“Adam.” Ruby menatap mantan kekasihnya dengan air mata yang menggenangi matanya. “Kamu pernah bilang kamu selalu siap ketika aku datang padamu.”
“Kamu juga pernah bilang bukanlah masalah terikat denganku, Ruby,” Adam balik mengingatkan. “Tapi apa yang kita lihat sekarang? Kamu sudah menikah dengan pria pilihanmu, dan kembali lagi padaku setelah tahu semuanya. Padahal aku sudah memperingatkanmu, tapi apa yang kamu lakukan? Kamu menolakku, Ruby.” Ia bangkit dari duduknya.
Tangan Ruby menahan tangannya. “Jangan, jangan tinggalkan aku,” pintanya. “Maafkan aku, maafkan aku, Adam. Aku telah mengkhianati cinta kita untuk pria yang kukira lebih baik darimu. Kalau aku bisa mengulang waktu, aku akan memilihmu.”
Adam menarik tangannya. “Sudah terlambat, kan? Selain itu aku tidak sudi menerima bekasan Attar lagi.” Kemudian pria itu meninggalkannya, keluar dari rumah makan itu setelah salam dengan ibunya.
Ibu Adam menatapnya dengan prihatin, tetapi tidak bisa mela
“Itu bukan sifat jelek, aku salah menilaimu.” Ruby membisu sesaat. “Kamu hanya ingin membahagiakan ibu dan adikmu dengan tanganmu sendiri.” “Sudahlah,” kata Adam. “Sebaiknya kita lihat saja ke depan. Jujur aku lebih suka menganggapmu sebagai istri kakak sepupuku daripada mantan kekasih.” “Benarkah?” “Serius. Sudah berapa lama kita berpisah? Hampir sembilan tahun, bukan? Aku tidak mungkin menghendakimu sebagai milikku lagi. Itu mustahil, Ru, walaupun aku sangat ingin memperolehmu.” “Sekarang, aku sudah bisa masak.” Adam menoleh padanya sekilas dan tersenyum masam, terbawa pada kenangan ketika ia mengelak untuk menikah dengan wanita itu. “Maafkan aku, saat itu aku hanya ingin menusukmu agar tidak banyak berharap dariku.” “Aku tahu.” “Tapi aku rasa Lucy salah menilai jika aku masih mencintaimu. Buktinya, sampai sekarang aku masih takut dengan risiko yang kuterima jika aku merebutmu dari Attar.” “Bisa kamu sebutkan contohny
Ruby tidak menggubris mereka yang berkenalan di kala ada orang yang sedang mencoba untuk melompat dari gedung yang punya tiga puluh lima lantai ini. Yongki tidak terlihat sungguh-sungguh ingin lompat. Sekujur tubuhnya gemetaran. “Dulu suamimu suka mengajak Emilia dengan helikopternya dari gedung ini,” kata Yongki. Tangannya membelai-belai pelatuk. “Dia menawarkan dunia pada anakku. Ha. Bukan, Emilia bukan anakku… Dia sudah dinodai oleh kakeknya sendiri…” Yongki menangis. “Aku menyayangi dia seperti anakku sendiri!” “Pak Yongki, apa Bapak tidak memikirkan perasaan Sandra jika kehilangan Bapak?” Sialan. Selama ini mana aku peduli perasaan wanita yang telah merebut suamiku? Tapi, bagaimana pun, kehilangan seorang ayah bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. “Aku telah memfitnah menantuku sendiri,” sambung Yongki. Ia terus mundur, mendekati pagar besi yang hanya setinggi perutnya. “Suamimu tidak menodai kedua putriku!” Begitu melihat Ruby mendekat, Yongki menodong
Kemudian dilepaskannya pelukannya dan menghampiri Bhisma. “Aku tidak akan meneruskan tudinganku pada dua pria Hardana,” katanya. “Aku akan menjadi pria yang layak untuk dihargai oleh anak dan menantuku.” Ruby tersenyum menutupi keletihannya. Terima kasih, Ya Allah, masalah yang menghadang keluargaku berkurang. Dirasakannya seseorang menggenggam tangannya dari belakang. Adam tengah tersenyum padanya. “Penyihir,” katanya dengan nada bergurau. “Sekali lagi, kamu berkorban untuk suamimu di depanku.” “Ruby?” Mereka menoleh pada Bhisma. Yongki dan dua sekuriti sudah turun dari atap itu. “Kamu hebat,” puji Bhisma. “Aku sudah berusaha keras untuk menghentikannya, dan ketika kamu datang, dia seakan dihipnotis.” “Semua ini berkat Adam,” jawab Ruby. “Aku terinspirasi banyak darinya. Dia telah mengajarkan aku menjadi orang yang mau memikirkan perasaan orang lain saat aku terpuruk.” “Kalian… sangat dekat,” pendapat Bhisma. Adam mera
Apakah masuk angin? Ruby pernah mengalaminya ketika dada kirinya sakit lantaran masuk angin. Wajar Attar masuk angin, kan? Ia lebih banyak di luar daripada di rumah. “Kamu sakit apa?” “Hanya nyeri saja,” jawab Attar. Sebenarnya dengan obat-obatan yang diberi dokter sudah menghilangkan nyerinya. Ia hanya tidak ingin ketergantungan dengan obat-obatan, karena itu ia mencoba untuk merendam dadanya saja walaupun percuma. “Faktor usia, mungkin.” “Sudah EKG?” Hampir Attar menjawab ‘ya’ dan memberitahu hasilnya. “Hmm, tidak penting. Barangkali karena sudah lama tidak bergairah saja hingga sakit begini.” “Kristi memang cantik,” balas Ruby tanpa perasaan. “Sayang sekali kamu harus mengusirnya. Kalau aku tahu kamu akan sakit begini, aku takkan membuatnya pergi dari rumah ini.” “Oh, Sweetheart, don’t play the dutiful wife,” desis Attar. “Aku tidak akan meladeni kecemburuanmu dan menghujanimu dengan kata-kata manis.” “Begitu, ya? S
Ketika Ruby membalikkan tubuhnya, suaminya sudah tidur di balik selimut, dengkurannya yang halus terdengar. Piyamanya sudah tergeletak rapi di kursi dekat tempat tidur. Celananya ikut dilepaskannya? Alis Ruby menaik. Suaminya memang belum berubah. Ruby merebahkan dirinya di sebelah suaminya. Ia lelah sekali hari ini. Adam—Bhisma—Yongki. Mereka seperti menekan pikirannya hari ini, dan Ruby bersyukur bisa menolong Yongki yang tersesat. Pria itu tidak akan menghabiskan waktunya di akhirat, belum. Ruby tidak membayangkan perasaan Sandra jika tahu ayahnya bunuh diri karena merasa bersalah pada dirinya. Pasti akan sedih seumur hidup. Kepala Ruby terasa pusing sekali. Memejamkan mataya pun sulit. Kehamilannya memang membuatnya mudah capek. Apalagi hari ini ia makan banyak, dan muntahannya pun lebih banyak. Andai saja ia memiliki suami yang dapat menyayanginya, merawatnya tanpa mengeluh, barangkali ia tak akan stres menghadapi sakit begini. Pikirannya memutar hingga
Ia kembali tidur. Ketika ia terbangun, ia mendapati cahaya yang menyilaukan matanya hingga ia memejamkan matanya kembali. Bau ini… bau obat-obatan. Dibukanya matanya lebar-lebar dan melihat jarum infus yang menusuk tangannya. Dia berada di tempat yang asing. Tempat yang mengingatkannya pada seberkas cahaya putih yang memantul pada jasad ayahnya yang dimandikan di kamar mandi jenazah. Astaga, dia berada di rumah sakit? Ruby tidak suka berada di sini. Rumah sakit tidak pernah memberinya kenangan baik. “Damn, I hate this place,” terdengar gumam Attar. Ruby menegakkan tubuhnya dan bersandar di bantalan. Suaminya sedang melipat-lipat bajunya dan memasukkannya ke lemari. Selagi suaminya tidak menyadari ia sudah bangun, Ruby menoleh pada nakas. Terdapat kertas pada buket mawar itu. Ruby meraihnya, dan membacanya. Get well soon, my grand-daughter. Hasyim Hardana. Apa? Kakek Hasyim sepertinya sudah mulai pikun. Atau mungkin dia sudah menyayan
“You’re kidding aren’t you?” Mata Attar menyipit tidak percaya pada istrinya. “Hmm, benarkah? Kuharap begitu.” Ruby merebahkan dirinya dan mulai memejamkan matanya, dan merasakan gundangan di lengannya. “Damn you, my wife,” desis Attar. “Jangan coba menghindari pertanyaanku dengan pura-pura tidur.” Ia menepiskan lengannya dari tangan suaminya. Dengan mata terpejam ia tersenyum licik. “Itulah yang kurasakan ketika kamu mengaku tak mencintaiku, Sweetheart.” “Kalau begitu jangan membuatku penasaran begini, Ruby. Oh, aku paham sekarang. Itukah sebabnya kamu manis lagi padaku? Karena kamu tahu aku akan mati sebentar lagi, dan merasa untuk apa bercerai jika tak lama lagi kita berpisah?!” Sontak Ruby membuka matanya. “Aku sama sekali tidak berpikir begitu!” bantahnya. “Memikirkanmu akan mati dalam waktu dekat pun tidak. Dan jangan katakan hal semacam itu lagi padaku.” Tidak heran reaksi Ruby berlebihan. Kehilangan a
Attar menjemput anaknya di bandara. Anaknya, yang belum genap delapan tahun, sudah berani naik pesawat sendiri. Attar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak meninggalkan Eda sendiri, tapi Mama justru mengingatkannya, “Eda ini sepertimu. Tentu kamu masih ingat ketika kamu pergi ke Malaysia menyusul papamu, kan? Tahu-tahu Mama besok dimarahi Papa karena telah lengah menjagamu. Tapi tenang saja, Mami sudah meminta pilot pribadi kita untuk menjaganya baik-baik. Selain itu Mama mau menemani Papa dulu di rumah sakit. Biasa, cek tahunan. Jaga istrimu baik-baik, Tara. Sampaikan salam Mama pada istrimu.” Ya, masalahnya akan lain jika anaknya pergi dengan pesawat kontroversial. Untungnya Mama tidak sembrono membiarkan cucunya pergi dengan pesawat umum dengan orang-orang asing. Dari bandara mereka langsung ke rumah sakit. Di jalan Eda cerita banyak. Teman-temannya yang menyenangkan. Nilai-nilainya yang bagus. Dan sekarang dia sudah mendapat libur akhir tahun dan bisa tinggal di