“Tidak bisakah kamu menentukan mataku di kala aku berbohong dan berkata jujur? Aku tidak pernah tidur dengannya, di ruang kerjaku, atau di neraka mana pun.”
“Mana kutahu. Kamu sudah sering membohongi aku, kan?”
“Ya karena hanya itu yang ingin kamu dengar. Kamu mencurigaiku. Dan takkan pernah puas jika aku hanya menjawab ‘tidak ada apa-apa, jangan khawatir’, bukan begitu?”
Ruby cemberut mendengar itu. “Setidaknya beri waktu padaku untuk berpikir,” kilahnya. “Lagipula, kamu sudah menyakitiku dengan keketusanmu. Dan akhir-akhir ini aku juga sedang dekat dengan Bhismarajasa.”
“Tidak masalah.”
Nada yang santai itu menambahkan kebingungan Ruby. “Kamu sama sekali tidak keberatan aku dekat dengan Bhisma?”
“Tentu saja. Kenapa tidak? Dia lelaki yang baik, kan? Aku tidak bisa membenci pria yang telah menjaga istriku di saat aku tak mampu melakukannya.&
Ruby sudah mendengar berita Yongki yang menuntut Attar dan sepupunya. Di koran Sandra membeberkan rahasianya, bahwa ia tak punya hubungan dengan Attar dan hanya akan mengakui anaknya sebagai anak Fariz dan dirinya. Sedikit gamblang untuk Ruby, karena mungkin saja Kakek Hasyim mengatur skenario ini mengingat kakek Attar tidak menginginkan perceraian di antara mereka.Dan untuk kebahagiaan kakeknya, Attar tidak ingin bercerai darinya.Ruby tidak bisa menampik pikiran itu, tapi ia tidak kuasa untuk berpikir demikian mengingat kebohongan demi kebohongan dilakukan keluarga suaminya. Ia teringat pada kalimat suaminya yang begitu dingin:Kita akan bercerai, suka tidak suka cerita masa laluku tidak ada hubungannya denganmu.Tidak, sebaiknya aku tidak peduli dengan urusan ini lagi. Ruby tidak mau membebani mentalnya dengan pikiran negatif tentang suaminya. Yang terpenting sekarang adalah kehamilannya dan Eda. Itu saja. Urusan kasus suaminya dan masa lalunya yang t
Sedikit terkejut, kemudian di detik berikutnya Attar tertawa dengan penuh sesal. Kalau saat itu dia tahu caranya menangis, barangkali dia akan menunjukkan air matanya di depan istrinya. Tapi, untuk apa? Istrinya toh membela pria lain, yang membunuh singa pun belum tentu berani untuk menyelamatkan Ruby.“Well,” desah Attar sambil membersitkan darah di bagian pinggir bibirnya. “aku tahu ini adalah jawabannya.”“Jawaban apa maksudmu?” geram Ruby marah.“What’s the point of sleeping together while we don’t trust each other, huh?” sahut Attar. “Kamu menerimaku tidur denganmu karena kamu merasa itu kewajibanmu. But, don’t worry, it won’t take too long. I’m out.”Attar berjalan mendekati pintu dan sebelum ia meninggalkan istrinya, ia berkata sinis, “Sekarang giliranku untuk pergi dari kamar pasangan Hardana ini.” Kemudian ia menutup pintu dan tak lupa m
Attar beringsut dari posisi tidurnya dan meregangkan otot-ototnya. Pinggangnya terasa sakit. Itu pasti dikarenakan semalam ia hanya tidur selama satu jam saja. Setelah bertengkar dengan istrinya, dia membaca buku dengan posisi duduk, dan ketiduran dalam posisi yang sama.Ia masuk ke rumah dan mencuci piring bekasnya tadi. Hidup tanpa Mbok dan Bibi benar-benar melelahkan. Attar heran, mengapa banyak orang yang bercita-cita tinggal di luar negeri, terutama tinggal di negara yang sudah maju, di mana gaji pembantu mahal sekali. Kalau Ruby harus mengerjakan pekerjaan rumah setiap hari, dia bisa sakit. Attar tidak mau hal itu terjadi. Cukup dirinya saja yang tersiksa dengan jantung sialannya ini.Sambil mencuci piring, ia menoleh pada anaknya yang sudah siap dengan seragam barunya. Attar pangling melihatnya. Anaknya memakai kaos dengan lambang sekolahnya di bagian kiri atas, dan celana olahraga pendek berwarna hitam. Dilihat dari perspektif ini, anaknya terlihat sangat kurus
Eda terpaku di tempatnya. Dia tidak mau terlihat riang melihat Oom Bhisma walau ia ingin menyalami oom itu. Tapi melihat Papa menatapnya seolah menunggu reaksinya, Eda memilih sampai ayahnya mengatakan sesuatu.Ayahnya mengulurkan tangan untuk menggandengnya, sementara tangan yang lain menjinjing tas putranya. Mereka berjalan ke ruang depan di mana Ruby sedang bersama Bhisma di sana.“Aku akan mengantarkan Eda ke sekolahnya,” katanya dengan intonasi ketegasan dalam suaranya. Sama sekali tak mau dibantah. “Di Paterson Rd, bukan? Aku bisa lewat Kampong Bahru Rd.”“Kusarankan lewat Lower Delta saja,” sahut Bhisma. “Lebih cepat.”“Whatever, hanya beda satu-dua menit saja,” jawab Attar datar. Dalam hati Attar sebal. Bagaimana pun dia tidak buta di negara yang kecil ini. “Let’s go, Eda. Jangan sampai kamu terlambat dan mengganggu acara mamamu dan oommu, oke?”
“Aku sudah lama tidak bertemu Fariz,” sahut Ruby terus terang. “Masalahnya, dia menghilang sejak keluar dari rumah sakit.” “Mungkinkah dia kabur dengan Sandra? Karena Yongki mengeluh Sandra pergi dari rumah.” Ruby mengangkat bahu. Ya, mungkin saja mereka kabur. Fariz kabur ke Italy, Sandra ke rumahku yang dulu. Mana kutahu. Huh, orang hamil bawaannya sensi. “Aku tidak tahu,” jawab Ruby. “Jangan libatkan rasa bencimu pada suamimu. Lagipula, ini kan belum selesai. Attar belum terbukti bersalah. Katamu, dia suka memendam. Hm. Kita bisa menjadikan itu sebuah harapan?” “Kukira untuk saat ini kita tak perlu membahasnya,” Ruby memberi saran. “Sebaiknya kamu kembali ke Jakarta. Attar sudah kembali. Dia masih suamiku, dan tidak pantas menyambutmu seorang diri seperti ini.” “Ya, aku mengerti. Aku ke sini juga untuk mengucapkan salam perpisahan. Kuharap, kita tidak bertemu lagi di pengadilan.” Bhisma tersenyum sopan. “Kamu seperti adik perempuan yang tak
Itu pertama kalinya Attar menolak makanan yang dibuat olehnya. Suaminya tidak menoleh padanya dan langsung berjalan ke tangga, ke atas. Barangkali dia mau mengganti bajunya dulu, Ruby berusaha meyakinkan dirinya. Sejak tadi pagi suaminya sudah penuh dengan keringat, dan mungkin ia ingin mandi dan turun untuk makan.Namun harapannya hanya sekadar harapan saja. Attar turun dengan kaos dan celana jeans. Dia tidak melirik sedikit pun ke arah meja makan, seakan-akan istrinya tidak pernah menawarinya makan.“Aku pergi dulu,” katanya sambil berjalan ke pintu depan.“Ke mana?”“Ke mana lagi? Tentu saja menjemput Eda.”“Tapi kamu belum makan,” Ruby menegurnya dengan kesal. “Makanlah barang semenit dulu. Cuaca juga tak semendung tadi. Eda sudah bisa pulang sendiri, kok.”Dahi Attar mengernyit. Ia menyadari kekeliruannya dalam bersikap. “Maafkan aku, aku sudah berjanji pada Eda
Ruby duduk di tepi tempat tidur. Menyesali perbuatannya semalam. Attar pasti tersinggung, istrinya mengutamakan nama baik orang lain. Orang yang telah menolongnya di saat Attar tak ada di sisinya. Tapi salahkah Ruby melakukannya? Jika dibiarkan terus, suaminya takkan berhenti mencerca siapa saja—terutama pria—yang membantu istrinya. Padahal Bhisma sama sekali bukan pria barbar seperti suaminya.Mengapa kita harus menikah jika kita tak bisa saling mengerti, pikirnya dengan air mata yang mulai menghujani wajahnya. Cinta ini begitu indah pada awalnya, ketika kamu meraihku dalam dekapanmu dari bayang-bayang mantan kekasihku. Namun sekarang, cintamu padaku seakan mengembang di udara, tersesat mencari jalan untuk kembali. Kembali ke hatiku, atau singgah di hati yang lain.Ruby membuka laci nakas dan mengambil kotak cincin. Nama Attar terukir di cincin emas kuning dengan bandulan kecil di tengahnya. Kenangan indah itu—tatkala Attar berlutut di depannya di te
Tak urung Ruby tersenyum membaca tulisan itu. Diliriknya jam di dinding. Sudah jam empat sore? Tak disangka tidurnya begitu pulas sampai ia tidak mendapatkan mimpi apa-apa.Pintu kamar mandi dibuka. Suaminya dengan memakai handuk kimono mengeringkan rambutnya dengan handuk. Kumis dan cambangnya sudah dicukur rapi.Ruby berusaha menunjukkan sikap biasa saja dan menaruh lagi bunga mawar itu di atas meja.“Bagaimana makan siangmu dengan Eda?” tanyanya, mencoba untuk bersikap tenang di depan suaminya. Jika tidak ada dinding besar yang membentang di antara mereka, ia pasti sudah meliuk, menggoda suaminya yang tampak segar itu untuk menyentuhnya.“Hanya makan dim sum sebentar,” sahut Attar sambil menyisir di depan meja rias. Dari pantulan kaca ia dapat melihat istrinya yang tengah memandangnya. “Lalu Eda memintaku untuk membelikanmu bunga.” Ia membalikkan tubuhnya, menghadap istrinya. “Apakah kamu suka dengan m