(Sekar)
Aku menekan ponselku berkali-kali dan mengirimkan chat ke Mahesa. Dia tidak mengangkat bahkan melihat chat-ku. Sepertinya aku akan pulang naik bus. Aku mematikan layar komputerku dan tidak sengaja memandang wallpaper foto pernikahanku. Aku memandang Mahesa sejenak. Aku melihat pulpen di depanku dan ingin kulempar layar komputerku karena ada foto Mahesa di sana. Dengan cepat aku mematikan komputer dan bergegas pulang.
“Pulang, Kar?” celetuk Laras yang muncul di lorong melewati ruanganku. Dia adalah Manajer Perencanaan. Tubuhnya gemuk dan wajahnya lucu sekali.
“Iya.”
“Dijemput? Tumben nggak naik suami lo.”
“Naik bus.” jawabku sambil berjalan beriringan dengannya.
“Istri Mahesa kok masih naik bus?”
Aku melirik tajam ke Laras. Memberikan peringatan agar tidak berbicara dengan keras dan terdengar oleh karyawan-karyawan yang belum pulang. Laras menutup mulutnya, kemudian aku melambaikan tanganku pada Laras. Dia membalas lambaian tanganku. Di lobi aku baru sadar dengan kartu busku yang aku letakkan di kamar. Terpaksa aku membeli kartu di supermarket terdekat. Tidak bisa dibilang dekat karena aku harus berjalan sekitar 15 menit menuju supermarket dan berjalan kembali ke jalan raya untuk naik ke dalam halte bus TransJakarta.
Mahesa sialan! Dia nggak angkat teleponku! Aku betul-betul lupa password kunci apartemennya. Soalnya setiap hari aku selalu pulang ke apartemen dengannya dan selalu Mahesa yang membukakan pintu. Akhirnya, aku turun di halte yang memiliki transit bus menuju rumahku. Sudah hampir pukul setengah 8 malam aku tiba di rumah. Kedua orang tuaku terkejut karena kedatanganku di rumah.
Waktu aku ingin mandi, ponselku berdering.
Gak Jelas.
Iya, aku mengganti nama Mahesa tadi ketika perjalananku pulang ke rumah menjadi “Gak Jelas”. Ponselku berdering hingga tiga kali dan tidak ada niatanku untuk mengangkatnya. Hingga aku selesai mandi. Sepuluh panggilan tak terjawab.
“Sekar kamu kenapa gak angkat telpon dari Mahesa?” tanya Ibu waktu aku keluar dari kamar ingin meletakkan handuk di jemuran.
“Aku lagi mandi.” Aku menjawab santai pertanyaan Ibu.
“Ibu bilang kamu ke sini .”
Aku hanya mengangguk-angguk cuek. Membuka tudung saji di meja makan dan mencomot beberapa lauk.
“Tunggu Mahesa dulu, baru kamu makan malam.” ujar Ibu pelan dari ruang keluarga.
Memang tidak berapa lama, Mahesa datang. Wajahnya yang putih bersih terlihat kelelahan. Dia menyapa Ibu dan Ayahku dengan ramah dan langsung menuju meja makan. Lapar katanya. Bahkan dia tidak berbicara padaku sedikit pun di meja makan.
“Kamu mau pulang atau tidur di sini?” tanyanya tiba-tiba ketika dia membuka pintu kamar.
Aku tidak menjawab.
“Kenapa kamu nggak langsung ke apartemen?”
Aku menoleh ke arah Mahesa.
“Maaf, hapeku ketinggalan di kantor.” katanya sebelum aku menerjangnya dengan banyak makian. “Lalu kamu balas dendam nggak angkat teleponku.” Dia mulai menuduh.
“Aku lagi mandi.”
“Oh… “ Mahesa menganggukkan kepalanya. Tidak jadi menuduh.
“Kalau kamu nggak di kantor trus kamu kemana?”
“Ketemu calon gamers.”
“Trus kamu berhubungan dengan gamers itu pakai apa?”
“Kiano yang berhubungan dengan mereka.”
“Kiano?”
“Iya, asistenku.”
Aku mengerti. Mungkin aku bisa memahami kesibukan Mahesa karena dia baru merintis perusahaannya. Aku mulai memasukkan beberapa buku yang kemungkinan akan kubaca di apartemen Mahesa.
“Jadi? Kita akan pulang apa tidur di sini?”
“Kapan kamu mau kasih tahu aku password apartemen?”
“Eh? Bukannya kamu tahu. Aku kan pernah kasih tahu sebelumnya.” Mahesa heran. Dia duduk di sebelahku. Bersila di lantai. “Yaudah nanti aku ganti saja deh passwordnya.” Mahesa memegang rambutku yang tergurai dan menyibakkannya ke belakang telinga.
(Mahesa)
Aku memencet beberapa tombol pada kunci pintu apartemenku dan mengatur beberapa password baru.
“Angkanya mau apa biar kamu ingat?” tanyaku. Sekar terlihat bingung.
“Kalau Derry datang dan dia nggak bisa masuk bagaimana?”
“Derry? Dia sudah aku larang ke sini. Kenapa kamu mikirin dia?” Suaraku terdengar kesal.
“Enggak aku cuma tanya aja. Waktu aku ketemu dia di apartemen, dia kan udah masuk duluan sementara aku belum datang.”
Tiga hari yang lalu Sekar janji bertemu dengan Derry di apartemen. Waktu itu aku dan Sekar terkena macet di jalan menuju apartemen. Ketika kami datang, Derry sudah berada di dalam apartemen.
“Jadi mau diganti apa?” Aku tidak sabaran.
“Tanggal pernikahan aja.” usulnya.
Ide bagus. Aku mulai memasukkan beberapa angka dan pintu apartemen pun terbuka.
“Awas kamu lupa lagi.” ancamku padanya.
Sekar masuk duluan karena dia membawa satu kardus kecil berisi buku-buku. Lalu dia menuju lemari bukuku dan menyusunnya di sana. Di tempat yang tidak terlalu banyak bukunya.
“Oh, aku lupa.” teriak Sekar tiba-tiba ketika selesai menyusun buku.
“Apa?” tanyaku dari kamar. Aku sedang membuka kemejaku.
Sekar berlarian mencari sesuatu di dalam tasnya. Lalu dia mengambil dompet.
“Udah tutup belum ya minimarket di bawah? Udah jam setengah 11 malam soalnya.” Wajahnya cemas.
“Kenapa? Kenapa?”
“Aku mau beli roti buat sarapan besok.”
“Mungkin belum kalau kamu lari ke sana sekarang.” perintahku.
Sekar tidak menoleh ke arah ku sedikit pun karena aku sudah membuka kemejaku.
“Coba kamu cek di lemari, apa selainya masih ada atau enggak. Nanti kamu telepon aku ya.” Kemudian dia melesat pergi dan menghilang.
Aku berjalan ke arah dapur dan membuka pintu lemari yang ada di atas. Mengecek sesuai perintah Sekar. Aku mengambil dua toples kaca. Hampir habis. Akhirnya aku menelpon Sekar untuk memberitahu bahwa selainya habis. Nihil. Aku mendengar ponsel Sekar berdering di dalam kardus yang dibawanya tadi. Ternyata Sekar lupa ponselnya.
Gak Jelas? Dia menulis namaku dengan Gak Jelas? Aku membuka ponsel Sekar dan mengubah namaku dan mengambil foto selfie-ku. Rasa penasaranku besar sekali. Aku membuka ponsel Sekar dan melihat-lihat apa saja yang ada di dalamnya. Masih ada foto-fotonya dengan Kevin. Seketika aku menghapusnya dan beberapa e-mail dari Kevin. Aku terlihat sangat kesal kenapa Sekar masih menyimpan fotonya dengan Kevin.
Selesai mandi, aku melihat Sekar merapihkan beberapa barang di pantry.
“Selainya habis loh. Hapemu ketinggalan pas aku telepon.” kataku. Tubuhku masih terlihat basah dan hanya berbalut handuk. Sekar selalu menjaga pandangannya dari tubuhku.
“Iya. Tapi aku beli kok selainya.” ujarnya.
Selesai memakai baju, aku merebahkan tubuhku di sofa dan menyalakan TV.
“Sekar.”
“Hmmm.” gumamnya sambil menaikkan suhu ruangan dan masuk ke dalam selimut tebal di tempat tidur.
“Sini.” Aku melambaikan tanganku. Memanggilnya.
“Mau tidur ih.”
“Sebentar aja.”
Sekar sudah duduk di sebelahku.
“Ada apa?”
“Temani aku nonton.” Aku merangkul tubuh Sekar. Dia menaikkan kakinya ke sofa. Hampir setiap malam aku menggoda Sekar. Sayangnya Sekar tidak pernah tergoda akan pesonaku. Kenapa ya aku selalu menggoda Sekar? Aku suka sekali.
“Ini sambungan yang kemarin?” tanyanya.
“Iya. Masak kamu gak bisa bedakan sih? Tiap hari kan episodenya berbeda.”
“Aku nggak pernah nonton yang bersambung begini.” katanya serius menatap ke arah TV. Aku masih memeluk Sekar. Apa Sekar menganggapku sebagai temannya? Aku masih bertanya-tanya dalam hati. Eh? Kenapa aku yang terlalu bawa perasaan? Aku menelan air liurku.
“Kamu masih simpan foto-foto Kevin?”
Sekar yang menyandarkan kepalanya di bahuku langsung terkejut.
“Kamu buka-buka hapeku?”
“Aku sudah hapus semua foto-fotonya.”
“Mahesa, kamu melanggar poin dua.”
Aku menghela napas.
“Coba ingat poin tiga dari perjanjianku.”
Sekar mengernyitkan dahinya.
“Memangnya kenapa sama poin tiga? Aku harus apa?” Sekar membusungkan dadanya. Seolah-olah ngajak berantem.
“Hak aku sebetulnya menghapus foto Kevin, karena aku suamimu.” Aku mendekatkan wajahku padanya.
“Tapi kamu sudah melanggar. Itu kan privasiku. Suka-suka aku dong mau hapus apa enggak.” Raut wajah Sekar berubah menjadi tidak suka. Dia berdiri dan meninggalkanku di sofa menonton TV sendirian.
Besok paginya, ketika aku terbangun, aku tidak melihat Sekar di tempat tidur maupun di kamar mandi. Aku berjalan ke pantry dan melihat beberapa roti bakar dan jus jeruk yang disediakan.
Habiskan roti dan jus jeruknya.
Sampai ketemu nanti malam. Aku akan masak.
-SAM-
Apa Sekar marah karena kejadian semalam. Aku memang melanggar poin yang sudah kutetapkan sendiri. Aku menghela napas panjang dan menggigit roti yang disediakan Sekar. Menatap sepinya keseluruhan apartemen ini tanpa suara Sekar.
***
(Mahesa) Aku melempar proposal yang sudah dipersiapkan sejak pagi oleh karyawanku. Kemurkaanku bertambah ketika salah satu game developer yang kutemui kemarin mundur. “Kalian tahu market di Indonesia itu seperti apa?!” Semua karyawanku tertunduk dan sebagian masih berani menatapku. “Di sini nggak akan ada yang mau install game yang terlalu rumit.” Aku menghela napas dan berdiri di hadapan mereka semua. “Proposal game yang kalian berikan ke saya ini sampah. Mungkin a
(Sekar) Aku menatap laptop dan beberapa tumpukan kertas di depanku. Pokoknya tidak bisa fokus. Beberapa hari ini di dalam otakku tergambar jelas adegan aku mabuk dan menarik Mahesa untuk kucium. Sangat memalukan. Untungnya Mahesa sibuk bermain game, jadi aku juga sibuk dengan proyek keduaku. Mahesa tidak pernah menggodaku semenjak itu. Lamunanku buyar ketika ponselku berdering. “Halo.” “Dengan Ibu Sekar Arum?” tanya pria diseberang sana. Suaranya berat sekali dan berwibawa. “Iya saya.” Aku menatap layar ponsel dan menerka nomor yang menelponku.&nbs
(Mahesa) “Baik, sampai di sini saja rapat kita. Tolong mulai hari ini kita harus bekerja lebih giat lagi. Berdoa semua akan baik-baik saja untuk peluncuran bulan depan.” ujarku memberikan kata penutup di dalam rapatku pagi itu. Aku berdiri dan diiringi tepuk tangan semua staf yang mengikuti rapat. “Bos, kita langsung pergi ketemu game developer-nya?” tanya Kiano mengikuti langkahku yang cepat. “Jam berapa?” “Sekarang lah, Bos. Mereka udah nungguin di ruangannya Marcel.” Semenjak kejadian game developer
(Kiano – Intermezo) Mahesa kalau sedang tidak waras selalu memberikanku banyak sekali tugas. Selesai rapat aku harus membuat beberapa rangkuman rapat yang akan disebar ke seluruh staf hotel. Pukul 4 sore, pekerjaanku baru selesai dan aku turun ke restoran di lantai bawah. Pagi hingga sore, restoran terbuka. Hanya bar saja yang ditutup. Aku duduk di bagian terluar restoran yang menghadap kolam renang dan mengeluarkan sebatang rokok dari kantong celanaku. Sebetulnya aku sudah mengurangi rokok satu tahun terakhir ini. Tapi entah kenapa ada satu batang rokok di dalam dompetku dan aku memindahkannya ke dalam kantong celana. Ketika aku menghembuskan asap pertama, aku melihat Sekar sedang berjalan di sekitar kolam. Sibuk foto beberapa pemandangan yang ada di kolam renang.&
(Sekar) “Bangun Sekar.” Seseorang menarik selimutku dan mengguncang tubuhku. “Sekar.” panggilnya lagi. Suara Mahesa terdengar nyaring di telingaku. Dia duduk di sampingku dan mengganggu tidur. Semalam dia tidak pulang sama sekali hingga aku terlelap. Sekarang dia coba-coba membangunkanku? “Ada apa sih!” Aku kesal. Aku terduduk tiba-tiba dan membuka mataku. Mahesa sudah baru saja mandi. Rambutnya basah dan hanya berbalut handuk. Dadanya yang telanjang dan terlihat jelas tatonya membuatku terkejut dan menjauh darinya. “Kita mau pergi. Tiga pulu
(Sekar) Aku, Kiano, dan Lina duduk di taman. Malam ini udaranya dingin sekali. Desa ini terletak di dataran tinggi di bawah kaki bukit. Aku kurang tahu nama bukitnya. Kami baru selesai makan malam. Nampaknya Mahesa ingin sekali mengobrol banyak dengan Mamanya, jadi aku, Kiano, dan Lina meninggalkan meja makan dengan cepat. “Udah berapa lama Mahesa cari Mamanya?” tanyaku pada Kiano. “Setahuku semenjak dia di sekolah di New York. Dia aja ke New York waktu SMP dan dua tahun setelahnya dia pulang ke Indonesia, udah nggak pernah ketemu sampai ya… baru hari ini ketemu lagi.” Aku berpikir sejenak. Pasti bahagia sekali keadaannya sekarang.&n
(Sekar) Aku sempat lama terduduk di tempat tidur. Cerita semalam bersliweran di benakku. Apa yang harus ku lakukan? Menceraikannya? Mempertahankan kepura-puraan ini sampai habis kontrak? Aku akhirnya memilih langsung mandi dan berencana membuka e-mail-ku kembali. Tapi tab milik Mahesa tidak ada di kamar, dengan enggan aku akhirnya berjalan menuju ruang tengah dan masuk ke ruang makan yang agak luas dan menyatu dengan dapur. Di situ duduk Mahesa, Kiano, dan Lina sedang mengobrol ditemani dengan Siti Mariah. Apa harus kupanggil dirinya? “Tuan Putri baru bangun?” ejek Mahesa. Dia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah 11 siang. “Agak pusing semalam.” N
(Mahesa) Rasanya jantungku berhenti berdetak sewaktu melihat Sekar tidak bisa bernapas di dalam lift kemarin. Baru ini perasaan takut kehilangan melandaku. Aku memutar pulpen di jemariku dan tidak fokus dengan rapat pagi ini. Kiano menyenggolku beberapa kali untuk memperhatikan ke arah monitor dari laporan yang sedang dipresentasikan dan beberapa rincian biaya untuk merenovasi beberapa titik di hotel ini. “If you don’t pay attention in this meeting, I swear to God I won’t help you in any way.” ujar Kiano lirih di sebelah telingaku. Aku meliriknya. “Then step down soon from me.” balasku. Rapat krusial tiga
(Sekar) Satu bulan kemudian, Derry terlihat sedang melamun melihat langit-langit rumah. Rumah yang direnovasi ini adalah atas namaku. Aku melihat sertifikat rumahnya, sudah berubah setahun yang lalu. Aku tidak mengetahui hal ini, karena ingatanku belum sepenuhnya pulih. Waktu kami liburan di Bali sebulan lalu, Mahesa memberitahu padaku bahwa ada sebuah rumah atas namaku dan Derry sudah merenovasi seutuhnya atas saranku. Dulu. “Apa yang lo lihat?” tanyaku yang ikutan juga memandang langit-langit rumah berwarna putih gading dengan lampu gantung yang indah. “Rumah ini…” Derry menghela napasnya. “Rumah ini adalah rumah terlama yang gue renov.
(Sekar) Aku terbangun dan membuka mataku. Perasaanku terasa bahagia dan tubuhku bugar sekali, walaupun sepertinya aku sudah tidur lama sekali. Perutku benar-benar lapar. Sebetulnya aku terbangun karena mendengar suara Mahesa yang berisik sekali. “Apa? Apa kamu nggak bisa ke selatan sebentar untuk mengecek?” Aku mengerutkan dahiku. Menajamkan pendengaranku dan otakku masih berpikir keras. “Marcel!!! Bisa nggak kamu cek stok senjata di selatan???!!!” teriaknya tidak sabaran. “Kita akan mati!!!” Kali ini dia berteriak. Aku duduk di kasur. Melihat Mahesa berada di balkon, duduk di k
(Mahesa) Keesokan paginya aku bangun tiba-tiba. Terduduk di atas kasur. Aku mengingat kejadian semalam. Aku hanya ingat aku agak mabuk dan mengobrol dengan Sekar. Kepalaku agak pusing sedikit dan… aku melihat Sekar masih tertidur disampingku. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menyelimuti diriku sambil memeluk Sekar. Waktu tanganku berada di pinggangnya, dengan cepat Sekar membuang tanganku dan duduk. Seperti menghindar. “Kamu sudah bangun?” tanyaku kaget. “Aku sudah berdiri, berarti sudah bangun.” jawabnya cuek tanpa melihatku. Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia. Bad mood sekali. Apa dia masih marah karena kemarin? “Hari ini
(Sekar) Pagi ini, untuk pertama kali aku tidur dengan nyaman. Seseorang memelukku, tidak ada mimpi, aku menghirup udara yang segar, dan seseorang memainkan rambutku. Mahesa. Aku ingat aku tidur semalam dengan Mahesa. Aku tidur duluan ketika Mahesa mandi. Aku membuka mataku pelan. Wajah Mahesa pertama kali yang kulihat. Dia menatapku lekat sekali sambil memainkan rambutku. “Aku membangunkanmu?” tanyanya pelan. Dia tersenyum sedikit. “Tidurlah lagi. Aku bisa menunggumu bangun.” ujarnya lagi. Aku menyipitkan mataku. Dia membungkusku dengan selimut tebal dan dia berada di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuhku. “Kamu mau ke kan
(Sekar) Di dalam mimpiku, aku benar-benar jelas melihat wajah Mahesa. Seorang pria yang ternyata bersamaku di pantai. Pantai yang sama ketika aku pertama kali dibawa oleh Mahesa. Deburan ombaknya, benar-benar mengingatkanku pertama kali dimana ketika aku bertemu dengan Mahesa waktu itu. Adegan demi adegan, aku mengingatnya. Sampai pada akhirnya, berpindah pada adegan ketika aku berada di rumah sakit. Bagian ini aku tidak ingat. Aku hanya melihat sebuah janin yang terdapat di layar bersama Mahesa. Apakah aku pernah memiliki anak? Seketika saja air mataku jatuh. Waktu itu aku merasakan seseorang menghapus air mataku dan aku tersadar dari tidurku. “Kamu menangis?” tanyanya. “Kamu kenapa di sini?” 
(Sekar) Tanganku terasa basah dan lembab. Ternyata handuk kecil yang ada di pelipis Mahesa terjatuh. Aku tidak tidur pulas kali ini. Selalu terjaga. Jadi ketika ada sesuatu yang bergerak atau mendengar suara, aku langsung membuka mataku. Aku mengambil handuk itu dan ternyata Mahesa menoleh ke arahku. Membuka matanya. “Sekar…” panggilnya lemah dan serak. “Ya?” “Dimana air? Aku haus.” Dia melihat meja di sampingnya. Aku meletakkan air minum di meja kecil dekat sofa. Aku bergegas mengambilnya dan memberikannya pada Mahesa. Mahesa membaringkan tubuhnya kembali.&
(Mahesa) Darius menggiring kami ke ruang kerjanya. Aku sebetulnya baru datang lagi ke rumah ini. Setahuku Rosa sudah tidak tinggal di sini karena dirinya kecewa dengan Darius yang berani menjebloskan dua anak kandungnya ke penjara. Walaupun katanya asisten rumah tangga di rumah ini, Rosa terkadang menyempatkan diri beberapa hari untuk pulang. Tetapi memang hubungan Rosa dan Darius sepertinya tidak bisa membaik kembali. Jadi, rumah ini terasa sepi sekali. Hubunganku dengan Darius membaik, bahkan diluar ekpektasi aku benar-benar berperan seperti anaknya. Kadang aku agak gugup jika harus memanggilnya ‘Papa’. Foto keluarga yang dipajang Darius di depan ruang tamu masih terpajang di dinding dengan gagah. Walaupun foto keluarga tersebut diambil sekitar beberapa tahun yang lalu ketika aku be
(Mahesa) Aku, Kiano, dan Derry yang sengaja datang ke kantorku menonton rekaman cctv yang ada di dalam ruang kerjaku. Kiano dan Derry mematung. “Di…dia bisa buka brankas lo? Apa dia tahu kodenya?” tanya Derry. “Semua kode dan password yang Mahesa punya itu tanggal, bulan, dan tahun pernikahan.” Kiano menjawab pertanyaan Derry yang ditujukan padaku. Aku menghela napas panjang. Beranjak dari kursi kerjaku. Aku membanting tubuhku ke sofa yang agak keras. Memandang brankas sialan itu. Sekar sudah hampir 5 jam tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati dan otomatis aku tidak bisa melihatnya kapan pemberhentian terakhirnya.&nbs
(Sekar) “Halo.” “Kamu dimana?” “Di jalan. Mau pulang.” jawab Mahesa. Suaranya agak jauh. Mungkin dia menggunakan mode speaker. “Kenapa?” “Aku mau ambil sesuatu di apartemenmu.” Aku menyandarkan tubuhku di depan pintu apartemen. “Jadi aku butuh password kunci pintunya.” “Kamu datang sendiri? Ini sudah jam setengah dua belas malam.” Mahesa heran. “Berapa?” Telunjukku sudah siap untuk memencet tombolnya.&nb