Share

Eps.8 - Family Dinner

Penulis: Andrea Luna
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

(Mahesa)

          Selama dua minggu kehidupanku dengan Sekar, aku sudah mulai terbiasa bahwa setiap malam aku melihatnya tidur dan setiap pagi aku melihatnya marah-marah. Ini adalah kehidupanku yang luar biasa. Tidak bisa kubayangkan. Mengingat selama 8 tahun ini, aku selalu hidup sendiri di apartemen di New York. Semua yang kulakukan adalah sendiri. Menjelajah dunia pun sendiri. Ada salah satu yang membuat tujuanku harus tercapai. Membuat diriku sendiri sukses dan mencari keberadaan Mama.

          Hari ini pekerjaanku tidak begitu banyak. Hanya rapat dengan beberapa tim desain dan marketing untuk melakukan beberapa bentuk promo kecil-kecilan untuk tes pasar. Ketika aku pulang ke Indonesia, aku memiliki ide untuk membentuk sendiri perusahaanku dari nol. Sebuah perusahaan games khas Indonesia yang bisa diunduh seluruh kalangan. Aku banyak memperkerjakan oang-orang handal dalam pembuatan games. Ini hanya tahap awal, aku sedang sibuk mencari investor dan keuangan di perusahaanku agak carut marut karena aku belum menemukan orang yang pas untuk memegang keuangan perusahaan kecilku. Nampaknya aku bisa memperkerjakan Sekar.

          Tepat pukul 5 sore, aku menelpon Sekar. Tidak ada jawaban. Aku mengirimkannya pesan teks. Juga tidak dibaca. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menjemputnya saja dan mengunjunginya di kantornya di lantai 30. Ketika aku keluar lift di lantai 30, aku berjalan ke arah pintu masuk perusahaan Sekar. Sebuah perusahaan kontraktor ternama. Aku sempat mendapatkan informasi mengenai Sekar dalam waktu semalam dengan orang pesuruhku mengenai Sekar dari A hingga Z sebelum aku memutuskan dan menawarkan Sekar menjadi istriku.

          Aku melewati sebuah resepsionis yang kosong dimana lobinya sudah agak gelap. Aku memasuki lorong yang singkat dan melihat hamparan meja-meja karyawan yang luas di lantai itu dengan beberapa ruangan yang disekat. Ruangan agak sepi, mungkin karena sudah malam dan semua karyawan sudah pulang semua. Seorang wanita gemuk dan agak kacau memakai sandal jepit melihatku. Dia hendak berjalan melewatiku dan melihatku agak lama dari atas hingga ujung sepatuku. Ragu untuk menyapa tapi akhirnya dia membuka suaranya.

          “Maaf, cari siapa ya?” tanyanya penasaran.

          “Saya cari Sekar.”

          “Mbak Sekar? Oh ada. Ada. Mas darimana ya?” tanyanya lagi penuh curiga sekarang. Matanya tidak lepas dari pandanganku.

          “Saya suaminya.”

          Wanita gemuk ini terperanjat. Dia menutup mulutnya karena kaget.

          “Oh iya iya. Pantas saya pernah lihat. Ayo ikuti saya. Mbak Sekar ada di ruangannya.”

          Aku hanya tersenyum padanya dan akhirnya mengikuti. Ruangan Sekar sangat rumit. Aku harus melewati beberapa meja-meja di dalam ruangan besar, lalu kembali melewati lorong. Ternyata satu lantai ini digunakan oleh perusahaan tempat Sekar bekerja. Akhirnya kami sampai di sebuah pintu yang transparan. Pintu ruangan Sekar hanya terbuka sedikit. Tanpa mengetuk pintu, wanita gemuk itu mengejutkan Sekar.

          “Mbak Sekar! Suaminya datang nih!” teriaknya.

          Sekar yang sedang memegang pulpen dan memandang layar komputernya yang besar langsung berdiri kaget.

          “Gantenggg booookkkk.” kata si wanita gemuk itu.

          “Laras….” Sekar memanggil namanya dan memberikan kode agar Laras pergi dari ruangannya dan berhenti menatapku. “Makasih Laras. Masih banyak kerjaan silahkan kembali.” Sekar tersenyum dingin pada Laras.

          “Baik Mbak Sekar. Mari Mas.” ijin Laras padaku.

          “Trims, Mbak Laras.” Aku mengucapkan terima kasihku padanya karena sudah menunjukkan ruangan Sekar yang ternyata agak jauh dari meja resepsionis.

          “Mahesa, kenapa kamu gak telepon aku?” Sekar menutup pintunya. Ketika Sekar menutup pintu ruangannya. Aku yakin banyak sekali orang berlalu lalang dan wara wari di depan ruangannya, karena ruangan Sekar hanyalah dibatasi gypsum tebal sebagai dinding dan kaca sebagai jendelanya.

          “Aku menelponmu berkali-kali. Kamu gak angkat telpon dariku.” ujarku datar.

          Sekar mencari ponselnya di seluruh mejanya sampai dia mengangkat beberapa dokumen yang menumpuk di atas mejanya lalu mencari-cari di dalam tasnya.

          “Astaga! HP-ku ada di ruang rapat.” Sekar memegang kepalanya. Dia segera berlari ke luar ruangan tanpa menggunakan sepatunya. Aku menyukainya.

          Tidak berapa lama, Sekar kembali sambil melihat layar ponselnya.

          “Mahesa, sorry sorry banget. Jadi kita pergi sekarang?”

          “Kalau kamu sudah selesai.”

          “Tunggu, give me like, ten minutes untuk koordinasi sebentar sama anak buahku ya.” Dia mengelus bahuku. Kemudian dia menghilang sambil mengambil beberapa lembar kertas dan meninggalkanku di ruangannya.

          Aku menyukai kelembutannya. Perhatiannya padaku. Terkadang aku senang sekali mengisenginya hingga membuatnya kesal dan marah. Aku berdiri dan duduk di kursinya menghadap layar komputernya. Ruangannya agak sempit tapi sangat terang menurutku. Karena di belakangnya adalah kaca tebal yang dapat melihat seluruh gedung-gedung di Jakarta Pusat. Pusat Perkantoran. Ketika aku memainkan mouse komputernya, aku mendapati wallpaper komputer Sekar adalah foto pernikahan kami. Saat itu juga, jantungku berdegup kencang melihatnya. Wajahku memanas. Aku memandang wallpaper di komputer Sekar sangat lama, hingga Sekar menyadarkanku.

          “Kamu kenapa? Melihat ketampananmu?” cibir Sekar. Sesaat itu juga jantungku mulai berdetak normal.

          “Iya dong!” jawabku cepat.

          “Sudah kuduga.” Sekar merapihkan mejanya.

          “Kenapa kamu pasang foto pernikahan di sini?”

          “Walaupun aku tidak mendapatkan pernikahan yang nyata, setidaknya aku menikah dan melihat wajahku saja aku sudah senang. Untuk menghibur diri.” jelasnya. Dia tidak melihatku sama sekali. “Ayo pulang. Sebelum ke rumah orang tuamu, kita mampir ke toko roti dan bunga ya.”

          “Untuk apa?”

          “Masak kita datang dengan tangan kosong?” Sekar tersenyum. Iya, betul juga. Aku menyukai ide Sekar. Walaupun aku dengan terpaksa datang karena undangan Mama Rosa, Mama tiriku.

          Sesampainya di rumah, Sekar terlihat terperangah dengan megahnya rumah yang kami datangi. Dua mobil termahal terparkir di halaman. Kurasa itu mobil Brian dan Farel. Sekar turun dari mobil dengan percaya diri. Aku tahu ada ketakutan di dalam dirinya. Dia mengambil sekantong buah yang dibelinya tadi dan beberapa roti mahal yang dibelinya, pastinya dengan uangku. Katanya, roti tersebut mahal dan enak. Kami berjalan masuk, seorang asisten rumah tangga menyapa kami. Aku tidak begitu kenal dengan wajah-wajah ART di rumah ini, karena ketika aku sampai Indonesia aku tidak pernah mau tinggal di rumah ini. Sedangkan, Brian dan Farel suka sekali tinggal di sini. Mungkin karena banyaknya ART yang bisa memanjakan mereka.

          “Wah, Mahesa sama Sekar datang. Senang sekali.” Mama Rosa muncul. Dandanannya seperti biasa terlalu berlebihan. Perhiasannya dimana-mana. Sekar memeluk Mama Rosa dan memberikan bingkisannya.

          “Bisa dimakan sebelum makan besar, Tante.”

          “Tante?” Mama Rosa mengernyitkan dahi.

          “Mama Rosa.” ujarku memberitahu Sekar. Giliran Sekar yang mengernyitkan dahi. Agak aneh. Sekar belum tahu Mama Rosa adalah mama tiriku.

          “Mama saja, Sekar. Ayo masuk. Anggap rumah sendiri ya.”

          Mama Rosa tidak mengabaikan ekspresiku yang datar seperti biasa. Aku tidak bisa memperhatikan wanita ini sebagai pengganti ibu kandungku.

          Kami berjalan hingga ruang santai. Di depan TV, seperti biasa duduk dua kakak manjaku, Brian dan Farel. Kelakukannya tidak pernah dewasa.

          “Wah, adik ipar datang. Akhirnya! Kemana aja kok gak pernah mampir?” tanya Farel.

          Sekar duduk di sebelah Brian. Sikapnya agak kaku tapi dia berusaha santai dan menjawab juga mengobrol dengan mereka. Mungkin Sekar juga bingung, karena kedua kakakku tidak pernah menganggapku ada. Aku tidak tahu awal mulanya, siapa yang mengabaikan siapa duluan. Aku atau kedua kakakku, yang aku tahu persoalan ini terjadi setelah lulus SMA. Aku hanya tahu Papa datang dua minggu sekali rutin, kemudian Mama Rosa tiba-tiba melabrak Mamaku. Sudah itu saja dan aku berakhir di New York.

          Sewaktu Sekar mengobrol, aku melihat Mama Rosa memanggilku dan aku mengikutinya. Mungkin ada Papaku ingin berbicara denganku. Ya, betul. Aku masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia terlihat duduk santai di sofanya sambil melihat ponselnya.

          “Mahesa, kamu apa kabar?” sapa Papa. Semenjak beberapa tahun terakhir ini, aku selalu melihat wajah Papa yang dingin. Tidak pernah senyum. Hanya untukku. Bahkan dia tidak pernah mau bertemu denganku.

          “Baik.” jawabku singkat. Aku mulai duduk di depannya dan melonggarkan dasiku.

          “Bagaimana kehidupanmu setelah menikah?”

          “Baik-baik saja.”

          “Bisnismu?”

          “Baik-baik juga.”

          Aku agak jengah. Mama Rosa berdiri tepat di belakangku. Mengawasi kami berdua. Tidak berbicara. Akhirnya sunyi.

          “Ayo kita mulai makan malamnya. Ada Sekar loh.”

          “Sekar?” Wajah Papa bingung. Dia menatap Mama Rosa.

          “Istri Mahesa.”

          Hah! Papa tidak datang ke pernikahanku dan tidak tahu nama istriku siapa? Bagus sekali. 

          “Oh, iya Sekar namanya.” ujarnya. Dia mengangguk-angguk.

          Mama Rosa merangkul lengan Papa dan berjalan di depan. Aku berada di belakangnya. Aku mendapati Sekar sudah di ruang makan, sibuk mengatur beberapa lauk yang baru disediakan oleh ART yang wara-wiri. Sedangkan, Brian dan Farel seperti biasa dengan gaya bossy duduk sambil menatap Sekar bekerja.

          “Ini istri Mahesa rajin banget. Apa udah biasa kerja kayak gini?” tanya Brian. Antara Brian dan Farel, hanya Brian-lah yang jika berbicara selalu membuat orang tersinggung. Aku rasa wajah Sekar ingin menerkam Brian. Tapi ditahannya.

          “Iya terbiasa. Wanita harus bisa semuanya. Kalau ada wanita yang cuma ngabisin duit suami, wanita itu useless.” ujar Sekar.

          “Berarti…” Brian ingin bertanya, Sekar memotong pembicaraannya. Nampaknya Sekar tahu arah pembicaraannya.

          “Mahesa selalu aku masakin. Mungkin karena seleranya masakan Barat itu sih perkara mudah, jadi gak perlu banyak bumbu. Aku juga nyuciin dan nyetrikain bajunya.”

          “Dan kamu bekerja?”

          “Iya dong. Masak nggak kerja? Kalau Mahesa tiba-tiba miskin atau sakit nggak bisa cari uang, masak aku juga dirumah?”

          Aku tertawa dalam hati.

          “Kamu itu Brian. Cari calon istri juga yang benar. Jangan kerjanya ke tempat dugem terus.” ujar Mama Rosa. “Kenapa kamu tanya-tanya sama istri Mahesa?” Mama Rosa melirik Sekar. Tanda tidak enak dengan ucapan Brian.

          Papa duduk di kursi yang paling tengah. Sekar menghentikan kegiatannya. Dia memberikan sendok dan piring yang dia pegang ke seorang ART yang dari tadi menunggunya disampingnya.

          “Sekar ini Papaku.” Aku memegang lengan Sekar. Memberitahukan bahwa di sebelahnya adalah Papaku. Sekar langsung mencium tangannya. Hanya tersenyum. Tidak berbicara.

          “Maaf. Saya tidak bisa datang waktu acara pernikahan kalian. Waktu itu saya lagi di hutan. Nggak ada sinyal.”

          Sekar kaget. Aku lebih kaget. Papa minta maaf? Tidak kepadaku? Tapi kepada Sekar?

          “Oh nggak apa-apa, Pah.”

          “Ini juga salah Mahesa, karena menikah mendadak. Saya sudah bilang sama Mamanya untuk menunda beberapa hari waktu saya baru dapat kabar. Tapi pernikahan udah dilaksanakan. Jadi yasudah. Apa mau dilaksanakan pesta ulang di Jakarta?”

          Brian dan Farel menyimak. Tanda tidak suka.

          “Nggak perlu. Sudah cukup pernikahannya. Saya kurang suka diketahui publik.” Sekar memberitahu. Pernyataan Sekar sekaligus memberitahu bahwa Sekar sadar diri posisinya dari orang biasa dan tidak menyukai ketenaran.

          Waktu acara makan malam dimulai, Sekar sudah sibuk. Dia yang mengambilkan piring untuk Papa dan menuangkan nasi untuknya sembari bertanya takaran nasi pada Papa. Mungkin sikap ini yang membuat syok satu meja makan. Termasuk aku. Kali ini bukan Mama Rosa yang cerewet bertanya macam-macam, malahan Papa yang sibuk bertanya ini itu.

          Selesai makan malam pun, kami tetap berada di meja makan. Aku tidak pernah melihat Papa sebercanda itu dengan orang lain. Ini dengan Sekar?

          “Kamu nggak mau kuliah lagi, Sekar?” tanya Papa. Sekarang sudah mulai mencapuri ranah pribadi Sekar. Sekar tidak menjawab. Dia terlihat berpikir.

          “Setelah dia selesai dengan proyeknya, aku suruh resign. Mungkin Sekar bisa kuliah.” Aku akhirnya bersuara.

          “Eh kenapa lo suruh resign?” Farel bertanya.

          “Pekerjaanku banyak sepertinya kalau sudah totalitas jadi istri Mahesa.”

          “Lo suruh jadi ibu rumah tangga?” Farel bertanya lagi. Kali ini Brian terlihat diam.

          “Enggak kok, katanya sih buat temani dia perjalanan bisnis. Ya kan, Mas Mahesa? Aku sama Mas Mahesa kebetulan bidangnya sama. Aku juga belajar banyak sama Mas Mahesa.” Sekar memegang tanganku yang berada di atas meja.

          Aku bisa melihat Mama Rosa terlihat menyukai Sekar.

          Papa terlihat bangga dengan Sekar.

          Hanya Brian yang menatapku dengan penuh kebencian. Mungkin ini dikarenakan dia adalah anak pertama yang tidak ingin dikalahkan. Malam ini, Brian kalah telak.

***

Bab terkait

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 9 - Tidak Tergoda, Tapi Aku Tergoda

    (Mahesa) Di dalam perjalanan pulang. Sekar langsung terdiam. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil. Aku bisa menebak, pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakannya. “Minggu ini kita bisa pindah ke apartemen?” Aku membuka pertanyaan. Memecah kesunyian. “Boleh.” “Apa barang-barangmu banyak yang mau kamu bawa?” “Baju saja beberapa. Bukannya di apartemen sudah lengkap semua!? Misalnya peralatan memasak?” “Iya sudah.”&n

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.10 - Ngambek

    (Sekar) Aku menekan ponselku berkali-kali dan mengirimkan chat ke Mahesa. Dia tidak mengangkat bahkan melihat chat-ku. Sepertinya aku akan pulang naik bus. Aku mematikan layar komputerku dan tidak sengaja memandang wallpaper foto pernikahanku. Aku memandang Mahesa sejenak. Aku melihat pulpen di depanku dan ingin kulempar layar komputerku karena ada foto Mahesa di sana. Dengan cepat aku mematikan komputer dan bergegas pulang. “Pulang, Kar?” celetuk Laras yang muncul di lorong melewati ruanganku. Dia adalah Manajer Perencanaan. Tubuhnya gemuk dan wajahnya lucu sekali. “Iya.” “Dijemput? Tumben nggak naik sua

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.11 - Mabuk

    (Mahesa) Aku melempar proposal yang sudah dipersiapkan sejak pagi oleh karyawanku. Kemurkaanku bertambah ketika salah satu game developer yang kutemui kemarin mundur. “Kalian tahu market di Indonesia itu seperti apa?!” Semua karyawanku tertunduk dan sebagian masih berani menatapku. “Di sini nggak akan ada yang mau install game yang terlalu rumit.” Aku menghela napas dan berdiri di hadapan mereka semua. “Proposal game yang kalian berikan ke saya ini sampah. Mungkin a

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.12 – Ciuman yang Semakin Intens

    (Sekar) Aku menatap laptop dan beberapa tumpukan kertas di depanku. Pokoknya tidak bisa fokus. Beberapa hari ini di dalam otakku tergambar jelas adegan aku mabuk dan menarik Mahesa untuk kucium. Sangat memalukan. Untungnya Mahesa sibuk bermain game, jadi aku juga sibuk dengan proyek keduaku. Mahesa tidak pernah menggodaku semenjak itu. Lamunanku buyar ketika ponselku berdering. “Halo.” “Dengan Ibu Sekar Arum?” tanya pria diseberang sana. Suaranya berat sekali dan berwibawa. “Iya saya.” Aku menatap layar ponsel dan menerka nomor yang menelponku.&nbs

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.13 – Perasaan yang Belum Pasti

    (Mahesa) “Baik, sampai di sini saja rapat kita. Tolong mulai hari ini kita harus bekerja lebih giat lagi. Berdoa semua akan baik-baik saja untuk peluncuran bulan depan.” ujarku memberikan kata penutup di dalam rapatku pagi itu. Aku berdiri dan diiringi tepuk tangan semua staf yang mengikuti rapat. “Bos, kita langsung pergi ketemu game developer-nya?” tanya Kiano mengikuti langkahku yang cepat. “Jam berapa?” “Sekarang lah, Bos. Mereka udah nungguin di ruangannya Marcel.” Semenjak kejadian game developer

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 14 – Ide Bagus

    (Kiano – Intermezo) Mahesa kalau sedang tidak waras selalu memberikanku banyak sekali tugas. Selesai rapat aku harus membuat beberapa rangkuman rapat yang akan disebar ke seluruh staf hotel. Pukul 4 sore, pekerjaanku baru selesai dan aku turun ke restoran di lantai bawah. Pagi hingga sore, restoran terbuka. Hanya bar saja yang ditutup. Aku duduk di bagian terluar restoran yang menghadap kolam renang dan mengeluarkan sebatang rokok dari kantong celanaku. Sebetulnya aku sudah mengurangi rokok satu tahun terakhir ini. Tapi entah kenapa ada satu batang rokok di dalam dompetku dan aku memindahkannya ke dalam kantong celana. Ketika aku menghembuskan asap pertama, aku melihat Sekar sedang berjalan di sekitar kolam. Sibuk foto beberapa pemandangan yang ada di kolam renang.&

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 15 – Akhir Penemuan

    (Sekar) “Bangun Sekar.” Seseorang menarik selimutku dan mengguncang tubuhku. “Sekar.” panggilnya lagi. Suara Mahesa terdengar nyaring di telingaku. Dia duduk di sampingku dan mengganggu tidur. Semalam dia tidak pulang sama sekali hingga aku terlelap. Sekarang dia coba-coba membangunkanku? “Ada apa sih!” Aku kesal. Aku terduduk tiba-tiba dan membuka mataku. Mahesa sudah baru saja mandi. Rambutnya basah dan hanya berbalut handuk. Dadanya yang telanjang dan terlihat jelas tatonya membuatku terkejut dan menjauh darinya. “Kita mau pergi. Tiga pulu

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 16 – Kenyataan yang Terungkap

    (Sekar) Aku, Kiano, dan Lina duduk di taman. Malam ini udaranya dingin sekali. Desa ini terletak di dataran tinggi di bawah kaki bukit. Aku kurang tahu nama bukitnya. Kami baru selesai makan malam. Nampaknya Mahesa ingin sekali mengobrol banyak dengan Mamanya, jadi aku, Kiano, dan Lina meninggalkan meja makan dengan cepat. “Udah berapa lama Mahesa cari Mamanya?” tanyaku pada Kiano. “Setahuku semenjak dia di sekolah di New York. Dia aja ke New York waktu SMP dan dua tahun setelahnya dia pulang ke Indonesia, udah nggak pernah ketemu sampai ya… baru hari ini ketemu lagi.” Aku berpikir sejenak. Pasti bahagia sekali keadaannya sekarang.&n

Bab terbaru

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.74 – Kegalauan Derry

    (Sekar) Satu bulan kemudian, Derry terlihat sedang melamun melihat langit-langit rumah. Rumah yang direnovasi ini adalah atas namaku. Aku melihat sertifikat rumahnya, sudah berubah setahun yang lalu. Aku tidak mengetahui hal ini, karena ingatanku belum sepenuhnya pulih. Waktu kami liburan di Bali sebulan lalu, Mahesa memberitahu padaku bahwa ada sebuah rumah atas namaku dan Derry sudah merenovasi seutuhnya atas saranku. Dulu. “Apa yang lo lihat?” tanyaku yang ikutan juga memandang langit-langit rumah berwarna putih gading dengan lampu gantung yang indah. “Rumah ini…” Derry menghela napasnya. “Rumah ini adalah rumah terlama yang gue renov.

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 73 – Cemburu

    (Sekar) Aku terbangun dan membuka mataku. Perasaanku terasa bahagia dan tubuhku bugar sekali, walaupun sepertinya aku sudah tidur lama sekali. Perutku benar-benar lapar. Sebetulnya aku terbangun karena mendengar suara Mahesa yang berisik sekali. “Apa? Apa kamu nggak bisa ke selatan sebentar untuk mengecek?” Aku mengerutkan dahiku. Menajamkan pendengaranku dan otakku masih berpikir keras. “Marcel!!! Bisa nggak kamu cek stok senjata di selatan???!!!” teriaknya tidak sabaran. “Kita akan mati!!!” Kali ini dia berteriak. Aku duduk di kasur. Melihat Mahesa berada di balkon, duduk di k

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 72 – Akhirnya

    (Mahesa) Keesokan paginya aku bangun tiba-tiba. Terduduk di atas kasur. Aku mengingat kejadian semalam. Aku hanya ingat aku agak mabuk dan mengobrol dengan Sekar. Kepalaku agak pusing sedikit dan… aku melihat Sekar masih tertidur disampingku. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menyelimuti diriku sambil memeluk Sekar. Waktu tanganku berada di pinggangnya, dengan cepat Sekar membuang tanganku dan duduk. Seperti menghindar. “Kamu sudah bangun?” tanyaku kaget. “Aku sudah berdiri, berarti sudah bangun.” jawabnya cuek tanpa melihatku. Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia. Bad mood sekali. Apa dia masih marah karena kemarin? “Hari ini

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 71 – Ketakutan

    (Sekar) Pagi ini, untuk pertama kali aku tidur dengan nyaman. Seseorang memelukku, tidak ada mimpi, aku menghirup udara yang segar, dan seseorang memainkan rambutku. Mahesa. Aku ingat aku tidur semalam dengan Mahesa. Aku tidur duluan ketika Mahesa mandi. Aku membuka mataku pelan. Wajah Mahesa pertama kali yang kulihat. Dia menatapku lekat sekali sambil memainkan rambutku. “Aku membangunkanmu?” tanyanya pelan. Dia tersenyum sedikit. “Tidurlah lagi. Aku bisa menunggumu bangun.” ujarnya lagi. Aku menyipitkan mataku. Dia membungkusku dengan selimut tebal dan dia berada di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuhku. “Kamu mau ke kan

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 70 – Mau Cerai ?

    (Sekar) Di dalam mimpiku, aku benar-benar jelas melihat wajah Mahesa. Seorang pria yang ternyata bersamaku di pantai. Pantai yang sama ketika aku pertama kali dibawa oleh Mahesa. Deburan ombaknya, benar-benar mengingatkanku pertama kali dimana ketika aku bertemu dengan Mahesa waktu itu. Adegan demi adegan, aku mengingatnya. Sampai pada akhirnya, berpindah pada adegan ketika aku berada di rumah sakit. Bagian ini aku tidak ingat. Aku hanya melihat sebuah janin yang terdapat di layar bersama Mahesa. Apakah aku pernah memiliki anak? Seketika saja air mataku jatuh. Waktu itu aku merasakan seseorang menghapus air mataku dan aku tersadar dari tidurku. “Kamu menangis?” tanyanya. “Kamu kenapa di sini?” 

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 69 – Dia Suamiku?

    (Sekar) Tanganku terasa basah dan lembab. Ternyata handuk kecil yang ada di pelipis Mahesa terjatuh. Aku tidak tidur pulas kali ini. Selalu terjaga. Jadi ketika ada sesuatu yang bergerak atau mendengar suara, aku langsung membuka mataku. Aku mengambil handuk itu dan ternyata Mahesa menoleh ke arahku. Membuka matanya. “Sekar…” panggilnya lemah dan serak. “Ya?” “Dimana air? Aku haus.” Dia melihat meja di sampingnya. Aku meletakkan air minum di meja kecil dekat sofa. Aku bergegas mengambilnya dan memberikannya pada Mahesa. Mahesa membaringkan tubuhnya kembali.&

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 68 – Gambaran Itu II

    (Mahesa) Darius menggiring kami ke ruang kerjanya. Aku sebetulnya baru datang lagi ke rumah ini. Setahuku Rosa sudah tidak tinggal di sini karena dirinya kecewa dengan Darius yang berani menjebloskan dua anak kandungnya ke penjara. Walaupun katanya asisten rumah tangga di rumah ini, Rosa terkadang menyempatkan diri beberapa hari untuk pulang. Tetapi memang hubungan Rosa dan Darius sepertinya tidak bisa membaik kembali. Jadi, rumah ini terasa sepi sekali. Hubunganku dengan Darius membaik, bahkan diluar ekpektasi aku benar-benar berperan seperti anaknya. Kadang aku agak gugup jika harus memanggilnya ‘Papa’. Foto keluarga yang dipajang Darius di depan ruang tamu masih terpajang di dinding dengan gagah. Walaupun foto keluarga tersebut diambil sekitar beberapa tahun yang lalu ketika aku be

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 67 – Ketemu  

    (Mahesa) Aku, Kiano, dan Derry yang sengaja datang ke kantorku menonton rekaman cctv yang ada di dalam ruang kerjaku. Kiano dan Derry mematung. “Di…dia bisa buka brankas lo? Apa dia tahu kodenya?” tanya Derry. “Semua kode dan password yang Mahesa punya itu tanggal, bulan, dan tahun pernikahan.” Kiano menjawab pertanyaan Derry yang ditujukan padaku. Aku menghela napas panjang. Beranjak dari kursi kerjaku. Aku membanting tubuhku ke sofa yang agak keras. Memandang brankas sialan itu. Sekar sudah hampir 5 jam tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati dan otomatis aku tidak bisa melihatnya kapan pemberhentian terakhirnya.&nbs

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 66 – Kebenaran Terungkap

    (Sekar) “Halo.” “Kamu dimana?” “Di jalan. Mau pulang.” jawab Mahesa. Suaranya agak jauh. Mungkin dia menggunakan mode speaker. “Kenapa?” “Aku mau ambil sesuatu di apartemenmu.” Aku menyandarkan tubuhku di depan pintu apartemen. “Jadi aku butuh password kunci pintunya.” “Kamu datang sendiri? Ini sudah jam setengah dua belas malam.” Mahesa heran. “Berapa?” Telunjukku sudah siap untuk memencet tombolnya.&nb

DMCA.com Protection Status