(Sekar)
Hampir satu minggu aku tidur satu kamar dengan Mahesa di rumah orang tuaku. Banyak sekali kekacauan dari kehidupanku dengan Mahesa. Aku tidak bisa mendeskripsikannya. Setiap hari Mahesa selalu saja membuatku kesal. Dia selalu membuang waktu jika sedang mandi di pagi hari, tapi mandi di malam hari mungkin hanya lima menit. Kemudian dia selalu menyuruhku untuk mencuci bajunya. Mengesalkan sekali. Seharusnya bisa aku taruh di tempat laundry saja. Alasannya, dia tidak suka menggunakan mesin cuci yang dipakai orang lain yang tidak dikenalnya. Luar biasa ya!
“Sekar, kemejaku yang warna biru dimana?” tanya Mahesa pukul 11 malam, sedangkan aku sedang memeriksa beberapa laporan yang selalu aku bawa pulang. Semenjak aku mengambil cuti seminggu lebih, perusahaan dalam keadaan rumit. Aku seorang Finance Executive yang sangat diandalkan. Perusahaan sedang mendapatkan dua proyek sekaligus jadi aku harus teliti dalam menghitung budgeting yang masuk. Itu hanya contoh kecilnya untuk job desk seorang finance executive.
“Ada di belakang.” jawabku masih fokus ke laptop dan lembaran laporan. Dia hanya duduk di atas kasur dan menonton TV. Suara TV sebetulnya sangat menggangguku. Ingin rasanya aku mengerjakan semua pekerjaanku di ruangan lain. Pastinya Ibu akan melihat keadaanku yang sibuk. Dia pasti marah karena aku sudah bersuami.
“Sudah disetrika belum?”
“Belum.”
“Bisa disetrika nggak?”
“Besok pagi aja.” tawarku.
“Sekar…” Mahesa memanggil namaku lembut dan penuh penekanan. Berarti perintahnya tidak boleh dibantah. Aku berdiri dengan terpaksa, membanting pulpen yang kupegang ke atas tumpukan laporan-laporan yang bertebaran di atas karpet di lantai kamar, dan menutup pintu dengan keras.
Aku berjalan menuju ruangan di mana tempat tumpukan baju berada. Aku menggali-gali tumpukan baju yang bercampur dan mendapati kemeja Mahesa. Ketika aku menunggu setrika panas, Ibu menghampiriku.
“Setrika baju Mahesa?”
“Iya Bu.”
Ibu menyandarkan tubuhnya ke dinding. Melihatku mulai menyetrika.
“Ayah sama Ibu menghargai keputusanmu. Satu hal yang nggak kami paham, kenapa kamu merahasiakan ini?”
Aku berhenti menyetrika dan melihat Ibu. Maksudnya? Apa Ayah dan Ibu tahu aku dan Mahesa hanya menikah kontrak? Tanganku mulai berkeringat dan pura-pura santai menanggapinya.
“Merahasiakan apa?”
“Kamu pasti tahu kan Mahesa anaknya siapa?”
Aku melengos dalam hati. Mengucapkan syukur. Ternyata itu yang dimaksud Ibu. Aku pikir karena pernikahan kontrakku.
“Iya tahu.”
“Kenapa kamu bawa Mahesa ke rumah Ibu?”
“Maksudnya, Bu?” Aku mengerutkan dahiku. Masih sibuk menyetrika.
“Karena kemarin waktu pernikahanmu, Ibu ngobrol banyak dengan Mama Mahesa. Dia berharap kamu dan Mahesa tinggal sama dia.”
Aku terdiam. Mahesa tidak memberi tahukan hal ini. Aku pun tidak bertanya apa-apa. Dia hanya bilang ingin tinggal di rumahku selama satu atau dua minggu, lalu aku dan Mahesa tinggal di apartemennya sementara rumahnya yang di Pondok Indah akan direnovasi dan diisi barang-barang. Dia yang merencanakannya. Bukan aku. Dia yang mengambil keputusan bukan aku. Dia yang lebih dominan sekarang.
“Bu, Mahesa cuma mau dekat sama keluarga di sini kok. Mungkin minggu depan Sekar tinggal di apartemennya Mahesa.”
Ibu mengangguk. Cukup puas dengan jawabanku. Selesai menyetrika baju Mahesa, aku kembali ke kamar. Aku mendapati Mahesa menatap laptop dan melihat tumpukan laporanku.
“Pantas saja kamu lembur. Kamu nggak lihat apa letak kesalahanmu sama budgeting di kolom-kolom ini?” Mahesa menunjuk laptopku. Aku menggantung kemejanya di pegangan lemari kecilku di sudut dan langsung menatap laptopku. Lenganku dan lengan Mahesa nyaris bergesekan. Aku fokus dengan laptopku dan melihatnya berulang-ulang. Mahesa kembali naik ke tempat tidur dan menonton TV kembali.
“Kok kamu bisa tahu?” Aku penasaran sambil memperbaiki letak kesalahanku di laptop.
“Ya aku bisa melihat sekilas.” jawab Mahesa sombong.
“Kenapa kamu bisa tahu?”
“Ya aku bisa baca pekerjaanmu. Itu kan pekerjaanku juga.”
Aku berdiri membawa laptop dan duduk di atas kasur di sebelah Mahesa yang sedang menonton film. Entah apa filmnya dan itu drama korea kurasa.
“Kamu nggak tahu aku Phd di jurusan finance and business?”
Aku menganga. Seperti mendengarkan kabar baik. Ternyata Mahesa sekeren itu.
“Kenapa kamu nggak bilang dari awal?”
“Harus?” Mahesa memalingkan wajahku. Dia sepertinya tahu akan aku mintai tolong untuk mengerjakan semua laporanku. Aku butuh istirahat sebentar. Semenjak pulang dari Bali, aku langsung disibukkan dengan pekerjaan ini.
“Maukah mengecek semua laporanku?” Aku memberikan senyumanku yang paling indah padanya. “Aku akan setrika semua bajumu, rapih, dan wangi.”
“Kerjaanmu itu berat. Dua proyek loh.” Mahesa tidak bergeming. Dia tetap memperhatikan dramanya di TV.
“See? Bahkan aku nggak pernah bilang laporanku ada dua proyek.”
“Aku kan nggak mau tertipu tiba-tiba kamu suruh aku kerjakan laporanmu.” Akhirnya Mahesa melihat wajahku. Dekat.
“Kerjakan satu saja dari dua laporanku. Aku mau istirahat sebentar. Kayaknya kepalaku mau pecah.”
Aku menyodorkan laptop dan laporan dari proyek pertama pada Mahesa. Kemudian aku menyiapkan bantal untuk kutiduri disebelahnya.
“Sekar, ada yang kamu lupa.”
“Apa itu?” Aku menatap wajah Mahesa dari bawah. Bentuk wajahnya tegas sekali.
“Kamu harus resign.”
Aku bangun kembali dan terduduk.
“Aku masih ada kewajiban dengan perusahaan ini. Setidaknya aku menyelesaikan proyek-proyek ini.”
“Sampai kapan?” tanyanya seperti anak kecil.
“Bulan depan mungkin.” Aku memutar bola mataku seolah berpikir. “Aku janji.”
Aku memberikan kelingkingku padanya. Menunggunya untuk memberikan kelingkingnya juga. Akhirnya aku memegang tangannya dan memegang kelingkingnya agar bersatu dengan kelingkingku.
“Kamu nggak takut laporan ini akan bocor ditanganku?”
“Aduh, aku percaya sama kamu.”
“Sebagai laki-laki biasa atau suami yang special?”
Aku menarik selimutku yang tebal. Semenjak ada Mahesa, kamar ini menjadi dingin. AC selalu disetel dingin sekali. Dia tidak suka panas. Standar dinginku dan dinginnya berbeda sekali.
“Suami yang special yang mengerjakan laporan istri.” jawabku dari balik selimut. Aku tidak tahu ternyata jawabanku saat itu membuat keadaan berubah. Semenjak jawabanku itu, aku tidak tahu kenapa kami terkadang berkelahi dengan masalah kecil lalu kembali berbaikan, atau diantara kami yang ngambek dan kondisi berubah kembali normal, atau salah satu dari kami yang terlihat posesif. Bukan aku yang posesif ternyata. Tapi Mahesa.
Pagi harinya, aku ingin sekali bangun. Karena alarm di ponselku berbunyi nyaring. Ada yang aneh, semenjak Mahesa tidur di kamarku seminggu ini, aku merasakan suhu di kamarku kembali normal. Standar dinginku. Mungkin Mahesa menaikkan suhu AC. Ketika aku membuka mata, ternyata Mahesa ada di sampingku. Satu selimut denganku dan memeluk tubuhku.
“Mahesa!!!” Aku mendorong tubuh Mahesa kuat hingga tubuhnya jatuh ke lantai.
“SEKAR! Apa-apaan kamu!” Mahesa berteriak.
“Ngapain kamu tidur di sini?!” Aku melihat Mahesa yang ada di lantai. “Kan kamu tahu peraturannya!”
“Aku ketiduran! Nggak sengaja!” Mahesa berdalih.
Aku memasang muka cemberut lalu masuk ke kamar mandi, sedangkan Mahesa keluar kamar dan duduk di meja makan dengan tampang kusut. Wajahnya terlihat kurang tidur. Di dalam mobil menuju kantor, aku masih diam dengan Mahesa.
“Aku mengorbankan waktu tidurku untukmu. Tidak ada terima kasihnya!” Mahesa geram.
“Oh, terima kasih.” Ucapku dengan sopan.
Mahesa terdiam sambil menyetir. Tidak banyak berbicara lagi.
Ketika sampai di gedung perkantoranku, Mahesa melihatku.
“Seharusnya kamu nggak mesti lembur malam ini kan? Aku sudah menyelesaikan laporanmu dan malam ini aku minta kita makan malam di rumah orang tuaku. Mama mengundang kita untuk makan malam.”
Aku membatalkan membuka pintu mobil. Tubuhku berbalik ke arah Mahesa.
“Mamamu mengundang makan malam?”
Nampaknya aku belum siap.
“Ya udah satu minggu lebih semenjak kita menikah, kita belum menyapa mereka.”
“Oh ya ya, sebaiknya kita sapa mereka.” Aku ikut setuju. Wajah Mahesa terlihat enggan. Sepertinya dia tidak ingin ke rumah orang tuanya. Aku bisa membaca itu. “Akan aku usahakan.”
Kemudian aku meninggalkan Mahesa. Mengucapkan pesan untuk berhati-hati menyetir.
***
(Mahesa) Selama dua minggu kehidupanku dengan Sekar, aku sudah mulai terbiasa bahwa setiap malam aku melihatnya tidur dan setiap pagi aku melihatnya marah-marah. Ini adalah kehidupanku yang luar biasa. Tidak bisa kubayangkan. Mengingat selama 8 tahun ini, aku selalu hidup sendiri di apartemen di New York. Semua yang kulakukan adalah sendiri. Menjelajah dunia pun sendiri. Ada salah satu yang membuat tujuanku harus tercapai. Membuat diriku sendiri sukses dan mencari keberadaan Mama. Hari ini pekerjaanku tidak begitu banyak. Hanya rapat dengan beberapa tim desain dan marketing untuk melakukan beberapa bentuk promo kecil-kecilan untuk tes pasar. Ketika aku pulang ke Indonesia, aku memiliki ide untuk membentuk sendiri perusahaanku dari nol. Sebuah perusahaan games khas Indonesia yang bisa diundu
(Mahesa) Di dalam perjalanan pulang. Sekar langsung terdiam. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil. Aku bisa menebak, pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakannya. “Minggu ini kita bisa pindah ke apartemen?” Aku membuka pertanyaan. Memecah kesunyian. “Boleh.” “Apa barang-barangmu banyak yang mau kamu bawa?” “Baju saja beberapa. Bukannya di apartemen sudah lengkap semua!? Misalnya peralatan memasak?” “Iya sudah.”&n
(Sekar) Aku menekan ponselku berkali-kali dan mengirimkan chat ke Mahesa. Dia tidak mengangkat bahkan melihat chat-ku. Sepertinya aku akan pulang naik bus. Aku mematikan layar komputerku dan tidak sengaja memandang wallpaper foto pernikahanku. Aku memandang Mahesa sejenak. Aku melihat pulpen di depanku dan ingin kulempar layar komputerku karena ada foto Mahesa di sana. Dengan cepat aku mematikan komputer dan bergegas pulang. “Pulang, Kar?” celetuk Laras yang muncul di lorong melewati ruanganku. Dia adalah Manajer Perencanaan. Tubuhnya gemuk dan wajahnya lucu sekali. “Iya.” “Dijemput? Tumben nggak naik sua
(Mahesa) Aku melempar proposal yang sudah dipersiapkan sejak pagi oleh karyawanku. Kemurkaanku bertambah ketika salah satu game developer yang kutemui kemarin mundur. “Kalian tahu market di Indonesia itu seperti apa?!” Semua karyawanku tertunduk dan sebagian masih berani menatapku. “Di sini nggak akan ada yang mau install game yang terlalu rumit.” Aku menghela napas dan berdiri di hadapan mereka semua. “Proposal game yang kalian berikan ke saya ini sampah. Mungkin a
(Sekar) Aku menatap laptop dan beberapa tumpukan kertas di depanku. Pokoknya tidak bisa fokus. Beberapa hari ini di dalam otakku tergambar jelas adegan aku mabuk dan menarik Mahesa untuk kucium. Sangat memalukan. Untungnya Mahesa sibuk bermain game, jadi aku juga sibuk dengan proyek keduaku. Mahesa tidak pernah menggodaku semenjak itu. Lamunanku buyar ketika ponselku berdering. “Halo.” “Dengan Ibu Sekar Arum?” tanya pria diseberang sana. Suaranya berat sekali dan berwibawa. “Iya saya.” Aku menatap layar ponsel dan menerka nomor yang menelponku.&nbs
(Mahesa) “Baik, sampai di sini saja rapat kita. Tolong mulai hari ini kita harus bekerja lebih giat lagi. Berdoa semua akan baik-baik saja untuk peluncuran bulan depan.” ujarku memberikan kata penutup di dalam rapatku pagi itu. Aku berdiri dan diiringi tepuk tangan semua staf yang mengikuti rapat. “Bos, kita langsung pergi ketemu game developer-nya?” tanya Kiano mengikuti langkahku yang cepat. “Jam berapa?” “Sekarang lah, Bos. Mereka udah nungguin di ruangannya Marcel.” Semenjak kejadian game developer
(Kiano – Intermezo) Mahesa kalau sedang tidak waras selalu memberikanku banyak sekali tugas. Selesai rapat aku harus membuat beberapa rangkuman rapat yang akan disebar ke seluruh staf hotel. Pukul 4 sore, pekerjaanku baru selesai dan aku turun ke restoran di lantai bawah. Pagi hingga sore, restoran terbuka. Hanya bar saja yang ditutup. Aku duduk di bagian terluar restoran yang menghadap kolam renang dan mengeluarkan sebatang rokok dari kantong celanaku. Sebetulnya aku sudah mengurangi rokok satu tahun terakhir ini. Tapi entah kenapa ada satu batang rokok di dalam dompetku dan aku memindahkannya ke dalam kantong celana. Ketika aku menghembuskan asap pertama, aku melihat Sekar sedang berjalan di sekitar kolam. Sibuk foto beberapa pemandangan yang ada di kolam renang.&
(Sekar) “Bangun Sekar.” Seseorang menarik selimutku dan mengguncang tubuhku. “Sekar.” panggilnya lagi. Suara Mahesa terdengar nyaring di telingaku. Dia duduk di sampingku dan mengganggu tidur. Semalam dia tidak pulang sama sekali hingga aku terlelap. Sekarang dia coba-coba membangunkanku? “Ada apa sih!” Aku kesal. Aku terduduk tiba-tiba dan membuka mataku. Mahesa sudah baru saja mandi. Rambutnya basah dan hanya berbalut handuk. Dadanya yang telanjang dan terlihat jelas tatonya membuatku terkejut dan menjauh darinya. “Kita mau pergi. Tiga pulu
(Sekar) Satu bulan kemudian, Derry terlihat sedang melamun melihat langit-langit rumah. Rumah yang direnovasi ini adalah atas namaku. Aku melihat sertifikat rumahnya, sudah berubah setahun yang lalu. Aku tidak mengetahui hal ini, karena ingatanku belum sepenuhnya pulih. Waktu kami liburan di Bali sebulan lalu, Mahesa memberitahu padaku bahwa ada sebuah rumah atas namaku dan Derry sudah merenovasi seutuhnya atas saranku. Dulu. “Apa yang lo lihat?” tanyaku yang ikutan juga memandang langit-langit rumah berwarna putih gading dengan lampu gantung yang indah. “Rumah ini…” Derry menghela napasnya. “Rumah ini adalah rumah terlama yang gue renov.
(Sekar) Aku terbangun dan membuka mataku. Perasaanku terasa bahagia dan tubuhku bugar sekali, walaupun sepertinya aku sudah tidur lama sekali. Perutku benar-benar lapar. Sebetulnya aku terbangun karena mendengar suara Mahesa yang berisik sekali. “Apa? Apa kamu nggak bisa ke selatan sebentar untuk mengecek?” Aku mengerutkan dahiku. Menajamkan pendengaranku dan otakku masih berpikir keras. “Marcel!!! Bisa nggak kamu cek stok senjata di selatan???!!!” teriaknya tidak sabaran. “Kita akan mati!!!” Kali ini dia berteriak. Aku duduk di kasur. Melihat Mahesa berada di balkon, duduk di k
(Mahesa) Keesokan paginya aku bangun tiba-tiba. Terduduk di atas kasur. Aku mengingat kejadian semalam. Aku hanya ingat aku agak mabuk dan mengobrol dengan Sekar. Kepalaku agak pusing sedikit dan… aku melihat Sekar masih tertidur disampingku. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menyelimuti diriku sambil memeluk Sekar. Waktu tanganku berada di pinggangnya, dengan cepat Sekar membuang tanganku dan duduk. Seperti menghindar. “Kamu sudah bangun?” tanyaku kaget. “Aku sudah berdiri, berarti sudah bangun.” jawabnya cuek tanpa melihatku. Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia. Bad mood sekali. Apa dia masih marah karena kemarin? “Hari ini
(Sekar) Pagi ini, untuk pertama kali aku tidur dengan nyaman. Seseorang memelukku, tidak ada mimpi, aku menghirup udara yang segar, dan seseorang memainkan rambutku. Mahesa. Aku ingat aku tidur semalam dengan Mahesa. Aku tidur duluan ketika Mahesa mandi. Aku membuka mataku pelan. Wajah Mahesa pertama kali yang kulihat. Dia menatapku lekat sekali sambil memainkan rambutku. “Aku membangunkanmu?” tanyanya pelan. Dia tersenyum sedikit. “Tidurlah lagi. Aku bisa menunggumu bangun.” ujarnya lagi. Aku menyipitkan mataku. Dia membungkusku dengan selimut tebal dan dia berada di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuhku. “Kamu mau ke kan
(Sekar) Di dalam mimpiku, aku benar-benar jelas melihat wajah Mahesa. Seorang pria yang ternyata bersamaku di pantai. Pantai yang sama ketika aku pertama kali dibawa oleh Mahesa. Deburan ombaknya, benar-benar mengingatkanku pertama kali dimana ketika aku bertemu dengan Mahesa waktu itu. Adegan demi adegan, aku mengingatnya. Sampai pada akhirnya, berpindah pada adegan ketika aku berada di rumah sakit. Bagian ini aku tidak ingat. Aku hanya melihat sebuah janin yang terdapat di layar bersama Mahesa. Apakah aku pernah memiliki anak? Seketika saja air mataku jatuh. Waktu itu aku merasakan seseorang menghapus air mataku dan aku tersadar dari tidurku. “Kamu menangis?” tanyanya. “Kamu kenapa di sini?” 
(Sekar) Tanganku terasa basah dan lembab. Ternyata handuk kecil yang ada di pelipis Mahesa terjatuh. Aku tidak tidur pulas kali ini. Selalu terjaga. Jadi ketika ada sesuatu yang bergerak atau mendengar suara, aku langsung membuka mataku. Aku mengambil handuk itu dan ternyata Mahesa menoleh ke arahku. Membuka matanya. “Sekar…” panggilnya lemah dan serak. “Ya?” “Dimana air? Aku haus.” Dia melihat meja di sampingnya. Aku meletakkan air minum di meja kecil dekat sofa. Aku bergegas mengambilnya dan memberikannya pada Mahesa. Mahesa membaringkan tubuhnya kembali.&
(Mahesa) Darius menggiring kami ke ruang kerjanya. Aku sebetulnya baru datang lagi ke rumah ini. Setahuku Rosa sudah tidak tinggal di sini karena dirinya kecewa dengan Darius yang berani menjebloskan dua anak kandungnya ke penjara. Walaupun katanya asisten rumah tangga di rumah ini, Rosa terkadang menyempatkan diri beberapa hari untuk pulang. Tetapi memang hubungan Rosa dan Darius sepertinya tidak bisa membaik kembali. Jadi, rumah ini terasa sepi sekali. Hubunganku dengan Darius membaik, bahkan diluar ekpektasi aku benar-benar berperan seperti anaknya. Kadang aku agak gugup jika harus memanggilnya ‘Papa’. Foto keluarga yang dipajang Darius di depan ruang tamu masih terpajang di dinding dengan gagah. Walaupun foto keluarga tersebut diambil sekitar beberapa tahun yang lalu ketika aku be
(Mahesa) Aku, Kiano, dan Derry yang sengaja datang ke kantorku menonton rekaman cctv yang ada di dalam ruang kerjaku. Kiano dan Derry mematung. “Di…dia bisa buka brankas lo? Apa dia tahu kodenya?” tanya Derry. “Semua kode dan password yang Mahesa punya itu tanggal, bulan, dan tahun pernikahan.” Kiano menjawab pertanyaan Derry yang ditujukan padaku. Aku menghela napas panjang. Beranjak dari kursi kerjaku. Aku membanting tubuhku ke sofa yang agak keras. Memandang brankas sialan itu. Sekar sudah hampir 5 jam tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati dan otomatis aku tidak bisa melihatnya kapan pemberhentian terakhirnya.&nbs
(Sekar) “Halo.” “Kamu dimana?” “Di jalan. Mau pulang.” jawab Mahesa. Suaranya agak jauh. Mungkin dia menggunakan mode speaker. “Kenapa?” “Aku mau ambil sesuatu di apartemenmu.” Aku menyandarkan tubuhku di depan pintu apartemen. “Jadi aku butuh password kunci pintunya.” “Kamu datang sendiri? Ini sudah jam setengah dua belas malam.” Mahesa heran. “Berapa?” Telunjukku sudah siap untuk memencet tombolnya.&nb