Episode 5 – Pernikahan di Sore Hari
(Sekar)
Pukul 1 siang.
Reni tidak menghubungiku sama sekali setelah tahu aku akan menikah dengan Mahesa. Hari ini. Aku baru saja mulai untuk didandani. Mbak Lina mengatur semua pernikahanku. Sepertinya Mbak Lina mengenal baik Mahesa, karena Mbak Lina berada di kamarku sekarang. Menungguku atas permintaan Mahesa.
“Mbak Sekar, saya cuma mau bilang beruntung sekali Mbak Sekar menikah dengan Pak Mahesa.” ujarnya tiba-tiba.
“Terima kasih, Mbak.”
Mahesa
01.06 PM
Sekar sayang, aku mau bilang sesuatu ke orang tuamu.
Aku membaca chat Mahesa dan sontak terkejut. Nyaris berdiri. Si tukang make up ku juga ikut terkejut.
01.10 PM
Apa yg mau kamu bilang? Aku khawatir ayah sama ibu akan pingsan. Aku siap2 tlp RS.
Mahesa
01.20 PM
L
Aku tidak membalas lagi chat dari Mahesa. Aku berserah diri. Semoga Reni dapat menetralisir keadaan. Pastinya orang tuaku syok sekali mendengar kabar ini.
Ketika aku selesai didandani dan memakai gaun, seseorang mengetuk kamarku. Mbak Lina berdiri dan membukanya.
“Selamat sore, Bu.” sapanya. Terlihat Mbak Lina sangat hormat dan santun sekali.
Seorang wanita berumur mungkin 50-an berdandan rapih, bergaya sangat stylish menerobos masuk ke kamarku dengan diikuti dua laki-laki memakai blazer senada tanpa mengenakan dasi. Kedua laki-laki ini terlihat angkuh.
“Ini calonnya Mahesa?” tanya wanita itu kepada Mbak Lina.
“Iya Bu.” jawab Mbak Lina sopan.
Kedua laki-laki dibelakangnya menatapku dengan tatapan yang tajam.
“Saya Sekar. Salam kenal.” Aku menundukkan tubuhku sedikit. Mencoba untuk memberanikan diri.
“Saya Mamanya Mahesa.” Dia tersenyum. “Sampai ketemu di akad nikah ya.” Kemudian dia menghilang begitu saja dari kamarku. Aku sempat melongo lama sekali. Tertegun sambil memandang tukang make up ku yang masih sibuk memolesku.
Pukul Setengah 4 Sore.
Aku sudah turun ke bawah. Ke area kolam renang yang ternyata luas sekali. Lebih luas daripada mini ballroom yang mau kusewa. Aku memikirkan berapa biayanya jika aku menikah disini dengan setting outdoor. Indah sekali setting-an pernikahanku. Mbak Lina terlihat puas atas maha karyanya. Sedari tadi aku menunggu keluargaku datang mendatangiku di sebuah ruangan kaca yang ditutupi vitras, lokasinya di dalam kolam renang. Nampaknya ini adalah ruang gym. Aku bisa melihat ekspresi keheranan tamu-tamu yang datang dan ada beberapa temanku yang mengirimiku beberapa pesan dan bertanya, Kemana Kevin? Kenapa aku tidak menikah dengan Kevin? dan siapa calon suamiku?
Reni dan Kamila muncul dihadapanku ketika aku menatap ponselku dengan enggan. Reni dan Kamila cantik sekali. Mereka berdua memakai gaun yang senada. Pilihanku. Wajah Kamila senang sekali.
“Sekar…Sekar, akhirnya kawin juga.” celetuknya. Dengan cueknya dia ber-selfie ria dengan aku sebagai latar belakangnya.
Aku memberikan kode kepada Reni atas apa saja yang terjadi tadi siang.
“Elo harus minta maaf setelah akad nikah diadakan. Bersujud kalau perlu.” Reni berbisik.
“Gimana Mahesa?” tanyaku penasaran.
“Berterima kasihlah sama Kamila.” jawabnya sambil melirik Kamila.
“Kenapa sama Kamila?” heranku.
“Dia yang ngeyakinin Ayah sama Ibu bahwa Mahesa adalah laki-laki yang pantas buat lo.”
“Ya, gue bilang sama Ayah Ibu kalau cuma Mahesa yang berani kasih kartu kreditnya ke gue. Cuma Mahesa yang nyambung ngobrol sama gue dan Reni. Coba liat Kevin? Mana pernah dia ajak ngobrol Reni sama gue?!” celetuk Kamila dengan cueknya.
Aku meremas gaunku.
Apa yang dikatakan Kamila adalah benar. Kevin tidak pernah terlihat akrab dengan Reni atau pun Kamila.
“Elo belikan apa kartu kreditnya? Jangan sembarangan.”
“Satu set bikini sama gelato. Nggak mahal sih.” jawab Kamila sekenanya.
Aku menghembuskan napasku berat sekali. Mbak Lina terlihat tersenyum mendengarnya.
Walkie talkie yang Mbak Lina pegang bersuara.
“Mbak Lin.” sapa seorang laki-laki. Mungkin wedding organizer yang berada stand by di lokasi.
“Ya.”
“Mempelai pria sudah masuk dan duduk. Ibu mempelai pria dan keluarganya sudah duduk. Ibu mempelai wanita juga sudah ready. Penghulu sudah datang dan wali nikah, Bapak mempelai wanita juga sudah ready semua.” jelasnya
“Oke, saya ke sana bersama mempelai wanita dan kedua saudaranya ya.”
“Good luck.” balasnya.
Aku menatap ke arah jendela kembali. Aku bisa melihat Ayah sudah duduk berhadapan dengan Mahesa. Sedangkan Mahesa tertunduk. Tanganku dingin sekali ketika aku mencengkeram erat tangan Reni. Dia melihatku penuh keprihatinan dan bahagia tentunya. Kamila? Anak ini selalu berbahagia nampaknya.
Aku mengambil napas dan membuangnya berkali-kali, karena jantungku berdegup kencang sekali. Ini bukan pernikahan yang kuinginkan tapi memang ini pernikahanku. Aku bisa melihat jelas papan yang terukir dengan namaku Sekar Arum Minati binti Prasetyo Minsoharja dengan Mahesa Elangga Putra bin Darius Elanggasyah. Kakiku lemas sekali. Aku melihat wajah-wajah bahagia dari tamu yang datang untuk menyaksikan akad nikah ini. Ada beberapa yang kukenal dari teman-temanku dan beberapa kolega Ayah dan Ibu. Hanya sedikit. Tetapi yang banyak sekali datang hingga tidak kebagian tempat duduk mungkin adalah kolega-kolega dari keluarga Mahesa.
Aku bisa melihat wanita yang mendatangiku di kamar duduk bersama Ibuku. Dibelakangnya adalah kedua laki-laki angkuh. Ibu terlihat sudah berkaca-kaca melihatku datang. Mahesa? Mahesa melihatku dengan senyuman welas asihnya. Senyuman menjengkelkan bagiku. Dia tampan sekali memang. Ketika aku duduk dan menatap Ayah, Mahesa memegang tanganku sebentar. Aku tahu tangannya juga dingin dan berkeringat. Ayah tidak berani menatapku. Mungkin karena terlalu marah dan pikirannya berkecamuk. Harusnya dia menikahkan anaknya dengan Kevin bukan dengan Mahesa, laki-laki yang baru dikenalnya sehari.
Semua prosesi berjalan dengan khidmat. Mahesa mengucapkan segala sesuatunya dengan lantang tanpa teks. Dia menjabat tangan Ayahku dengan erat dan mantap. Sewaktu prosesi akad nikah, aku melihat Kevin dari kejauhan. Tidak bisa kubayangkan betapa hancur hatinya. Sehancur ketika kudapati dirinya sedang satu kamar dengan wanita yang selalu ditemaninya dari dulu. Dia tidak lepas dengan wanitanya.
Akhirnya ketika semua berteriak SAH! bersamaan, aku mencium tangan Mahesa dan dia menyematkan cincin padaku. Cincin yang kucoba-coba di pasar dua malam yang lalu. Cincin yang kupilih dan cincin yang paling mewah. Seperti cincin pernikahanku dengan Kevin. Sedangkan cincin yang kusematkan cincin pada jari manis Mahesa adalah cincin yang kupilih untuknya. Setelah semua prosesi pernikahan selesai, kami mengadakan acara makan malam. Tidak terlalu banyak tamu yang datang karena memang awalanya aku memilih Bali agar setelah acara pernikahan, aku dan Kevin dapat liburan bersama kedua keluarga kami. Ternyata semua angan-anganku buyar.
Bahkan, Ayah dan Ibuku tidak bertemu dengan keluarga Kevin, yang ditemuinya malah keluarga Mahesa. Ibu bisa menempatkan dirinya dengan Mama Mahesa. Tidak terlalu banyak bicara sih, karena mungkin Mama Mahesa yang menonjolkan keangkuhannya.
“Mahesa elo dapat dimana ini?” sapa Kakak Mahesa yang berwajah bulat dan agak pendek datang menyapa. Disampingnya adalah seorang wanita tinggi dan langsing, pakaiannya terlalu seksi. Wanita ini memandangku dari ujung kepala sampai ujung kakiku.
“Maksudnya?” Mahesa memperjelas. Wajahnya terlihat tidak suka. Wajahku juga. Menunjukkan rasa tidak enak, seolah-olah aku tidak pantas disandingan dengan Mahesa. Ya Tuhan! Wajahku tidak jelek-jelek amat. Tubuhku proposional! Walaupun aku agak pendek sih…
Aku menggenggam buket bunga dengan kencang.
“Maksudnya Brian, elo dapat istri seperti ini dimana?” Kemudian datang Kakak yang satunya. Wajahnya bulat juga tapi tidak sebulat Kakaknya yang pendek. Dia datang sendiri sambil memegang gelas champagne.
Mahesa merangkulku. Mendekatkan tubuhku padanya. Dia terlihat di-bully. Aku masih menerka apa yang terjadi saat ini.
“Sekar wanita baik-baik. Bukan wanita sembarangan. Terima kasih sudah datang di pernikahan gue.” Suara Mahesa terasa tercekat. Dia menahan emosinya. Aku bisa melihat karena rahangnya mengeras. “Sekar, ini Kakak-kakakku. Ini Brian kakakku yang pertama.” ujar Mahesa sambil menunjuk ke arah laki-laki berwajah bulat dan pendek. “Ini Farel, kakakku yang kedua.” lanjut Mahesa, menunjuk laki-laki yang lumayan tinggi. Kedua wajah laki-laki ini begitu sama tapi hanya wajah Mahesa yang tidak sama.
“Salam kenal.” Aku kemudian tersenyum pada mereka.
(Mahesa)
Pukul Setengah 9 Malam.
Lina sudah memindahkan semua barang-barang kami ke kamar hotel yang lebih besar. Kamar hotel yang hanya ada 5 kamar di lantai paling atas. Kamar yang memiliki mini swimming pool dan pemandangan pegunungan Bali.
Aku melepaskan semua atribut yang ada di tubuhku hingga menyisakan kaos tipis berwarna putih. Sekar? Istriku dia terlihat merana melepaskan anting-antingnya dan beberapa atribut yang menempel di kepalanya.
“Perlu bantuan?” tawarku.
“Ya boleh.” jawabnya halus.
Aku hanya melepas bunga-bunga kecil yang tertempel di rambutnya tanpa melepas ikatan dan jepitan di rambutnya.
“Mamaku dan kedua kakakku langsung pulang ke Jakarta.” ujarku memberitahu.
“Ya, aku sudah mengabari Reni.” Dia melirikku melalui kaca.
Sekar cantik. Luar biasa. Aku suka melihat wajahnya, seolah-olah semua masalah selalu berjalan mulus jika aku melihat wajahnya. Itu juga alasanku menikahinya. Bahkan, dia tidak kalah seksi. Gaunnya memperlihatkan kedua buah payudaranya yang penuh dan pinggangnya yang tidak terlalu kecil juga tidak terlalu besar. Ideal. Aku masih merasa aneh, kenapa calon suaminya sampai tega menyelingkuhinya di saat hari pernikahannya akan dilangsungkan?
Sekar keluar dari kamar mandi dan memakai kimono handuk. Bertepatan dengan itu, seseorang mengetuk kamar kami. Sekar membukanya dan dia agak salah tingkah ketika kedua orang tuanya datang. Ayahnya berwajah datar semenjak tahu Sekar tidak menikah dengan yang namanya Kevin.
“Sekar. Mahesa duduk.” perintah Ayahnya.
Wajah Sekar terlihat merana sekali, antara mau menangis atau berusaha tegar.
“Sekar, jelaskan pada kami apa yang terjadi?” tanya Ibunya lembut.
Sekar melihatku. Seperti berkata padaku, Apa yang harus aku bicarakan pada mereka? Akhirnya aku menggenggam erat tangan Sekar dan Sekar mulai berbicara.
“Ayah Ibu, maafkan Sekar. Keputusan ini dibuat mendadak tapi ini penuh pertimbangan antara Sekar dan Mahesa.” Suara Sekar lirih.
“Kemana Kevin?” tanya Ayahnya tidak sabaran. “Ayah sempat lihat Kevin datang ke acara akad nikah tadi sore.”
“Kalau ini semua salah Kevin kenapa Kevin tidak memberitahu atau meminta maaf?” Ibunya juga mulai bicara. Mungkin Ibu Sekar terlalu sayang dengan Kevin. “Sekar yang larang. Karena Sekar akan menikah dengan Mahesa jadi Sekar pikir Kevin tidak ada urusannya lagi sama keluarga kita.” Sekar menatap Ayah dan Ibunya bergiliran. “Ayah Ibu, permasalahan Sekar dengan Kevin sudah pelik. Sampai Sekar dan Kevin harus memutuskan menikah dan ternyata beberapa hari yang lalu Sekar menemukan Kevin tetap tidak berubah.”
Ayah dan Ibunya terdiam. Karena sudah tahu dari Reni cerita garis besarnya, bahwa Kevin adalah tukang selingkuh.
“Jadi, Sekar pikir pernikahan dengan Kevin adalah hal yang mustahil.”
Ayah Sekar sekarang melihatku. Jujur aku tidak tahu harus berkata apa. Dia menatap tanganku yang menggenggam erat tangan anaknya. Walaupun ini bukan pura-pura, karena aku tahu hal seperti ini akan terjadi. Menjelaskan alasan pernikahan yang tiba-tiba.
“Terima kasih sudah menikahkan kami.” Akhirnya aku berbicara. “Terima kasih sudah mengizinkan Sekar menikah dengan saya.” Bicaraku formal sekali.
Diam.
“Sekar? Kamu mencintai Mahesa?” tanya Ibunya. Penasaran.
“Ya Bu.”
“Bukan karena pelampiasan?” tanya Ibunya lagi.
“Nggak Bu.” Sekar meneteskan air mata. Rasanya aku juga akan meneteskan air mata. Oh, Ibunya juga sudah meneteskan air mata. Haruskah aku ikut menangis? Keluarga ini sangat melankolis.
“Ayah dan Ibu sebetulnya nggak mempermasalahkan dengan siapa kamu menikah. Dengan siapa kamu jatuh cinta, tapi hal-hal seperti ini kami rasa harus dibicarakan.” ucap Ibunya diplomatis. Aku tidak jadi meneteskan air mata. “Sebelum pernikahan, Mahesa menemui Ayah sama Ibu dan bilang kalau niatnya baik.”
Aku mengangguk-angguk. Sekar masih tertunduk dan menangis.
“Ayah sama Ibu juga mendoakan kalian yang bagus-bagus. Pernikahan yang langgeng, diberikan keturunan yang baik…” Ibunya menarik napas.
“Ya Bu.” ujar Sekar.
“Makan malamnya besok aja. Istirahat saja kalian.” kata Ayahnya sambil berdiri.
“Sekar coba kasih Mahesa minuman vitamin C, bibirnya kering sekali.” celetuk Ibunya. Aku terperangah. Kaget Ibunya memperhatikan hal sedetail itu.
Sekar melihat bibirku. Mungkin memang bibirku pecah-pecah. Tawaku tergelak.
Astaga keluarga ini. Hal sepele seperti ini pun diperhatikan. Aku hanya kurang minum.
Sepeninggal mereka. Sekar menjatuhkan tubuhnya ke sofa di tempat dia duduk tadi.
“Aku merasa berdosa demi membalaskan dendamku ke Kevin.” ujar Sekar.
“Kalau tujuan kita selesai lebih cepat, mungkin kita bisa cerai lebih awal.”
“Serius?” Wajah Sekar berbinar-binar.
“Jangan mimpi. Aku malah mau menambahkan satu tahun pernikahan denganmu. Aku menyukai keluargamu.”
Sekar melongo kemudian menendangku keras.
“Kamu pikir aku mau hidup sama kamu selama dua tahun itu?!”
“Sekar sakit!”
“Dasar gila!” celetuk Sekar sambil berjalan menutup pintu kamar mandi.
“Dasar istri bar-bar!” Aku berteriak.
Pintu kamar mandi terbuka kembali. Sekar muncul dengan sebotol shampoo ingin melemparku.
Hidupku akan berwarna dengan wanita ini.
***
(Kayshila) Aku selalu bermimpi indah. Sayangnya, setiap aku membuka mata terbangun, aku selalu lupa apa yang sudah kuimpikan. Lucunya, mimpi indahku selalu berbanding terbalik dengan kehidupanku. Miris. Tubuhku tertutup dengan selimut tebal dan udara di dalam kamar sangat dingin sekali. Aku berniat bangun tapi tempat tidur ini nyaman sekali. Tiba-tiba aku ingat, aku telah menjadi seorang istri sekarang. Hanya satu tahun. Aku melihat jari manisku dan terduduk di pinggiran tempat tidur yang agak tinggi. Kepalaku agak pusing. Mungkin aku terlalu banyak menangis setiap hari. Betapa rapuhnya aku. Seolah-olah tidak bisa menerima kenyataan, hingga aku melamun dan lamunanku buyar ketika seseorang memencet bel dengan membabi buta. Aku berlari menuju pintu dan melihat siapa yang datang melalui lubang pintu. Astaga! Kamila!&nbs
(Sekar) Hampir satu minggu aku tidur satu kamar dengan Mahesa di rumah orang tuaku. Banyak sekali kekacauan dari kehidupanku dengan Mahesa. Aku tidak bisa mendeskripsikannya. Setiap hari Mahesa selalu saja membuatku kesal. Dia selalu membuang waktu jika sedang mandi di pagi hari, tapi mandi di malam hari mungkin hanya lima menit. Kemudian dia selalu menyuruhku untuk mencuci bajunya. Mengesalkan sekali. Seharusnya bisa aku taruh di tempat laundry saja. Alasannya, dia tidak suka menggunakan mesin cuci yang dipakai orang lain yang tidak dikenalnya. Luar biasa ya! “Sekar, kemejaku yang warna biru dimana?” tanya Mahesa pukul 11 malam, sedangkan aku sedang memeriksa beberapa laporan yang selalu aku bawa pulang. Semenjak aku mengambil cuti seminggu lebih, perusahaan dalam keadaan rumit. Aku seorang Finance Execut
(Mahesa) Selama dua minggu kehidupanku dengan Sekar, aku sudah mulai terbiasa bahwa setiap malam aku melihatnya tidur dan setiap pagi aku melihatnya marah-marah. Ini adalah kehidupanku yang luar biasa. Tidak bisa kubayangkan. Mengingat selama 8 tahun ini, aku selalu hidup sendiri di apartemen di New York. Semua yang kulakukan adalah sendiri. Menjelajah dunia pun sendiri. Ada salah satu yang membuat tujuanku harus tercapai. Membuat diriku sendiri sukses dan mencari keberadaan Mama. Hari ini pekerjaanku tidak begitu banyak. Hanya rapat dengan beberapa tim desain dan marketing untuk melakukan beberapa bentuk promo kecil-kecilan untuk tes pasar. Ketika aku pulang ke Indonesia, aku memiliki ide untuk membentuk sendiri perusahaanku dari nol. Sebuah perusahaan games khas Indonesia yang bisa diundu
(Mahesa) Di dalam perjalanan pulang. Sekar langsung terdiam. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil. Aku bisa menebak, pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakannya. “Minggu ini kita bisa pindah ke apartemen?” Aku membuka pertanyaan. Memecah kesunyian. “Boleh.” “Apa barang-barangmu banyak yang mau kamu bawa?” “Baju saja beberapa. Bukannya di apartemen sudah lengkap semua!? Misalnya peralatan memasak?” “Iya sudah.”&n
(Sekar) Aku menekan ponselku berkali-kali dan mengirimkan chat ke Mahesa. Dia tidak mengangkat bahkan melihat chat-ku. Sepertinya aku akan pulang naik bus. Aku mematikan layar komputerku dan tidak sengaja memandang wallpaper foto pernikahanku. Aku memandang Mahesa sejenak. Aku melihat pulpen di depanku dan ingin kulempar layar komputerku karena ada foto Mahesa di sana. Dengan cepat aku mematikan komputer dan bergegas pulang. “Pulang, Kar?” celetuk Laras yang muncul di lorong melewati ruanganku. Dia adalah Manajer Perencanaan. Tubuhnya gemuk dan wajahnya lucu sekali. “Iya.” “Dijemput? Tumben nggak naik sua
(Mahesa) Aku melempar proposal yang sudah dipersiapkan sejak pagi oleh karyawanku. Kemurkaanku bertambah ketika salah satu game developer yang kutemui kemarin mundur. “Kalian tahu market di Indonesia itu seperti apa?!” Semua karyawanku tertunduk dan sebagian masih berani menatapku. “Di sini nggak akan ada yang mau install game yang terlalu rumit.” Aku menghela napas dan berdiri di hadapan mereka semua. “Proposal game yang kalian berikan ke saya ini sampah. Mungkin a
(Sekar) Aku menatap laptop dan beberapa tumpukan kertas di depanku. Pokoknya tidak bisa fokus. Beberapa hari ini di dalam otakku tergambar jelas adegan aku mabuk dan menarik Mahesa untuk kucium. Sangat memalukan. Untungnya Mahesa sibuk bermain game, jadi aku juga sibuk dengan proyek keduaku. Mahesa tidak pernah menggodaku semenjak itu. Lamunanku buyar ketika ponselku berdering. “Halo.” “Dengan Ibu Sekar Arum?” tanya pria diseberang sana. Suaranya berat sekali dan berwibawa. “Iya saya.” Aku menatap layar ponsel dan menerka nomor yang menelponku.&nbs
(Mahesa) “Baik, sampai di sini saja rapat kita. Tolong mulai hari ini kita harus bekerja lebih giat lagi. Berdoa semua akan baik-baik saja untuk peluncuran bulan depan.” ujarku memberikan kata penutup di dalam rapatku pagi itu. Aku berdiri dan diiringi tepuk tangan semua staf yang mengikuti rapat. “Bos, kita langsung pergi ketemu game developer-nya?” tanya Kiano mengikuti langkahku yang cepat. “Jam berapa?” “Sekarang lah, Bos. Mereka udah nungguin di ruangannya Marcel.” Semenjak kejadian game developer
(Sekar) Satu bulan kemudian, Derry terlihat sedang melamun melihat langit-langit rumah. Rumah yang direnovasi ini adalah atas namaku. Aku melihat sertifikat rumahnya, sudah berubah setahun yang lalu. Aku tidak mengetahui hal ini, karena ingatanku belum sepenuhnya pulih. Waktu kami liburan di Bali sebulan lalu, Mahesa memberitahu padaku bahwa ada sebuah rumah atas namaku dan Derry sudah merenovasi seutuhnya atas saranku. Dulu. “Apa yang lo lihat?” tanyaku yang ikutan juga memandang langit-langit rumah berwarna putih gading dengan lampu gantung yang indah. “Rumah ini…” Derry menghela napasnya. “Rumah ini adalah rumah terlama yang gue renov.
(Sekar) Aku terbangun dan membuka mataku. Perasaanku terasa bahagia dan tubuhku bugar sekali, walaupun sepertinya aku sudah tidur lama sekali. Perutku benar-benar lapar. Sebetulnya aku terbangun karena mendengar suara Mahesa yang berisik sekali. “Apa? Apa kamu nggak bisa ke selatan sebentar untuk mengecek?” Aku mengerutkan dahiku. Menajamkan pendengaranku dan otakku masih berpikir keras. “Marcel!!! Bisa nggak kamu cek stok senjata di selatan???!!!” teriaknya tidak sabaran. “Kita akan mati!!!” Kali ini dia berteriak. Aku duduk di kasur. Melihat Mahesa berada di balkon, duduk di k
(Mahesa) Keesokan paginya aku bangun tiba-tiba. Terduduk di atas kasur. Aku mengingat kejadian semalam. Aku hanya ingat aku agak mabuk dan mengobrol dengan Sekar. Kepalaku agak pusing sedikit dan… aku melihat Sekar masih tertidur disampingku. Aku memutuskan untuk kembali tidur dan menyelimuti diriku sambil memeluk Sekar. Waktu tanganku berada di pinggangnya, dengan cepat Sekar membuang tanganku dan duduk. Seperti menghindar. “Kamu sudah bangun?” tanyaku kaget. “Aku sudah berdiri, berarti sudah bangun.” jawabnya cuek tanpa melihatku. Aku mengerutkan dahiku. Kenapa dia. Bad mood sekali. Apa dia masih marah karena kemarin? “Hari ini
(Sekar) Pagi ini, untuk pertama kali aku tidur dengan nyaman. Seseorang memelukku, tidak ada mimpi, aku menghirup udara yang segar, dan seseorang memainkan rambutku. Mahesa. Aku ingat aku tidur semalam dengan Mahesa. Aku tidur duluan ketika Mahesa mandi. Aku membuka mataku pelan. Wajah Mahesa pertama kali yang kulihat. Dia menatapku lekat sekali sambil memainkan rambutku. “Aku membangunkanmu?” tanyanya pelan. Dia tersenyum sedikit. “Tidurlah lagi. Aku bisa menunggumu bangun.” ujarnya lagi. Aku menyipitkan mataku. Dia membungkusku dengan selimut tebal dan dia berada di dalamnya. Aku menghela napas panjang dan meregangkan tubuhku. “Kamu mau ke kan
(Sekar) Di dalam mimpiku, aku benar-benar jelas melihat wajah Mahesa. Seorang pria yang ternyata bersamaku di pantai. Pantai yang sama ketika aku pertama kali dibawa oleh Mahesa. Deburan ombaknya, benar-benar mengingatkanku pertama kali dimana ketika aku bertemu dengan Mahesa waktu itu. Adegan demi adegan, aku mengingatnya. Sampai pada akhirnya, berpindah pada adegan ketika aku berada di rumah sakit. Bagian ini aku tidak ingat. Aku hanya melihat sebuah janin yang terdapat di layar bersama Mahesa. Apakah aku pernah memiliki anak? Seketika saja air mataku jatuh. Waktu itu aku merasakan seseorang menghapus air mataku dan aku tersadar dari tidurku. “Kamu menangis?” tanyanya. “Kamu kenapa di sini?” 
(Sekar) Tanganku terasa basah dan lembab. Ternyata handuk kecil yang ada di pelipis Mahesa terjatuh. Aku tidak tidur pulas kali ini. Selalu terjaga. Jadi ketika ada sesuatu yang bergerak atau mendengar suara, aku langsung membuka mataku. Aku mengambil handuk itu dan ternyata Mahesa menoleh ke arahku. Membuka matanya. “Sekar…” panggilnya lemah dan serak. “Ya?” “Dimana air? Aku haus.” Dia melihat meja di sampingnya. Aku meletakkan air minum di meja kecil dekat sofa. Aku bergegas mengambilnya dan memberikannya pada Mahesa. Mahesa membaringkan tubuhnya kembali.&
(Mahesa) Darius menggiring kami ke ruang kerjanya. Aku sebetulnya baru datang lagi ke rumah ini. Setahuku Rosa sudah tidak tinggal di sini karena dirinya kecewa dengan Darius yang berani menjebloskan dua anak kandungnya ke penjara. Walaupun katanya asisten rumah tangga di rumah ini, Rosa terkadang menyempatkan diri beberapa hari untuk pulang. Tetapi memang hubungan Rosa dan Darius sepertinya tidak bisa membaik kembali. Jadi, rumah ini terasa sepi sekali. Hubunganku dengan Darius membaik, bahkan diluar ekpektasi aku benar-benar berperan seperti anaknya. Kadang aku agak gugup jika harus memanggilnya ‘Papa’. Foto keluarga yang dipajang Darius di depan ruang tamu masih terpajang di dinding dengan gagah. Walaupun foto keluarga tersebut diambil sekitar beberapa tahun yang lalu ketika aku be
(Mahesa) Aku, Kiano, dan Derry yang sengaja datang ke kantorku menonton rekaman cctv yang ada di dalam ruang kerjaku. Kiano dan Derry mematung. “Di…dia bisa buka brankas lo? Apa dia tahu kodenya?” tanya Derry. “Semua kode dan password yang Mahesa punya itu tanggal, bulan, dan tahun pernikahan.” Kiano menjawab pertanyaan Derry yang ditujukan padaku. Aku menghela napas panjang. Beranjak dari kursi kerjaku. Aku membanting tubuhku ke sofa yang agak keras. Memandang brankas sialan itu. Sekar sudah hampir 5 jam tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati dan otomatis aku tidak bisa melihatnya kapan pemberhentian terakhirnya.&nbs
(Sekar) “Halo.” “Kamu dimana?” “Di jalan. Mau pulang.” jawab Mahesa. Suaranya agak jauh. Mungkin dia menggunakan mode speaker. “Kenapa?” “Aku mau ambil sesuatu di apartemenmu.” Aku menyandarkan tubuhku di depan pintu apartemen. “Jadi aku butuh password kunci pintunya.” “Kamu datang sendiri? Ini sudah jam setengah dua belas malam.” Mahesa heran. “Berapa?” Telunjukku sudah siap untuk memencet tombolnya.&nb