Share

Eps. 6 - Masuk ke Jebakan Mahesa

Author: Andrea Luna
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

(Kayshila)

          Aku selalu bermimpi indah. Sayangnya, setiap aku membuka mata terbangun, aku selalu lupa apa yang sudah kuimpikan. Lucunya, mimpi indahku selalu berbanding terbalik dengan kehidupanku. Miris. Tubuhku tertutup dengan selimut tebal dan udara di dalam kamar sangat dingin sekali. Aku berniat bangun tapi tempat tidur ini nyaman sekali. Tiba-tiba aku ingat, aku telah menjadi seorang istri sekarang. Hanya satu tahun. Aku melihat jari manisku dan terduduk di pinggiran tempat tidur yang agak tinggi. Kepalaku agak pusing. Mungkin aku terlalu banyak menangis setiap hari. Betapa rapuhnya aku. Seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan, hingga aku melamun dan lamunanku buyar ketika seseorang memencet bel dengan membabi buta.

          Aku berlari menuju pintu dan melihat siapa yang datang melalui lubang pintu. Astaga! Kamila!

          Aku membangunkan Mahesa yang menutup telinganya dengan bantal sewaktu bel pintu terdengar nyaring dari ruang tamu hotel.

          “Mahesa! Bangun.” Aku membangunkan Mahesa dengan suara berbisik tapi agak besar.

          “Hmmm…”

          “Bangun! Cepat pindah ke tempat tidur.”

          “Kenapa sih?” tanyanya masih menutup mata.

          “Kamila datang!”

          Mahesa membuka matanya dengan cepat.

          “Cepat pindah ke tempat tidur.”

          Aku menarik bantal dan selimutnya ke kamar dan melemparnya ke tempat tidur. Mahesa dengan malas dan berjalan ke arah tempat tidur.

          “Aduh cepetan!!!!” panikku.

          Mahesa dengan santai merebahkan tubuhnya ke tempat tidur dan tertidur lagi di bawah selimut.

          Dengan cepat aku membuka pintu. Wajah Kamila mulai sebal.

          “Lama banget sih.” Kamila langsung masuk ke kamar.

          “Tidur kali.”

          “Jam berapa ini?” Kamila menunjuk ke arah jam tangannya. “Ibu suruh bangunkan kalian berdua. Ayo sarapan ke bawah sama-sama.”

          “Ayo deh.” Aku menerima tawaran Kamila walaupun aku belum begitu lapar. Aku memakai lipstick sedikit, mengambil kacamata hitamku dan mengambil sweater-ku.

          “Loh? Mahesa nggak lo bangunin?”

          Oh iya! Aku lupa. Mahesa suamiku. Yang ada di tempat tidur itu suamiku. Aku berlari kecil menuju tempat tidur dan membangunkan Mahesa.

          Sialnya, Mahesa tidak bangun-bangun sama sekali. Hanya gumaman yang keluar dari mulutnya.

          “Mahesa! Bangun!” Aku mengambil bantalnya dan memukulkannya ke tubuhnya. Tapi Mahesa sama sekali tidak bergeming. Seperti orang mati. Aku sudah mencubitnya berkali-kali, dia hanya menggerakkan tangannya.

          “Mahesa, kalau kamu nggak mau bangun, kita cerai hari ini.” Aku membisikkan kata-kata tersebut ke telinga Mahesa. Seketika Mahesa membuka matanya. Dia menatap langit-langit dan menatapku. Wajahku penuh amarah. Susah sekali dibangunkan!

          “Sekar? Kamu mau cerai? Kenapa?” tanyanya lirih.

          “Cepat cuci muka, kita sarapan. Ayah sama Ibu sudah menunggu.” ujarku keras padanya.

          Kamila yang sedari tadi duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya langsung terkejut. Dia tahu aku berkali-kali membangunkan Mahesa sambil meng-videokan adegan kekerasanku tadi.

          “Lo bangunin pake apa?”

          “Ada deh.” Aku berdiri di tengah-tengah pintu. Menunggu Mahesa keluar dari kamar mandi. Jalannya gontai sekali. Dia mengambil sweater-nya dan kacamata hitamnya.

          “Lihat lo berdua.” celetuk Kamila.

          “Kenapa?” Mahesa melirikku. “Ada yang aneh?”

          “Klop banget. Sweater dan kaca mata hitamnya.”

          Mahesa tersenyum lebar. Merangkulku dengan mesra hingga tiba di restoran. Aku tidak tahu apakah Mahesa merasakan tanganku yang berkeringat, karena aku tidak terbiasa memegang tangannya.

          “Pasti kalian belum bangun?” tanya Ibu kepada kami.

          “Mahesa susah dibangunin, Bu.” jawabku.

          “Kamu panggil Mahesa cuma nama saja?” tanya Ibu lagi heran. Dia mulai mengerutkan dahinya.

          “Trus aku harus panggil dia apa?” Aku mencomot makanan Reni. Aku mencari-cari Reni karena tidak ada di meja makan. Lalu mataku menangkap Reni sedang mengambil minumannya.

          “Kamu kan lebih muda dari Mahesa, bisa lebih sopan sedikit dengan suamimu.”

          Astaga.

          “Ibu saja manggil Ayah kan dengan sebutan Mas.”

          Ayah mengangguk. Membenarkan.

          “Mas Mahesa ya, sayang?” Mahesa melihatku dan tersenyum welas asih.

          Rasanya semua isi perutku ingin sekali keluar.

          “Iya Bu.” Aku berdiri dan mengambil makanan. Mahesa mengikutiku.

          “Boleh juga peraturannya. Jadi aku dipanggil apa? Mas? Sayang? Honey?” Mahesa pura-pura berpikir.

          Aku memberikan senyuman indahku yang pernah ada walaupun tanpa make up. Menatap Mahesa dengan tatapan garang.

          “Mas Mahesa mau makan apa? Biar aku ambilkan.”

          “Hahaha. Memang seharusnya aku dari dulu harus menikah. Ternyata kalau punya istri bisa dilayani. Oh ada di perjanjian kita poin tiga.” Mahesa menunjukkan tiga jemarinya kepadaku. Entahlah mungkin karena kekesalanku membangunkan dia dan aku lebih kesal lagi karena dia mengejekku.

          “Cepat ambil makananmu jangan banyak tingkah!” Aku mencubit pinggang Mahesa dengan keras hingga Mahesa mengeluarkan suara berteriak seluruh restoran.

          “SEKAR SAKIT!!!” Mahesa memegang pinggangnya dan mengelus-elusnya.

          “Tuh Bu. Daritadi aku lihat Sekar kasar banget sama Mas Mahesa. Masak bangunin Mas Mahesa pakai dipukul-pukul gitu?” beritahu Kamila. Ayah dan Ibu terlalu syok untuk pengantin baru. Sedangkan Reni makan dengan santai.

          “Biarin ajalah, mereka kan seumuran.”

          “Seumuran bagaimana? Mahesa kan lebih tua.”

          “Ya mungkin Ibu kan nggak pernah lihat Sekar seperti itu dulu sama Kevin. Biarin aja, Bu. Mereka mungkin memang seperti itu.” Reni memberitahu.

          Aku menemani keluargaku liburan selama dua hari di Bali. Selalu ada yang special yang diberikan Mahesa untuk keluargaku. Sebuah liburan yang menyenangkan. Tetapi waktu itu malam terakhir, disaat keluargaku akan pulang ke Jakarta, Mahesa tidak muncul untuk makan malam.

          “Kamu kemana?” tanyaku yang kedua kalinya, karena pertanyaanku yang pertama tidak digubrisnya. Mahesa sibuk melihat laptopnya.

          “Hmm, aku sibuk. Mungkin aku baru pulang besok pagi atau siang.”

          “Apa aku harus pulang juga ke Jakarta?”

          Mahesa melihatku sebentar dan balik menatap laptopnya. Raut wajahnya kesal.

          “Tunggu aku disini.” Begitu saja. Tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya. Mahesa menutup laptopnya. Tidak ada pertanyaan sama sekali yang keluar dari mulutku walaupun banyak sekali pertanyaan yang ingin ku lontarkan ke dia. Buat apa? Aku toh tidak peduli dan mengurusi urusannya.

          Sekembalinya dari makan malam dengan keluargaku, aku mendapati Mbak Lina mencegatku untuk masuk ke lift.

          “Bu Sekar. Maaf. Saya dapat perintah dari Pak Mahesa untuk menemani Bu Sekar selama Pak Mahesa melakukan perjalanan dinas.” Aku tersenyum sungkan. Dikarenakan Mbak Lina memanggilku dengan sebutan “Bu”.

          “Kalau boleh tahu, Mahesa kemana?”

          “Singapore, Bu.”

          Apa? Singapore? Dan dia menyuruhku untuk menunggunya disini? Gila. Waktu cutiku sudah habis besok lusa.

          Aku tidak bisa menghubungi Mahesa semalaman. Sampai pesanku pun belum sampai di ponselnya. Masih menggantung. Besok paginya setelah mengantarkan keluargaku ke bandara untuk pulang ke Jakarta, mungkin langkah yang baik aku packing dan pulang ke Jakarta sendirian tanpa Mahesa. Karena rencananya adalah aku akan bulan madu dengan Mahesa. Begitu yang aku bilang dengan keluargaku. Aku terlalu buang-buang waktu di Bali.

          Sekembalinya aku ke hotel dari bandara, aku melangkahkan kakiku ke restoran untuk sarapan. Tidak ada pikiran apa-apa sewaktu aku masuk ke restoran itu. Aku sempat melihat Kevin dari kejauhan dan sayang sekali, belum sempat aku berbalik, Kevin sudah mengejarku.

          “Sekar! Tunggu Sekar!”

          Aku berjalan cepat sekali. Memencet tombol di lift dan menunggunya. Perasaanku tidak enak.

          “Sekar, I just need to talk.”

          “Aku sudah nggak ada hubungannya denganmu lagi.”

          “Aku butuh penjelasan.”

          Aku membalikkan badan ke arah Kevin. Rasanya ingin menampar wajahnya. Semua karyawan yang ada di hotel melihat kami, seakan-akan adegan ini tidak pantas ada di depan umum.

          “Tidak ada yang butuh dijelaskan.”

          Pintu lift terbuka. Aku masuk ke dalam lift dan Kevin mengikutiku. Betul-betul butuh pertolongan.

          “Sekar, aku minta maaf.”

          “Berulang kali kamu bilang maaf dan disaat menjelang pernikahan, kamu masih mau bilang maaf? Dengan wanita yang sama? Kenapa nggak nikah saja dengan wanita itu?” Tantangku.

          Aku terjebak di dalam lift yang cukup lama dengan Kevin. Dia selalu menjelaskan segala sesuatunya dengan tidak masuk akal. Aduh, kenapa kamarku di lantai paling atas?

          “Sekar sampai kapan pun aku tetap mencintaimu.”

          Pintu lift terbuka. Aku berjalan cepat menuju kamarku yang tidak terlalu jauh dari lift.

          “Bilang sama aku kalau kamu tidak mencintai laki-laki itu, Sekar.” Kevin memohon. “Kamu tidak mungkin mencintainya.”

          Aku menempelkan kunci hotel ke pintu dan pintu terbuka lebar.

          “Siapa yang tidak mencintai siapa?” tanya Mahesa dingin. Suaranya muncul tiba-tiba. Dia memperlihatkan dadanya yang bidang dan berotot. Ada tato di bagian pinggangnya sebelah kiri. Banyak burung-burung besar di sana. Aku rasa itu gambar burung camar.

          Kevin tercekat.

          “Kamu Kevin? Mau apa kamu masih mendekati istri saya?” tanya Mahesa. Suaranya memendam penuh amarah. Rahangnya mengeras. Kevin tidak membalas pertanyaan Mahesa sama sekali. Kalah telak. Aku menyembunyikan senyumanku. Kevin pergi masih dengan tatapan yang memelas tanpa berbicara apa-apa.

          “Aktingku bagus?” Mahesa merubah suaranya kembali seperti Mahesa yang kekanak-kanakan.

          “Lumayan.” Aku memujinya sedikit.

          “Hah! Kamu nggak pernah menghargai usahaku. Kenapa dia sampai mengikutimu begitu?”

          “Nekat?” Aku mengangkat bahuku. Tidak tahu. Ya mungkin karena dia masih tidak terima aku menikah dengan orang lain.

          “Senekat dia menyelingkuhimu?”

          Aku malas membahas mengenai Kevin, jadi aku tidak menjawab pertanyaan Mahesa.

          “Kapan kamu datang?” Aku balik bertanya.

          “Aku datang semua kamar bersih. Kenapa kamu packing semua baju-bajumu?” Mahesa menatapku dengan curiga. “Kamu mau kabur?”

          “Aku bertanya.” ujarku malas.

          “Aku yang bertanya duluan, sayang.”

          “Pertanyaanmu yang mana?” Aku membuka kembali koperku dan mengeluarkan beberapa pakaian.

          Mahesa melemparkan tubuhnya ke kasur.

          “Kamu ke Singapore?”

          “Kamu tahu darimana?”

          “Kenapa kamu nggak bilang ke aku kalau ke Singapore dan kamu malah bilang ke Mbak Lina?”

          Mahesa terduduk. Dia masih belum memakai bajunya. Aku risih dengan dadanya yang bidang dan perutnya yang berotot.

          “Sekar?”

          “Apa.”

          “Kamu mau kabur kan?”

          “Iya.”

          “Apa kamu nggak ingat poin tiga?”

          “Aku tanya kenapa kamu nggak bilang sama aku kalau kamu ke Singapore untuk perjalanan bisnismu? Kalau memang seperti itu aku kan bisa pulang. Cutiku terakhir besok dan aku harus masuk kantor.”

          Aku bertolak pinggang sambil menunggu jawaban dari Mahesa. Tidak ada jawaban. Akhirnya aku masuk ke kamar mandi. Aku sempat bersolek sedikit dan pergi meninggalkan Mahesa yang sedang berenang di kolam renang. Ketika perjalananku ke lift aku sempat menghubungi Mbak Lina untuk menemaniku jalan-jalan.

          Mbak Lina menyambut baik ajakanku. Dia selalu tersenyum ramah padaku.

          “Sibuk nggak, Mbak?” tanyaku ketika kami berjalan menuju parkiran.

          “Nggak, Bu.”

          “Mbak, maaf. Saya agak risih kalau Mbak Lina panggil saya Ibu.”

          Mbak Lina membuka pintu mobilnya. Dia duduk di kursi setir dengan senyuman lebar.

          “Loh, Bu Sekar sekarang kan sudah menikah. Saya belum. Lagipula Bu Sekar kan menikah dengan Bos saya, Pak Mahesa.”

          Aku masuk ke dalam mobilnya. Parfum mobilnya sungguh membuat hidungku gatal sekali. Informasi yang baru dilontarkan Mbak Lina membuatku terdiam beberapa saat. Kaget. Pasti.

          Tunggu.

          Pantas saja, waktu pernikahanku Mbak Lina yang menemaniku selalu.

          Pantas saja, setiap staf yang wara-wiri di hotel terlalu sungkan dengan Mahesa.

          Pantas saja, Mahesa dengan cepat mengembalikan uang DP mini ballroom yang  kusewa untuk pernikahanku dengan Kevin.

          Pantas saja, waktu Mama Mahesa datang, Mbak Lina sangat hormat sekali.

          Secepat kilat aku mengambil ponselku dan membuka laman browser untuk mencari di mesin pencarian nama Mahesa Elangga Putra.

Mahesa Elangga Putra adalah putra bungsu Darius Elanggasyah

Mahesa Elangga Putra baru saja pulang ke Indonesia setelah 7 tahun hidup di New York

Apakah Mahesa Elangga Putra penerus semua harta kekayaan Darius, si bos properti dan semen di Indonesia? 

Mahesa Elangga Putra menikah dengan…

Aku tidak melanjutkan bacaanku di laman browser. Bahkan berita pernikahannya pun ada di sebuah berita nasional. Apakah keluargaku tahu? Apakah teman-temanku tahu? Tiba-tiba saja pandanganku menjadi gelap.

          “Mbak Lina, maaf. Bagaimana kalau kita kembali ke hotel?”

          “Ada yang ketinggalan, Bu?”

          “Tolong Mbak, jangan panggil saya Ibu. Panggil saya seperti biasanya.” ujarku. Mulutku kering. Ketika Mbak Lina memutar balik mobilnya menuju hotel, aku turun dengan tergesa-gesa. Semua staf di hotel menatapku sungkan dan tersenyum sopan. Jadi ini masalahnya, karena Mahesa pemilik hotel?

          Aku mendobrak pintu hotel dan menutupnya dengan kencang. Mahesa yang sedang –lagi-lagi- bertelanjang dada duduk di atas kasur sambil membuka laptopnya dan menonton televisi dengan santainya.

          “Mahesa apa maksud kamu? Kamu menipuku ya?” Bombardirku.

          Mahesa yang sedang serius menatap laptop dan TV bergantian langsung kaget.

          “Ada apa sih?” Tapi dia melihat TV. Serius memperhatikan film yang ditontonnya.

          “Kamu menipuku?”

          “Menipu apa?” Mahesa heran. Tidak tahu harus menjawab apa.

          “Kamu kenapa nggak bilang ke aku kalau kamu pemilik hotel ini?”

          “Loh? Aku kan udah bilang di malam pertama kita keluar mau ke pasar. Kamunya aja yang ngga percaya.”

          Sial! Betul sekali. Dia pernah bilang. Kupikir itu bercandaannya.

          “Lalu kenapa kamu nggak jujur kalau kamu pemilik hotel dan anak bos properti?”

          “Sekar, kalau aku jujur ada dua kemungkinan. Pertama, kamu mau menikahiku karena kekayaanku, kedua kamu tidak mau menikahiku.”

          “Ya betul aku nggak bakalan menikahimu!” teriakku.

          “Waktu kamu nggak percaya aku pemilik hotel ini, aku rasa aku nggak perlu memperjelas lagi.”

          “Apa yang harus bilang sama keluargaku? Teman-temanku?”

          “Kamu malu menikah denganku?” Mahesa menaruh laptopnya dan berdiri. Aku melihat tatonya jelas. Ternyata gambar burung camarnya tampak hingga pinggangnya ke belakang.

          Aku tidak bisa menjawab.

          Iya, aku malu. Iya, bebanku terlalu berat. Aku hanya ingin membalaskan dendamku dengan Kevin tapi malah seperti ini.

          “Aku sudah bilang. Kamu wanita yang kupilih untuk mendampingiku selama satu tahun ini untuk mencapai tujuanku.”

          Suara Mahesa penuh penekanan. Tatapannya tajam. Dia mendekatiku.

          “Ketika sampai Jakarta, ajukan resign. Uang bulanan dariku lebih besar daripada gajimu. Banyak sekali pekerjaan yang harus kamu lakukan selama mendampingiku.”

          Mahesa memegang lembut daguku. Wajahku dan wajahnya dekat sekali. Sosok Mahesa kali ini membuatku merinding. Aura dominannya sangat terlihat sekali hingga bulu kudukku merinding.

*****

         

         

         

         

         

         

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Andrea Luna
Tes tes tes tes tes
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.7 - Back Home

    (Sekar) Hampir satu minggu aku tidur satu kamar dengan Mahesa di rumah orang tuaku. Banyak sekali kekacauan dari kehidupanku dengan Mahesa. Aku tidak bisa mendeskripsikannya. Setiap hari Mahesa selalu saja membuatku kesal. Dia selalu membuang waktu jika sedang mandi di pagi hari, tapi mandi di malam hari mungkin hanya lima menit. Kemudian dia selalu menyuruhku untuk mencuci bajunya. Mengesalkan sekali. Seharusnya bisa aku taruh di tempat laundry saja. Alasannya, dia tidak suka menggunakan mesin cuci yang dipakai orang lain yang tidak dikenalnya. Luar biasa ya! “Sekar, kemejaku yang warna biru dimana?” tanya Mahesa pukul 11 malam, sedangkan aku sedang memeriksa beberapa laporan yang selalu aku bawa pulang. Semenjak aku mengambil cuti seminggu lebih, perusahaan dalam keadaan rumit. Aku seorang Finance Execut

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.8 - Family Dinner

    (Mahesa) Selama dua minggu kehidupanku dengan Sekar, aku sudah mulai terbiasa bahwa setiap malam aku melihatnya tidur dan setiap pagi aku melihatnya marah-marah. Ini adalah kehidupanku yang luar biasa. Tidak bisa kubayangkan. Mengingat selama 8 tahun ini, aku selalu hidup sendiri di apartemen di New York. Semua yang kulakukan adalah sendiri. Menjelajah dunia pun sendiri. Ada salah satu yang membuat tujuanku harus tercapai. Membuat diriku sendiri sukses dan mencari keberadaan Mama. Hari ini pekerjaanku tidak begitu banyak. Hanya rapat dengan beberapa tim desain dan marketing untuk melakukan beberapa bentuk promo kecil-kecilan untuk tes pasar. Ketika aku pulang ke Indonesia, aku memiliki ide untuk membentuk sendiri perusahaanku dari nol. Sebuah perusahaan games khas Indonesia yang bisa diundu

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 9 - Tidak Tergoda, Tapi Aku Tergoda

    (Mahesa) Di dalam perjalanan pulang. Sekar langsung terdiam. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil. Aku bisa menebak, pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakannya. “Minggu ini kita bisa pindah ke apartemen?” Aku membuka pertanyaan. Memecah kesunyian. “Boleh.” “Apa barang-barangmu banyak yang mau kamu bawa?” “Baju saja beberapa. Bukannya di apartemen sudah lengkap semua!? Misalnya peralatan memasak?” “Iya sudah.”&n

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.10 - Ngambek

    (Sekar) Aku menekan ponselku berkali-kali dan mengirimkan chat ke Mahesa. Dia tidak mengangkat bahkan melihat chat-ku. Sepertinya aku akan pulang naik bus. Aku mematikan layar komputerku dan tidak sengaja memandang wallpaper foto pernikahanku. Aku memandang Mahesa sejenak. Aku melihat pulpen di depanku dan ingin kulempar layar komputerku karena ada foto Mahesa di sana. Dengan cepat aku mematikan komputer dan bergegas pulang. “Pulang, Kar?” celetuk Laras yang muncul di lorong melewati ruanganku. Dia adalah Manajer Perencanaan. Tubuhnya gemuk dan wajahnya lucu sekali. “Iya.” “Dijemput? Tumben nggak naik sua

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.11 - Mabuk

    (Mahesa) Aku melempar proposal yang sudah dipersiapkan sejak pagi oleh karyawanku. Kemurkaanku bertambah ketika salah satu game developer yang kutemui kemarin mundur. “Kalian tahu market di Indonesia itu seperti apa?!” Semua karyawanku tertunduk dan sebagian masih berani menatapku. “Di sini nggak akan ada yang mau install game yang terlalu rumit.” Aku menghela napas dan berdiri di hadapan mereka semua. “Proposal game yang kalian berikan ke saya ini sampah. Mungkin a

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.12 – Ciuman yang Semakin Intens

    (Sekar) Aku menatap laptop dan beberapa tumpukan kertas di depanku. Pokoknya tidak bisa fokus. Beberapa hari ini di dalam otakku tergambar jelas adegan aku mabuk dan menarik Mahesa untuk kucium. Sangat memalukan. Untungnya Mahesa sibuk bermain game, jadi aku juga sibuk dengan proyek keduaku. Mahesa tidak pernah menggodaku semenjak itu. Lamunanku buyar ketika ponselku berdering. “Halo.” “Dengan Ibu Sekar Arum?” tanya pria diseberang sana. Suaranya berat sekali dan berwibawa. “Iya saya.” Aku menatap layar ponsel dan menerka nomor yang menelponku.&nbs

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.13 – Perasaan yang Belum Pasti

    (Mahesa) “Baik, sampai di sini saja rapat kita. Tolong mulai hari ini kita harus bekerja lebih giat lagi. Berdoa semua akan baik-baik saja untuk peluncuran bulan depan.” ujarku memberikan kata penutup di dalam rapatku pagi itu. Aku berdiri dan diiringi tepuk tangan semua staf yang mengikuti rapat. “Bos, kita langsung pergi ketemu game developer-nya?” tanya Kiano mengikuti langkahku yang cepat. “Jam berapa?” “Sekarang lah, Bos. Mereka udah nungguin di ruangannya Marcel.” Semenjak kejadian game developer

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 14 – Ide Bagus

    (Kiano – Intermezo) Mahesa kalau sedang tidak waras selalu memberikanku banyak sekali tugas. Selesai rapat aku harus membuat beberapa rangkuman rapat yang akan disebar ke seluruh staf hotel. Pukul 4 sore, pekerjaanku baru selesai dan aku turun ke restoran di lantai bawah. Pagi hingga sore, restoran terbuka. Hanya bar saja yang ditutup. Aku duduk di bagian terluar restoran yang menghadap kolam renang dan mengeluarkan sebatang rokok dari kantong celanaku. Sebetulnya aku sudah mengurangi rokok satu tahun terakhir ini. Tapi entah kenapa ada satu batang rokok di dalam dompetku dan aku memindahkannya ke dalam kantong celana. Ketika aku menghembuskan asap pertama, aku melihat Sekar sedang berjalan di sekitar kolam. Sibuk foto beberapa pemandangan yang ada di kolam renang.&

Latest chapter

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.74 – Kegalauan Derry

    (Sekar) Satu bulan kemudian, Derry terlihat sedang melamun melihat langit-langit rumah. Rumah yang direnovasi ini adalah atas namaku. Aku melihat sertifikat rumahnya, sudah berubah setahun yang lalu. Aku tidak mengetahui hal ini, karena ingatanku belum sepenuhnya pulih. Waktu kami liburan di Bali sebulan lalu, Mahesa memberitahu padaku bahwa ada sebuah rumah atas namaku dan Derry sudah merenovasi seutuhnya atas saranku. Dulu. “Apa yang lo lihat?” tanyaku yang ikutan juga memandang langit-langit rumah berwarna putih gading dengan lampu gantung yang indah. “Rumah ini…” Derry menghela napasnya. “Rumah ini adalah rumah terlama yang gue renov.

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 73 – Cemburu

    (Sekar) Aku terbangun dan membuka mataku. Perasaanku terasa bahagia dan tubuhku bugar sekali, walaupun sepertinya aku sudah tidur lama sekali. Perutku benar-benar lapar. Sebetulnya aku terbangun karena mendengar suara Mahesa yang berisik sekali. “Apa? Apa kamu nggak bisa ke selatan sebentar untuk mengecek?” Aku mengerutkan dahiku. Menajamkan pendengaranku dan otakku masih berpikir keras. “Marcel!!! Bisa nggak kamu cek stok senjata di selatan???!!!” teriaknya tidak sabaran. “Kita akan mati!!!” Kali ini dia berteriak. Aku duduk di kasur. Melihat Mahesa berada di balkon, duduk di k

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 72 – Akhirnya

    (Mahesa) Keesokan paginya aku bangun tiba-tiba. Terduduk di atas kasur. Aku mengingat kejadian semalam. Aku hanya ingat aku agak mabuk dan mengobrol dengan Sekar. Kepalaku agak pusing sedikit dan… aku melihat Sekar masih tertidur disampingku. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menyelimuti diriku sambil memeluk Sekar. Waktu tanganku berada di pinggangnya, dengan cepat Sekar membuang tanganku dan duduk. Seperti menghindar. “Kamu sudah bangun?” tanyaku kaget. “Aku sudah berdiri, berarti sudah bangun.” jawabnya cuek tanpa melihatku. Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia. Bad mood sekali. Apa dia masih marah karena kemarin? “Hari ini

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 71 – Ketakutan

    (Sekar) Pagi ini, untuk pertama kali aku tidur dengan nyaman. Seseorang memelukku, tidak ada mimpi, aku menghirup udara yang segar, dan seseorang memainkan rambutku. Mahesa. Aku ingat aku tidur semalam dengan Mahesa. Aku tidur duluan ketika Mahesa mandi. Aku membuka mataku pelan. Wajah Mahesa pertama kali yang kulihat. Dia menatapku lekat sekali sambil memainkan rambutku. “Aku membangunkanmu?” tanyanya pelan. Dia tersenyum sedikit. “Tidurlah lagi. Aku bisa menunggumu bangun.” ujarnya lagi. Aku menyipitkan mataku. Dia membungkusku dengan selimut tebal dan dia berada di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuhku. “Kamu mau ke kan

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 70 – Mau Cerai ?

    (Sekar) Di dalam mimpiku, aku benar-benar jelas melihat wajah Mahesa. Seorang pria yang ternyata bersamaku di pantai. Pantai yang sama ketika aku pertama kali dibawa oleh Mahesa. Deburan ombaknya, benar-benar mengingatkanku pertama kali dimana ketika aku bertemu dengan Mahesa waktu itu. Adegan demi adegan, aku mengingatnya. Sampai pada akhirnya, berpindah pada adegan ketika aku berada di rumah sakit. Bagian ini aku tidak ingat. Aku hanya melihat sebuah janin yang terdapat di layar bersama Mahesa. Apakah aku pernah memiliki anak? Seketika saja air mataku jatuh. Waktu itu aku merasakan seseorang menghapus air mataku dan aku tersadar dari tidurku. “Kamu menangis?” tanyanya. “Kamu kenapa di sini?” 

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 69 – Dia Suamiku?

    (Sekar) Tanganku terasa basah dan lembab. Ternyata handuk kecil yang ada di pelipis Mahesa terjatuh. Aku tidak tidur pulas kali ini. Selalu terjaga. Jadi ketika ada sesuatu yang bergerak atau mendengar suara, aku langsung membuka mataku. Aku mengambil handuk itu dan ternyata Mahesa menoleh ke arahku. Membuka matanya. “Sekar…” panggilnya lemah dan serak. “Ya?” “Dimana air? Aku haus.” Dia melihat meja di sampingnya. Aku meletakkan air minum di meja kecil dekat sofa. Aku bergegas mengambilnya dan memberikannya pada Mahesa. Mahesa membaringkan tubuhnya kembali.&

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 68 – Gambaran Itu II

    (Mahesa) Darius menggiring kami ke ruang kerjanya. Aku sebetulnya baru datang lagi ke rumah ini. Setahuku Rosa sudah tidak tinggal di sini karena dirinya kecewa dengan Darius yang berani menjebloskan dua anak kandungnya ke penjara. Walaupun katanya asisten rumah tangga di rumah ini, Rosa terkadang menyempatkan diri beberapa hari untuk pulang. Tetapi memang hubungan Rosa dan Darius sepertinya tidak bisa membaik kembali. Jadi, rumah ini terasa sepi sekali. Hubunganku dengan Darius membaik, bahkan diluar ekpektasi aku benar-benar berperan seperti anaknya. Kadang aku agak gugup jika harus memanggilnya ‘Papa’. Foto keluarga yang dipajang Darius di depan ruang tamu masih terpajang di dinding dengan gagah. Walaupun foto keluarga tersebut diambil sekitar beberapa tahun yang lalu ketika aku be

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 67 – Ketemu  

    (Mahesa) Aku, Kiano, dan Derry yang sengaja datang ke kantorku menonton rekaman cctv yang ada di dalam ruang kerjaku. Kiano dan Derry mematung. “Di…dia bisa buka brankas lo? Apa dia tahu kodenya?” tanya Derry. “Semua kode dan password yang Mahesa punya itu tanggal, bulan, dan tahun pernikahan.” Kiano menjawab pertanyaan Derry yang ditujukan padaku. Aku menghela napas panjang. Beranjak dari kursi kerjaku. Aku membanting tubuhku ke sofa yang agak keras. Memandang brankas sialan itu. Sekar sudah hampir 5 jam tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati dan otomatis aku tidak bisa melihatnya kapan pemberhentian terakhirnya.&nbs

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 66 – Kebenaran Terungkap

    (Sekar) “Halo.” “Kamu dimana?” “Di jalan. Mau pulang.” jawab Mahesa. Suaranya agak jauh. Mungkin dia menggunakan mode speaker. “Kenapa?” “Aku mau ambil sesuatu di apartemenmu.” Aku menyandarkan tubuhku di depan pintu apartemen. “Jadi aku butuh password kunci pintunya.” “Kamu datang sendiri? Ini sudah jam setengah dua belas malam.” Mahesa heran. “Berapa?” Telunjukku sudah siap untuk memencet tombolnya.&nb

DMCA.com Protection Status