Beranda / Romansa / Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu? / Eps. 9 - Tidak Tergoda, Tapi Aku Tergoda

Share

Eps. 9 - Tidak Tergoda, Tapi Aku Tergoda

Penulis: Andrea Luna
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

(Mahesa)

          Di dalam perjalanan pulang. Sekar langsung terdiam. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil. Aku bisa menebak, pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakannya.

          “Minggu ini kita bisa pindah ke apartemen?” Aku membuka pertanyaan. Memecah kesunyian.

          “Boleh.”

          “Apa barang-barangmu banyak yang mau kamu bawa?”

          “Baju saja beberapa. Bukannya di apartemen sudah lengkap semua!? Misalnya peralatan memasak?”

          “Iya sudah.”

          Kami terdiam lagi.

          “Setelah kamu resign, kamu mulai renovasi rumah yang di Pondok Indah. Silahkan kamu desain sesuka hatimu.”

          “Aku nggak bisa desain, berarti aku bisa cari desain interior?”

          “Boleh.” ujarku.

          “Pasti akan mahal ya?”

          “Aku punya teman, dia desain interior. Nanti aku kenalkan padamu.”

          “Kalau kamu punya teman desain interior, kenapa gak dari dulu suruh dia kerjakan renovasi rumahmu?” Sekar bertanya dengan malas. Dia menatapku.

          “Itu rumah masa kecilku. Aku membeli dua rumah di sebelahnya dan membangunnya. Namanya masih atas nama Mamaku. Rumah utamanya masih ada barang-barang peninggalanku dulu.”

          Sekar diam.

          “Mama Rosa itu bukan Mama kandungku. Brian dan Farel itu kakakku.” Aku akhirnya menjelaskan. “Mama kandungku? Menghilang semenjak aku pertama kali pergi ke New York.”

          Sekar mungkin melihatku dengan prihatin. Memang dari awal, semenjak datang ke rumah kami sudah disuguhkan pemandangan foto keluarga besar. Di dalam foto keluarga itu tidak ada sama sekali fotoku.

          “Kamu udah pernah cari?”

          “Setiap hari. Aku gak berhasil menemukannya.”

          “Semoga kamu cepat menemukan Mamamu.” Sekar terdengar lirih.

          Malam ini, Sekar bekerja dengan baik. Dia menguatkanku di dalam setiap sandiwaranya. Bahkan sekarang.

          “Boleh aku tidur di apartemen?” tanya tiba-tiba.

          Aku memperlambat laju setirku.

          “Kenapa?”

          “Banyak sekali pikiranku malam ini.”

          “Apa karena bebanmu baru dimulai malam ini?”

          “Ya, mungkin. Dibayanganku Papamu gak suka sama aku. Nyatanya berbanding terbalik dan aku sangat terbebani.”

          Betul. Papa menyukai Sekar. Mungkin Sekar jauh sekali dari sikap angkuh dan jaga image dari wanita-wanita yang selalu dibawa oleh Brian dan Farel ke rumah. Sekar malah tertawa terbahak-bahak di depan Papa.

          “Jangan lupa kabari orang tuamu.” kataku dan akhirnya memutar balik untuk menuju apartemenku yang sebetulnya masih satu area dengan rumah Papa. Tidak tahu kenapa, aku senang sekali. Berarti aku bisa berduaan saja tanpa menjaga sikap dengan Sekar. Kalau di rumah Sekar, aku harus menjaga sikapku karena orang tuanya.

          Apartemenku hanya memiliki dua tower besar. Tidak begitu padat dan berada di daerah selatan Jakarta yang dimana juga berada di kompleks perumahan elite. Aku tidak pernah memilih apartemen di sini. Ketika aku beberapa kali pulang ke Indonesia untuk liburan, Papa hanya memberikan tempat tinggal di sini.

          “Apa ada kaosmu yang bisa kupakai?” Sekar bertanya. Dia lagi-lagi membawa pekerjaannya ikut serta.

          “Ada banyak.”

          Ketika sampai di depan pintu apartemenku. Aku menekan beberapa tombol.

          “Passwordnya sama dengan password di hapeku.”

          Sekar mengangguk. Kemudian dia kaget.

          “Eh aku lupa password hapemu berapa?”

          Aku mengabaikan pertanyaannya. Ketika aku membuka pintu, lampu ruangan di apartemen menyala. Baunya pun berbeda.

          “Apa password di kartu gesekmu juga sama?” tanya Sekar menggoda.

          “Sama.” jawabku singkat.

          “Wah. Sayang sekali aku gak bisa ingat passwordnya.”

          Sekar akhirnya ikut merasakan keanehan. Dia terdiam.

          “Mahesa, apa ada orang di apartemenmu?” Dia terlihat curiga. Wanita ini feeling-nya kuat sekali. Mungkin karena wanita.

          Karena di dapur banyak sekali makanan cepat saji berserakan di meja pantry dan saat itu juga keluarlah seorang laki-laki dari kamar mandi hanya berbalut dengan handuk. Sekar langsung lari dan bersembunyi di belakangku. Laki-laki ini juga terkejut.

          “Mahesa!!!!” Dia berteriak memanggil namaku.

          “Jangan sampai gue kena dengan kulit lo yang basah itu.” Aku memberi peringatan padanya. Laki-laki itu dengan cepat masuk ke kamar mandi lagi dan keluar sudah memakai baju. Dia Derry. Sahabatku. Menunggu dengan setia di Indonesia.

          “Dia siapa?” Sekar bertanya. Dia masih bersembunyi dibelakangku.

          “Sahabatku.”

          “Mahesa! Kenapa nggak telpon?” Derry bertanya padaku.

          “Emangnya gue harus telpon untuk ngecek apartemen gue sendiri?” jawabku sinis. Sekar mencolekku dan membisikkan sesuatu.

          “Jangan kayak gitu. Dia kan sahabatmu.”

          Baru ini aku diperingatkan seperti itu oleh seseorang. Biasanya aku bebas melakukan apa saja bahkan dengan temanku sendiri.

          Derry sudah melirik Sekar. Ingin sekali nampaknya diperkenalkan olehku.

          “Itu istri baru lo kan?” tanya Derry asal.

          “Emangnya gue pernah punya istri sebelumnya?”

          “Ya enggak sih…. Cuma penasaran, tiba-tiba Mahesa yang jarang dekat sama wanita tiba-tiba menikah. Mendadak pula.”

          “Kan kita pernah bahas ini.”

          “Ya gue pun mengijinkan lo menikah dengan dia kan?”

          Sekar masih bernapas di belakangku. Belum mau memunculkan dirinya di depan Derry. Perawakan Derry adalah berambut panjang, bertato full body, dan brewokan. Tubuhku yang besar dan tinggi sanggup menutup tubuh Sekar yang kecil. 

          “Cepat pulang, kami mau istirahat.”

          “Tega banget. Baru ini gue ketemu sama dia. Di kenalin aja kagak.”

          “Hai, Sekar.” Sekar mengulurkan tangannya. Sekarang malah aku yang berada di belakangnya. Derry dengan senyum lebar membalas jabatan tangan Sekar. Lama sekali, sampai-sampai aku berusaha melepaskan jabatan tangannya.

          “Nggak salah. Bolehkah aku juga mencintaimu?”

          Sekar terlihat bingung dan berubah menjadi ngeri. Dia kembali bersembunyi di belakang tubuhku.

          “Lo jangan ngomong sembarangan ya! Pulang sana!” usirku.

          Derry sibuk membereskan barang-barangnya. Aku mengajak Sekar ke kamar. Sebetulnya kamar di apartemen cuma satu. Tempat tidurnya berada di dalam satu ruangan dengan ruang tv yang merangkap menjadi ruang tamu dan satu ruangan dengan dapur dan meja pantry. Hanya tempat tidur dipisah oleh partisi berwarna coklat dan di beberapa jaraknya terdiri dari berbagai macam tanaman mungil. Derry-lah yang setiap dua minggu sekali yang kusuruh untuk datang menyirami tanaman ini. Sedangkan TV ku tergantung di partisi tersebut.

          “Dia nggak punya rumah?”

          “Punya.”

          “Punya. Cuma aku tuh disuruh datang ke sini untuk bersihkan apartemennya.” ujar Derry dari dapur. Membersihkan meja pantry yang berserakan.

          “Duduk sini.” Sekar menyuruhku. Dia menepuk tangannya di kasur dan menyuruhku duduk di sebelahnya.

          “Kamu jangan seenaknya sama dia. Kamu suruh-suruh dia trus kamu gak hargai dia.”

          Aku terlihat syok. Derry tertawa terbahak-bahak.

          “Wah wah, ada gunanya juga elo menikah. Ada yang nasehatin. Thank’s Lord!

          Wajah Sekar manis sekali. Terlepas dari dia suka marah-marah, tapi ini yang kudambakan. Aku sudah lama tidak mendengar seseorang menasehatiku seperti ini. Derry pengecualian.

          Waktu Derry berteriak pamit untuk pulang. Aku mengantar Derry hingga dia naik ke mobil tuanya. Ketika aku kembali ke apartemen, aku tidak mendapati Sekar di mana pun. Tentu saja, karena apartemenku cukup terbuka dan tidak ada sekat. Aku mendengar aliran air di kamar mandi. Ya mungkin sedang mandi. Setelah aku menunggunya, lumayan lama. Bukan lama lagi. Ini terlalu lama. Aku mulai mengetuk kamar mandi dengan pelan dan memanggil namanya. Tidak ada jawaban.

          Aku mulai panik. Bahkan pintu kamar mandi pun terkunci. Aku berlari ke dapur dan membuka lemari di bawah pipa pembuangan cuci piring. Di situ beberapa perkakas lengkap tersimpan. Aku mengambil salah satu perkakas yang kupikir bisa mencongkel pintu kamar mandi. Dengan cepat dan sekuat tenaga aku mencongkel pintunya dan terbuka lebar. Aku mendapati Sekar tertidur di bath tub tanpa bergeming sedikit pun.

          Astaga! Aku menghampirinya dan beningnya air membuat aku bisa melihat seluruh tubuh telanjang Sekar. Bagaimana dia bisa tertidur di kamar mandi?

          “Sekar bangun.” Aku membangunkannya. Tetap, Sekar tidak bergeming sama sekali. Aku mencubit pipinya dan akhirnya dia terbangun. Seketika itu dia berteriak. Kedua tangannya menutup kedua payudaranya dan bagian bawahnya.

          “KELUAR MAHESA!!!!! KELUAR!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”

          Dia berteriak sekuat tenaga. Sayang sekali, pintunya tidak bisa tertutup rapat lagi.

          “Pintunya nggak bisa tertutup rapat, Sekar.” ujarku di balik pintu dan berusaha memegangnya. Dengan sigap Sekar membalutkan tubuhnya dengan baju berbahan handuk milikku. Terlihat kebesaran. Rambutnya masih tergulung rapih sama seperti aku melihatnya saat berendam. Betul-betul indah sekali pemandanganku malam ini.

          “Kenapa sih sampai teriak begitu. Aku kan suamimu.” godaku. “Nggak ada masalah kalau aku lihat tubuhmu.”

          “Kamu…” Dia tidak bisa berkata apa-apa. Kesal.

          “Lagian bisa-bisanya kamu ketiduran di kamar mandi. Aku pikir kamu kenapa napa di dalam. Aduh! Coba liat, sampai aku congkel pintunya.” Aku menunjuk ke arah pintu.

          Sekar tidak banyak bicara. Dia menunjukkan wajahnya yang super duper kesal padaku. Aku tidak bersalah. Bukan salahku kan? Aku membuka lemari bajuku yang berada tidak jauh dari tempat tidur. Lemari ini pembatas dengan ruangan sebelahnya, tempat aku bekerja. Di bagian belakang lemari bajuku, aku menempelkan lemari buku dan beberapa foto duduk sewaktu aku di New York dan salah satu foto berhargaku dengan Mama.

          Sekar naik ke tempat tidur. Dia hanya memakai kaos milikku yang tidak terlalu bagus dan agak besar hingga aku bisa melihat pahanya kali ini dengan jelas. Dia langsung masuk ke dalam selimut.

          “Aku harap kamu nggak menurunkan suhu ruangan. Ini aja udah dingin banget.” Sekar mengingatkanku. Dia tidak bisa terkena udara yang terlalu dingin. Bagiku suhu ruangan sekarang sangat panas.

          “Gimana kalau aku turunkan suhu ruangan, tapi aku tidur bersamamu?” Aku menggodanya.

          “Silahkan saja naik ke sini. Besok aku tanda tangani surat cerai.”

          Aku tidak menjawab ancaman Sekar. Aku hanya berdiri dalam diam hingga Sekar tidak mengetahui aku berjalan ke arahnya, karena seluruh tubuh Sekar berada di dalam selimut tebal. Selama aku hidup hingga terakhir aku di Bali dan bertemu dengannya, aku tidak pernah ada satu kali pun bergairah dengan seorang wanita. Sampai aku mengajaknya menikah dan aku hampir setiap hari melihat wajahnya yang tanpa make up maupun bersolek. Aku suka memperhatikan setiap gaya Sekar. Hal-hal seperti itu yang membangkitkan gairahku. Apa aku mulai menyukainya? Kurasa tidak mungkin. Jangan sampai ini hanya perasaan suka sesaat karena aku hidup bersamanya tiap hari.

          Aku membuka selimut Sekar. Posisi tidur Sekar melengkung ke samping menahan dingin. Dia terkejut dan berusaha menarik selimutnya kembali. Pahanya yang mulus nyaris tersingkap bagian di sela-sela pahanya.

          “Mahesa!!!” Dia berteriak. Aku tidur di sampingnya. Jarak wajahku dan wajahnya dekat sekali. Dia terlihat marah. “Kamu melanggar semua perjanjian yang kita tulis.”

          “Kamu tahu nggak? Setiap hari kamu selalu teriak-teriak ke aku. Aku ini suami mu loh. Aku harus memperbaharui lagi beberapa poin penting. Dilarang berteriak.” kataku kalem. Wajah Sekar berubah menjadi wajah yang imut sekali. Tidak lagi wajah yang kesal. Merasa aneh. Aku masih melihat wajahnya dengan dekat. Bolehkah aku menciumnya? Boleh? Aku bertanya dalam hati pada diriku sendiri.

          Sekar berdiri dan menarik selimutnya. Sekejap saja aku menarik tangannya dan melemparnya ke kasur dan aku menindihnya. Dia terlihat syok sekali.

          “Kamu mau tidur di sofa?” tanyaku lembut. Tapi wajahku serius.

          “I…Iya…” jawabnya tergagap. Dia terlihat takut menatapku.

          “Kamu tidur di kasur, aku yang tidur di sofa. Kalau kamu izinkan aku tidur di sampingmu.” Aku mengunci kedua tangan Sekar.

          Aku sepertinya memang laki-laki brengsek. Aku bisa menahan semua godaan wanita yang mendekatiku tapi kali ini berbeda. Aku menciumnya dengan lembut. Bibirnya hanya terdiam beberapa saat dan aku tetap menciumnya. Ketika salah satu tanganku yang terbebas tidak memegang tangannya mulai meraba pahanya, dia mengigit bibirku dengan keras.

          “Sekar!!!!!” Aku berteriak dan memegang bibirku yang sedikit berdarah.

          “Kamu Mahesa berani sekali!!” Sekar mulai menendangku, menjambak rambutku, dan memukul seluruh tubuhku. Sangat bar-bar.

          “Aduh, Sekar. Ampun! Aduh sakit, Sekar.”

          Aku berlari ke seluruh apartemen. Sekar berusaha mengejarku dan menyiksaku dengan bar-bar.

          “Kamu sekali lagi seperti itu, serius aku tidak akan melanjutkan pernikahan ini.”

          “Sekar, iya Sekar. Ampun. Aku minta maaf.”

          Ternyata Sekar tidak tergoda. Berarti dia tidak menyukaiku. Semakin menarik. Setelah selesai menyiksaku, Sekar tidur di sofa dengan membawa selimutnya. Aku membiarkannya karena memang aku ingin menonton TV, seperti biasa. Ritual malamku yang mengharuskan aku menonton film. Aku maniac film. Tentunya sambil mengompres bibirku yang nyaris bengkak karena tergigit oleh Sekar.

          Sial!

***

Bab terkait

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.10 - Ngambek

    (Sekar) Aku menekan ponselku berkali-kali dan mengirimkan chat ke Mahesa. Dia tidak mengangkat bahkan melihat chat-ku. Sepertinya aku akan pulang naik bus. Aku mematikan layar komputerku dan tidak sengaja memandang wallpaper foto pernikahanku. Aku memandang Mahesa sejenak. Aku melihat pulpen di depanku dan ingin kulempar layar komputerku karena ada foto Mahesa di sana. Dengan cepat aku mematikan komputer dan bergegas pulang. “Pulang, Kar?” celetuk Laras yang muncul di lorong melewati ruanganku. Dia adalah Manajer Perencanaan. Tubuhnya gemuk dan wajahnya lucu sekali. “Iya.” “Dijemput? Tumben nggak naik sua

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.11 - Mabuk

    (Mahesa) Aku melempar proposal yang sudah dipersiapkan sejak pagi oleh karyawanku. Kemurkaanku bertambah ketika salah satu game developer yang kutemui kemarin mundur. “Kalian tahu market di Indonesia itu seperti apa?!” Semua karyawanku tertunduk dan sebagian masih berani menatapku. “Di sini nggak akan ada yang mau install game yang terlalu rumit.” Aku menghela napas dan berdiri di hadapan mereka semua. “Proposal game yang kalian berikan ke saya ini sampah. Mungkin a

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.12 – Ciuman yang Semakin Intens

    (Sekar) Aku menatap laptop dan beberapa tumpukan kertas di depanku. Pokoknya tidak bisa fokus. Beberapa hari ini di dalam otakku tergambar jelas adegan aku mabuk dan menarik Mahesa untuk kucium. Sangat memalukan. Untungnya Mahesa sibuk bermain game, jadi aku juga sibuk dengan proyek keduaku. Mahesa tidak pernah menggodaku semenjak itu. Lamunanku buyar ketika ponselku berdering. “Halo.” “Dengan Ibu Sekar Arum?” tanya pria diseberang sana. Suaranya berat sekali dan berwibawa. “Iya saya.” Aku menatap layar ponsel dan menerka nomor yang menelponku.&nbs

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.13 – Perasaan yang Belum Pasti

    (Mahesa) “Baik, sampai di sini saja rapat kita. Tolong mulai hari ini kita harus bekerja lebih giat lagi. Berdoa semua akan baik-baik saja untuk peluncuran bulan depan.” ujarku memberikan kata penutup di dalam rapatku pagi itu. Aku berdiri dan diiringi tepuk tangan semua staf yang mengikuti rapat. “Bos, kita langsung pergi ketemu game developer-nya?” tanya Kiano mengikuti langkahku yang cepat. “Jam berapa?” “Sekarang lah, Bos. Mereka udah nungguin di ruangannya Marcel.” Semenjak kejadian game developer

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 14 – Ide Bagus

    (Kiano – Intermezo) Mahesa kalau sedang tidak waras selalu memberikanku banyak sekali tugas. Selesai rapat aku harus membuat beberapa rangkuman rapat yang akan disebar ke seluruh staf hotel. Pukul 4 sore, pekerjaanku baru selesai dan aku turun ke restoran di lantai bawah. Pagi hingga sore, restoran terbuka. Hanya bar saja yang ditutup. Aku duduk di bagian terluar restoran yang menghadap kolam renang dan mengeluarkan sebatang rokok dari kantong celanaku. Sebetulnya aku sudah mengurangi rokok satu tahun terakhir ini. Tapi entah kenapa ada satu batang rokok di dalam dompetku dan aku memindahkannya ke dalam kantong celana. Ketika aku menghembuskan asap pertama, aku melihat Sekar sedang berjalan di sekitar kolam. Sibuk foto beberapa pemandangan yang ada di kolam renang.&

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 15 – Akhir Penemuan

    (Sekar) “Bangun Sekar.” Seseorang menarik selimutku dan mengguncang tubuhku. “Sekar.” panggilnya lagi. Suara Mahesa terdengar nyaring di telingaku. Dia duduk di sampingku dan mengganggu tidur. Semalam dia tidak pulang sama sekali hingga aku terlelap. Sekarang dia coba-coba membangunkanku? “Ada apa sih!” Aku kesal. Aku terduduk tiba-tiba dan membuka mataku. Mahesa sudah baru saja mandi. Rambutnya basah dan hanya berbalut handuk. Dadanya yang telanjang dan terlihat jelas tatonya membuatku terkejut dan menjauh darinya. “Kita mau pergi. Tiga pulu

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 16 – Kenyataan yang Terungkap

    (Sekar) Aku, Kiano, dan Lina duduk di taman. Malam ini udaranya dingin sekali. Desa ini terletak di dataran tinggi di bawah kaki bukit. Aku kurang tahu nama bukitnya. Kami baru selesai makan malam. Nampaknya Mahesa ingin sekali mengobrol banyak dengan Mamanya, jadi aku, Kiano, dan Lina meninggalkan meja makan dengan cepat. “Udah berapa lama Mahesa cari Mamanya?” tanyaku pada Kiano. “Setahuku semenjak dia di sekolah di New York. Dia aja ke New York waktu SMP dan dua tahun setelahnya dia pulang ke Indonesia, udah nggak pernah ketemu sampai ya… baru hari ini ketemu lagi.” Aku berpikir sejenak. Pasti bahagia sekali keadaannya sekarang.&n

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 17 – Perubahan yang Cepat

    (Sekar) Aku sempat lama terduduk di tempat tidur. Cerita semalam bersliweran di benakku. Apa yang harus ku lakukan? Menceraikannya? Mempertahankan kepura-puraan ini sampai habis kontrak? Aku akhirnya memilih langsung mandi dan berencana membuka e-mail-ku kembali. Tapi tab milik Mahesa tidak ada di kamar, dengan enggan aku akhirnya berjalan menuju ruang tengah dan masuk ke ruang makan yang agak luas dan menyatu dengan dapur. Di situ duduk Mahesa, Kiano, dan Lina sedang mengobrol ditemani dengan Siti Mariah. Apa harus kupanggil dirinya? “Tuan Putri baru bangun?” ejek Mahesa. Dia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah 11 siang. “Agak pusing semalam.” N

Bab terbaru

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps.74 – Kegalauan Derry

    (Sekar) Satu bulan kemudian, Derry terlihat sedang melamun melihat langit-langit rumah. Rumah yang direnovasi ini adalah atas namaku. Aku melihat sertifikat rumahnya, sudah berubah setahun yang lalu. Aku tidak mengetahui hal ini, karena ingatanku belum sepenuhnya pulih. Waktu kami liburan di Bali sebulan lalu, Mahesa memberitahu padaku bahwa ada sebuah rumah atas namaku dan Derry sudah merenovasi seutuhnya atas saranku. Dulu. “Apa yang lo lihat?” tanyaku yang ikutan juga memandang langit-langit rumah berwarna putih gading dengan lampu gantung yang indah. “Rumah ini…” Derry menghela napasnya. “Rumah ini adalah rumah terlama yang gue renov.

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 73 – Cemburu

    (Sekar) Aku terbangun dan membuka mataku. Perasaanku terasa bahagia dan tubuhku bugar sekali, walaupun sepertinya aku sudah tidur lama sekali. Perutku benar-benar lapar. Sebetulnya aku terbangun karena mendengar suara Mahesa yang berisik sekali. “Apa? Apa kamu nggak bisa ke selatan sebentar untuk mengecek?” Aku mengerutkan dahiku. Menajamkan pendengaranku dan otakku masih berpikir keras. “Marcel!!! Bisa nggak kamu cek stok senjata di selatan???!!!” teriaknya tidak sabaran. “Kita akan mati!!!” Kali ini dia berteriak. Aku duduk di kasur. Melihat Mahesa berada di balkon, duduk di k

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 72 – Akhirnya

    (Mahesa) Keesokan paginya aku bangun tiba-tiba. Terduduk di atas kasur. Aku mengingat kejadian semalam. Aku hanya ingat aku agak mabuk dan mengobrol dengan Sekar. Kepalaku agak pusing sedikit dan… aku melihat Sekar masih tertidur disampingku. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menyelimuti diriku sambil memeluk Sekar. Waktu tanganku berada di pinggangnya, dengan cepat Sekar membuang tanganku dan duduk. Seperti menghindar. “Kamu sudah bangun?” tanyaku kaget. “Aku sudah berdiri, berarti sudah bangun.” jawabnya cuek tanpa melihatku. Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia. Bad mood sekali. Apa dia masih marah karena kemarin? “Hari ini

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 71 – Ketakutan

    (Sekar) Pagi ini, untuk pertama kali aku tidur dengan nyaman. Seseorang memelukku, tidak ada mimpi, aku menghirup udara yang segar, dan seseorang memainkan rambutku. Mahesa. Aku ingat aku tidur semalam dengan Mahesa. Aku tidur duluan ketika Mahesa mandi. Aku membuka mataku pelan. Wajah Mahesa pertama kali yang kulihat. Dia menatapku lekat sekali sambil memainkan rambutku. “Aku membangunkanmu?” tanyanya pelan. Dia tersenyum sedikit. “Tidurlah lagi. Aku bisa menunggumu bangun.” ujarnya lagi. Aku menyipitkan mataku. Dia membungkusku dengan selimut tebal dan dia berada di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuhku. “Kamu mau ke kan

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 70 – Mau Cerai ?

    (Sekar) Di dalam mimpiku, aku benar-benar jelas melihat wajah Mahesa. Seorang pria yang ternyata bersamaku di pantai. Pantai yang sama ketika aku pertama kali dibawa oleh Mahesa. Deburan ombaknya, benar-benar mengingatkanku pertama kali dimana ketika aku bertemu dengan Mahesa waktu itu. Adegan demi adegan, aku mengingatnya. Sampai pada akhirnya, berpindah pada adegan ketika aku berada di rumah sakit. Bagian ini aku tidak ingat. Aku hanya melihat sebuah janin yang terdapat di layar bersama Mahesa. Apakah aku pernah memiliki anak? Seketika saja air mataku jatuh. Waktu itu aku merasakan seseorang menghapus air mataku dan aku tersadar dari tidurku. “Kamu menangis?” tanyanya. “Kamu kenapa di sini?” 

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 69 – Dia Suamiku?

    (Sekar) Tanganku terasa basah dan lembab. Ternyata handuk kecil yang ada di pelipis Mahesa terjatuh. Aku tidak tidur pulas kali ini. Selalu terjaga. Jadi ketika ada sesuatu yang bergerak atau mendengar suara, aku langsung membuka mataku. Aku mengambil handuk itu dan ternyata Mahesa menoleh ke arahku. Membuka matanya. “Sekar…” panggilnya lemah dan serak. “Ya?” “Dimana air? Aku haus.” Dia melihat meja di sampingnya. Aku meletakkan air minum di meja kecil dekat sofa. Aku bergegas mengambilnya dan memberikannya pada Mahesa. Mahesa membaringkan tubuhnya kembali.&

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 68 – Gambaran Itu II

    (Mahesa) Darius menggiring kami ke ruang kerjanya. Aku sebetulnya baru datang lagi ke rumah ini. Setahuku Rosa sudah tidak tinggal di sini karena dirinya kecewa dengan Darius yang berani menjebloskan dua anak kandungnya ke penjara. Walaupun katanya asisten rumah tangga di rumah ini, Rosa terkadang menyempatkan diri beberapa hari untuk pulang. Tetapi memang hubungan Rosa dan Darius sepertinya tidak bisa membaik kembali. Jadi, rumah ini terasa sepi sekali. Hubunganku dengan Darius membaik, bahkan diluar ekpektasi aku benar-benar berperan seperti anaknya. Kadang aku agak gugup jika harus memanggilnya ‘Papa’. Foto keluarga yang dipajang Darius di depan ruang tamu masih terpajang di dinding dengan gagah. Walaupun foto keluarga tersebut diambil sekitar beberapa tahun yang lalu ketika aku be

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 67 – Ketemu  

    (Mahesa) Aku, Kiano, dan Derry yang sengaja datang ke kantorku menonton rekaman cctv yang ada di dalam ruang kerjaku. Kiano dan Derry mematung. “Di…dia bisa buka brankas lo? Apa dia tahu kodenya?” tanya Derry. “Semua kode dan password yang Mahesa punya itu tanggal, bulan, dan tahun pernikahan.” Kiano menjawab pertanyaan Derry yang ditujukan padaku. Aku menghela napas panjang. Beranjak dari kursi kerjaku. Aku membanting tubuhku ke sofa yang agak keras. Memandang brankas sialan itu. Sekar sudah hampir 5 jam tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati dan otomatis aku tidak bisa melihatnya kapan pemberhentian terakhirnya.&nbs

  • Marriage Proposal : Kenapa Aku Harus Menikahimu?   Eps. 66 – Kebenaran Terungkap

    (Sekar) “Halo.” “Kamu dimana?” “Di jalan. Mau pulang.” jawab Mahesa. Suaranya agak jauh. Mungkin dia menggunakan mode speaker. “Kenapa?” “Aku mau ambil sesuatu di apartemenmu.” Aku menyandarkan tubuhku di depan pintu apartemen. “Jadi aku butuh password kunci pintunya.” “Kamu datang sendiri? Ini sudah jam setengah dua belas malam.” Mahesa heran. “Berapa?” Telunjukku sudah siap untuk memencet tombolnya.&nb

DMCA.com Protection Status