalan ke lounge untuk menyantap makan malamnya.
Ia membuka laptopnya dan menyempatkan untuk membaca berita ditemani spaghetti bolognese dan susu putih yang diambilnya di buffet. Dua bulan tak sadarkan diri membuatnya ketinggalan banyak berita.
Hah. Attar Hardana koma, Fariz berkorban menjadi ayah? Attar harus segera menuntut orang yang telah membuat fitnah di artikel itu. Heran, mengapa banyak sekali forum yang senang membicarakan keluarga Hardana.
Tunggu.
Jika semua or
Melihat betapa takutnya Ruby kehilangan rumah ini, Attar tertawa dalam hati. Tidak sekarang, Darling. Rumah ini akan kuperoleh dan kuberikan untukmu nanti. “Untuk saat ini aku hanya ingin tidur di sini, kurasa.”“Baiklah, pilih kamarmu di mana saja,” jawab Ruby.“Di mana kamu tidur? Masih di lantai dua?”Ruby mengangguk bingung.“Aku akan pindahkan barang-barangmu ke lantai bawah,” Attar memberi keputusan. “Perutmu semakin membesar, dan aku takut terjadi sesuatu pada kehamilanmu.”Sekali lagi Ruby mengangguk. Ya, tentu saja. Alasannya pasti karena anaknya. Dalam hati Ruby keki sendiri. Lelaki ini sama sekali tidak terlihat patah hati ditinggal olehnya. Attar menghadapinya dengan santai seakan perginya Ruby tidak berpengaruh besar pada hidupnya.Ruby kembali menyibukkan dirinya mengaduk saus tiram di dalam panci. Biasanya, saat ia membelakangi suaminya, Attar akan memeluknya
Attar memecah keheningan di antara mereka. “Bagaimana kamu bisa ada di sini. Seingatku, aku memblokir kartu kredit dan rekeningku yang selama ini kamu pakai.”“Aku menjual McLaren milik Eda,” kata Ruby. “Maafkan aku, kamu pasti marah aku telah lancang menjualnya. Tapi aku tak punya pilihan selain menjualnya untuk bertahan hidup. Dan aku memilih untuk memakai rekening atas namaku sendiri.”Menjual McLaren? Oh ya. Sebelum Attar berangkat ke Singapura, kakeknya memberitahu bahwa Attar harus memberinya lima milyar sebagai tanda terima kasihnya pada sang kakek. Saat itu Attar mengira Kakek sedang mabuk, atau sedang bergelut dengan misterinya sendiri, jadi bicara ngawur begitu. Apakah uang itu diperuntukkan untuk mengganti uang Kakek yang diberikan pada Ruby?Attar tidak mengira istrinya akan menjual mobil sport yang diberikan Kakek Gun. Atau mungkin tidak. Bhismarajasa mungkin mengatur semuanya, jual-beli bohongan. Lelaki
“Tidak bisakah kamu menentukan mataku di kala aku berbohong dan berkata jujur? Aku tidak pernah tidur dengannya, di ruang kerjaku, atau di neraka mana pun.”“Mana kutahu. Kamu sudah sering membohongi aku, kan?”“Ya karena hanya itu yang ingin kamu dengar. Kamu mencurigaiku. Dan takkan pernah puas jika aku hanya menjawab ‘tidak ada apa-apa, jangan khawatir’, bukan begitu?”Ruby cemberut mendengar itu. “Setidaknya beri waktu padaku untuk berpikir,” kilahnya. “Lagipula, kamu sudah menyakitiku dengan keketusanmu. Dan akhir-akhir ini aku juga sedang dekat dengan Bhismarajasa.”“Tidak masalah.”Nada yang santai itu menambahkan kebingungan Ruby. “Kamu sama sekali tidak keberatan aku dekat dengan Bhisma?”“Tentu saja. Kenapa tidak? Dia lelaki yang baik, kan? Aku tidak bisa membenci pria yang telah menjaga istriku di saat aku tak mampu melakukannya.&
Ruby sudah mendengar berita Yongki yang menuntut Attar dan sepupunya. Di koran Sandra membeberkan rahasianya, bahwa ia tak punya hubungan dengan Attar dan hanya akan mengakui anaknya sebagai anak Fariz dan dirinya. Sedikit gamblang untuk Ruby, karena mungkin saja Kakek Hasyim mengatur skenario ini mengingat kakek Attar tidak menginginkan perceraian di antara mereka.Dan untuk kebahagiaan kakeknya, Attar tidak ingin bercerai darinya.Ruby tidak bisa menampik pikiran itu, tapi ia tidak kuasa untuk berpikir demikian mengingat kebohongan demi kebohongan dilakukan keluarga suaminya. Ia teringat pada kalimat suaminya yang begitu dingin:Kita akan bercerai, suka tidak suka cerita masa laluku tidak ada hubungannya denganmu.Tidak, sebaiknya aku tidak peduli dengan urusan ini lagi. Ruby tidak mau membebani mentalnya dengan pikiran negatif tentang suaminya. Yang terpenting sekarang adalah kehamilannya dan Eda. Itu saja. Urusan kasus suaminya dan masa lalunya yang t
Sedikit terkejut, kemudian di detik berikutnya Attar tertawa dengan penuh sesal. Kalau saat itu dia tahu caranya menangis, barangkali dia akan menunjukkan air matanya di depan istrinya. Tapi, untuk apa? Istrinya toh membela pria lain, yang membunuh singa pun belum tentu berani untuk menyelamatkan Ruby.“Well,” desah Attar sambil membersitkan darah di bagian pinggir bibirnya. “aku tahu ini adalah jawabannya.”“Jawaban apa maksudmu?” geram Ruby marah.“What’s the point of sleeping together while we don’t trust each other, huh?” sahut Attar. “Kamu menerimaku tidur denganmu karena kamu merasa itu kewajibanmu. But, don’t worry, it won’t take too long. I’m out.”Attar berjalan mendekati pintu dan sebelum ia meninggalkan istrinya, ia berkata sinis, “Sekarang giliranku untuk pergi dari kamar pasangan Hardana ini.” Kemudian ia menutup pintu dan tak lupa m
Attar beringsut dari posisi tidurnya dan meregangkan otot-ototnya. Pinggangnya terasa sakit. Itu pasti dikarenakan semalam ia hanya tidur selama satu jam saja. Setelah bertengkar dengan istrinya, dia membaca buku dengan posisi duduk, dan ketiduran dalam posisi yang sama.Ia masuk ke rumah dan mencuci piring bekasnya tadi. Hidup tanpa Mbok dan Bibi benar-benar melelahkan. Attar heran, mengapa banyak orang yang bercita-cita tinggal di luar negeri, terutama tinggal di negara yang sudah maju, di mana gaji pembantu mahal sekali. Kalau Ruby harus mengerjakan pekerjaan rumah setiap hari, dia bisa sakit. Attar tidak mau hal itu terjadi. Cukup dirinya saja yang tersiksa dengan jantung sialannya ini.Sambil mencuci piring, ia menoleh pada anaknya yang sudah siap dengan seragam barunya. Attar pangling melihatnya. Anaknya memakai kaos dengan lambang sekolahnya di bagian kiri atas, dan celana olahraga pendek berwarna hitam. Dilihat dari perspektif ini, anaknya terlihat sangat kurus
Eda terpaku di tempatnya. Dia tidak mau terlihat riang melihat Oom Bhisma walau ia ingin menyalami oom itu. Tapi melihat Papa menatapnya seolah menunggu reaksinya, Eda memilih sampai ayahnya mengatakan sesuatu.Ayahnya mengulurkan tangan untuk menggandengnya, sementara tangan yang lain menjinjing tas putranya. Mereka berjalan ke ruang depan di mana Ruby sedang bersama Bhisma di sana.“Aku akan mengantarkan Eda ke sekolahnya,” katanya dengan intonasi ketegasan dalam suaranya. Sama sekali tak mau dibantah. “Di Paterson Rd, bukan? Aku bisa lewat Kampong Bahru Rd.”“Kusarankan lewat Lower Delta saja,” sahut Bhisma. “Lebih cepat.”“Whatever, hanya beda satu-dua menit saja,” jawab Attar datar. Dalam hati Attar sebal. Bagaimana pun dia tidak buta di negara yang kecil ini. “Let’s go, Eda. Jangan sampai kamu terlambat dan mengganggu acara mamamu dan oommu, oke?”
“Aku sudah lama tidak bertemu Fariz,” sahut Ruby terus terang. “Masalahnya, dia menghilang sejak keluar dari rumah sakit.” “Mungkinkah dia kabur dengan Sandra? Karena Yongki mengeluh Sandra pergi dari rumah.” Ruby mengangkat bahu. Ya, mungkin saja mereka kabur. Fariz kabur ke Italy, Sandra ke rumahku yang dulu. Mana kutahu. Huh, orang hamil bawaannya sensi. “Aku tidak tahu,” jawab Ruby. “Jangan libatkan rasa bencimu pada suamimu. Lagipula, ini kan belum selesai. Attar belum terbukti bersalah. Katamu, dia suka memendam. Hm. Kita bisa menjadikan itu sebuah harapan?” “Kukira untuk saat ini kita tak perlu membahasnya,” Ruby memberi saran. “Sebaiknya kamu kembali ke Jakarta. Attar sudah kembali. Dia masih suamiku, dan tidak pantas menyambutmu seorang diri seperti ini.” “Ya, aku mengerti. Aku ke sini juga untuk mengucapkan salam perpisahan. Kuharap, kita tidak bertemu lagi di pengadilan.” Bhisma tersenyum sopan. “Kamu seperti adik perempuan yang tak