(Sekar)
Aku menginjak pedal gas agar mobilku melaju lebih kencang. Lebih kencang lagi dari perkiraanku. Serasa berada di arena sirkuit, tapi tidak bertahan lama. Akhirnya kulonggarkan kakiku yang menekan pedal gas sampai mobilku memelan sendiri. Di kananku terhampar lautan luas yang bisa dilihat dari jalan raya. Akhirnya aku membelokkan setirku ke arah pantai tersebut dan memarkirkannya di dekat jalan. Aku turun dari mobil dan melempar high heels ku ke dalam mobil. Aku berlari ke arah pantai pagi itu. Terlalu pagi malah. Pukul 06.30 kurasa.
Aku berhenti melihat ombak yang bergulung cepat kemudian tertarik lagi ke tengah lautan. Anginnya menerpa rambutku yang tergerai. Hampa. Tatapanku nanar ke depan mengikuti alur gulungan ombak. Terlintas aku memikirkan mobilku yang kuparkir di belakang, apakah aku sudah menguncinya atau belum? Dan terlintas lagi, aku rasa aku tidak peduli dengan hilangnya mobil itu. Duniaku serasa runtuh. Tubuhku bergetar, dadaku sesak, dan tangisku meledak. Terpendam diantara gemuruh suara ombak dan desiran angina pantai. Entah siapa yang bisa mendengarku. Pantai ini sepi, tidak banyak pengunjungnya. Di area aku berdiri tidak ada manusia sama sekali.
Karena kakiku lemas, aku jatuh berlutut di atas pasir. Aku tertunduk lesu masih sambil menangis. Mungkin detik ini aku merasa ingin merebahkan tubuhku karena lelah menangis. Air mataku sudah sangat berusaha untuk tidak ku keluarkan sejak kemarin. Hanya dadaku saja yang sesak menahannya. Dan entah sudah berapa lama aku menangis, tiba-tiba tubuhku tertutup oleh satu bayangan.
“Aku perhatikan kamu dari jauh, ini sudah satu jam dan kamu masih saja menangis di sini?!” ujarnya. Suaranya agak meninggi. Terlihat seperti risih.
“Aku tidak mengganggumu. Ini alamiah aku ingin menangis.” Aku sebetulnya yang risih. Tangisku masih terisak-isak, yang pasti aku sudah berhenti menangis karena laki-laki ini datang. Aku mendongakkan wajahku ke atas. Tampangnya kusut, rambutnya acak-acakan mungkin karena diterpa angin dan memakai kacamata hitam. Jika dilihat dengan seksama, laki-laki ini sangat dingin.
“Kamu menggangguku tidur.” Dia menunjuk ke arah pohon kelapa yang berpondok dan di dalamnya ada dipan.
“Memangnya kamu tidur disana semalaman? Kamu yang jaga pantai ini?” Aku mencibir. Aku mencoba untuk berdiri tapi terjatuh kembali. Lututku masih lemas. Dadaku masih sesak. Laki-laki itu memang terlihat memakai sweater berwarna khaki dan setelan jeans.
Akhirnya laki-laki itu membuka kacamata hitamnya. Matanya melihatku tajam. Dia membantuku berdiri. Aku menerima bantuannya dan cepat melepaskan tangannya dan sibuk membersihkan pasir-pasir yang menempel di celana jeans yang kupakai.
“Thank’s” ucapku singkat. Aku berbalik menjauh darinya. Telapak kakiku menginjak pasir-pasir yang basah dan masih saja air mataku menetes tidak mau berhenti.
“Kamu bisa saja bunuh diri di sini.” teriak laki-laki itu.
Langkahku berhenti. Jarakku sudah 2 meter jauhnya.
“Aku bantu.” teriaknya lagi.
Kurang ajar. Siapa yang mau bunuh diri? Aku putus asa tapi tidak ada kepikiran untuk bunuh diri.
“Kita sama-sama.” Dia berteriak lagi. Kemudian dia berjalan ke arahku. “Aku semalaman memikirkan bunuh diri apa yang cocok untukku agar semua orang mengenangku dengan momen yang indah.”
“Siapa yang mau bunuh diri? Aku nggak ada niatan untuk bunuh diri.” Aku berusaha tersenyum. Mataku sembab. Mungkin ingusku juga terlihat dari balik hidungku. “Kalau mau bunuh diri, ya bunuh diri aja sendiri kenapa ajak-ajak orang?!”
Laki-laki itu menghela napas berat. Dia melepaskan sweater-nya. Tubuhnya atletis sekali dibalik kaos lengan pendeknya walaupun kaosnya agak kebesaran. Kali ini dia dekat sekali denganku. Lagi-lagi aku menjauh darinya dan berbalik kembali berjalan menjauhinya. Aku tidak suka orang asing. Pikiranku masih berada di malam itu.
“Kalau kamu nggak mau bunuh diri lalu apa?” Dia berteriak dan berusaha mengejarku.
“Bukan urusanmu. Dasar orang gila!”
“Kalau aku gila, aku saja yang bunuh diri.”
Aku berbalik lagi ke arahnya. Aku mendapatinya sudah memegang pisau lipat kecil yang siap-siap ditusukkan ke arah perutnya. Aku tidak peduli tapi adegan itu mengkhawatirkanku.
“Ada banyak yang harus kamu lakukan daripada kamu menghabisi nyawamu sendiri.”
“Oh begitu?”
Aku mengernyitkan dahi. Laki-laki ini melipat pisaunya kembali dan memasukkan ke saku jeans-nya. Maksudnya dia apa? Mau menggangguku?
“Feeling better now?”
Dia tersenyum senang. Senyumannya sangat membuatku tersentuh. Dibalik senyumannya aku bisa melihat kesedihan yang mendalam. Kenapa laki-laki ini?
“Karena kamu mengganggu tangisanku, aku agak lebih baik dari beberapa menit yang lalu.”
“Kupikir setelah menangis kamu mau bunuh diri.” tukasnya.
“Memangnya sehabis menangis diharuskan bunuh diri?”
“Jika itu yang diharuskan, mungkin aku akan ikut denganmu.”
“Baik. Terima kasih.” ucapku sopan. “Semoga hidupmu penuh suka cita, selalu senang, dan bahagia bersama orang yang kamu cintai.” Aku menunduk. Kali ini aku berharap dia tidak mengganggu atau berusaha menghentikan langkahku.
“Terima kasih juga sudah membangunku dari tidur di pondok sana.”
Aku meninggalkannya. Dia tidak memanggilku lagi. Sempat aku menoleh ke belakang dan mendapatinya menatap ombak-ombak yang bergulung lalu tertunduk lesu. Aku menyalakan mesin mobilku dan melaju seperti biasa. Kencang.
Malam harinya,
Aku memakai dress hitam. Dandananku agak terlalu berlebihan karena menutupi mataku yang bengkak dan sembab. Bahkan, aku tidak bisa memakai lensa kontak karena mataku yang pedih. Terkadang air mataku ingin keluar. Wanita yang kutunggu di restoran hotel akhirnya datang juga. Senyum yang cerah dan terlihat ramah sekali.
“Hi, Mbak Sekar. Akhirnya kita ketemu lagi ya.” sapanya. Dia mencium kedua pipiku. Parfumnya sangat menusuk hidungku. Mungkin sebagai marketing hotel dia selalu totalitas dalam penampilannya.
“Hi, Mbak Lina.”
“Mana calon suaminya?” Mata Mbak Lina mencari-cari sosok yang dia kenalnya.
Aku hanya tersenyum tidak menjawab pertanyaannya.
“Mbak begini. Pernikahan saya kan tinggal empat hari lagi. Sebelum terlambat, bagaimana kalau saya batalkan?”
Mbak Lina terkejut. Wajahnya yang penuh senyuman berubah heran. Dia tidak bertanya apa-apa.
“Jadi, saya mau membatalkan pernikahan saya hingga waktu yang tidak ditentukan. Mohon maaf sekali. Ada beberapa kendala yang harus saya hadapi.” Tampangku sudah memelas. Aku berharap Mbak Lina memberikan kelonggaran baik uang yang sudah aku berikan sebagai tanda jadi penyewaan ballroom dan yang lainnya untuk keperluan pernikahanku empat hari ke depan.
Mbak Lina menghela napas. Turut prihatin.
“Begitu ya, Mbak. Saya turut prihatin ya, Mbak.”
Mbak Lina memulai membuka tas tangannya yang lumayan besar dan mengeluarkan tab nya. Dia memperhatikan beberapa dokumen dan menunjukkannya padaku. Aku sangat senang, ternyata Mbak Lina memberikan semua uang yang sudah aku berikan padanya.
“Mbak, jangan kuatir, walaupun saya nggak jadi menikah, keluarga saya tetap datang kok dan teman-teman saya mungkin yang sudah terlanjut beli tiket ke sini tetap saya berikan menginap di hotel ini gratis.”
Mbak Lina mulai sumringah. Hatiku menangis. Disamping uang tanda jadiku kembali tapi aku harus mengorbankan uang untuk teman-teman yang sudah mau datang ke pernikahanku nanti. Setelah urusanku selesai dengan Mbak Lina, aku melangkah gontai di lobi hotel menuju lift hendak ke kamarku. Entah mengapa langkah kakiku mengembalikanku menuju restoran hotel yang ramai sekali.
Mungkin memesan minuman ide yang bagus.
Aku lapar sekali.
Atau aku harus mabuk?
Aku duduk di meja sendirian.
Seseorang membanting kamera di atas mejaku. Aku nyaris tersedak.
“Hei!” Aku menegurnya agak marah.
“Aku menunggu seseorang yang akan duduk denganmu, tapi nggak ada yang datang. Yaudah, aku yang duduk di sini.”
Laki-laki ini lagi. Kali ini dia memakai kemeja santai berwarna biru. Bersih sekali dan tidak sekusut tadi pagi.
“Kamu lagi. Seharusnya ketika aku mendoakan seseorang dan tidak berharap bertemu dengan orang itu, harusnya orang itu tidak muncul di depanku.”
Dia mengangguk-angguk.
“Oh begitu ya? Mungkin karena aku juga belum mendoakanmu?”
Aku diam. Makananku datang. Seorang waitress terlihat tersenyum ramah padanya.
“Selamat menikmati.” ucapnya lalu pergi.
Aku makan, tidak memperdulikannya. Dia melihatku, lalu melihat ke keramaian, lalu melihatku kembali.
“Kamu sendirian?” Akhirnya dia bertanya.
“Kenapa? Kamu berusaha menggodaku? Atau kamu mau mendekatiku karena mau mengambil ginjalku?”
“Terlalu biasa. Ada yang lebih luar biasa?” tanyanya menantang.
Jika aku tidak menahan emosiku. Aku sudah menyiram beer besar di depanku ke wajahnya. Sebelum aku ada niatan seperti itu, dia sudah meraih gelas beer-ku dan meneguknya hingga setengah. Aku melotot ke arahnya.
“Belum ada ide cerita?” Dia masih bertanya. Seolah-olah menunggu jawabanku.
“Kamu mau apa sih?” Aku sudah mulai risih.
“Aku bosan.”
“Lakukanlah hal-hal yang menyenangkan.”
“Aku sendirian.”
“Carilah teman.” usulku.
Dia melihatku. Sungguh menatapku yang sedang mengunyah. Mengatakan dengan matanya bahwa aku adalah temannya. Teman yang baru ditemukannya tadi di pinggir pantai. Teman yang dia pikir akan bunuh diri sehabis menangis.
“Aku rasa juga kamu sendirian?”
Aku mulai bergidik ngeri. Aku meraih pouch-ku dan meraba ponselku. Laki-laki ini aneh sekali.
“Oh, jadi aku orang jahat? Mulai terancamkah kamu?”
Dia melepas jam tangannya, menyerahkan kameranya, memberikan ponselnya yang terlihat keluaran terbaru, memberikan dompetnya yang tipis, dan membuka kalung emasnya. Aku berpikir keras. Sambil menatapnya aku melihat senyumannya yang tulus dan gayanya yang konyol. Dia masih menungguku.
Aku meraih ponselnya. Melihatnya dan membukanya. Tapi tidak berhasil.
“Kamu harus tahu passwordnya untuk membukanya. Delapan belas delapan belas.” Dia memberikan password-nya. Aku mengetiknya dan memencet beberapa nomor. Nomorku dan seketika suara di ponselku berdering. Lalu aku meraih dompet tipisnya dan memasukkannya ke dalam pouch-ku.
“Hei, buat apa kamu masukkan dompetku?”
“Jaminan.” kataku singkat.
“Ada identitas dan uangku di situ.” Dia menunjuk pouch-ku yang berada di sampingku.
Aku menghabiskan sisa beer kemudian mulai berdiri. Dia bergegas memakai jam tangannya, mengantongi kalung emasnya, dan meraih kameranya. Dia mengikutiku ke meja kasir. Dia terlihat syok melihatku mengeluarkan kartu kreditnya dan memberikan ke kasir.
“Jadi, bagaimana kalau kita mengusir kebosananmu?”
Tawarku.
***
(Sekar) “Halo.” jawabku. Waktu itu aku sibuk memilah-milah baju. “Ya, halo. Kita pergi ke pasar ya?” “Pasar?” Aku mengerutkan dahi. Mengecek make up di bawah mataku dan memasang anting-anting. “Emangnya ada yang buka? Kan udah tutup?” “Ada. Sebetulnya ada beberapa barang yang mau kubeli. Pakai baju santai saja ya!?” “Ohh…” Aku membulatkan mulutku berbentuk O sambil menggoreskan lipstick ke bibirku. “Oke deh tunggu ya.” Aku menutup sambungannya.Laki-laki ini benar menungguku di lobi. Dia memakai kaos dan celana p
(Sekar)Seseorang mengetuk pintu kencang sekali dan memencet bel berkali-kali. Padahal ini baru pukul 7 pagi. Akan aku maki-maki jika cleaning service memaksa untuk dibukakan pintu. Aku melihat siapa yang mengetuk pintu dari balik lubang pintu. Wajah Mahesa terpampang lebar tepat di depanku. Aku membukanya dengan malas. Mahesa tersenyum riang. Ketika aku melihat senyumannya, hatiku terasa bahagia. Ada untungnya juga aku mengganggunya tidur di pantai kemarin. Mahesa nyelonong masuk tanpa kusuruh. Dia membawa map warna merah.“Di luar sudah terang sekali, Sekar sayang. Kamarmu gelap seperti di gua penyamun.” Mahesa duduk di pinggiran tempat tidurku yang berantakan. Dia melihat tisu-tisu yang berserakan di lantai. “Kamu masih menangis meratapi laki-laki itu?” Mahesa terlihat mencibir.“Itu urusanku.” Aku sibuk membuka korden yang menutupi pintu balkon hotel.&l
(Sekar) Aku berdiri di depan pintu terminal kedatangan di bandara. Aku memakai kacamata hitam untuk menutupi mataku yang bengkak. Sama halnya dengan Mahesa. Dia berdiri di sebelahku dan membawa karton tebal yang besar bertuliskan “Selamat datang keluarganya Sekar, Salam Kenal.” “Aku rasa nggak usah terlalu berlebihan seperti itu. Keluargaku masih mengenaliku.” “First Impression is a must.” ujarnya cuek. Aku memperhatikan satu per satu orang-orang yang keluar. Awalnya aku melihat Kamila, adikku keluar, disebelahnya ada Reni dan dibelakangnya diikuti oleh kedua orang tuaku. “Itu mereka?” tanya
Episode 5 – Pernikahan di Sore Hari (Sekar) Pukul 1 siang. Reni tidak menghubungiku sama sekali setelah tahu aku akan menikah dengan Mahesa. Hari ini. Aku baru saja mulai untuk didandani. Mbak Lina mengatur semua pernikahanku. Sepertinya Mbak Lina mengenal baik Mahesa, karena Mbak Lina berada di kamarku sekarang. Menungguku atas permintaan Mahesa. “Mbak Sekar, saya cuma mau bilang beruntung sekali Mbak Sekar menikah dengan Pak Mahesa.” ujarnya tiba-tiba. “Terima kasih, Mbak.”Mahesa01.06 PMSekar sayang, aku mau bilang sesuatu ke orang tuamu
(Kayshila) Aku selalu bermimpi indah. Sayangnya, setiap aku membuka mata terbangun, aku selalu lupa apa yang sudah kuimpikan. Lucunya, mimpi indahku selalu berbanding terbalik dengan kehidupanku. Miris. Tubuhku tertutup dengan selimut tebal dan udara di dalam kamar sangat dingin sekali. Aku berniat bangun tapi tempat tidur ini nyaman sekali. Tiba-tiba aku ingat, aku telah menjadi seorang istri sekarang. Hanya satu tahun. Aku melihat jari manisku dan terduduk di pinggiran tempat tidur yang agak tinggi. Kepalaku agak pusing. Mungkin aku terlalu banyak menangis setiap hari. Betapa rapuhnya aku. Seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan, hingga aku melamun dan lamunanku buyar ketika seseorang memencet bel dengan membabi buta. Aku berlari menuju pintu dan melihat siapa yang datang melalui lubang pintu. Astaga! Kamila!&nbs
(Sekar) Hampir satu minggu aku tidur satu kamar dengan Mahesa di rumah orang tuaku. Banyak sekali kekacauan dari kehidupanku dengan Mahesa. Aku tidak bisa mendeskripsikannya. Setiap hari Mahesa selalu saja membuatku kesal. Dia selalu membuang waktu jika sedang mandi di pagi hari, tapi mandi di malam hari mungkin hanya lima menit. Kemudian dia selalu menyuruhku untuk mencuci bajunya. Mengesalkan sekali. Seharusnya bisa aku taruh di tempat laundry saja. Alasannya, dia tidak suka menggunakan mesin cuci yang dipakai orang lain yang tidak dikenalnya. Luar biasa ya! “Sekar, kemejaku yang warna biru dimana?” tanya Mahesa pukul 11 malam, sedangkan aku sedang memeriksa beberapa laporan yang selalu aku bawa pulang. Semenjak aku mengambil cuti seminggu lebih, perusahaan dalam keadaan rumit. Aku seorang Finance Execut
(Mahesa) Selama dua minggu kehidupanku dengan Sekar, aku sudah mulai terbiasa bahwa setiap malam aku melihatnya tidur dan setiap pagi aku melihatnya marah-marah. Ini adalah kehidupanku yang luar biasa. Tidak bisa kubayangkan. Mengingat selama 8 tahun ini, aku selalu hidup sendiri di apartemen di New York. Semua yang kulakukan adalah sendiri. Menjelajah dunia pun sendiri. Ada salah satu yang membuat tujuanku harus tercapai. Membuat diriku sendiri sukses dan mencari keberadaan Mama. Hari ini pekerjaanku tidak begitu banyak. Hanya rapat dengan beberapa tim desain dan marketing untuk melakukan beberapa bentuk promo kecil-kecilan untuk tes pasar. Ketika aku pulang ke Indonesia, aku memiliki ide untuk membentuk sendiri perusahaanku dari nol. Sebuah perusahaan games khas Indonesia yang bisa diundu
(Mahesa) Di dalam perjalanan pulang. Sekar langsung terdiam. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil. Aku bisa menebak, pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakannya. “Minggu ini kita bisa pindah ke apartemen?” Aku membuka pertanyaan. Memecah kesunyian. “Boleh.” “Apa barang-barangmu banyak yang mau kamu bawa?” “Baju saja beberapa. Bukannya di apartemen sudah lengkap semua!? Misalnya peralatan memasak?” “Iya sudah.”&n
(Sekar) Satu bulan kemudian, Derry terlihat sedang melamun melihat langit-langit rumah. Rumah yang direnovasi ini adalah atas namaku. Aku melihat sertifikat rumahnya, sudah berubah setahun yang lalu. Aku tidak mengetahui hal ini, karena ingatanku belum sepenuhnya pulih. Waktu kami liburan di Bali sebulan lalu, Mahesa memberitahu padaku bahwa ada sebuah rumah atas namaku dan Derry sudah merenovasi seutuhnya atas saranku. Dulu. “Apa yang lo lihat?” tanyaku yang ikutan juga memandang langit-langit rumah berwarna putih gading dengan lampu gantung yang indah. “Rumah ini…” Derry menghela napasnya. “Rumah ini adalah rumah terlama yang gue renov.
(Sekar) Aku terbangun dan membuka mataku. Perasaanku terasa bahagia dan tubuhku bugar sekali, walaupun sepertinya aku sudah tidur lama sekali. Perutku benar-benar lapar. Sebetulnya aku terbangun karena mendengar suara Mahesa yang berisik sekali. “Apa? Apa kamu nggak bisa ke selatan sebentar untuk mengecek?” Aku mengerutkan dahiku. Menajamkan pendengaranku dan otakku masih berpikir keras. “Marcel!!! Bisa nggak kamu cek stok senjata di selatan???!!!” teriaknya tidak sabaran. “Kita akan mati!!!” Kali ini dia berteriak. Aku duduk di kasur. Melihat Mahesa berada di balkon, duduk di k
(Mahesa) Keesokan paginya aku bangun tiba-tiba. Terduduk di atas kasur. Aku mengingat kejadian semalam. Aku hanya ingat aku agak mabuk dan mengobrol dengan Sekar. Kepalaku agak pusing sedikit dan… aku melihat Sekar masih tertidur disampingku. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menyelimuti diriku sambil memeluk Sekar. Waktu tanganku berada di pinggangnya, dengan cepat Sekar membuang tanganku dan duduk. Seperti menghindar. “Kamu sudah bangun?” tanyaku kaget. “Aku sudah berdiri, berarti sudah bangun.” jawabnya cuek tanpa melihatku. Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia. Bad mood sekali. Apa dia masih marah karena kemarin? “Hari ini
(Sekar) Pagi ini, untuk pertama kali aku tidur dengan nyaman. Seseorang memelukku, tidak ada mimpi, aku menghirup udara yang segar, dan seseorang memainkan rambutku. Mahesa. Aku ingat aku tidur semalam dengan Mahesa. Aku tidur duluan ketika Mahesa mandi. Aku membuka mataku pelan. Wajah Mahesa pertama kali yang kulihat. Dia menatapku lekat sekali sambil memainkan rambutku. “Aku membangunkanmu?” tanyanya pelan. Dia tersenyum sedikit. “Tidurlah lagi. Aku bisa menunggumu bangun.” ujarnya lagi. Aku menyipitkan mataku. Dia membungkusku dengan selimut tebal dan dia berada di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuhku. “Kamu mau ke kan
(Sekar) Di dalam mimpiku, aku benar-benar jelas melihat wajah Mahesa. Seorang pria yang ternyata bersamaku di pantai. Pantai yang sama ketika aku pertama kali dibawa oleh Mahesa. Deburan ombaknya, benar-benar mengingatkanku pertama kali dimana ketika aku bertemu dengan Mahesa waktu itu. Adegan demi adegan, aku mengingatnya. Sampai pada akhirnya, berpindah pada adegan ketika aku berada di rumah sakit. Bagian ini aku tidak ingat. Aku hanya melihat sebuah janin yang terdapat di layar bersama Mahesa. Apakah aku pernah memiliki anak? Seketika saja air mataku jatuh. Waktu itu aku merasakan seseorang menghapus air mataku dan aku tersadar dari tidurku. “Kamu menangis?” tanyanya. “Kamu kenapa di sini?” 
(Sekar) Tanganku terasa basah dan lembab. Ternyata handuk kecil yang ada di pelipis Mahesa terjatuh. Aku tidak tidur pulas kali ini. Selalu terjaga. Jadi ketika ada sesuatu yang bergerak atau mendengar suara, aku langsung membuka mataku. Aku mengambil handuk itu dan ternyata Mahesa menoleh ke arahku. Membuka matanya. “Sekar…” panggilnya lemah dan serak. “Ya?” “Dimana air? Aku haus.” Dia melihat meja di sampingnya. Aku meletakkan air minum di meja kecil dekat sofa. Aku bergegas mengambilnya dan memberikannya pada Mahesa. Mahesa membaringkan tubuhnya kembali.&
(Mahesa) Darius menggiring kami ke ruang kerjanya. Aku sebetulnya baru datang lagi ke rumah ini. Setahuku Rosa sudah tidak tinggal di sini karena dirinya kecewa dengan Darius yang berani menjebloskan dua anak kandungnya ke penjara. Walaupun katanya asisten rumah tangga di rumah ini, Rosa terkadang menyempatkan diri beberapa hari untuk pulang. Tetapi memang hubungan Rosa dan Darius sepertinya tidak bisa membaik kembali. Jadi, rumah ini terasa sepi sekali. Hubunganku dengan Darius membaik, bahkan diluar ekpektasi aku benar-benar berperan seperti anaknya. Kadang aku agak gugup jika harus memanggilnya ‘Papa’. Foto keluarga yang dipajang Darius di depan ruang tamu masih terpajang di dinding dengan gagah. Walaupun foto keluarga tersebut diambil sekitar beberapa tahun yang lalu ketika aku be
(Mahesa) Aku, Kiano, dan Derry yang sengaja datang ke kantorku menonton rekaman cctv yang ada di dalam ruang kerjaku. Kiano dan Derry mematung. “Di…dia bisa buka brankas lo? Apa dia tahu kodenya?” tanya Derry. “Semua kode dan password yang Mahesa punya itu tanggal, bulan, dan tahun pernikahan.” Kiano menjawab pertanyaan Derry yang ditujukan padaku. Aku menghela napas panjang. Beranjak dari kursi kerjaku. Aku membanting tubuhku ke sofa yang agak keras. Memandang brankas sialan itu. Sekar sudah hampir 5 jam tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati dan otomatis aku tidak bisa melihatnya kapan pemberhentian terakhirnya.&nbs
(Sekar) “Halo.” “Kamu dimana?” “Di jalan. Mau pulang.” jawab Mahesa. Suaranya agak jauh. Mungkin dia menggunakan mode speaker. “Kenapa?” “Aku mau ambil sesuatu di apartemenmu.” Aku menyandarkan tubuhku di depan pintu apartemen. “Jadi aku butuh password kunci pintunya.” “Kamu datang sendiri? Ini sudah jam setengah dua belas malam.” Mahesa heran. “Berapa?” Telunjukku sudah siap untuk memencet tombolnya.&nb